Bab I
PENDAHULUAN
1.1.Apa Itu Sosiologi?
1.2.Obyek Studi Sosiologi
1.3.Para Perintis Sosiologi
1.4.Munculnya Sosiologi
1.5.Faktor-faktor Pendorong Lahirnya Sosiologi
1.5.1.Teknologi Industri
1.5.2.Perkembangan
kota-kota
1.5.3.Perubahan politik
1.6.Makro-, Meso-, dan Mikrososiologi
1.7.Cabang-cabang Sosiologi
1.8.Hubungan Sosiologi dan Ilmu-ilmu Lain
1.8.1.Sosiologi dan
Psikologi
1.8.2.Sosiologi dan
Antropologi
1.8.3.Sosiologi dan Ilmu
Politik
1.8.4.Sosiologi dan Sejarah
1.8.5.Sosiologi dan Ekonomi
1.9.Manfaat Belajar Sosiologi
1.10.Relevansi Sosiologi Bagi Ilmu Komunikasi
1.1. Apa Itu Sosiologi
Sosiologi
berasal dari kata socius (teman,
sesama) dan logos (ilmu). Ilmu
tentang manusia sebagai makluk sosial. Ilmu tentang manusia sejauh interaksinya
dengan manusia lain dalam masyarakat. Macionis: systematic study of human society.
Beberapa definisi tentang
sosiologi:
Emile Durkheim: Ilmu yang mempelajari fakta
sosial (social facts). Fakta sosial
adalah cara bertindak, berfikir, dan berperasaan yang berada di luar individu,
dan mempunyai kekuatan memaksa yang mengendalikannya.
Max Weber: Ilmu yang mempelajari tindakan
sosial (social action). Tindakan
sosial adalah tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan dan berorientasi
pada perilaku orang lain.
1.2. Obyek Studi Sosiologi
Setiap ilmu
mempunyai obyek, yakni obyek material dan formal. OM:
apa/bidang yang dipelajari; OF: sudut pandang
dalam mempelajari OM. OM sosiologi ialah manusia;
OF sosiologi ialah manusia sejauh berinteraksi dengan
manusia lain.
Ilmu
|
OM
|
OF
|
Psikologi
|
Manusia
|
Individu manusia
|
Sejarah
|
Manusia
|
Masa lalu manusia
|
Ekonomi
|
Manusia
|
Sumber2 bagi man
|
Antropologi
|
Manusia
|
Budaya manusia
|
Filsafat
|
Manusia
|
Totalitas manusia
|
Sosiologi
|
Manusia
|
Interaksi sosial man
|
OM ilmu-ilmu
sosial sama, tapi berbeda dalam hal OF. Jadi, perbedaan antara ilmu-ilmu
terletak pada OF.
1.3. Para Perintis Sosiologi
Banyak tokoh
telah memikirkan tentang hakikat masyarakat (nature of society). Misalnya, Confusius (551-479 BCE), Plato
(427-342 BCE), Aristoteles (384-322 BCE), Marcus Aurelius (121-180), Thomas
Aquinas (1225-1274), William Shakespeare (1564-1616). Tapi para perintis
sosiologi bukan saja tertarik dengan soal bagaimana memperbaiki masyarakat,
tapi memahami bagaimana masyarakat berjalan (operate).
Setiap ilmu
mempunyai perintis. Dalam sosiologi biasanya dibedakan antara para perintis
awal (abad 18-19) dan tokoh yang hidup di abad 20. Lewis Coser menyebut para
perintis awal itu “Suhu Pemikiran Sosiologi” (masters of sociological thought), sedangkan Doyle Paul Johnson
menyebut para pemikir awal itu “pendiri sosiologi
klasik” (classical founders).
Siapa sajakah mereka? Menurut Coser: Saint-Simon, Comte, Spencer, Durkheim,
Weber, Marx, Sorokin, Mead, dan Cooley. Menurut Paul Johnson: Comte, Marx,
Durkheim, Weber, Simmel. Sedangkan para sosiolog
kontemporer antara lain Mead, Goffman, Homans, Thibault, Kelly, Blau,
Parsons, Merton, Mills, Dahrendorf, Coser, dan Collin.
Inkeles
berpendapat bahwa tokoh yang paling pantas disebut sebagai perintis utama
sosiologi ialah Auguste Comte, Herbert Spencer, Emile
Durkheim, dan Max Weber. Biasanya empat tokoh yang dianggap sebagai
perintis ialah Comte, Marx, Durkheim, dan Weber.
Comte
(1798-1857) patut disebut secara khusus sebab dia dijuluki Bapak Sosiologi.
Tidak ada perbedaan pendapat tentang hal ini. Dialah yang pertama kali
menggunakan kata sosiologi pada tahun 1838 untuk menamakan ilmu baru itu. Comte
semula ingin memberi nama kepada ilmu baru itu fisika sosial (social physics) tapi mengurungkan
niatnya karena istilah tersebut telah digunakan oleh Saint Simon.
1.4. Munculnya Sosiologi
Menurut Comte,
sosiologi merupakan produk dari tiga tahap perkembangan sejarah. Tahap2 itu
ialah (1) tahap teologis, (2) tahap metafisik, (3) tahap ilmiah/positif. Tahap
teologis (abad pertengahan) masyarakat dianggap sebagai wujud kehendak Tuhan.
Pada tahap metafisik (renesans) masyarakat dilihat sebagai fenomena natural,
bukan supernatural. Hobbes mengatakan masyarakat bukan saja cerminan kesempurnaan
Tuhan tapi juga kekurangan kodrat manusia yang ingat diri (selfish). Di tahap ini manusia menjelaskan gejala di sekitarnya
dengan mengacu pada kekuatan metafisik atau abstrak. Pada tahap ilmiah penjelasan
tentang gejala alam dan social mengacu pada deskripsi ilmiah. Tahap ini berawal
dengan pemikiran tokoh2 seperti Nicolaus Copernicus (1473-1543), Galileo
Galilei (1564-1642), dan Isaac Newton (1642-1727).
Jadi,
sosiologi lahir di tahap ilmiah. Menurut Comte sosiologi adalah ilmu positif,
artinya studi tentang masyarakat (interaksi antarmanusia) dilakukan dengan
pendekatan ilmiah. Karena memperkenalkan metode positif, Comte dianggap sebagai
perintis positivisme. Ciri metode ini ialah bahwa obyek kajian harus berupa
fakta, dan harus bermanfaat dan mengarah kepada kepastian. Sarana yang
digunakan ialah pengamatan, perbandingan, eksperimen,
dan metode historis. Tanpa menggunakan sarana-sarana ini itu bukan
kajian ilmiah tetapi hanya renungan. Bagi Comte, sosiologi bahkan menjadi Ratu
Ilmu-Ilmu Sosial.
1.5. Faktor-faktor Pendorong Lahirnya Sosiologi
Sosiologi
lahir karena didorong oleh kekuatan2 sosial yang hebat (powerful social forces) dan kompleks. Berger:
pemikiran sosiologi berkembang manakala masyarakat menghadapi ancaman terhadap
hal yang selama ini diterima sebagai benar (threats
to the taken-for-granted world). Itu terjadi di Eropa sejak pasca abad
pertengahan.
L.Laeyendecker: sosiologi berkembang dalam kaitan
dengan serangkaian perubahan besar/jangka panjang di Eropa Barat di abad
pertengahan yaitu (1) tumbuhnya kapitalisme di akhir abad 15, (2) perubahan di
bidang social dan politik, (3) reformasi Martin Luther, (4) meningkatnya
individualisme, (5) lahirnya ilmu modern, (6) berkembangnya kepercayaan pada
diri sendiri. Dua revolusi yang melatarbelakangi lahirnya sosiologi yakni
revolusi industri dan revolusi Prancis (1789).
Ritzer: sosiologi lahir dan berkembang karena didorong
oleh faktor2: (1) revolusi politik, (2) revolusi industri dan munculnya
kapitalisme, (3) munculnya sosialisme, (4) urbanisasi, (5) perubahan keagamaan,
(6) pertumbuhan ilmu.
Macionis menyebut tiga kekuatan sosial yang mendorong
munculnya sosiologi, yakni (1) teknologi industri, (2) perkembangan kota-kota,
dan (3) perubahan politik.
1.5.1. Teknologi Industri
Di abad
pertengahan usaha kerajinan berpusat di rumah tangga. Orang-orang mengerjakan
kerajinan di rumah sendiri. Tapi akhir abad 18 setelah ditemukan sumber-sumber
energi baru (dari air, uap) untuk menggerakkan mesin di pabrik-pabrik, orang
tidak lagi bekerja di rumah tapi pindah ke pabrik-pabrik. Teknologi industri
menyebabkan perubahan sistem produksi, yang pada gilirannya memisahkan anggota-anggota
keluarga satu sama lain.
1.5.2. Perkembangan Kota-kota
Pabrik menarik
orang-orang untuk bekerja di pabrik. Orang-orang kaya membeli lahan-lahan lalu
memagari lahan-lahan itu untuk dijadikan peternakan domba-domba untuk
menghasilkan wol yang digunakan di pabrik tekstil. Para petani lalu kekurangan
tanah, dan sebab itu meninggalkan daerah pedesaan untuk bekerja di pabrik-pabrik
baru di kota. Bertumbuhlah kota-kota, dan orang-orang asing bermunculan di kota-kota.
Terjadilah masalah-masalah sosial seperti kejahatan, polusi, dan pengangguran.
Situasi ini mendorong munculnya perspektif sosiologis.
1.5.3. Perubahan Politik
Perkembangan
ekonomi dan pertumbuhan kota-kota memunculkan pemikir-pemikir baru yang
mencanangkan kebebasan dan hak-hak individu. Ini terlihat dari tulisan
tokoh-tokoh seperti Thomas Hobbes (1588-1674), John Locke (1632-1704), dan Adam
Smith (1723-1790). Fokus orang tidak lagi kepada Tuhan dan agama tetapi self-interest.
Pemikiran
tentang kebebasan dan hak-hak individu itu akhirnya berpuncak dalam revolusi
Prancis (1789). Ketika ekonomi industri, kota-kota besar dan pemikiran2 politik
baru muncul, sosiologi lahir dan berkembang di Prancis, Jerman, dan Inggris,
negara-negara yang mengalami perkembangan sosiologi terbesar.
1.6. Makro-, Meso-, dan Mikrososiologi
Para sosiolog
memberikan berbagai klasifikasi sosiologi, tapi paling banyak memberikan dua
klasifikasi utama yakni (1) makrososiologi, dan (2) mikrososiologi dengan istilah yang bervariasi
pula. Randall Collins (1981) misalnya memberikan klasifikasi seperti itu
berdasarkan faktor waktu dan ruang. Mikrososiologi
membahas secara terinci apa yang dilakukan, dikatakan, dan dipikirkan manusia
pada pengalaman sesaat, sedangkan makrososiologi
membahas proses sosial dalam skala besar dan berjangka panjang. Menurut
ruang, mikrososiologi fokus pada seseorang atau
kelompok kecil, sedangkan makrososiologi pada
kelompok lebih besar, organisasi, komunitas, dan masyarakat territorial.
Dari segi waktu mikrososiologi membahas gejala sosial dalam jangka waktu
pendek, sedangkan makrososiologi jangka panjang.
Gerhard Lenski (1985) membedakan
mikrososiologi, mesososiologi, dan makrososiologi. Mikrososiologi
mempelajari dampak sistem sosial dan kelompok primer pada individu;
mesososiologi mempelajari institusi khas dalam masyarakat; makrososiologi mempelajari ciri masyarakat secara menyeluruh
serta sistem masyarakat dunia. Contoh dalam sosiologi pendidikan dapat
dilihat dalam tabel berikut.
Mikrososiologi
|
Mesososiologi
|
Makrososiologi
|
Hubungan antara guru dan siswa;
antara siswa dan siswa dalam kelas (kerjasama antara siswa2 untuk
menyelesaikan tugas sekolah, persaingan untuk menarik perhatian guru atau
memanfaatkan fasilitas sekolah yang terbatas.
|
Hubungan antara pimpinan
universitas dan pimpinan fakultas; pimpinan fakultas dan pimpinan jurusan;
mahasiswa dan karyawan, dst.
|
Hubungan antara faktor sosial
dan pendidikan, misalnya antara pendidikan dan kelas sosial, jenis kelamin,
wilayah tempat tinggal (desa/kota) atau kelompok etnik
|
1.7. Cabang-Cabang Sosiologi
Sosiologi
adalah ilmu yang mengalami perkembangan cukup pesat, terbukti dengan lahirnya
cabang-cabang atau sub-disiplinnya. Beberapa di antaranya adalah sbb:
- Sosiologi Lingkungan
- Sosiologi Medis
- Sosiologi Agama
- Sosiologi Ilmu
- Sosiologi Pendidikan
- Sosiologi Pengetahuan
- Sosiologi Ekonomi
- Sosiologi Keluarga
- Sosiologi Kesenian
- Sosiologi Kebudayaan
- Sosiologi Gender
- Sosiologi Bahasa
- Sosiologi Industri
- Sosiologi Hukum
- Sosiologi Politik
- Sosiologi Pedesaan
- Sosiologi Perkotaan
- Sosiologi Olahraga
1.8. Hubungan Sosiologi dan Ilmu-Ilmu Lain
Sosiologi
mempunyai hubungan dengan beberapa disiplin ilmu sosial lain. Di bawah ini akan
dibahas hubungan antara sosiologi dan psikologi, antropologi, ilmu politik,
ilmu sejarah, dan ilmu ekonomi.
1.8.1. Sosiologi dan Psikologi.
Psikologi mempelajari proses mental seperti berfikir,
belajar, mengingat, dan mengambil keputusan. Psikologi modern bahkan mempelajari
perasaan, emosi, motif, dan kepribadian. Psikologi dan sosiologi berhubungan
sangat erat. Paling dekat ialah psikologi sosial dan sosiologi. Psikologi
sosial mempelajari bagaimana kepribadian dan perilaku dipengaruhi oleh latar
belakang sosial atau social setting.
Atau bagaimana kepribadian mempengaruhi perilaku. Perbedaan psikologi dan
sosiologi ialah bahwa obyek studi psikologi adalah
individu, sedangkan obyek studi sosiologi adalah
masyarakat. Sosiologi mempelajari masyarakat dari sudut pandang unsur-unsur
masyarakat, sedangkan psikologi dari sudut pandang faktor-faktor psikologis.
Dengan rumusan lain, sosiologi mempelajari sistem sosial, sedangkan psikologi
mempelajari sistem mental.
Hakikat
hubungan sosiologi dan psikologi hingga kini masih jadi kontroversi. Ada dua
ekstrim, diwakili pandangan JS Mill pada ekstrem yang satu dan E. Durkheim pada
ekstrem lain. Mill mengunggulkan psikologi dari ilmu-ilmu sosial lain. Menurut
dia, sebuah ilmu sosial umum belum dianggap established
kalau generalisasi-generalisasi induktifnya belum dapat dideduksi secara logis
dari hukum pikiran (laws of mind).
Sebaliknya
Durkheim menegaskan kedua ilmu itu berbeda. Dia membedakan secara radikal
fenomena yang dipelajari sosiologi dan psikologi. Sosiologi mempelajari fakta
sosial (social facts) yang diartikan
sebagai suatu yang eksternal dari diri individu dan bersifat memaksa bagi
individu. Penjelasan fakta sosial hanya dilakukan oleh
fakta sosial lain, dan bukan menurut fakta psikologis. Masyarakat bukan
sekedar agregat individu2, tapi sistem yang dibentuk oleh persekutuan mereka
dan mewakili suatu level khusus realitas yang memiliki karakteristiknya
sendiri. Jadi sosiologi dan psikologi adalah dua disiplin ilmu yang sangat berbeda.
Ada pendapat
yang mencoba menetralisasi kontroversi itu.
Ginsberg misalnya mengatakan banyak generalisasi sosiologis akan lebih kuat
kalau dihubungkan dengan hukum-hukum psikologi umum. Nadel:
sejumlah masalah yang timbul oleh penyelidikan sosial dapat diterangi dengan
bergerak ke level-level analisis yang lebih rendah yakni psikologi dan biologi.
Sedangkan Weber berkeyakinan bahwa penjelasan-penjelasan sosiologis dapat
diperkaya lagi jika ada usaha untuk memahami perilaku sosial berdasarkan makna-makna
di baliknya. Pemahaman seperti itu diperoleh berdasarkan common sense psychology. Tapi Weber tidak menentang perkembangan
psikologi ilmiah dalam arti luas. Dia bahkan simpatik dengan ide-ide Freud.
Menurut Gerth
dan Mills studi psikologi sosial merupakan interplay
antara karakter individu dan struktur sosial, dan itu dapat didekati dari
sosiologi maupun biologi.
1.8.2. Sosiologi dan Antropologi
Antropologi,
termasuk arkeologi, antropologi ragawi, antropologi sosial dan budaya,
linguistik dan studi tentang segala aspek manusia primitive (arkeologi adalah
studi tentang manusia dan peradaban yang sudah punah tapi meninggalkan
peninggalan2; antropologi ragawi mempelajari asal usul
ras dan manusia; antropologi budaya mempelajari
perkembangan budaya manusia dan perilaku manusia dalam situasi sosial).
Antropologi berkaitan
sangat erat dengan biologi. Obyek material antropologi ialah kebudayaan (sistem
simbol2 seperti bahasa dan kepercayaan dari suatu kelompok masyarakat), sama
seperti kekuasaan dan otoritas adalah obyek material dari ilmu politik, atau
produksi dan distribusi barang pada ilmu ekonomi. Antropolog
cenderung mempelajari masyarakat primitif, non-industrial dan terkebelakang,
sedangkan sosiologi mempelajari masyarakat yang lebih
maju. Akibatnya, antropologi cenderung
mempelajari masyarakat secara keseluruhan, sedangkan sosiologi mempelajari bagian-bagian dari masyarakat, dan
umumnya mengkhususkan diri pada institusi-institusi seperti keluarga dsb.
Asal usul
kedua ilmu ini berbeda. Sosiologi berasal dari filsafat sejarah, pemikiran
politik dan ilmu-ilmu positif, sedangkan antropologi berasal dari biologi.
Meski pada awalnya terdapat konvergensi antara keduanya, di kemudian hari terjadi
divergensi. Antropologi sosial cenderung mempelajari
masyarakat2 kecil yang relatif tidak berubah dan tidak memiliki catatan sejarah
seperti Melanesia. Sosiologi sebaliknya
mempelajari bagian2 dari masyarakat yang ada sekarang seperti keluarga atau
mobilitas sosial. Metode sosiologi mengandung nilai-nilai, dan sebab itu
konklusi-konklusinya penuh dengan pertimbangan etis. Sebaliknya antropologi sosial
memberikan deskripsi dan analisa dengan term-term netral karena mereka
menempatkan diri sebagai outsiders
tanpa melibatkan diri dalam nilai-nilai. Ranah kajian
antropologi sosial adalah kelompok masyarakat yang belum berkembang,
sedangkan ranah sosiologi adalah yang berskala besar, organisasi-organisasi,
serta proses-proses impersonal.
Di masa modern
muncul lagi konvergensi. Unit-unit kecil yang diteliti oleh antropologi sosial sudah
punah karena pengaruh modernisasi dan teknologi. Menghadapi keadaan seperti ini
sosiologi dan antropolosi sosial memusatkan perhatian pada proses pertumbuhan
ekonomi dan perubahan sosial. Kedua ilmu itu bermanfaat dalam studi tentang
masyarakat Afrika dan Asia yang sedang berubah karena pengaruh Barat. Jadi
bukan lagi hak prerogatif sosiologi untuk mempelajari masyarakat maju.
Semakin banyak
studi antropologi terhadap masyarakat maju, seperti studi tentang komunitas
kecil, kinship groups dll. Konsep-konsep
dasar seperti struktur, fungsi, status, peran, konflik, perubahan dan evaluasi
digunakan baik oleh sosiolog maupun antropolog sosial.
1.8.3. Sosiologi dan Ilmu Politik
Sosiologi dan
ilmu politik berkonvergensi, bahkan konvergensinya meningkat. Obyek material
keduanya sama, yakni manusia. Awalnya dari karya-karya Karl Marx. Menurut Marx
institusi-institusi dan perilaku politik terkait erat dengan sistem ekonomi dan
kelas-kelas sosial. Pada akhir abad 19 studi-studi menjadi lebih detail seperti
studi ttg partai-partai politik, elit, perilaku pemungutan suara, birokrasi dan
ideologi-ideologi politik seperti tampak pada sosiologi politik dari Michels,
Weber, dan Pareto. Bahkan University of Chicago memprakarsai munculnya disiplin
ilmu politik behavioral.
Fungsionalisme
dan sistem sosial telah diadopsi ke politik. Ada minat baru terhadap ide-ide
sosiologis Marx karena revolusi di negara-negara berkembang seperti dipelajari
oleh para ilmuwan politik, sosiolog bahkan antropolog. Sosiologi politik yang
dirintis Michaels, Weber, dan Pareto bersifat komparatif, dan semakin sulit
membedakan ilmu politik dari sosiologi politik. Ketika negara-negara semakin
mengusahakan kesejahteraan bagi rakyatnya, perspektif sosiologis semakin
meresap ke dalam aktivitas dan pemikiran politik.
1.8.4. Sosiologi dan Sejarah
Obyek material
sosiologi dan sejarah tumpang tindih. Sejarahwan sering memberikan material
yang digunakan oleh sosiolog. Kenyataannya sosiologi sejarah bergantung pada
data yang hanya disuplai oleh sejarahwan. Metode komparatif pun membutuhkan
data historis. Tapi riset sosiologis juga memberikan informasi yang dibutuhkan
sejarahwan. Obyek material dari sejarah sangat overlap dengan sosiologi pada
umumnya, khususnya sosiologi sejarah.
Tapi kedua
ilmu juga berbeda. Radcliffe-Brown mengatakan sosiologi bersifat nomotetis,
sedangkan sejarah bersifat idiografis. Sejarahwan mendeskripsikan peristiwa-peristiwa
unik, sedangkan sosiolog membuat generalisasi-generalisasi. Sejarahwan
menyelidiki sekuensi2 peristiwa-peristiwa partikular, sedangkan sosiolog mentest
generalisasi dengan memeriksa sekuensi peristiwa-peristiwa. Dengan kata lain:
sejarahwan berminat dengan interplay antara personalitas dan kekuatan-kekuatan
sosial, sedangkan sosiolog berminat pada kekuatan-kekuatan sosial itu sendiri.
Sejarah pertama-tama mempelajari masa lampau dan berusaha menceritakan
perubahan dari waktu ke waktu sementara fokus utama sosiologi adalah membuat
generalisasi-generalisasi. Tapi lewat karya-karya besar seperti Etika Protestan
dari Weber dan Social and Cultural
Dynamics maka perbedaan kedua ilmu ini menjadi kabur.
Semakin jelas
bahwa historiagrafi dan sosiologi tak dapat dipisahkan karena menyangkut hal
yang sama yakin manusia yang hidup di masyarakat, terkadang dari sudut pandang
yang sama.
1.8.5. Sosiologi dan Ekonomi
Kaum Marxist
mengatakan pemahaman atas superstruktur (yang terdiri dari institusi2 sosial)
tak dapat sepenuhnya terjadi kalau tidak dalam konteks substruktur ekonomi.
Jadi perilaku ekonomi manusia adalah kunci untuk memahami perilaku sosial
manusia, dan sebab itu ekonomi lebih penting dibanding sosiologi. Sosiologi
sendiri mengkritik teori ekonomi yang dianggap bersifat reduksionis. Konsep
manusia dalam ekonomi mengabaikan berbagai faktor sosial yang mempengaruhi
perilaku ekonomi.
A. Lowie
menunjuk dua prinsip sosiologis di balik hukum klasik pasar: economic man dan kompetisi atau
mobilitas faktor-faktor produksi. Parsons dan Smelser kemudian mencoba
menunjukkan bahwa teori ekonomi adalah bagian dari
teori sosiologi umum. Dalam praktik ada sejumlah studi sosiologis
tentang masalah-masalah teori ekonomi. Dewasa ini interaksi kedua ilmu
meningkat.
Salah satu
cabang sosiologi ialah sosiologi ekonomi yang mempelajari aspek-aspek sosial
dari kehidupan ekonomi. Ilmu ekonomi menekankan relasi variabel-variabel ekonomi
murni (relasi harga dan suplai barang, arus uang, input-output etc), sedangkan sosiologi mempelajari pabrik-pabrik
sebagai organisasi sosial, suplai tenaga kerja sebagai dipengaruhi nilai-nilai
dan preferensi, pengaruh pendidikan terhadap perilaku ekonomi, peran sistem
kasta dalam perkembangan ekonomi dsb. Ekonomi kini tidak lagi hanya berminat
pada mekanisme pasar tetapi juga pertumbuhan ekonomi, produk nasional,
pendapatan nasional, dan pembangunan di kawasan sedang berkembang. Di semua
bidang ini ekonom harus bekerjasama dengan sosiolog atau dia sendiri harus
menjadi sosiolog.
1.9. Manfaat Belajar Sosiologi
Manfaat
sosiologi dapat disimak dari akar katanya, yakni socius (Latin: teman). Jadi
secara etimologis sosiologi adalah ilmu untuk mencari
teman dan membina pertemanan. Dengan kata
lain ilmu tentang masyarakat dan hidup bermasyarakat
(hidup bersama orang lain). Kehidupan social (bersama) diisi dengan
tindakan-tindakan sosial. Menurut Weber tindakan adalah perilaku manusia yang
mempunyai makna subyektif (subjective
meaning) bagi pelakunya.
Jadi setiap
tindakan pasti mempunyai makna tertentu bagi pelaku tindakan. Tujuan sosiologi ialah memahami (verstehen) makna subyektif dari suatu tindakan. Untuk
mencapai ini, orang harus menempatkan dirinya di tempat pelaku tindakan itu
agar dapat menghayati pengalaman orang itu.
Hal ini
terkait dengan pandangan dasar sosiologi bahwa kehidupan sosial bersifat sangat
kompleks sehingga harus diurai dan diamati secara saksama. Tidak bisa menilai
suatu tindakan secara hitam putih. Maka dalam menganalisis prostitusi dan bunuh diri, misalnya, sosiolog
harus menempatkan diri di pihak pekerja seks atau pelaku bunuh diri supaya
dapat memahami makna subyektif dari tindakan-tindakan itu. Jadi, belajar sosiologi membuat seseorang mampu menjadi seorang
“teman” yang baik.
Manfaat
sosiologi dapat disimak dari pernyataan Peter L. Berger tentang citra ideal
seorang sosiolog. Menurut dia sosiolog adalah “…someone concerned with understanding society
in a disciplined way. The nature of this discipline is scientific”.
Jadi ahli sosiologi bertugas memahami masyarakat dengan
mengikuti aturan ilmiah, mengikuti aturan mengenai pembuktian ilmiah. Ia
harus obyektif, mengendalikan prasangka dan pilihan pribadi, mengamati secara
jernih dengan menghindari penilaian normatif.
Seorang ahli
sosiologi, kata Berger adalah “…a person intensively, endlessly, shamelessly interested in
the doings of men”. Perhatian
intensif, tak henti-henti dan tanpa rasa malu terhadap perilaku manusia ini
dapat membawa sosiolog ke tempat yang mungkin dihindari orang lain. Sosiolog
melibatkan diri dengan hal yang dianggap terlalu suci ataupun terlalu
menjijikkan untuk diteliti secara tidak terlibat. Maka sosiolog bergaul dengan
rohaniwan maupun pekerja seks apabila pertanyaan penelitiannya memang
mengharuskannya untuk kesana.
Berger juga
bicara tentang daya pesona (fascination)
dari sosiologi. Dimanakah pesona sosiologi? Berger berkata: “the fascination of
sociology lies in the fact that its perspective makes us see in a new light the
very world in which we have lived all our lives”. Semua ini menjadi
mungkin, kata Berger, karena apa yang semula diduga ternyata keliru (things are not what
they seem). Pandangan seorang
sosiolog harus menembus tembok depan gedung yang menutupi struktur sosial; ia
harus melihat apa yang berada di balik tembok (seeing through the facades of social structures).
Pertama, sosiolog
adalah orang yang suka bekerjsama dengan orang lain, menolong orang lain,
melakukan sesuatu untuk orang lain. Kedua,
sosiolog adalah seorang teoretikus di bidang pekerjaan
sosial. Ketiga, sosiolog adalah orang yang melakukan reformasi sosial
(perekayasa sosial). Keempat, sosiolog adalah pengamat
yang tidak melakukan manipulasi.
Contoh yang
dikutip Berger: media massa di AS pernah memberitakan tentang seorang rohaniwan
yang terkenal dengan kotbahnya yang bagus lewat jaringan televisi. Dia jadi
panutan jutaan umatnya. Ternyata dia berselingkuh dengan sekretarisnya dan
menikmati gaya hidup sangat mewah dengan menyalahgunakan dana umat. Dia lalu
dihadapkan ke pengadilan.
Seorang
rohaniwan lain harus berurusan dengan pengadilan karena terlibat kasus penggelapan
pajak. Uang derma dari umatnya dijadikan modal untuk ditanamkan di sebuah
pabrik senjata di luar negeri. Seorang perempuan terpandang kelas atas dari
keturunan baik-baik yang jadi idola masyarakat ternyata membiayai gaya hidupnya
yang glamour itu dengan mengoperasikan sebuah rumah pelacuran. Inilah yang
disebut Berger sebagai things are not what they seem.
Sosiolog hanya
melakukan pengungkapan seperti itu karena didorong oleh debunking motive, yakni motif untuk membongkar kepalsuan sistem sosial
yang sedang diteliti untuk membuka kedok yang menutup wajah (there is a debunking motive inherent in
sociological consciousness. The sociologist will be driven time and again, by
the very logic of his discipline, to debunk the social systems he is studying),
kata Berger.
Jadi, fenomena
sosial memang sangat kompleks. Untuk mengurai kerumitan dan kompleksitas itu
sosiolog harus menempatkan diri di tempat orang atau gejala yang diteliti untuk
menemukan subjective meaning dari
tindakan orang lain. Ia harus melihat orang lain sebagai homo socius, bukan homo
economicus. Ia harus menjadi socius,
teman bagi orang lain, termasuk orang yang tidak disukainya sekali pun karena
metode ilmunya memang menuntut demikian.
1.10. Relevansi Sosiologi Bagi Ilmu Komunikasi
Relevansi
sosiologi bagi (ilmu) komunikasi terletak terutama
dalam peran media massa (cetak dan elektronik) sebagai agen sosialisasi
(lihat bab tentang Sosialisasi), peran yang juga dilakoni oleh keluarga, teman
bermain, dan sekolah. Sosialisasi adalah proses di mana anak belajar menjadi
anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat (Berger 1978). Dalam proses
sosialisasi yang dipelajari adalah peran-peran (roles). Menurut Berger melalui sosialisasi “masyarakat dimasukkan
ke dalam manusia”.
Pertama harus dikatakan bahwa sosiologi dan komunikasi
berhubungan sangat erat kalau (ilmu) komunikasi diartikan sebagai proses
penyampaian pesan (message) melalui
media tertentu. Ini merupakan bagian dari interaksi social yang menjadi
inti dari sosiologi. Maka sosiologi lebih berperan
dalam proses penyampaian pesan tersebut. Agar
pesan yang hendak disampaikan itu dapat diterima oleh pihak yang dituju, maka
pihak penyampai pesan disarankan untuk menempatkan diri di tempat pihak yang
dituju. Inilah yang dimaksudkan dengan subjective meaning. Hanya dengan
demikian maka dipilih proses penyampaian pesan, materi (message), dan media
yang dibutuhkan.
Disini kita hanya
bicara tentang pesan (message), yaitu
materi yang dikomunikasikan, termasuk nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Yang diperhatikan sosiologi adalah kenyataan bahwa terkadang, agen-agen
sosialisasi menyosialisasikan nilai-nilai yang seakan bertentangan. Pesan-pesan
itu banyak kali tidak sepadan/sama.
Contoh, kalau
keluarga melarang anak untuk merokok, minum minuman keras, tidak boleh melawan
guru atau orang lebih tua, bersikap baik dan sopan terhadap perempuan, tidak
nyontek, maka sering hal-hal itu berlawanan dengan sosialisasi yang ditemukan
di sekolah atau media massa.
Yang
diharapkan dari sosialisasi ialah agar individu berkembang menjadi orang yang
baik dan bertanggung jawab, dan dengan demikian bersama individu lain yang
dibentuk seperti itu akan menjadi anggota masyarakat yang baik dan
bertanggungjawab pula. Kalau pesan yang disosialisasikan oleh agen-agen
sosialisasi (seperti keluarga, teman bermain, sekolah, dan media massa) saling
mendukung, maka tujuan sosialisasi tercapat (yakni individu yang baik dan
bertanggungjawab). Masalah muncul kalau pesan dari satu agen sosialisasi tidak
terlalu sama dengan agen sosialisasi lain.
Menurut
penelitian Urie Bronfenbrenner (1970) pola sosialisasi anak di AS cenderung
menghasilkan anak dengan perilaku antisosial dibanding di Soviet. Di AS peran
keluarga dalam sosialisasi semakin kecil, sedangkan peran teman bermain dan
media massa menjadi dominan. Pola sosialisasi di Soviet, katanya,
memperlihatkan kecocokan antara pesan-pesan yang disampaikan keluarga, sekolah,
lingkungan luar sekolah, dan media massa sehingga menghasilkan anak yang
berperilaku prososial.
Media massa
elektronik dewasa ini, yang jangkauannya sudah global, memainkan peran sangat
penting dalam sosialisasi, dan ini sangat mengkhawatirkan. Penelitian Fuller
dan Jacobs di AS menunjukkan bahwa banyak anak
menggunakan sebagian besar waktu untuk nonton televisi dibanding waktu yang
digunakan untuk sekolah atau belajar. Banyak
acara yang ditonton anak-anak adalah acara untuk orang dewasa. Dikatakan anak
yang menonton acara-acara televisi yang mengandung kekerasan cenderung
menampilkan perilaku keras dan agresif. Berbagai penelitian juga
mengungkapkan bahwa kekerasan di televisi membuat
penonton lebih agresif dalam perilakunya sehari-hari.
Jadi sudut pandang
sosiologi sangat berguna bagi media massa, khususnya elektronik (yang menjadi
pilihan utama orang-orang modern dan terpelajar), dalam mengelola penyiaran
informasi ke berbagai strata masyarakat. Sudut pandang sosiologis itu akan
memampukan para pengelola dan pekerja media massa untuk memperhatikan strata
yang paling rentan dengan dampak negatif pemberitaan media massa. Anak-anak dan
remaja, kaum perempuan, orang miskin, dan masyarakat adat perlu dukungan dari
media massa yang sangat berorientasi kapitalistik dewasa ini. Dampak negatif
lebih banyak dirasakan oleh kelompok-kelompok tersebut. Kepekaan sosiologis
yang diperoleh dalam sosiologi diharapkan memberi keseimbangan antara
keuntungan kapital dan nila-nilai kemanusiaan yang juga menjadi tugas media
massa untuk melestarikannya.
No comments:
Post a Comment
Silahkan baca dan share