1. Asumsi Dasar Teori Kultivasi
Teori kultivasi (cultivation theory) pertama kali dikenalkan oleh Professor George Gerbner, seorang Dekan Emiritus dari Annenberg School for Communication di Universitas Pensylvania. Asumsi mendasar dari teori kultivasi adalah terpaan media yang terus-menerus akan memberikan gambaran dan pengaruh pada persepsi pemirsanya. Teori kultivasi dalam bentuknya yang paling mendasar, percaya bahwa televisi bertanggung jawab dalam membentuk, atau mendoktrin konsepsi pemirsanya mengenai realitas sosial yang ada disekelilingnya. Pengaruh-pengaruh dari televisi yang berlangsung secara simultan, terus-menerus, secara tersamar telah membentuk persepsi individu/audiens dalam memahami realitas sosial. Lebih jauh lagi hal tersebut akan mempengaruhi budaya kita secara keseluruhan.
Hipotesis umum dari analisis teori kultivasi adalah orang yang lebih lama ‘hidup’ dalam dunia televisi (heavy viewer) akan cenderung melihat dunia nyata seperti gambaran, nilai-nilai, potret, dan ideology yang muncul pada layar televisi. (J. Bryant and D. Zillman (Eds), 2002). Hipotesis ini menjelaskan bahwa realitas sama dengan yang ada di televisi.
Dalam riset proyek indikator budaya (cultural indicator research project) terdapat lima asumsi yang dikaji Gerbner dan koleganya (Baran, 2003 : 324-325).
Teori kultivasi (cultivation theory) pertama kali dikenalkan oleh Professor George Gerbner, seorang Dekan Emiritus dari Annenberg School for Communication di Universitas Pensylvania. Asumsi mendasar dari teori kultivasi adalah terpaan media yang terus-menerus akan memberikan gambaran dan pengaruh pada persepsi pemirsanya. Teori kultivasi dalam bentuknya yang paling mendasar, percaya bahwa televisi bertanggung jawab dalam membentuk, atau mendoktrin konsepsi pemirsanya mengenai realitas sosial yang ada disekelilingnya. Pengaruh-pengaruh dari televisi yang berlangsung secara simultan, terus-menerus, secara tersamar telah membentuk persepsi individu/audiens dalam memahami realitas sosial. Lebih jauh lagi hal tersebut akan mempengaruhi budaya kita secara keseluruhan.
Hipotesis umum dari analisis teori kultivasi adalah orang yang lebih lama ‘hidup’ dalam dunia televisi (heavy viewer) akan cenderung melihat dunia nyata seperti gambaran, nilai-nilai, potret, dan ideology yang muncul pada layar televisi. (J. Bryant and D. Zillman (Eds), 2002). Hipotesis ini menjelaskan bahwa realitas sama dengan yang ada di televisi.
Dalam riset proyek indikator budaya (cultural indicator research project) terdapat lima asumsi yang dikaji Gerbner dan koleganya (Baran, 2003 : 324-325).
1. Televisi secara esensial dan fundamental berbeda dari bentuk media massa lainnya. Televisi tidak menuntut melek huruf seperti pada media suratkabar, majalah dan buku. Televisi bebas biaya, sekaligus menarik karena kombinasi gambar dan suara.
2. Medium televisi menjadi the central cultural arm masyarakat Amerika, karena menjadi sumber sajian hiburan dan informasi.
3. Persepsi seseorang akibat televisi memunculkan sikap dan opini yang spesifik tentang fakta kehidupan. Karena kebanyakan stasiun televisi mempunyai target khalayak sama, dan bergantung pada bentuk pengulangan program acara dan cerita (drama).
4. Fungsi utama televisi adalah untuk medium sosialisasi dan enkulturasi melalui isi tayangannya (berita, drama, iklan) sehingga pemahaman akan televisi bisa menjadi sebuah pandangan ritual/berbagi pengalaman daripada hanya sebagai medium transmisi.
5. Observasi, pengukuran, dan kontribusi televisi kepada budaya relatif kecil, namun demikian dampaknya signifikan.
Menurut teori kultivasi ini, televisi menjadi media atau alat utama dimana para pemirsa televisi itu belajar tentang masyarakat dan kultur lingkungannya. Dengan kata lain, persepsi apa yang terbangun di benak Anda tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui kontak Anda dengan televisi, Anda belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya serta adat kebiasannya.
2. Konsep Teori Kultivasi
Televisi mempunyai kemampuan untuk menggambarkan apa yang terjadi, apa yang penting dalam berbagai kejadian, dan menjelaskan hubungan-hubungan serta makna yang ada di antara kejadian-kejadian itu. Dengan cara itu, televisi - begitu pula media massa lainnya- membentuk lingkungan simbolis.
Televisi berfungsi menanamkan ideologi. Usaha untuk menganalisa akibat-akibat penanaman ideologi oleh televisi inilah yang disebut dengan cultivation analysis. Misalnya, diduga bahwa makin sering seseorang menonton televisi, makin mirip persepsinya tentang realitas sosial dengan apa yang disajikan dalam televisi.
Gerbner mengemukakan konsep mainstreaming dan resonance. Mainstreaming artinya mengikuti arus. Mainstreaming dimaksudkan sebagai kesamaan di antara penonton berat (heavy viewers) pada berbagai kelompok demografis, dan perbedaan dari kesamaan itu pada penonton ringan (light viewers). Bila televisi sering kali menyajikan adegan kekerasan, maka penonton berat akan melihat dunia ini dipenuhi kekerasan. Sementara itu, penonton ringan akan melihat dunia tidak sesuram seperti yang dipersepsikan penonton berat.
Bila yang disajikan televisi itu ternyata juga cocok dengan apa yang disaksikan pemirsanya di lingkungannya, daya penanaman ideologi dari televisi ini makin kuat. Ini disebut Gerbner sebagai resonance. Penonton televisi yang tinggal di daerah yang penuh kejahatan akan makin yakin bahwa dunia yang disajikan televisi adalah dunia yang sebenarnya. Pembahasan mengenai mainstreaming dan resonance akan dibahas lebih lanjut pada penjelasan teori kultivasi.
Menurut teori kultivasi, media, khususnya televisi, merupakan sarana utama kita untuk belajar tentang masyarakat dan kultur kita. Melalui kontak kita dengan televisi (dan media lain), kita belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya serta adat kebiasaanya.
3.Penjelasan Teori Kultivasi
Penelitian kultivasi termasuk kedalam tradisi efek media dalam ilmu komunikasi. Para pakar teori ini berpendapat bahwa televisi memiliki efek yang relatif kecil akan tetapi sifatnya yang simultan maka ia memiliki efek yang memanjang, memiliki efek yang gradual, tidak secara langsung mempengaruhi akan tetapi berjalan secara kumulatif dan efek yang cukup signifikan.
Penelitian kultivasi menekankan bahwa media massa sebagai agen sosalisasi dan menyelidiki apakah penonton televisi itu lebih mempercayai apa yang disajikan televisi daripada apa yang mereka lihat sesungguhnya. Gerbner dan kawan-kawannya melihat bahwa film drama yang disajikan di televisi mempunyai sedikit pengaruh tetapi sangat penting di dalam mengubah sikap, kepercayaan, pandangan penonton yang berhubungan dengan lingkungan sosialnya.
Gerbner berpendapat bahwa media massa menanamkan dan memperkuat ide-ide dan nilai-nilai yang telah terbentuk sebelumnya di dalam masyarakat atau budaya yang telah terbentuk. Media mempertahankan dan menyebarluaskan nilai-nilai tersebut diantara anggota-anggota kebudayaan tersebut, dan mengikatnya menjadi sebuah kesatuan. Gerbner menyebutnya sebagai efek "mainstreaming" atau efek yang tendensius. Mainstreaming dalam analisis kultivasi terjadi pada pecandu berat televisi (menonton lebih dari 4 jam sehari) yang mana simbol-simbol televisi telah memonopoli dan mendominasi sumber informasi dan gagasan tentang dunia.
Para pakar teori ini memisahkan antara efek pertama "first order" dan efek kedua "second order". Efek pertama yakni mengenai keyakinan-keyakinan yang bersifat umum mengenai fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (efek pada ranah kognisi). Dalam konsep teori kultivasi mencerminkan adanya kategorisasi audiens kedalam dua jenis penikmat televisi, yakni "penonton berat/pecandu televisi" dan "penonton ringan". Pecandu berat televisi (heavy viewers), yakni pecandu berat televisi yang seakan-akan dia lebih terpengaruh atau lebih percaya kepada realitas yang dibentuk oleh media dibandingkan dengan kepercayaannya terhadap realitas yang dia alami sendiri secara langsung. Kategori penonton kedua mungkin memiliki lebih banyak sumber informasi dari pada kategori penonton yang pertama.
Resonansi (Resonance) menjelaskan efek intensif yang kemudian akan diterima oleh audiens tentang apa yang mereka lihat di televisi adalah merupakan apa yang telah mereka alami dalam kehidupan sehari-hari. Resonance terjadi ketika pemirsa melihat sesuatu di televisi yang sama dengan realitas kehidupan mereka sendiri. Televisi tidak sekadar memberikan pengetahuan, atau melaporkan realitas peristiwa. Lebih dari itu, televisi berhasil menanamkan realitas bentukannya ke benak pemirsa. Sehingga menurut Perse (2001:215) efek dominan kultivasi kekerasan televisi pada individu adalah pada kognitif (meyakini tentang realitas sosial) dan afektif (takut akan kejahatan).
Gerbner berpendapat bahwa media massa menanamkan sikap dan nilai tertentu. Dengan kata lain, media mempengaruhi penonton dan masing-masing penonton itu meyakininya. Jadi, para pecandu televisi itu akan punya kecenderungan sikap yang sama satu sama lain.
Televisi, sebagaimana yang pernah dicermati oleh Gerbner, dianggap sebagai pendominasi “lingkungan simbolik” kita. Sebagaimana menurut McQuail dan Windahl (1993), teori kultivasi menganggap bahwa televisi tidak hanya disebut sebagai jendela atau refleksi kejadian sehari-hari di sekitar kita, tetapi dunia itu sendiri. Gerbner (meminjam istilah Bandura) juga berpendapat bahwa gambaran tentang adegan kekerasan di televisi lebih merupakan pesan simbolik tentang hukum dan aturan. Dengan kata lain, perilaku kekerasan yang diperlihatkan di televisi merupakan refleksi kejadian di sekitar kita. Jadi, kekerasan yang ditayangkan di televisi dianggap sebagai kekerasan yang memang sedang terjadi di dunia ini.
Tuduhan munculnya kejahatan di dalam masyarakat kadang-kadang disebut dengan “sindrome dunia makna (mean world syndrome)”. Bagi para pecandu berat televisi, dunia ini cenderung dipercaya sebagai tempat yang buruk dari pada mereka yang tidak termasuk pecandu berat televisi. Efek kultivasi memberikan kesan bahwa televisi mempunyai dampak yang sangat kuat pada diri individu. Bahkan, mereka itu menganggap bahwa lingkungan di sekitarnya sama seperti yang tergambar dalam televisi.
4.Teori Kultivasi di Kehidupan Sehari-Hari
Para penonton berat akan cenderung melihat dunia nyata seperti apa yang digambarkan di televisi. Semakin sering kita menonton suatu program televisi, kita akan semakin terpengaruh oleh program itu. Jika kita menonton acara seperti Buser, Patroli atau Sergap di televisi swasta Indonesia akan terlihat beberapa perilaku kejahatan yang dilakukan masyarakat. Dalam acara itu diketengahkan tidak sedikit kejahatan yang bisa diungkap. Dalam pandangan kultivasi dikatakan bahwa adegan yang tersaji dalam acara-acara itu menggambarkan dunia kita sebenarnya. Bahwa di Indonesia kejahatan itu sudah sedemikian mewabah dan kuantitasnya semakin meningkat. Acara itu seolah menggambarkan dunia kejahatan seperti itulah yang sebenarnya ada di Indonesia. Contoh lain, semakin sering kita menonton suatu sinetron, kita akan semakin beranggapan bahwa sinetron itu adalah suatu realitas. Jika kita sering melihat tokoh ibu tiri yang kejam di sinetron, maka di dunia nyata kita akan beranggapan bahwa ibu tiri itu kejam dan kita akan benci jika ayah kita menikah lagi.
Hawkins dan Pingree (1982) menemukan model proses kultivasi, yaitu bahwa proses kultivasi dalam pikiran kita terbagi dua, yaitu learning dan constructing. (J. Bryant and D. Zillman (Eds), 2002). Apa yang dilihat oleh audiens kemudian akan melalui tahap belajar dan diikuti tahap mengkonstruksi dalam pikiran audiens tersebut
SUMBER-SUMBER RUJUKAN
1. Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Psikologi Komunikasi Edisi Revisi. Bandung : Remaja Rosdakarya.
2. Ardianto, Elvinaro., Lukiati Komala, Siti Karlinah. 2007. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung : Simbiosa
No comments:
Post a Comment
Silahkan baca dan share