Pencetus : Muzafer
Sherif
Isi teori : Secara
ringkas teori ini menyatakan bahwa perubahan sikap seseorang terhadap objek
sosial atau isu tertentu merupakan hasil proses pertimbangan yang terjadi dalam
diri orang tersebut terhadap pokok persoalan yang dihadapi.
[1]. Proses mempertimbangkan isu atau objek
sosial tersebut berpatokan pada kerangka rujukan yang dimiliki seseorang.
Kerangka inilah yang menjadi rujukan bagaimana seseorang memposisikan dan
menyortir pesan yang diteima dan membandingkannya dengan sudut pandang yang
rasional.
[2]. Menurut Muzafer Sherif ada 3 rujukan yang digunakan dalam
merespons suatu stimulus yang dihadapi, ketiganya merupakan suatu hal yang
terkait yang pertama disebut latitude of
acceptance yang terdiri dari pendapat yang masih dapat diterima dan
ditoleransi, kedua disebut latitude of
rejection yang mencakup gagasan yang ditolak karena tidak rasional dan yang
terakhir disebut Latitude of no
commitment yang terdiri dari pendapat atau pesan persuasive yang tidak kita
tolak dan tidak kita terima.
Di dalam teori ini juga menjelaskan dua macam efek yang timbul
akibat proses mempertimbangkan pesan yaitu efek asimilasi dan efek kontras.
Efek asimilasi cenderung dapat bisa diterima ketimbang keadaan yang sebenarnya.
Masyarakat yang menjadi sasaran persuasi akan menilai pesan atau pernyataan
tersebut tampak sejalan dengan patokannya. Sedangkan pernyataan yang berada
dalam rentang penolakan akan tampak semakin berbeda karena sebenarnya secara
teori kita memperbesar perbedaan dan pada akhirnya pesan dapat ditolak dengan
mudah oleh masyarakat.
Asumsi-asumsi
pokok dalam social judgement theory (Teori pertimbangan sosial) adalah :
1. a. Latitude of Acceptance (rentang
atau wilayah Penerimaan)
Proses pertimbangan di atas menurut
Sherif & Hovland (1961) berlaku baik untuk pertimbangan fisik (misalnya;
berat) maupun pengukuran sikap. Walaupun demikian ada 2 perbedaan antara
pertimbangan terhadap situasi fisik yang bersifat obyektif dengan sikap. Dalam
sikap, individu sudah membawa klasifikasinya sendiri dalam menilai suatu obyek
dan ini mempengaruhi penerimaan atau penolakan individu terhadap obyek
tersebut. Kedua, pertimbangan sosial (sikap) berbeda-beda dari satu individu ke
individu yang lain, padahal dalam pertimbangan fisik tidak terdapat variasi
yang terlalu besar.
Perbedaan-perbedaan atau variasi antara
individu ini mendorong timbulnya konsep-konsep tentang garis-garis lintang
(latitude), Garis lintang penerimaan (latitude of acceptance) adalah rangkaian
posisi sikap diterima atau ditolerir oleh individu. Garis lintang penolakan
(latitude of rejection) adalah rangkaian posisi sikap yang tidak dapat diterima
oleh individu. Garis lintang ketidakterlibatan (latitude of noncommitment)
adalah posisi-posisi yang tidak termasuk dalam dua garis lintang yang pertama.
Jadi individu tidak menerima, tetapi juta tidak menolak, acuh tak acuh.
Interaksi antara garis-garis lintang
inilah yang akan menentukan sikap individu terhadap pernyataan-pernyataan
tertentu dalam situasi tertentu. Kalau pernyataan itu jatuh pada garis lintang
penerimaan, maka individu akan setuju dengan pernyataan itu. Jika pernyataan
itu jatuh ke garis lintang penolakan, individu tersebut akan tidak menyetujuinya.
2. b. Latitute of Rejection (rentang
Penolakan)
Jika seseorang individu melibatkan
dirinya sendiri dalam situasi yang dinilainya sendiri, maka ia akan menjadikan
dirinya sendiri sebagai patokan. Hanya hal-hal yang dekat dengan posisinya mau
diterimanya.
Makin terlibat individu itu, maka ambang
penerimaannya makin tinggi dan makin sedikit hal-hal yang mau diterimanya.
Asimilasi jadi makin kurang. Sebaliknya, ambang penolakan makin rendah,
sehingga makin banyak hal-hal yang tidak bisa diterimanya. Hal ini makin terasa
jika individu diperbolehkan menggunakan patokan-patokannya sendiri seberapa
banyak pun dia anggap perlu.
3. c. Latitute of Noncommitment (rentang
keterlibatan)
Komunikasi, menurut Sherif &
Hovland, bisa mendekatkan sikap individu dengan sikap-sikap orang lain, tetapi
bisa juga malah makin menjauhkannya. Hal ini tergantung dari posisi awal
individu tersebut terhadap posisi individu-individu lain. Jika posisi awal
mereka saling berdekatan, komunikasi akan lebih memperjelas persamaan-persamaan
antara mereka dan dekatnya posisi mereka sehinga terjadilah
pendekatan-pendekatan.
Tetapi sebaliknya, jika posisi awal
sudah saling berjauhan, maka komunikasi malah akan mempertegas perbedaan dan
posisi mereka akan saling menjauh. Dengan perkataan lain, jika seseorang
terlibat dalam situasi isu, maka posisinya sendiri akan dijadikannya patokan.
Terhadap sikap-sikap yang tidak jauh dari posisinya sendiri ia akan menilai ;
cukup beralasan, dapat dimengerti dan sebagainya.
Dan suatu komunikasi dapat menggeser
posisinya mendekati posisi-posisi lain tersebut. Sebaliknya, posisi-posisi yang
jauh akan dinilai tidak beralasan, kurang wajar dan sebagainya, sehingga jika
dalam hal ini tetap dilakukan komunikasi, maka akan terjadi efek bumerang dari
komunikasi itu, yaitu posisi-posisi dari sikap-sikap itu malah akan makin
menjauh.
Hallo, ini refensi dari buku apa ya? mohon dijawab ya terimakasih
ReplyDelete