Ferdinand de Saussure
Semiotik atau semiologi merupakan
terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan
di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang
berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa
Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode,
sinyal, dan sebagainya. Secara umum, semiotik didefinisikan sebagai berikut
(Semiotik biasanya didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan
dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode
yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda
visual dan verbal serta tactile dan olfactory [semua tanda atau sinyal yang
bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki] ketika tanda-tanda
tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi
atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia).
Awal mulanya konsep semiotik
diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi
sistem tanda beliau (1857
– 1913) adalah linguis
Swedia yang
dipandang sebagai salah satu Bapak Linguistik Modern dan semiotika.
Karya utamanya, Cours de
linguistique générale
diterbitkan pada tahun 1916, konsepnya yang paling terkenal adalah pembedaan tanda bahasa menjadi dua
aspek, yaitu signifiant (yang memaknai) dan signifie (yang
dimaknai). Dalam semiologi, Saussure berpendapat
bahwa bahasa
sebagai "suatu sistem tanda yang mewujudkan ide" dapat dibagi menjadi
dua unsur: langue (bahasa), sistem abstrak yang dimiliki bersama oleh
suatu masyarakat
yang digunakan sebagai alat komunikasi, dan parole (ujaran), realisasi
individual atas sistem bahasa signified dan signifier atau signifie
dan significant yang bersifat atomistis. Konsep ini melihat bahwa makna muncul
ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang
ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier).
Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk
penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata
lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi,
penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau
didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental,
pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens,
2001:180). Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu
tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau
ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang ditandakan itu termasuk tanda sendiri
dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. “Penanda dan petanda
merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure.
Louis
Hjelmslev, seorang penganut Saussurean berpandangan bahwa sebuah
tanda tidak hanya mengandung hubungan internal antara aspek material (penanda)
dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan
sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. Bagi Hjelmslev, sebuah tanda
lebih merupakan self-reflective dalam artian bahwa sebuah penanda dan sebuah
petanda masing-masing harus secara berturut-turut menjadi kemampuan dari
ekspresi dan persepsi. Louis Hjelmslev dikenal dengan teori metasemiotik (scientific
semiotics). Sama halnya dengan Hjelmslev, Roland Barthes merupakan pengikut
Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan
asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik,
atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari
bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to
sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to
communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi,
dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga
mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang
dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the
reader).
Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktivan
pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering
disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas
sistem lain yang telah ada sebelumnya, sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif,
yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau
sistem pemaknaan tataran pertama.
1. signifier
(penanda) 2.
signified
(petanda)
3. denotative sign (tanda denotatif) 4. Connotative
Signifier
(penanda konotatif) 5. Connotative
signified
(petanda konotatif)
6. Connotative
Sign (tanda konotativ)
Gambar..
Dari peta Barthes di atas terlihat
bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan
tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4).
Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna
tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi
keberadaannya.
Di dalam mitos juga terdapat
pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda pada sistem pemaknaan tataran
kedua.

Gambar Semiologi Roland Barthes
Pada tingkatan pertama
(Language) Barthes meperkenalkan signifier (1) dan signified (2), yang gabungan
keduanya menghasilkan sign (3) pada tingkatan pertama. Pada tingkatan kedua,
sign (3) kembali menjadi SIGNIFIER (I) dan digabungkan dengan SIGNIFIED (II)
dan menjadi SIGN (III). Sign yang ada ditingkatan ke dua inilah yang berupa
MYTH (mitos) disebut juga sebagai metalanguage.
Di sini dapat dikatakan bahwa makna
denotatif adalah makna yang digunakan untuk mendeskripsikan makna definisional,
literal, gamblang atau common sense dari sebuah tanda. Makna konotatif mengacu
pada asosiasi-asosiasi budaya sosial dan personal berupa ideologis, emosional
dan lain sebagainya.

Gambar Semiologi Roland Barthes
Barthes mencontohkan istilah
“mawar”. Sebagai signifier adalah kata “mawar” itu sendiri (citra suara).
Berfungsi sebagai signified adalah objeknya (bentuknya) “wujud bunga mawar”
sebagai konsep (mental). Ketika kedua hal tersebut digabungkan akan terwujud
sign (1), yaitu “mawar” sebagai entitas kongkrit. Dan mawar sebagai entitas
kongkrit, ketika dikaitkan atau dikonotasikan secara arbitrer dengan hasrat
(passion) akan menghasilkan SIGN (III) yang berarati sudah menjadi mitos.
secara sederhana pada sign (3) mengandung makna denotatif dan pada SIGN (III)
mengandung makna konotatif.

Pada dasarnya, ada perbedaan antara
denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi
yang dipahami oleh Barthes. Di dalam semiologi Barthes dan para pengikutnya,
denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi
merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan
dengan ketertutupan makna. Sebagai reaksi untuk melawan keharfiahan denotasi
yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya.
Baginya yang ada hanyalah konotasi. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa makna
“harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Budiman, 1999:22). Dalam
kerangka Barthes, konotasi identik
dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’ dan berfungsi untuk
mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku
dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi
penanda, petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos
dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata
lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua. Di dalam mitos
pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. Berbeda dengan para ahli
yang sudah dikemukakan di atas, Charles Sanders Peirce, seorang filsuf berkebangsaan
Amerika, mengembangkan filsafat pragmatisme melalui kajian semiotik. Bagi
Peirce, tanda “is something which stands to somebody for something in some
respect or capacity.”
Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi disebut
ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam
hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant (lihat gambar 3). Atas
dasar hubungan ini, Peirce membuat klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan
dengan ground dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan legisign. Qualisign
adalah kualitas yang ada pada tanda. Sinsign adalah eksistensi aktual benda
atau peristiwa yang ada pada tanda. Sedangkan legisign adalah norma yang
dikandung oleh tanda. Peirce membedakan tiga konsep dasar semiotik, yaitu: sintaksis semiotik, semantik semiotik, dan pragmatik semiotik. Sintaksis
semiotik mempelajari hubungan antartanda. Hubungan ini tidak terbatas pada
sistem yang sama. Contoh: teks dan gambar dalam wacana iklan merupakan dua
sistem tanda yang berlainan, akan tetapi keduanya saling bekerja sama dalam
membentuk keutuhan wacana iklan. Semantik semiotik mempelajari hubungan antara
tanda, objek, dan interpretannya. Ketiganya membentuk hubungan dalam melakukan
proses semiotis. Konsep semiotik ini akan digunakan untuk melihat hubungan
tanda-tanda dalam iklan (dalam hal ini tanda non-bahasa) yang mendukung
keutuhan wacana. Pragmatik semiotik mempelajari hubungan antara tanda, pemakai
tanda, dan pemakaian tanda. Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas
icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol). Ikon adalah tanda yang hubungan
antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Dengan kata
lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat
kemiripan; misalnya foto.
Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan
alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab
akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan; misalnya asap sebagai
tanda adanya api. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang biasa
disebut simbol. Jadi, simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah
antara penanda dengan petandanya. Hubungan di antaranya bersifat arbitrer,
hubungan berdasarkan konvensi masyarakat. Berdasarkan interpretant, tanda
(sign, representamen) dibagi atas rheme, dicent sign atau dicisign dan argument.
Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan.
Dicent sign atau dicisign adalah tanda sesuai dengan kenyataan. Sedangkan
argument adalah yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu.
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas: Halaman ini terakhir
diubah pada 16.48, 25 Oktober 2011.
No comments:
Post a Comment
Silahkan baca dan share