Home About
JIKA ADA YANG DITANYAKAN ATAU DATA YANG KALIAN BUTUHKAN, SILAHKAN BERKOMENTAR PADA MATERI TERSEBUT...TERIMAKASIH

Wednesday, 11 December 2019

Stratifikasi Sosial

Bab 7
STRATIFIKASI SOSIAL

7.1. Arti Stratifikasi
7.2. Sistem-sistem Stratifikasi Sosial
      7.2.1.Perbudakan
      7.2.2.Kasta
      7.2.3.Estat
      7.2.4.Kelas
7.3. Teori-Teori tentang Stratifikasi
      7.3.1.Teori Karl Marx
              7. 3.1.1.Apa Itu Kelas?
              7.3.1.2.Kerumitan Kelas
     7.3.2.Teori Max Weber
              7.3.2.1.Status
              7.3.2.2.Partai
7.4. Stratifikasi dan Gaya Hidup
7.5. Stratifikasi dan Gender
7.6. Mobilitas Sosial
7.7. Kemiskinan


7.1. Arti Stratifikasi
Stratifikasi berasal dari kata strata yang berarti lapis (layer). Stratifikasi sosial adalah pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status. Dasar dari stratifikasi adalah ketidaksamaan (inequality). Studi tentang ketidaksamaan sosial merupakan salah satu bidang studi terpenting dalam sosiologi karena sumber-sumber material yang dapat diakses seseorang sangat menentukan kehidupannya.
Stratifikasi dapat digambarkan sebagai  lapisan-lapisan kulit bumi. Masyarakat seakan-akan terdiri dari lapis-lapis alias strata dalam sebuah hirarki, di mana yang berada di puncak adalah yang mempunyai privilese lebih besar sedangkan yang di bagian dasar adalah mereka yang memiliki sedikit privilese.
Fenomena ketidaksamaan terdapat di berbagai bidang kehidupan. Ada yang menguasai, ada yang dikuasai; ada yang kaya, ada yang miskin; ada majikan, ada buruh; ada tuan, ada hamba; ada yang bekerja, ada yang menganggur; ada yang penghasilannya tinggi, ada yang penghasilannya rendah. Anthony Giddens (1989) mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai ketaksamaan struktural antara berbagai kelompok manusia (structured inequalities between different groupings of people).
Ada berbagai dimensi stratifikasi sosial, seperti berdasarkan umur, jenis kelamin, agama, kelompok etnik, ras, pendidikan, pekerjaan, ekonomi, dan sebagainya. Pada stratifikasi usia (age stratification), ada orang tua dan orang muda. Anggota masyarakat lebih muda memiliki hak dan kewajiban berbeda dengan mereka yang lebih tua. Pada masyarakat adat tertentu, misalnya, anak sulung mendapat prioritas untuk warisan harta dan kekuasaan.
Dalam berbagai organisasi modern ada keterkaitan erat antara usia karyawan dengan pangkat. Karyawan boleh naik pangkat setelah suatu jangka masa tertentu. Sistem yang berlaku bagi pegawai negeri adalah perpaduan merit system (menghargai prestasi) dan senioritas. Jabatan dosen dalam struktur organisasi PTN (seperti dekan, pembantu dekan, ketua jurusan dll) dan jabatan fungsional (asisten ahli, lektor, lektor kepala, guru besar) terkait dengan usia mereka (walaupun usia bukan ukuran satu-satunya). Senioritas juga masih penting dalam system kenaikan pangkat dosen. Dosen tetap di PTN yang tidak naik pangkat ke golongan IV sebelum usia tertentu, misalnya, akan dipensiunkan dan tidak dipertimbangkan untuk jabatan guru besar.
Ada pula stratifikasi jenis kelamin yang dari segi perolehan. Laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban berbeda, dan perbedaan itu mengarah ke suatu hirarki. Pada banyak masyarakat status laki-laki lebih tinggi dari perempuan (laki-laki mendapat prioritas untuk sekolah lebih tinggi). Ini berpengaruh pada status kerja dimana laki-laki menduduki jabatan lebih tinggi, sedangkan perempuan di bidang administratif. Maka penghasilan laki-laki pun lebih tinggi dibanding perempuan.
Ada pula stratifikasi berdasarkan hubungan kekerabatan dengan hak dan kewajiban berbeda. Hubungan orangtua, kakek nenek, anak-anak, cucu dsb sering mengarah ke hirarki.
Ada pula stratifikasi berdasarkan keanggotaan dalam kelompok tertentu, seperti stratifikasi keagamaan, stratifikasi etnik/ras. Dalam agama katolik misalnya ada golongan klerus (yang ditahbiskan) dan laikus/awam (yang tidak ditahbiskan). Di Afrika Selatan ketika masih berlaku politik Apartheid ada stratifikasi berdasarkan warna kulit (putih dan hitam/berwarna) dengan hak dan kewajiban berbeda. Di Israel orang Palestina dan Arab tidak mempunyai hak sama dengan orang Yahudi. Di Jepang ada perbedaan hak antara orang Jepang asli dan yang keturunan Korea.
Ada pula stratifikasi pendidikan di mana orang yang mendapat pendidikan punya hak dan kewajiban berbeda dengan mereka yang tidak berpendidikan. Ada stratifikasi pekerjaan seperti pembedaan antara manager/eksekutif dan administratif; asisten dosen, perwira tinggi.
Ada pula stratifikasi ekonomi, yakni pembedaan anggota masyarakat berdasarkan pemilikan materi. Kita kenal stratifikasi seperti kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah. Di kalangan petani tradisional, kita kenal petani pemilik tanah dan buruh tani. Atau kelas borjuis dan kelas proletar (Karl Marx).

7.2. Sistem-Sistem Stratifikasi Sosial
Giddens (1989) membedakan empat sistem dasar stratifikasi, yakni perbudakan, kasta, estat, dan kelas. Keempat sistem dasar ini sering ada bersamaan: misalnya perbudakan ada bersama kelas-kelas di Yunani dan Romawi kuno dan di AS bagian selatan sebelum Perang Sipil.

7.2.1. Perbudakan
 Perbudakan adalah bentuk ekstrem stratifikasi, di mana ada orang yang benar-benar “dimiliki” oleh orang lain sebagai harta benda. Ada beragam kondisi perbudakan yang berlaku di berbagai masyarakat: ada budak yang tidak mempunyak hak-hak legal (seperti di AS bagian selatan dulu), sedangkan di tempat lain budak lebih serupa dengan hamba.
Di abad 18 dan 19 di Amerika, Amerika Selatan dan West Indies para budak dipekerjakan secara eksklusif di perkebunan-perkebunan atau pekerjaan-pekerjaan kasar lain. Di Athena sebaliknya banyak kali para budak diserahi tanggung jawab besar. Para budak tidak mempunyai hak politik dan militer, tapi bekerja di bidang lain. Bahkan ada yang melakukan pekerjaan administratif pemerintahan. Di Roma kuno para budak bahkan menjadi sangat kaya karena keterlibatan dalam aktivitas bisnis. Bahkan ada budak kaya yang memiliki budak sendiri. Mereka yang bekerja di perkebunan atau tambang biasanya diperlakukan tidak manusiawi.
Perbudakan tidak jarang mendorong perlawanan dan pemberontakan dari para budak. Dalam sejarah dikenal banyak peristiwa seperti itu. Perbudakan lama-lama hilang karena selain pemberontakan dan perlawanan para budak, juga karena adanya insentif lain yang mendorong orang untuk bekerja lebih efektif.
Sistem perbudakan tidak efektif secara ekonomi. Perdagangan budak yang dilakukan bangsa-bangsa Barat hingga abad 19 dicatat sebagai perbudakan yang paling besar. Di Amerika utara dan selatan para budak dibebaskan pada akhir abad 19, dan sejak waktu itu perbudakan berkurang. Dewasa ini hampir tidak terdapat lagi lembaga perbudakan.

7.2.2. Kasta
Sistem kasta berlaku khususnya di India. Tapi kata kasta bukan bahasa India, tapi bahasa Portugis casta yang berarti ras atau darah murni (pure stock). India sendiri tidak mempunyai kata khusus untuk kasta, tapi ada beberapa kata yang menggambarkan aspek-aspek kasta. Dua kata terpenting ialah varna dan jati. Varna terdiri dari empat kategori, dengan hirarki berdasarkan kedudukan sosial. Di bawah keempat kelompok itu terdapat kelompok yang disebut untouchables (yang tidak boleh disentuh) atau pariah.
Sistem kasta bervariasi dari tempat ke tempat, sehingga sebetulnya bukan terdiri dari satu sistem tunggal tetapi beragam kepercayaan dan praktiknya. Tapi ada kesamaan di antara bentuk-bentuk itu. Misalnya, kelompok tertinggi dalam varna adalah kaum Brahman, sedangkan paling rendah adalah untouchables. Kaum Brahman tidak boleh berkontak dengan kelompok paling bawah itu. Kaum untouchables yang boleh berkontak fisik dengan hewan atau benda-benda yang dianggap tidak bersih.
Sistem kasta terkait dengan kepercayaan Hindu akan kelahiran kembali (reinkarnasi). Orang yang tidak mematuhi ritual dan tugas-tugas kastanya diyakini akan dilahirkankembali dengan tingkat lebih rendah. Individu dilarang berpindah kasta, tapi seluruh kelompok dapat berubah dan bertukar posisi dalam hirarki kasta.
Di luar India konsep kasta sering digunakan untuk dua atau lebih kelompok etnis yang saling terpisah karena adanya pandangan akan racial purity (kemurnian ras). Biasanya ada larangan kawin-mawin antara kelompok-kelompok tersebut. Ketika perbudakan sudah dihapus di Amerika, tingkat keterpisahan sosial antara kulit hitam dan putih masih begitu kuat sehingga digunakan istilah kasta untuk menunjukkan stratifikasi sosial waktu itu disana. Konsep kasta juga pernah digunakan untuk kasus Afrika ketika berlaku politik Apartheid. Waktu itu kontak-kontak antara kulit putih dan hitam dilarang, termasuk perkawinan.

7.2.3. Estat
Stratifikasi ini terdapat di masa feodalisme di Eropa khususnya, tapi juga di banyak masyarakat lain di dunia. Estat-estat feudal terdiri dari strata dengan hak dan kewajiban berbeda. Ada perbedaan yang dikukuhkan dengan undang-undang. Di Eropa hirarki estat adalah aristokrat dan gentry (golongan keluarga baik-baik) di peringkat tertinggi, menyusul di bawahnya klerus yang memiliki banyak privilese, dan lapisan paling bawah adalah estat ketiga (third estate) atau “commoners” (orang biasa) yang terdiri dari budak, petani bebas, pedagang, dan artisan. Tidak seperti sistem kasta, pada estat masih terdapat kontak antar kelompok. Perkawinan pun dibolehkan. Kelompok commoners bisa menjadi tentara. Estat dulu berkembang karena hidupnya sistem aristokrasi tradisional yang didasarkan pada keturunan bangsawan.

7.2.4. Kelas
Sistem kelas berbeda dari perbudakan, kasta atau estat. Kelas adalah kelompok besar yang memiliki sumber-sumber ekonomi bersama yang mempengaruhi jenis gaya hidupnya. Kekayaan dan kedudukan adalah basis utama perbedaan kelas sosial. Di masyarakat Barat dikenal kelas-kelas utama, yakni upper class (orang kaya, majikan dan pengusaha, dan eksekutif puncak) , middle class (kelompok white-collar dan professional), dan working class (kelompok blue-collar dan pekerja tangan/kasar). Di beberapa negara seperti Prancis atau Jepang, masih ada lagi kelas keempat yakni kelas petani (yang bekerja dalam produksi pertanian tradisional). Di negara-negara sedang berkembang kelas petani merupakan kelompok sosial paling besar.

7.3. Teori-Teori Tentang Stratifikasi
Teori sosiologi terkenal tentang stratifikasi dikemukakan oleh Karl Marx (1818-1883) dan Max Weber (1864-1920). Banyak teori tentang stratifikasi yang dikemuakan para sosiolog sesudahnya biasanya mengacu pada pandangan mereka. Pikiran Marx dan Weber berpengaruh besar terhadap perkembangan sosiologi dan banyak disiplin lain. Di sini akan dibahas secara singkat teori kedua Karl Marx dan Max Weber.

7.3.1. Teori Marx
Marx lahir di Jerman tapi sangat lama tinggal di Inggris. Sebagian besar pandangan Marx difokuskan pada stratifikasi, khususnya kelas sosial, tapi dia gagal memberikan analisis sistematis tentang konsep kelas. Dia sendiri bertanya dalam tulisannya what constitutes a class? tapi tidak ada jawaban sistematis tentang pertanyaan itu.

7.3.1.1. Apa itu Kelas?
Bagi Marx, kelas adalah sekelompok orang yang mempunyai hubungan bersama dengan alat produksi – sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sebelum revolusi industri, sarana produksi terutama terdiri dari tanah dan alat-alat yang digunakan untuk mengerjakan kebun atau hewan gembalaan. Maka pada masyarakat pra-industri ada dua macam kelas, yakni pemilik tanah (aristokrat, gentry atau pemilik budak) dan mereka yang memproduksi hasil dari tanah itu (hamba, budak dan petani bebas).
Pada masyarakat industri modern ada dua kelas utama yang memiliki alat-alat produksi (pabrik, kantor, mesin, kekayaan) yakni kaum industrialis atau kapitalis (borjuis) dan kelas buruh (proletar) yang hidup dengan menjual tenaganya kepada kaum kapitalis.
Hubungan antar-kelas bersifat eksploitatif. Pada masyarakat feudal eksploitasi sering terjadi dalam bentuk pengalihan langsung produksi dari petani kepada aristokrat. Para hamba wajib memberikan sebagian tertentu produksi mereka kepada majikan aristokrat atau bekerja beberapa hari tiap bulan di kebun majikannya untuk memproduksi hasil peranian bagi majikan dan keluarganya.
Pada masyarakat kapitalis modern sumber eksploitasi menjadi kurang jelas dan Marx berusaha untuk memahami hal ini. Dia melihat bahwa di hari kerja buruh memproduksi lebih dari yang sebetulnya dibutuhkan oleh para majikan untuk membayar biaya yang harus dibayarkan kepada buruh. Nilai surplus (surplus value) ini merupakan sumber keuntungan yang dapat digunakan kapitalis untuk kepentingan mereka sendiri. Sekelompok buruh di sebuah pabrik pakaian, misalnya, mampu memproduksi seratus baju per hari. Penjualan setengah dari pakaian-pakaian itu mendatangkan penghasilan cukup bagi pemilik pabrik untuk membayar upah buruh. Pendapatan dari penjualan garmen sisanya merupakan profit yang diperoleh majikan.
Marx terkejut dengan ketimpangan (inequalities) yang diciptakan oleh sistem kapitalis. Meskipun dulu kaum aristokrat hidup dalam kemewahan, samasekali berbeda dari kaum petani, tapi kemiskinan masyarakat agraris masih relatif. Meski tidak ada aristokrasi, standar kehidupan memang rendah. Tapi setelah berkembang industri modern, kekayaan diproduksi dalam skala di luar apa yang telah dilakukan sebelumnya, tapi para buruh mempunyai akses kecil kepada kekayaan yang mereka hasilkan lewat pekerjaan mereka. Mereka tetap miskin, sementara kekayaan berlipat ganda dengan berkembangnya property. Dengan berkembangnya pabrik-pabrik modern dan mekanisasi produksi, pekerjaan seringkali menjadi menjemukan dan sangat opresif. Kerja yang merupakan sumber kekayaan kita sering secara fisik melelahkan dan secara mental membosankan.

7.3.1.2. Kerumitan Sistem Kelas
Meski hanya menyebut dua kelas dalam masyarakat, Marx mengatakan sistem kelas yang sebenarnya jauh lebih rumit. Marx menyebut kelas transisi (transitional classes). Kelas ini adalah kelompok yang tidak masuk dalam sistem produksi di atas, yang masih bertahan lama setelah sistem itu hilang. Dalam sejumlah masyarakat modern di Barat (seperti Prancis, Italia atau Spanyol) misalnya jumlah petani masih sangat besar, dan mereka bekerja seperti dalam sistem feudal.
Marx juga menunjukkan adanya perpecahan yang terjadi dalam kelas-kelas itu sendiri. Misalnya (1) antara kelas-kelas atas sering terjadi konflik antara kapitalis finansial – seperti bankir – dan pemilik pabrik; (2) ada perbedaan kepentingan antara pemilik bisnis kecil dan pemilik perusahaan sendiri atau yang mengelola perusahaan besar. Keduanya termasuk kelas kapitalis, tapi kebijakan-kebijakan yang memihak bisnis besar tidak selalu menguntungkan bisnis kecil; (3) dalam kelas buruh sendiri, orang yang menganggur jangka panjang mengalami kondisi hidup yang lebih buruk dibanding mayoritas buruh lain. Kelompok seperti ini seringkali sebagian besar adalah kelompok minoritas etnik.
Konsep Marx tentang kelas menyadarkan orang akan ketimpangan ekonomi yang terstruktur secara obyektif dalam masyarakat. Kelas tidak menyangkut kepercayaan orang tentang posisi mereka, tapi kondisi obyektif yang memberikan peluang kepada sebagian orang untuk mendapat akses lebih besar bagi kekayaan material dibanding orang lain.

7.3.2. Teori Max Weber
Weber dianggap sebagai salah seorang pendiri utama sosiologi, walaupun karya-karyanya mencakup bidang lebih luas, mulai dari sejarah, hukum, ekonomi, dan agama komparatif. Pendekatannya terhadap stratifikasi memang mengacu pada analisis yang dikembangkan oleh Marx, tapi dia kemudian memodifikasi dan mengelaborasinya.
Perbedaan antara teori Marx dan Weber adalah, pertama, meskipun Weber menerima pandangan Marx bahwa kelas terbentuk dari kondisi ekonomi obyektif, dia melihat ada lebih banyak variasi faktor-faktor ekonomi yang membentuk kelas. Menurut Weber, pembagian kelas tidak hanya berasal dari ada tidaknya kontrol terhadap alat-alat produksi, tapi dari perbedaan ekonomi yang tidak terkait langsung dengan property, seperti keterampilan (skill) dan kredential atau kualifikasi yang mempengaruhi tipe pekerjaan yang diperoleh tiap orang. Mereka yang bekerja di bagian managerial atau profesional mendapat upah lebih banyak, dan punya kondisi kerja yang lebih nyaman, dari misalnya orang yang bekerja kasar (blue-collar). Kualifikasi yang mereka miliki, seperti ijasah, diploma dan keterampilan yang mereka peroleh menjadikan mereka lebih marketable dibanding yang tidak memiliki kualifikasi seperti itu. Selanjutnya buruh blue-collar dan pengrajin yang terampil juga mendapat upah lebih tinggi dibanding yang setengah terampil atau tidak terampil.
Kedua, Weber membedakan dua aspek dasar lain dari stratifikasi selain kelas, yakni status dan partai. Dia mengadaptasi pengertia status group dari contoh estat di abad pertengahan.

7.3.2.1. Status
Status adalah perbedaan di antara kelompok-kelompok sosial dalam hal kehormatan atau prestise sosial yang diberikan oleh orang lain. Status sering bervariasi secara independen dari kelas. Kehormatan sosial bisa bersifat positif maupun negatif. Kelompok status yang berprivilese positif termasuk kelompok yang mempunyai prestise tinggi dalam tatanan sosial. Misalnya, dokter dan pengacara punya prestise tinggi dalam masyarakat Inggris. Kelompok pariah adalah kelompok status yang berprivilese negatif yang sering didiskriminasi sehingga menghalangi mereka untuk menikmati kesempatan yang terbuka bagi orang-orang lain. Pada abad pertengahan di Eropa, orang Yahudi adalah pariah yang dilarang menduduki pekerjaan tertentu atau memangku suatu jabatan resmi.
Kepemilikan kekayaan biasanya memberikan status tinggi kepada seseorang, tapi ada banyak kecualian. Misalnya apa yang disebut genteel poverty. Di Inggris individu dari keluarga-keluarga aristokrat terus menikmati social esteem meskipun kekayaan mereka sudah habis.Sebaliknya kelompok New Money sering dipandang rendah oleh kelompok kaya raya yang sudah mapan.
Kelas adalah suatu yang diberikan secara obyektif, sedangkan status bergantung pada penilaian subyektif terhadap perbedaan-perbedaan sosial. Kelas bersumber dari faktor-faktor ekonomi yang diasosiasikan dengan property dan pendapatan, sedangkan status dikendalikan oleh berbagai kelompok gaya hidup.

7.3.2.2. Partai
Menurut Weber pada masyarakat modern pembentukan partai merupakan aspek penting dari kekuasaan, dan dapat mempengaruhi stratifikasi di luar kelas dan status. Partai menunjuk pada sekelompok individu yang bekerja bersama sebab memiliki latarbelakang, tujuan dan kepentingan yang sama.
Marx cenderung menjelaskan perbedaan status dan organisasi partai dari sudut kelas. Tetapi menurut Weber keduanya sebetulnya tak dapat direduksi menjadi perbedaan kelas meskipun setiapnya dipengaruhi olehnya. Keduanya sebaliknya mempengaruhi keadaan ekonomi dari individu dan kelompok, sehingga dengan demikian mempengaruhi kelas.
Partai dapat saja didasarkan pada afiliasi religius atau ideal-ideal kebangsaan. Seorang Marxist akan menjelaskan konflik antara katolik dan protestan di Irlandia Utara dari kacamata kelas karena orang katolik lebih banyak bekerja sebagai buruh. Sedangkan pengikut Weber berpendapat penjelasan seperti itu tidak efektif karena banyak orang Protestan juga latar belakangnya adalah kelas pekerja. Partai menunjukkan perbedaan religius maupun kelas.
Banyak sosiolog berpendapat bahwa kerangka pikir Weber memberikan dasar yang lebih fleksibel dan sophisticated untuk menganalisis stratifikasi dibanding model yang dikemukakan Karl Marx. Banyak sosiolog kemudian menggunakan kerangka teori Marx dan Weber di atas sebagai basis untuk menyusun teori sendiri tentang stratifikasi, seperti Erik Olin Wright yang mengacu pada Marx, dan Frank Parkin yang lebih condong pada Weber.

7.4. Stratifikasi dan Gaya Hidup
Stratifikasi berdampak pada perilaku dan gaya hidup. Perbedaan prestise menyebabkan perbedaan gaya hidup. Misalnya dalam berbusana, khususnya di perkotaan. Orang dari kelas sosial berbeda punya kerangka acuan berbeda pula. Kaum perempuan dari kelas atas cenderung berbusana ala Barat, mengacu ke perancang mode terkenal dari Paris, New York, London, Tokyo, atau Roma. Yang dari kelas menengah, cenderung pada busana ciptaan domestik, sedangkan kelas bawah berorientasi pada tempat-tempat penjualan seperti Tanah Abang atau Pasar Senen dan Cipulir di Jakarta.
Pada hirarki kekuasaan dan privilese, terdapat pula perbedaan gaya hidup. Ogburn dan Nimkoff (1958) menemukan bahwa lapisan bawah (low-brow), menengah bawah (lower middle-brow), menengah atas (upper middle-brow), dan atas (high-brow) mempunyai selera khas dalam hal busana, perlengkapan rumah tangga, hiburan, makanan, minuman, bacaan, senirupa, rekaman musik, permainan dan kegiatan lain. Jika diamati dengan seksama masyarakat kita sudah menunjukkan gejala seperti itu.
Stratifikasi juga berdampak pada status simbol (symbol status). Status simbol ialah simbol yang menandakan status seseorang dalam masyarakat. Menurut Berger (1980) orang senantiasa memperlihatkan kepada orang lain apa yang telah diraihnya dengan memakai berbagai simbol. Jadi simbol status berfungsi menginformasikan status seseorang. Contoh simbol status ialah cara menyapa, bahasa, dan gaya bicara.
Bisa juga tampak pada pola komunikasi nonverbal seperti kebiasaan melipat kedua tangan di depan badan, menundukkan badan atau kepala, dsb. Penyebutan gelar, pangkat atau jabatan pun termasuk dalam status simbol. Ini nampak misalnya juga pada kartu nama. Belum cukup dengan itu, orang bahkan menyebut tempat kerja dan jabatan.
Di Jepang kebiasaan saling menukarkan kartu nama dianggap sebagai suatu adat dan berfungsi menginformasikan status masing-masing pihak. Dengan demikian interaksi dapat berlangsung dengan semestinya.
Status juga tercermin dari perlengkapan dan perhiasan pribadi seperti jam tangan, tas, kacamata, dasi, sepatu dan sebagainya. Bisa juga terlihat dari di mana tempat tinggalnya dan tipe rumahnya. Di perkotaan ada permukiman khusus untuk kaum elit. Di kalangan kaum elit itu sendiri ada perbedaan lagi misalnya dalam ukuran rumah dan tanah, material rumah, dan perlengkapan rumah dan dapur.
Kegiatan rekreasi juga menjadi simbol status yang penting, termasuk pilihan jenis hiburan dan rekreasi, olahraga, nonton film, siaran radio, liburan, makan dan sebagainya. Jenis-jenis rekreasi dan tempat rekreasi menunjukkan status seseorang dalam masyarakat. Jadi makanan dan pakaian selain memenuhi kebutuhan dasar, punya rumah untuk melindungi diri dari alam, bahasa untuk komunikasi, kendaraan untuk bermobilitas secara cepat, rekreasi untuk menyehatkan tubuh dan mental, juga berfungsi menunjukkan status seseorang dalam masyarakat. Dalam kata-kata Barber dan Lobel (1952) busana mempunyai paling kurang tiga fungsi sosial yakni utilitarian, estetik, dan simbolis.
Dalam masyarakat Amerika simbol status sangat ditekankan dan selalu ada kompetisi untuk meraihnya (rat race). Gejala workaholic di kalangan eksekutif muda menunjukkan gejala perlombaan seperti ini. Simbol status yang selama ini lebih mendominasi kehidupan masyarakat Barat kini, lewat proses modernisasi dan globalisasi, telah menjalar ke kelas atas di Indonesia.
Tapi di Amerika kini ada semacam gejala arus balik di mana status, karier dan penghasilan tinggi bukan mendapat prioritas tinggi lagi. Kini orang-orang mulai mementingkan nilai yang selama ini dipinggirkan seperti kebahagiaan keluarga serta hidup bertetangga dan gotong royong. Orang sudah mulai menyadari arti dari kehidupan yang seimbang.

7.5. Stratifikasi dan Gender
Menurut Giddens (1989) studi tentang stratifikasi sejak lama seakan “buta gender”, seakan-akan tidak ada perempuan. Bahkan untuk analisis pembagian kekuasaan, kekayaan dan prestise, wanita dianggap tidak penting dan tidak menarik, padahal gender adalah salah satu contoh paling penting dari stratifikasi.
Pertanyaan yang pelik dalam studi stratifikasi dan gender adalah sejauh mana kita memahami ketakadilan gender di masa modern dari sudut pembagian kelas? Menurut Giddens ketakadilan gender berakar lebih dalam secara historis dibanding sistem kelas. Pria punya fungsi lebih superior dari wanita sudah sejak masyarakat mengenal perburuan dan mengumpulkan hasil hutan, di mana tidak ada kelas sosial. Pembagian kelas yang begitu menonjol dalam masyarakat modern memberikan kesan bahwa pembagian kelas secara mendasar tumpang tindih dengan ketaksetaraan gender. Posisi kebanyakan perempuan dalam hal materi cenderung merefleksikan posisi material ayah atau suami mereka. Tapi ketaksetaraan gender harus dijelaskan dari sudut kelas.
Menurut Giddens perempuan cenderung dibatasi pada domain privat (urusan rumah tangga, anak, dan keluarga), sedangkan pria pada domain publik. Dunia pria terutama menyangkut kerja yang dibayar, industri dan politik. Ada pandangan bahwa ketaksetaraan kelas menciptakan stratifikasi gender sudah diperdebatkan, walaupun sebelumnya tidak dinyatakan secara terbuka.
Goldthorpe misalnya mempertahankan pandangan konvensional dalam analisis kelas bahwa kerja yang dibayar yang dilakukan perempuan secara relatif tidak seberapa besar dibanding pria dan sebab itu perempuan dapat dipandang berada di kelas yang sama dengan suaminya. Perempuan mendapatkan posisinya yang lebih rendah dari pria di dunia kerja. Wanita lebih banyak bekerja sebagai part timer dibanding pria, dan dipekerjakan berselang-seling karena lamanya mereka harus istirahat untuk melahirkan dan mengasuh anak. Karena sebagian besar perempuan secara ekonomi bergantung pada suami, dapat dipahami bahwa posisi kelas mereka ditentukan oleh posisi kelas suaminya.
Giddens mengkritik pandangan Goldthorpe di atas setidaknya karena tiga alasan. Pertama, pendapatan wanita merupakan proporsi substansial bagi keluarga sehingga penting untuk mempertahankan posisi ekonomi keluarga. Bahkan pendapatan perempuan dari kerja menentukan posisi kelas dari keluarga. Kedua, pekerjaan istri sangat mempengaruhi pekerjaan suami, bukan sebaliknya. Meski besarnya pendapatan tidak sebesar pendapatan suami, situasi kerja sang istri dapat menjadi faktor utama dalam mempengaruhi kelas suaminya. Ini misalnya kalau suami tidak memiliki keterampilanatau bekerja sebagai blue-collar yang semi terampil dan sang istri, katakanlah, bekerja sebagai manajer toko. Dalam hal ini posisi istri menjadi standar posisi keluarga secara keseluruhan.
Ketiga, ada banyak kelas silang (cross-class) di mana kerja suami adalah pada kategori kelas lebih tinggi dari istri, atau sebaliknya. Jadi lebih realistik untuk menganggap  pria dan wanita, dalam keluarga yang sama, berada dalam posisi kelas yang berbeda. Keempat, proporsi keluarga di mana perempuan adalah breadwinner tunggal semakin meningkat. Jika perempuan tidak memiliki pendapatan yang berasal dari alimony (tunjangan) yang membuat posisinya sejajar dengan mantan suaminya, dia memberikan pengaruh menentukan bagi posisi kelasnya sendiri. Studi-studi terbaru menunjukkan bahwa posisi ekonomi perempuan tidak dapat ditentukan dari posisi ekonomi suaminya.

7.6. Mobilitas Sosial
Mobilitas sosial berarti perpindahan status sosial ekonomi (naik atau turun) individu atau kelompok dalam hirarki sosial. Kalau perpindahan itu ke atas atau kebawah disebut mobilitas vertikal. Ada pula yang dinamakan mobilitas lateral yakni perpindahan geografis antara lingkungan, kota atau wilayah. Mobilitas vertikal dan lateral seringkali terjadi bersamaan. Misalnya, seorang yang bekerja di sebuah pabrik di kota dapat saja dipromosikan ke posisi lebih tinggi di sebuah cabang perusahaan di kota lain, bahkan di negara lain.
Ada dua cara melihat mobilitas sosial, dengan melihat karir seorang itu sendiri: apakah karirnya naik atau turun dalam masa dinasnya (mobilitas intragenerasi). Atau dilihat seberapa jauh anak-anaknya memasuki pekerjaan yang sama seperti orangtua atau kakek-nenek (mobilitas intergenerasi).
Jumlah mobilitas vertikal dalam sebuah masyarakat menunjukkan indeks tingkat keterbukaan masyarakat itu, di mana individu-individu yang berbakat yang lahir di strata bawah dapat naik ke posisi sosial ekonomi lebih tinggi. Studi oleh Pitirim Sorokin (1927) yang mencakup berbagai masyarakat termasuk Roma dan Cina tradisional menunjukan bahwa kesempatan untuk naik secara cepat di AS lebih terbatas dari yang digembar-gemborkan.
Meskipun mobilitas ke bawah kurang umum terjadi dibanding mobilitas ke atas, namun fenomena itu masih banyak terjadi. Di Inggris lebih dari 20 persen pria tercatat mengalami mobilitas ke bawah intragenerasi, meskipun sebagian besar itu bersifat jangka pendek. Mobilitas jenis ini sering berkaitan dengan masalah dan kecemasan psikologis di mana orang tidak mampu mempertahankan gaya hidup yang telah mereka jalankan.
Banyak mobilitas sosial ke bawah intragenerasional terjadi pada wanita. Lumrah bagi wanita untuk meninggalkan karir yang sebetulnya menjanjikan ketika melahirkan anak. Setelah beberapa lama mengurus keluarga, mereka mencoba kembali bekerja tapi pekerjaan yang diperoleh menghasilkan pendapatan lebih rendah. Atau mereka memilih untuk bekerja sebagai part timer.

7.7. Kemiskinan
Apa itu kemiskinan? Biasanya dibedakan kemiskinan absolut/subsisten dan kemiskinan relatif. Menurut Charles Booth, kemiskinan absolut terjadi manakala orang tidak memenuhi tuntutan dasar untuk hidup secara sehat – seperti cukup makanan dan perlindungan untuk memungkinkan berfungsinya tubuh secara efisien. Ini berlaku untuk semua negara.
Sebagian besar kelompok yang berada pada lapisan paling bawah dibalut kemiskinan absolute ini. Ini bukan fenomena baru di semua negara, tak terkecuali negara-negara maju seperti Inggris. Mereka tinggal di rumah dengan kondisi memprihatinkan, dengan kondisi kesehatan yang rawan, makan seadanya, dan tingkat harapan hidup yang rendah.
Pada 1889 Charles Booth mempublikasikan temuannya yang mengungkapkan bahwa sepertiga penduduk London ternyata hidup dalam kemiskinan. Publik gempar oleh publikasi itu karena tidak percaya bahwa di negara yang mungkin paling kaya di dunia masih ada begitu banyak orang hidup miskin di ibu kotanya.
Tujuh puluh tahun kemudian (1963) Michael Harrington mempublikasikan bukunya The Other America yang menggemparkan publik karena di situ terungkap fakta bahwa jutaan orang di negara itu terlalu miskin untuk mempertahankan standar hidup minimum. Gara-gara buku itu Presiden Lyndon B. Johnson kemudian mengumumkan maklumat “Perang total terhadap kemiskinan” dengan tujuan mengakhiri paradoks kemiskinan di tengah kelimpahan.

Menurut Giddens, orang-orang dalam kategori berikut terhitung miskin: yang bekerja part time atau tidak stabil; penganggur; lansia; orang sakit dan cacat; anggota keluarga besar atau keluarga single parent.

No comments:

Post a Comment

Silahkan baca dan share