Bab 7
STRATIFIKASI SOSIAL
7.1. Arti Stratifikasi
7.2. Sistem-sistem Stratifikasi Sosial
7.2.1.Perbudakan
7.2.2.Kasta
7.2.3.Estat
7.2.4.Kelas
7.3. Teori-Teori tentang Stratifikasi
7.3.1.Teori
Karl Marx
7.
3.1.1.Apa Itu Kelas?
7.3.1.2.Kerumitan
Kelas
7.3.2.Teori Max Weber
7.3.2.1.Status
7.3.2.2.Partai
7.4. Stratifikasi dan Gaya Hidup
7.5. Stratifikasi dan Gender
7.6. Mobilitas Sosial
7.7. Kemiskinan
7.1. Arti Stratifikasi
Stratifikasi berasal dari kata strata yang berarti lapis (layer). Stratifikasi sosial adalah
pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status. Dasar dari stratifikasi adalah
ketidaksamaan (inequality). Studi
tentang ketidaksamaan sosial merupakan salah satu bidang studi terpenting dalam
sosiologi karena sumber-sumber material yang dapat diakses seseorang sangat
menentukan kehidupannya.
Stratifikasi dapat digambarkan
sebagai lapisan-lapisan kulit bumi.
Masyarakat seakan-akan terdiri dari lapis-lapis alias strata dalam sebuah
hirarki, di mana yang berada di puncak adalah yang mempunyai privilese lebih
besar sedangkan yang di bagian dasar adalah mereka yang memiliki sedikit
privilese.
Fenomena ketidaksamaan terdapat
di berbagai bidang kehidupan. Ada yang menguasai, ada yang dikuasai; ada yang
kaya, ada yang miskin; ada majikan, ada buruh; ada tuan, ada hamba; ada yang
bekerja, ada yang menganggur; ada yang penghasilannya tinggi, ada yang
penghasilannya rendah. Anthony Giddens (1989) mendefinisikan stratifikasi sosial
sebagai ketaksamaan struktural antara berbagai kelompok manusia (structured inequalities between different
groupings of people).
Ada berbagai dimensi stratifikasi
sosial, seperti berdasarkan umur, jenis kelamin, agama, kelompok etnik, ras,
pendidikan, pekerjaan, ekonomi, dan sebagainya. Pada stratifikasi usia (age stratification), ada orang tua dan
orang muda. Anggota masyarakat lebih muda memiliki hak dan kewajiban berbeda
dengan mereka yang lebih tua. Pada masyarakat adat tertentu, misalnya, anak
sulung mendapat prioritas untuk warisan harta dan kekuasaan.
Dalam berbagai organisasi modern
ada keterkaitan erat antara usia karyawan dengan pangkat. Karyawan boleh naik
pangkat setelah suatu jangka masa tertentu. Sistem yang berlaku bagi pegawai negeri
adalah perpaduan merit system
(menghargai prestasi) dan senioritas. Jabatan dosen dalam struktur organisasi
PTN (seperti dekan, pembantu dekan, ketua jurusan dll) dan jabatan fungsional
(asisten ahli, lektor, lektor kepala, guru besar) terkait dengan usia mereka
(walaupun usia bukan ukuran satu-satunya). Senioritas juga masih penting dalam
system kenaikan pangkat dosen. Dosen tetap di PTN yang tidak naik pangkat ke
golongan IV sebelum usia tertentu, misalnya, akan dipensiunkan dan tidak
dipertimbangkan untuk jabatan guru besar.
Ada pula stratifikasi berdasarkan
keanggotaan dalam kelompok tertentu, seperti stratifikasi keagamaan,
stratifikasi etnik/ras. Dalam agama katolik misalnya ada golongan klerus (yang
ditahbiskan) dan laikus/awam (yang tidak ditahbiskan). Di Afrika Selatan ketika
masih berlaku politik Apartheid ada stratifikasi berdasarkan warna kulit (putih
dan hitam/berwarna) dengan hak dan kewajiban berbeda. Di Israel orang Palestina
dan Arab tidak mempunyai hak sama dengan orang Yahudi. Di Jepang ada perbedaan
hak antara orang Jepang asli dan yang keturunan Korea .
Ada pula stratifikasi ekonomi, yakni
pembedaan anggota masyarakat berdasarkan pemilikan materi. Kita kenal
stratifikasi seperti kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah. Di kalangan
petani tradisional, kita kenal petani pemilik tanah dan buruh tani. Atau kelas
borjuis dan kelas proletar (Karl Marx).
7.2. Sistem-Sistem Stratifikasi
Sosial
Giddens (1989) membedakan empat sistem
dasar stratifikasi, yakni perbudakan, kasta, estat, dan kelas. Keempat sistem
dasar ini sering ada bersamaan: misalnya perbudakan ada bersama kelas-kelas di
Yunani dan Romawi kuno dan di AS bagian selatan sebelum Perang Sipil.
7.2.1. Perbudakan
Perbudakan adalah bentuk ekstrem stratifikasi,
di mana ada orang yang benar-benar “dimiliki” oleh orang lain sebagai harta
benda. Ada
beragam kondisi perbudakan yang berlaku di berbagai masyarakat: ada budak yang
tidak mempunyak hak-hak legal (seperti di AS bagian selatan dulu), sedangkan di
tempat lain budak lebih serupa dengan hamba.
Di abad 18 dan 19 di Amerika,
Amerika Selatan dan West Indies para budak
dipekerjakan secara eksklusif di perkebunan-perkebunan atau pekerjaan-pekerjaan
kasar lain. Di Athena sebaliknya banyak kali para budak diserahi tanggung jawab
besar. Para budak tidak mempunyai hak politik
dan militer, tapi bekerja di bidang lain. Bahkan ada yang melakukan pekerjaan
administratif pemerintahan. Di Roma kuno para budak bahkan menjadi sangat kaya karena
keterlibatan dalam aktivitas bisnis. Bahkan ada budak kaya yang memiliki budak
sendiri. Mereka yang bekerja di perkebunan atau tambang biasanya diperlakukan tidak
manusiawi.
Perbudakan tidak jarang mendorong
perlawanan dan pemberontakan dari para budak. Dalam sejarah dikenal banyak
peristiwa seperti itu. Perbudakan lama-lama hilang karena selain pemberontakan
dan perlawanan para budak, juga karena adanya insentif lain yang mendorong
orang untuk bekerja lebih efektif.
Sistem perbudakan tidak efektif
secara ekonomi. Perdagangan budak yang dilakukan bangsa-bangsa Barat hingga
abad 19 dicatat sebagai perbudakan yang paling besar. Di Amerika utara dan
selatan para budak dibebaskan pada akhir abad 19, dan sejak waktu itu
perbudakan berkurang. Dewasa ini hampir tidak terdapat lagi lembaga perbudakan.
7.2.2. Kasta
Sistem kasta berlaku khususnya di
India .
Tapi kata kasta bukan bahasa India, tapi bahasa Portugis casta yang berarti ras atau darah murni (pure stock). India
sendiri tidak mempunyai kata khusus untuk kasta, tapi ada beberapa kata yang
menggambarkan aspek-aspek kasta. Dua kata terpenting ialah varna
dan jati. Varna terdiri dari empat kategori, dengan hirarki berdasarkan
kedudukan sosial. Di bawah keempat kelompok itu terdapat kelompok yang disebut untouchables (yang tidak boleh disentuh)
atau pariah.
Sistem kasta bervariasi dari
tempat ke tempat, sehingga sebetulnya bukan terdiri dari satu sistem tunggal tetapi
beragam kepercayaan dan praktiknya. Tapi ada kesamaan di antara bentuk-bentuk
itu. Misalnya, kelompok tertinggi dalam varna
adalah kaum Brahman, sedangkan paling rendah adalah untouchables. Kaum Brahman tidak boleh berkontak dengan kelompok
paling bawah itu. Kaum untouchables
yang boleh berkontak fisik dengan hewan atau benda-benda yang dianggap tidak
bersih.
Sistem kasta terkait dengan
kepercayaan Hindu akan kelahiran kembali (reinkarnasi). Orang yang tidak
mematuhi ritual dan tugas-tugas kastanya diyakini akan dilahirkankembali dengan
tingkat lebih rendah. Individu dilarang berpindah kasta, tapi seluruh kelompok
dapat berubah dan bertukar posisi dalam hirarki kasta.
Di luar India konsep kasta sering digunakan
untuk dua atau lebih kelompok etnis yang saling terpisah karena adanya
pandangan akan racial purity
(kemurnian ras). Biasanya ada larangan kawin-mawin antara kelompok-kelompok
tersebut. Ketika perbudakan sudah dihapus di Amerika, tingkat keterpisahan sosial
antara kulit hitam dan putih masih begitu kuat sehingga digunakan istilah kasta
untuk menunjukkan stratifikasi sosial waktu itu disana. Konsep kasta juga
pernah digunakan untuk kasus Afrika ketika berlaku politik Apartheid. Waktu itu
kontak-kontak antara kulit putih dan hitam dilarang, termasuk perkawinan.
7.2.3. Estat
Stratifikasi ini terdapat di masa
feodalisme di Eropa khususnya, tapi juga di banyak masyarakat lain di dunia. Estat-estat
feudal terdiri dari strata dengan hak dan kewajiban berbeda. Ada perbedaan yang
dikukuhkan dengan undang-undang. Di Eropa hirarki estat adalah aristokrat dan gentry (golongan keluarga baik-baik) di
peringkat tertinggi, menyusul di bawahnya klerus yang memiliki banyak privilese,
dan lapisan paling bawah adalah estat ketiga (third estate) atau “commoners”
(orang biasa) yang terdiri dari budak, petani bebas, pedagang, dan artisan.
Tidak seperti sistem kasta, pada estat masih terdapat kontak antar kelompok.
Perkawinan pun dibolehkan. Kelompok commoners
bisa menjadi tentara. Estat dulu berkembang karena hidupnya sistem aristokrasi
tradisional yang didasarkan pada keturunan bangsawan.
7.2.4. Kelas
Sistem kelas berbeda dari
perbudakan, kasta atau estat. Kelas adalah kelompok besar yang memiliki
sumber-sumber ekonomi bersama yang mempengaruhi jenis gaya hidupnya. Kekayaan
dan kedudukan adalah basis utama perbedaan kelas sosial. Di masyarakat Barat dikenal
kelas-kelas utama, yakni upper class
(orang kaya, majikan dan pengusaha, dan eksekutif puncak) , middle class (kelompok white-collar dan professional), dan working class (kelompok blue-collar dan pekerja tangan/kasar).
Di beberapa negara seperti Prancis atau Jepang, masih ada lagi kelas keempat
yakni kelas petani (yang bekerja dalam produksi pertanian tradisional). Di
negara-negara sedang berkembang kelas petani merupakan kelompok sosial paling
besar.
7.3. Teori-Teori
Tentang Stratifikasi
Teori sosiologi terkenal tentang
stratifikasi dikemukakan oleh Karl Marx (1818-1883) dan Max Weber (1864-1920). Banyak
teori tentang stratifikasi yang dikemuakan para sosiolog sesudahnya biasanya mengacu
pada pandangan mereka. Pikiran Marx dan Weber berpengaruh besar terhadap
perkembangan sosiologi dan banyak disiplin lain. Di sini akan dibahas secara
singkat teori kedua Karl Marx dan Max Weber.
7.3.1. Teori Marx
Marx lahir di Jerman tapi sangat
lama tinggal di Inggris. Sebagian besar pandangan Marx difokuskan pada
stratifikasi, khususnya kelas sosial, tapi dia gagal memberikan analisis
sistematis tentang konsep kelas. Dia sendiri bertanya dalam tulisannya what constitutes a class? tapi tidak ada
jawaban sistematis tentang pertanyaan itu.
7.3.1.1. Apa itu
Kelas?
Bagi Marx, kelas adalah
sekelompok orang yang mempunyai hubungan bersama dengan alat produksi – sarana
untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sebelum revolusi industri, sarana produksi
terutama terdiri dari tanah dan alat-alat yang digunakan untuk mengerjakan
kebun atau hewan gembalaan. Maka pada masyarakat pra-industri ada dua macam
kelas, yakni pemilik tanah (aristokrat, gentry
atau pemilik budak) dan mereka yang memproduksi hasil dari tanah itu (hamba,
budak dan petani bebas).
Pada masyarakat industri modern
ada dua kelas utama yang memiliki alat-alat produksi (pabrik, kantor, mesin,
kekayaan) yakni kaum industrialis atau kapitalis (borjuis) dan kelas buruh
(proletar) yang hidup dengan menjual tenaganya kepada kaum kapitalis.
Hubungan antar-kelas bersifat
eksploitatif. Pada masyarakat feudal eksploitasi sering terjadi dalam bentuk pengalihan
langsung produksi dari petani kepada aristokrat. Para hamba wajib memberikan
sebagian tertentu produksi mereka kepada majikan aristokrat atau bekerja
beberapa hari tiap bulan di kebun majikannya untuk memproduksi hasil peranian
bagi majikan dan keluarganya.
Pada masyarakat kapitalis modern
sumber eksploitasi menjadi kurang jelas dan Marx berusaha untuk memahami hal
ini. Dia melihat bahwa di hari kerja buruh memproduksi lebih dari yang
sebetulnya dibutuhkan oleh para majikan untuk membayar biaya yang harus
dibayarkan kepada buruh. Nilai surplus (surplus
value) ini merupakan sumber keuntungan yang dapat digunakan kapitalis untuk
kepentingan mereka sendiri. Sekelompok buruh di sebuah pabrik pakaian,
misalnya, mampu memproduksi seratus baju per hari. Penjualan setengah dari
pakaian-pakaian itu mendatangkan penghasilan cukup bagi pemilik pabrik untuk
membayar upah buruh. Pendapatan dari penjualan garmen sisanya merupakan profit
yang diperoleh majikan.
Marx terkejut dengan ketimpangan (inequalities) yang diciptakan oleh
sistem kapitalis. Meskipun dulu kaum aristokrat hidup dalam kemewahan,
samasekali berbeda dari kaum petani, tapi kemiskinan masyarakat agraris masih
relatif. Meski tidak ada aristokrasi, standar kehidupan memang rendah. Tapi
setelah berkembang industri modern, kekayaan diproduksi dalam skala di luar apa
yang telah dilakukan sebelumnya, tapi para buruh mempunyai akses kecil kepada
kekayaan yang mereka hasilkan lewat pekerjaan mereka. Mereka tetap miskin,
sementara kekayaan berlipat ganda dengan berkembangnya property. Dengan
berkembangnya pabrik-pabrik modern dan mekanisasi produksi, pekerjaan seringkali
menjadi menjemukan dan sangat opresif. Kerja yang merupakan sumber kekayaan
kita sering secara fisik melelahkan dan secara mental membosankan.
7.3.1.2. Kerumitan
Sistem Kelas
Meski hanya menyebut dua kelas
dalam masyarakat, Marx mengatakan sistem kelas yang sebenarnya jauh lebih
rumit. Marx menyebut kelas transisi (transitional
classes). Kelas ini adalah kelompok yang tidak masuk dalam sistem produksi
di atas, yang masih bertahan lama setelah sistem itu hilang. Dalam sejumlah
masyarakat modern di Barat (seperti Prancis, Italia atau Spanyol) misalnya
jumlah petani masih sangat besar, dan mereka bekerja seperti dalam sistem
feudal.
Marx juga menunjukkan adanya
perpecahan yang terjadi dalam kelas-kelas itu sendiri. Misalnya (1) antara
kelas-kelas atas sering terjadi konflik antara kapitalis finansial – seperti
bankir – dan pemilik pabrik; (2) ada perbedaan kepentingan antara pemilik
bisnis kecil dan pemilik perusahaan sendiri atau yang mengelola perusahaan
besar. Keduanya termasuk kelas kapitalis, tapi kebijakan-kebijakan yang memihak
bisnis besar tidak selalu menguntungkan bisnis kecil; (3) dalam kelas buruh
sendiri, orang yang menganggur jangka panjang mengalami kondisi hidup yang
lebih buruk dibanding mayoritas buruh lain. Kelompok seperti ini seringkali sebagian
besar adalah kelompok minoritas etnik.
Konsep Marx tentang kelas
menyadarkan orang akan ketimpangan ekonomi yang terstruktur secara obyektif
dalam masyarakat. Kelas tidak menyangkut kepercayaan orang tentang posisi
mereka, tapi kondisi obyektif yang memberikan peluang kepada sebagian orang
untuk mendapat akses lebih besar bagi kekayaan material dibanding orang lain.
7.3.2. Teori Max
Weber
Weber dianggap sebagai salah
seorang pendiri utama sosiologi, walaupun karya-karyanya mencakup bidang lebih
luas, mulai dari sejarah, hukum, ekonomi, dan agama komparatif. Pendekatannya
terhadap stratifikasi memang mengacu pada analisis yang dikembangkan oleh Marx,
tapi dia kemudian memodifikasi dan mengelaborasinya.
Perbedaan antara teori Marx dan
Weber adalah, pertama, meskipun Weber
menerima pandangan Marx bahwa kelas terbentuk dari kondisi ekonomi obyektif,
dia melihat ada lebih banyak variasi faktor-faktor ekonomi yang membentuk
kelas. Menurut Weber, pembagian kelas tidak hanya berasal dari ada tidaknya kontrol
terhadap alat-alat produksi, tapi dari perbedaan ekonomi yang tidak terkait
langsung dengan property, seperti keterampilan (skill) dan kredential atau kualifikasi yang mempengaruhi tipe
pekerjaan yang diperoleh tiap orang. Mereka yang bekerja di bagian managerial
atau profesional mendapat upah lebih banyak, dan punya kondisi kerja yang lebih
nyaman, dari misalnya orang yang bekerja kasar (blue-collar). Kualifikasi yang mereka miliki, seperti ijasah,
diploma dan keterampilan yang mereka peroleh menjadikan mereka lebih marketable dibanding yang tidak memiliki
kualifikasi seperti itu. Selanjutnya buruh blue-collar
dan pengrajin yang terampil juga mendapat upah lebih tinggi dibanding yang
setengah terampil atau tidak terampil.
Kedua, Weber membedakan dua aspek dasar lain dari stratifikasi
selain kelas, yakni status dan partai. Dia mengadaptasi pengertia status group
dari contoh estat di abad pertengahan.
7.3.2.1. Status
Status adalah perbedaan di antara
kelompok-kelompok sosial dalam hal kehormatan atau prestise sosial yang
diberikan oleh orang lain. Status sering bervariasi secara independen dari
kelas. Kehormatan sosial bisa bersifat positif maupun negatif. Kelompok status
yang berprivilese positif termasuk kelompok yang mempunyai prestise tinggi
dalam tatanan sosial. Misalnya, dokter dan pengacara punya prestise tinggi
dalam masyarakat Inggris. Kelompok pariah adalah kelompok status yang
berprivilese negatif yang sering didiskriminasi sehingga menghalangi mereka
untuk menikmati kesempatan yang terbuka bagi orang-orang lain. Pada abad
pertengahan di Eropa, orang Yahudi adalah pariah yang dilarang menduduki
pekerjaan tertentu atau memangku suatu jabatan resmi.
Kepemilikan kekayaan biasanya
memberikan status tinggi kepada seseorang, tapi ada banyak kecualian. Misalnya
apa yang disebut genteel poverty. Di
Inggris individu dari keluarga-keluarga aristokrat terus menikmati social esteem meskipun kekayaan mereka
sudah habis.Sebaliknya kelompok New Money sering dipandang rendah oleh kelompok
kaya raya yang sudah mapan.
Kelas adalah suatu yang diberikan
secara obyektif, sedangkan status bergantung pada penilaian subyektif terhadap
perbedaan-perbedaan sosial. Kelas bersumber dari faktor-faktor ekonomi yang
diasosiasikan dengan property dan pendapatan, sedangkan status dikendalikan
oleh berbagai kelompok gaya hidup.
7.3.2.2. Partai
Menurut Weber pada masyarakat
modern pembentukan partai merupakan aspek penting dari kekuasaan, dan dapat
mempengaruhi stratifikasi di luar kelas dan status. Partai menunjuk pada
sekelompok individu yang bekerja bersama sebab memiliki latarbelakang, tujuan
dan kepentingan yang sama.
Marx cenderung menjelaskan
perbedaan status dan organisasi partai dari sudut kelas. Tetapi menurut Weber
keduanya sebetulnya tak dapat direduksi menjadi perbedaan kelas meskipun
setiapnya dipengaruhi olehnya. Keduanya sebaliknya mempengaruhi keadaan ekonomi
dari individu dan kelompok, sehingga dengan demikian mempengaruhi kelas.
Partai dapat saja didasarkan pada
afiliasi religius atau ideal-ideal kebangsaan. Seorang Marxist akan menjelaskan
konflik antara katolik dan protestan di Irlandia Utara dari kacamata kelas
karena orang katolik lebih banyak bekerja sebagai buruh. Sedangkan pengikut
Weber berpendapat penjelasan seperti itu tidak efektif karena banyak orang
Protestan juga latar belakangnya adalah kelas pekerja. Partai menunjukkan
perbedaan religius maupun kelas.
Banyak sosiolog berpendapat bahwa
kerangka pikir Weber memberikan dasar yang lebih fleksibel dan sophisticated untuk menganalisis
stratifikasi dibanding model yang dikemukakan Karl Marx. Banyak sosiolog
kemudian menggunakan kerangka teori Marx dan Weber di atas sebagai basis untuk
menyusun teori sendiri tentang stratifikasi, seperti Erik Olin Wright yang
mengacu pada Marx, dan Frank Parkin yang lebih condong pada Weber.
7.4. Stratifikasi dan
Gaya Hidup
Stratifikasi berdampak pada
perilaku dan gaya hidup. Perbedaan prestise menyebabkan perbedaan gaya hidup.
Misalnya dalam berbusana, khususnya di perkotaan. Orang dari kelas sosial
berbeda punya kerangka acuan berbeda pula. Kaum perempuan dari kelas atas
cenderung berbusana ala Barat, mengacu ke perancang mode terkenal dari Paris,
New York, London, Tokyo, atau Roma. Yang dari kelas menengah, cenderung pada
busana ciptaan domestik, sedangkan kelas bawah berorientasi pada tempat-tempat
penjualan seperti Tanah Abang atau Pasar Senen dan Cipulir di Jakarta.
Pada hirarki kekuasaan dan
privilese, terdapat pula perbedaan gaya hidup. Ogburn dan Nimkoff (1958)
menemukan bahwa lapisan bawah (low-brow),
menengah bawah (lower middle-brow),
menengah atas (upper middle-brow),
dan atas (high-brow) mempunyai selera
khas dalam hal busana, perlengkapan rumah tangga, hiburan, makanan, minuman,
bacaan, senirupa, rekaman musik, permainan dan kegiatan lain. Jika diamati
dengan seksama masyarakat kita sudah menunjukkan gejala seperti itu.
Stratifikasi juga berdampak pada
status simbol (symbol status). Status
simbol ialah simbol yang menandakan status seseorang dalam masyarakat. Menurut
Berger (1980) orang senantiasa memperlihatkan kepada orang lain apa yang telah
diraihnya dengan memakai berbagai simbol. Jadi simbol status berfungsi
menginformasikan status seseorang. Contoh simbol status ialah cara menyapa,
bahasa, dan gaya bicara.
Bisa juga tampak pada pola
komunikasi nonverbal seperti kebiasaan melipat kedua tangan di depan badan,
menundukkan badan atau kepala, dsb. Penyebutan gelar, pangkat atau jabatan pun
termasuk dalam status simbol. Ini nampak misalnya juga pada kartu nama. Belum
cukup dengan itu, orang bahkan menyebut tempat kerja dan jabatan.
Di Jepang kebiasaan saling
menukarkan kartu nama dianggap sebagai suatu adat dan berfungsi
menginformasikan status masing-masing pihak. Dengan demikian interaksi dapat
berlangsung dengan semestinya.
Status juga tercermin dari
perlengkapan dan perhiasan pribadi seperti jam tangan, tas, kacamata, dasi,
sepatu dan sebagainya. Bisa juga terlihat dari di mana tempat tinggalnya dan
tipe rumahnya. Di perkotaan ada permukiman khusus untuk kaum elit. Di kalangan
kaum elit itu sendiri ada perbedaan lagi misalnya dalam ukuran rumah dan tanah,
material rumah, dan perlengkapan rumah dan dapur.
Kegiatan rekreasi juga menjadi
simbol status yang penting, termasuk pilihan jenis hiburan dan rekreasi,
olahraga, nonton film, siaran radio, liburan, makan dan sebagainya. Jenis-jenis
rekreasi dan tempat rekreasi menunjukkan status seseorang dalam masyarakat.
Jadi makanan dan pakaian selain memenuhi kebutuhan dasar, punya rumah untuk
melindungi diri dari alam, bahasa untuk komunikasi, kendaraan untuk
bermobilitas secara cepat, rekreasi untuk menyehatkan tubuh dan mental, juga
berfungsi menunjukkan status seseorang dalam masyarakat. Dalam kata-kata Barber
dan Lobel (1952) busana mempunyai paling kurang tiga fungsi sosial yakni
utilitarian, estetik, dan simbolis.
Dalam masyarakat Amerika simbol
status sangat ditekankan dan selalu ada kompetisi untuk meraihnya (rat race). Gejala workaholic di kalangan eksekutif muda menunjukkan gejala perlombaan
seperti ini. Simbol status yang selama ini lebih mendominasi kehidupan masyarakat
Barat kini, lewat proses modernisasi dan globalisasi, telah menjalar ke kelas
atas di Indonesia.
Tapi di Amerika kini ada semacam
gejala arus balik di mana status, karier dan penghasilan tinggi bukan mendapat
prioritas tinggi lagi. Kini orang-orang mulai mementingkan nilai yang selama
ini dipinggirkan seperti kebahagiaan keluarga serta hidup bertetangga dan
gotong royong. Orang sudah mulai menyadari arti dari kehidupan yang seimbang.
7.5. Stratifikasi dan
Gender
Menurut Giddens (1989) studi
tentang stratifikasi sejak lama seakan “buta gender”, seakan-akan tidak ada
perempuan. Bahkan untuk analisis pembagian kekuasaan, kekayaan dan prestise,
wanita dianggap tidak penting dan tidak menarik, padahal gender adalah salah
satu contoh paling penting dari stratifikasi.
Pertanyaan yang pelik dalam studi
stratifikasi dan gender adalah sejauh mana kita memahami ketakadilan gender di
masa modern dari sudut pembagian kelas? Menurut Giddens ketakadilan gender
berakar lebih dalam secara historis dibanding sistem kelas. Pria punya fungsi
lebih superior dari wanita sudah sejak masyarakat mengenal perburuan dan
mengumpulkan hasil hutan, di mana tidak ada kelas sosial. Pembagian kelas yang
begitu menonjol dalam masyarakat modern memberikan kesan bahwa pembagian kelas
secara mendasar tumpang tindih dengan ketaksetaraan gender. Posisi kebanyakan
perempuan dalam hal materi cenderung merefleksikan posisi material ayah atau
suami mereka. Tapi ketaksetaraan gender harus dijelaskan dari sudut kelas.
Menurut Giddens perempuan cenderung
dibatasi pada domain privat (urusan rumah tangga, anak, dan keluarga),
sedangkan pria pada domain publik. Dunia pria terutama menyangkut kerja yang
dibayar, industri dan politik. Ada pandangan bahwa ketaksetaraan kelas
menciptakan stratifikasi gender sudah diperdebatkan, walaupun sebelumnya tidak
dinyatakan secara terbuka.
Goldthorpe misalnya
mempertahankan pandangan konvensional dalam analisis kelas bahwa kerja yang
dibayar yang dilakukan perempuan secara relatif tidak seberapa besar dibanding
pria dan sebab itu perempuan dapat dipandang berada di kelas yang sama dengan
suaminya. Perempuan mendapatkan posisinya yang lebih rendah dari pria di dunia
kerja. Wanita lebih banyak bekerja sebagai part
timer dibanding pria, dan dipekerjakan berselang-seling karena lamanya mereka
harus istirahat untuk melahirkan dan mengasuh anak. Karena sebagian besar
perempuan secara ekonomi bergantung pada suami, dapat dipahami bahwa posisi
kelas mereka ditentukan oleh posisi kelas suaminya.
Giddens mengkritik pandangan
Goldthorpe di atas setidaknya karena tiga alasan. Pertama, pendapatan wanita merupakan proporsi substansial bagi
keluarga sehingga penting untuk mempertahankan posisi ekonomi keluarga. Bahkan
pendapatan perempuan dari kerja menentukan posisi kelas dari keluarga. Kedua, pekerjaan istri sangat
mempengaruhi pekerjaan suami, bukan sebaliknya. Meski besarnya pendapatan tidak
sebesar pendapatan suami, situasi kerja sang istri dapat menjadi faktor utama
dalam mempengaruhi kelas suaminya. Ini misalnya kalau suami tidak memiliki
keterampilanatau bekerja sebagai blue-collar
yang semi terampil dan sang istri, katakanlah, bekerja sebagai manajer toko.
Dalam hal ini posisi istri menjadi standar posisi keluarga secara keseluruhan.
Ketiga, ada banyak kelas silang (cross-class)
di mana kerja suami adalah pada kategori kelas lebih tinggi dari istri, atau
sebaliknya. Jadi lebih realistik untuk menganggap pria dan wanita, dalam keluarga yang sama,
berada dalam posisi kelas yang berbeda. Keempat,
proporsi keluarga di mana perempuan adalah breadwinner
tunggal semakin meningkat. Jika perempuan tidak memiliki pendapatan yang
berasal dari alimony (tunjangan) yang membuat posisinya sejajar dengan mantan
suaminya, dia memberikan pengaruh menentukan bagi posisi kelasnya sendiri.
Studi-studi terbaru menunjukkan bahwa posisi ekonomi perempuan tidak dapat
ditentukan dari posisi ekonomi suaminya.
7.6. Mobilitas Sosial
Mobilitas sosial berarti
perpindahan status sosial ekonomi (naik atau turun) individu atau kelompok
dalam hirarki sosial. Kalau perpindahan itu ke atas atau kebawah disebut
mobilitas vertikal. Ada pula yang dinamakan mobilitas lateral yakni perpindahan
geografis antara lingkungan, kota atau wilayah. Mobilitas vertikal dan lateral
seringkali terjadi bersamaan. Misalnya, seorang yang bekerja di sebuah pabrik
di kota dapat saja dipromosikan ke posisi lebih tinggi di sebuah cabang
perusahaan di kota lain, bahkan di negara lain.
Ada dua cara melihat mobilitas sosial,
dengan melihat karir seorang itu sendiri: apakah karirnya naik atau turun dalam
masa dinasnya (mobilitas intragenerasi). Atau dilihat seberapa jauh anak-anaknya
memasuki pekerjaan yang sama seperti orangtua atau kakek-nenek (mobilitas
intergenerasi).
Jumlah mobilitas vertikal dalam
sebuah masyarakat menunjukkan indeks tingkat keterbukaan masyarakat itu, di
mana individu-individu yang berbakat yang lahir di strata bawah dapat naik ke
posisi sosial ekonomi lebih tinggi. Studi oleh Pitirim Sorokin (1927) yang
mencakup berbagai masyarakat termasuk Roma dan Cina tradisional menunjukan
bahwa kesempatan untuk naik secara cepat di AS lebih terbatas dari yang
digembar-gemborkan.
Meskipun mobilitas ke bawah
kurang umum terjadi dibanding mobilitas ke atas, namun fenomena itu masih
banyak terjadi. Di Inggris lebih dari 20 persen pria tercatat mengalami
mobilitas ke bawah intragenerasi, meskipun sebagian besar itu bersifat jangka
pendek. Mobilitas jenis ini sering berkaitan dengan masalah dan kecemasan psikologis
di mana orang tidak mampu mempertahankan gaya hidup yang telah mereka jalankan.
Banyak mobilitas sosial ke bawah
intragenerasional terjadi pada wanita. Lumrah bagi wanita untuk meninggalkan
karir yang sebetulnya menjanjikan ketika melahirkan anak. Setelah beberapa lama
mengurus keluarga, mereka mencoba kembali bekerja tapi pekerjaan yang diperoleh
menghasilkan pendapatan lebih rendah. Atau mereka memilih untuk bekerja sebagai
part timer.
7.7. Kemiskinan
Apa itu kemiskinan? Biasanya
dibedakan kemiskinan absolut/subsisten dan kemiskinan relatif. Menurut Charles
Booth, kemiskinan absolut terjadi manakala orang tidak memenuhi tuntutan dasar
untuk hidup secara sehat – seperti cukup makanan dan perlindungan untuk
memungkinkan berfungsinya tubuh secara efisien. Ini berlaku untuk semua negara.
Sebagian besar kelompok yang
berada pada lapisan paling bawah dibalut kemiskinan absolute ini. Ini bukan
fenomena baru di semua negara, tak terkecuali negara-negara maju seperti
Inggris. Mereka tinggal di rumah dengan kondisi memprihatinkan, dengan kondisi
kesehatan yang rawan, makan seadanya, dan tingkat harapan hidup yang rendah.
Pada 1889 Charles Booth
mempublikasikan temuannya yang mengungkapkan bahwa sepertiga penduduk London ternyata
hidup dalam kemiskinan. Publik gempar oleh publikasi itu karena tidak percaya
bahwa di negara yang mungkin paling kaya di dunia masih ada begitu banyak orang
hidup miskin di ibu kotanya.
Tujuh puluh tahun kemudian (1963)
Michael Harrington mempublikasikan bukunya The
Other America yang menggemparkan publik karena di situ terungkap fakta
bahwa jutaan orang di negara itu terlalu miskin untuk mempertahankan standar
hidup minimum. Gara-gara buku itu Presiden Lyndon B. Johnson kemudian mengumumkan
maklumat “Perang total terhadap kemiskinan” dengan tujuan mengakhiri paradoks
kemiskinan di tengah kelimpahan.
Menurut Giddens, orang-orang
dalam kategori berikut terhitung miskin: yang bekerja part time atau tidak stabil; penganggur; lansia; orang sakit dan
cacat; anggota keluarga besar atau keluarga single
parent.
No comments:
Post a Comment
Silahkan baca dan share