Home About
JIKA ADA YANG DITANYAKAN ATAU DATA YANG KALIAN BUTUHKAN, SILAHKAN BERKOMENTAR PADA MATERI TERSEBUT...TERIMAKASIH

Wednesday, 11 December 2019

Pengertian Sosiologi


Bab I
PENDAHULUAN

1.1.Apa Itu Sosiologi?
1.2.Obyek Studi Sosiologi
1.3.Para Perintis Sosiologi
1.4.Munculnya Sosiologi
1.5.Faktor-faktor Pendorong Lahirnya Sosiologi
      1.5.1.Teknologi Industri
      1.5.2.Perkembangan kota-kota
      1.5.3.Perubahan politik
1.6.Makro-, Meso-, dan Mikrososiologi
1.7.Cabang-cabang Sosiologi
1.8.Hubungan Sosiologi dan Ilmu-ilmu Lain
      1.8.1.Sosiologi dan Psikologi
      1.8.2.Sosiologi dan Antropologi
      1.8.3.Sosiologi dan Ilmu Politik
      1.8.4.Sosiologi dan Sejarah
      1.8.5.Sosiologi dan Ekonomi
1.9.Manfaat Belajar Sosiologi
1.10.Relevansi Sosiologi Bagi Ilmu Komunikasi


1.1. Apa Itu Sosiologi
Sosiologi berasal dari kata socius (teman, sesama) dan logos (ilmu). Ilmu tentang manusia sebagai makluk sosial. Ilmu tentang manusia sejauh interaksinya dengan manusia lain dalam masyarakat. Macionis: systematic study of human society.
Beberapa definisi tentang sosiologi:
Emile Durkheim: Ilmu yang mempelajari fakta sosial (social facts). Fakta sosial adalah cara bertindak, berfikir, dan berperasaan yang berada di luar individu, dan mempunyai kekuatan memaksa yang mengendalikannya.
Max Weber: Ilmu yang mempelajari tindakan sosial (social action). Tindakan sosial adalah tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan dan berorientasi pada perilaku orang lain.

1.2. Obyek Studi Sosiologi
Setiap ilmu mempunyai obyek, yakni obyek material dan formal. OM: apa/bidang yang dipelajari; OF: sudut pandang dalam mempelajari OM. OM sosiologi ialah manusia; OF sosiologi ialah manusia sejauh berinteraksi dengan manusia lain.

Ilmu
OM
OF
Psikologi
Manusia
Individu manusia
Sejarah
Manusia
Masa lalu manusia
Ekonomi
Manusia
Sumber2 bagi man
Antropologi
Manusia
Budaya manusia
Filsafat
Manusia
Totalitas manusia
Sosiologi
Manusia
Interaksi sosial man

OM ilmu-ilmu sosial sama, tapi berbeda dalam hal OF. Jadi, perbedaan antara ilmu-ilmu terletak pada OF.

1.3. Para Perintis Sosiologi
Banyak tokoh telah memikirkan tentang hakikat masyarakat (nature of society). Misalnya, Confusius (551-479 BCE), Plato (427-342 BCE), Aristoteles (384-322 BCE), Marcus Aurelius (121-180), Thomas Aquinas (1225-1274), William Shakespeare (1564-1616). Tapi para perintis sosiologi bukan saja tertarik dengan soal bagaimana memperbaiki masyarakat, tapi memahami bagaimana masyarakat berjalan (operate).
Setiap ilmu mempunyai perintis. Dalam sosiologi biasanya dibedakan antara para perintis awal (abad 18-19) dan tokoh yang hidup di abad 20. Lewis Coser menyebut para perintis awal itu “Suhu Pemikiran Sosiologi” (masters of sociological thought), sedangkan Doyle Paul Johnson menyebut para pemikir awal itu “pendiri sosiologi klasik” (classical founders). Siapa sajakah mereka? Menurut Coser: Saint-Simon, Comte, Spencer, Durkheim, Weber, Marx, Sorokin, Mead, dan Cooley. Menurut Paul Johnson: Comte, Marx, Durkheim, Weber, Simmel. Sedangkan para sosiolog kontemporer antara lain Mead, Goffman, Homans, Thibault, Kelly, Blau, Parsons, Merton, Mills, Dahrendorf, Coser, dan Collin.
Inkeles berpendapat bahwa tokoh yang paling pantas disebut sebagai perintis utama sosiologi ialah Auguste Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim, dan Max Weber. Biasanya empat tokoh yang dianggap sebagai perintis ialah Comte, Marx, Durkheim, dan Weber.
Comte (1798-1857) patut disebut secara khusus sebab dia dijuluki Bapak Sosiologi. Tidak ada perbedaan pendapat tentang hal ini. Dialah yang pertama kali menggunakan kata sosiologi pada tahun 1838 untuk menamakan ilmu baru itu. Comte semula ingin memberi nama kepada ilmu baru itu fisika sosial (social physics) tapi mengurungkan niatnya karena istilah tersebut telah digunakan oleh Saint Simon.

1.4. Munculnya Sosiologi
Menurut Comte, sosiologi merupakan produk dari tiga tahap perkembangan sejarah. Tahap2 itu ialah (1) tahap teologis, (2) tahap metafisik, (3) tahap ilmiah/positif. Tahap teologis (abad pertengahan) masyarakat dianggap sebagai wujud kehendak Tuhan. Pada tahap metafisik (renesans) masyarakat dilihat sebagai fenomena natural, bukan supernatural. Hobbes mengatakan masyarakat bukan saja cerminan kesempurnaan Tuhan tapi juga kekurangan kodrat manusia yang ingat diri (selfish). Di tahap ini manusia menjelaskan gejala di sekitarnya dengan mengacu pada kekuatan metafisik atau abstrak. Pada tahap ilmiah penjelasan tentang gejala alam dan social mengacu pada deskripsi ilmiah. Tahap ini berawal dengan pemikiran tokoh2 seperti Nicolaus Copernicus (1473-1543), Galileo Galilei (1564-1642), dan Isaac Newton (1642-1727).
Jadi, sosiologi lahir di tahap ilmiah. Menurut Comte sosiologi adalah ilmu positif, artinya studi tentang masyarakat (interaksi antarmanusia) dilakukan dengan pendekatan ilmiah. Karena memperkenalkan metode positif, Comte dianggap sebagai perintis positivisme. Ciri metode ini ialah bahwa obyek kajian harus berupa fakta, dan harus bermanfaat dan mengarah kepada kepastian. Sarana yang digunakan ialah pengamatan, perbandingan, eksperimen, dan metode historis. Tanpa menggunakan sarana-sarana ini itu bukan kajian ilmiah tetapi hanya renungan. Bagi Comte, sosiologi bahkan menjadi Ratu Ilmu-Ilmu Sosial.

1.5. Faktor-faktor Pendorong Lahirnya Sosiologi
Sosiologi lahir karena didorong oleh kekuatan2 sosial yang hebat (powerful social forces) dan kompleks. Berger: pemikiran sosiologi berkembang manakala masyarakat menghadapi ancaman terhadap hal yang selama ini diterima sebagai benar (threats to the taken-for-granted world). Itu terjadi di Eropa sejak pasca abad pertengahan.
L.Laeyendecker: sosiologi berkembang dalam kaitan dengan serangkaian perubahan besar/jangka panjang di Eropa Barat di abad pertengahan yaitu (1) tumbuhnya kapitalisme di akhir abad 15, (2) perubahan di bidang social dan politik, (3) reformasi Martin Luther, (4) meningkatnya individualisme, (5) lahirnya ilmu modern, (6) berkembangnya kepercayaan pada diri sendiri. Dua revolusi yang melatarbelakangi lahirnya sosiologi yakni revolusi industri dan revolusi Prancis (1789).
Ritzer: sosiologi lahir dan berkembang karena didorong oleh faktor2: (1) revolusi politik, (2) revolusi industri dan munculnya kapitalisme, (3) munculnya sosialisme, (4) urbanisasi, (5) perubahan keagamaan, (6) pertumbuhan ilmu.
Macionis menyebut tiga kekuatan sosial yang mendorong munculnya sosiologi, yakni (1) teknologi industri, (2) perkembangan kota-kota, dan (3) perubahan politik.

1.5.1. Teknologi Industri
Di abad pertengahan usaha kerajinan berpusat di rumah tangga. Orang-orang mengerjakan kerajinan di rumah sendiri. Tapi akhir abad 18 setelah ditemukan sumber-sumber energi baru (dari air, uap) untuk menggerakkan mesin di pabrik-pabrik, orang tidak lagi bekerja di rumah tapi pindah ke pabrik-pabrik. Teknologi industri menyebabkan perubahan sistem produksi, yang pada gilirannya memisahkan anggota-anggota keluarga satu sama lain.

1.5.2. Perkembangan Kota-kota
Pabrik menarik orang-orang untuk bekerja di pabrik. Orang-orang kaya membeli lahan-lahan lalu memagari lahan-lahan itu untuk dijadikan peternakan domba-domba untuk menghasilkan wol yang digunakan di pabrik tekstil. Para petani lalu kekurangan tanah, dan sebab itu meninggalkan daerah pedesaan untuk bekerja di pabrik-pabrik baru di kota. Bertumbuhlah kota-kota, dan orang-orang asing bermunculan di kota-kota. Terjadilah masalah-masalah sosial seperti kejahatan, polusi, dan pengangguran. Situasi ini mendorong munculnya perspektif sosiologis.

1.5.3. Perubahan Politik
Perkembangan ekonomi dan pertumbuhan kota-kota memunculkan pemikir-pemikir baru yang mencanangkan kebebasan dan hak-hak individu. Ini terlihat dari tulisan tokoh-tokoh seperti Thomas Hobbes (1588-1674), John Locke (1632-1704), dan Adam Smith (1723-1790). Fokus orang tidak lagi kepada Tuhan dan agama tetapi self-interest.
Pemikiran tentang kebebasan dan hak-hak individu itu akhirnya berpuncak dalam revolusi Prancis (1789). Ketika ekonomi industri, kota-kota besar dan pemikiran2 politik baru muncul, sosiologi lahir dan berkembang di Prancis, Jerman, dan Inggris, negara-negara yang mengalami perkembangan sosiologi terbesar.

1.6. Makro-, Meso-, dan Mikrososiologi
Para sosiolog memberikan berbagai klasifikasi sosiologi, tapi paling banyak memberikan dua klasifikasi utama yakni (1) makrososiologi, dan (2) mikrososiologi dengan istilah yang bervariasi pula.  Randall Collins (1981) misalnya memberikan klasifikasi seperti itu berdasarkan faktor waktu dan ruang. Mikrososiologi membahas secara terinci apa yang dilakukan, dikatakan, dan dipikirkan manusia pada pengalaman sesaat, sedangkan makrososiologi membahas proses sosial dalam skala besar dan berjangka panjang. Menurut ruang, mikrososiologi fokus pada seseorang atau kelompok kecil, sedangkan makrososiologi pada kelompok lebih besar, organisasi, komunitas, dan masyarakat territorial. Dari segi waktu mikrososiologi membahas gejala sosial dalam jangka waktu pendek, sedangkan makrososiologi jangka panjang.
Gerhard Lenski (1985) membedakan mikrososiologi, mesososiologi, dan makrososiologi. Mikrososiologi mempelajari dampak sistem sosial dan kelompok primer pada individu; mesososiologi mempelajari institusi khas dalam masyarakat; makrososiologi mempelajari ciri masyarakat secara menyeluruh serta sistem masyarakat dunia. Contoh dalam sosiologi pendidikan dapat dilihat dalam tabel berikut.


Mikrososiologi
Mesososiologi
Makrososiologi
Hubungan antara guru dan siswa; antara siswa dan siswa dalam kelas (kerjasama antara siswa2 untuk menyelesaikan tugas sekolah, persaingan untuk menarik perhatian guru atau memanfaatkan fasilitas sekolah yang terbatas.
Hubungan antara pimpinan universitas dan pimpinan fakultas; pimpinan fakultas dan pimpinan jurusan; mahasiswa dan karyawan, dst.
Hubungan antara faktor sosial dan pendidikan, misalnya antara pendidikan dan kelas sosial, jenis kelamin, wilayah tempat tinggal (desa/kota) atau kelompok etnik

1.7. Cabang-Cabang Sosiologi
Sosiologi adalah ilmu yang mengalami perkembangan cukup pesat, terbukti dengan lahirnya cabang-cabang atau sub-disiplinnya. Beberapa di antaranya adalah sbb:
  • Sosiologi Lingkungan
  • Sosiologi Medis
  • Sosiologi Agama
  • Sosiologi Ilmu
  • Sosiologi Pendidikan
  • Sosiologi Pengetahuan
  • Sosiologi Ekonomi
  • Sosiologi Keluarga
  • Sosiologi Kesenian
  • Sosiologi Kebudayaan
  • Sosiologi Gender
  • Sosiologi Bahasa
  • Sosiologi Industri
  • Sosiologi Hukum
  • Sosiologi Politik
  • Sosiologi Pedesaan
  • Sosiologi Perkotaan
  • Sosiologi Olahraga

1.8. Hubungan Sosiologi dan Ilmu-Ilmu Lain
Sosiologi mempunyai hubungan dengan beberapa disiplin ilmu sosial lain. Di bawah ini akan dibahas hubungan antara sosiologi dan psikologi, antropologi, ilmu politik, ilmu sejarah, dan ilmu ekonomi.

1.8.1. Sosiologi dan Psikologi.
Psikologi mempelajari proses mental seperti berfikir, belajar, mengingat, dan mengambil keputusan. Psikologi modern bahkan mempelajari perasaan, emosi, motif, dan kepribadian. Psikologi dan sosiologi berhubungan sangat erat. Paling dekat ialah psikologi sosial dan sosiologi. Psikologi sosial mempelajari bagaimana kepribadian dan perilaku dipengaruhi oleh latar belakang sosial atau social setting. Atau bagaimana kepribadian mempengaruhi perilaku. Perbedaan psikologi dan sosiologi ialah bahwa obyek studi psikologi adalah individu, sedangkan obyek studi sosiologi adalah masyarakat. Sosiologi mempelajari masyarakat dari sudut pandang unsur-unsur masyarakat, sedangkan psikologi dari sudut pandang faktor-faktor psikologis. Dengan rumusan lain, sosiologi mempelajari sistem sosial, sedangkan psikologi mempelajari sistem mental.
Hakikat hubungan sosiologi dan psikologi hingga kini masih jadi kontroversi. Ada dua ekstrim, diwakili pandangan JS Mill pada ekstrem yang satu dan E. Durkheim pada ekstrem lain. Mill mengunggulkan psikologi dari ilmu-ilmu sosial lain. Menurut dia, sebuah ilmu sosial umum belum dianggap established kalau generalisasi-generalisasi induktifnya belum dapat dideduksi secara logis dari hukum pikiran (laws of mind).
Sebaliknya Durkheim menegaskan kedua ilmu itu berbeda. Dia membedakan secara radikal fenomena yang dipelajari sosiologi dan psikologi. Sosiologi mempelajari fakta sosial (social facts) yang diartikan sebagai suatu yang eksternal dari diri individu dan bersifat memaksa bagi individu. Penjelasan fakta sosial hanya dilakukan oleh fakta sosial lain, dan bukan menurut fakta psikologis. Masyarakat bukan sekedar agregat individu2, tapi sistem yang dibentuk oleh persekutuan mereka dan mewakili suatu level khusus realitas yang memiliki karakteristiknya sendiri. Jadi sosiologi dan psikologi adalah dua disiplin ilmu yang sangat berbeda.
Ada pendapat yang mencoba menetralisasi kontroversi itu.  Ginsberg misalnya mengatakan banyak generalisasi sosiologis akan lebih kuat kalau dihubungkan dengan hukum-hukum psikologi umum. Nadel: sejumlah masalah yang timbul oleh penyelidikan sosial dapat diterangi dengan bergerak ke level-level analisis yang lebih rendah yakni psikologi dan biologi. Sedangkan Weber berkeyakinan bahwa penjelasan-penjelasan sosiologis dapat diperkaya lagi jika ada usaha untuk memahami perilaku sosial berdasarkan makna-makna di baliknya. Pemahaman seperti itu diperoleh berdasarkan common sense psychology. Tapi Weber tidak menentang perkembangan psikologi ilmiah dalam arti luas. Dia bahkan simpatik dengan ide-ide Freud.
Menurut Gerth dan Mills studi psikologi sosial merupakan interplay antara karakter individu dan struktur sosial, dan itu dapat didekati dari sosiologi maupun biologi.

1.8.2. Sosiologi dan Antropologi
Antropologi, termasuk arkeologi, antropologi ragawi, antropologi sosial dan budaya, linguistik dan studi tentang segala aspek manusia primitive (arkeologi adalah studi tentang manusia dan peradaban yang sudah punah tapi meninggalkan peninggalan2; antropologi ragawi mempelajari asal usul ras dan manusia; antropologi budaya mempelajari perkembangan budaya manusia dan perilaku manusia dalam situasi sosial).
Antropologi berkaitan sangat erat dengan biologi. Obyek material antropologi ialah kebudayaan (sistem simbol2 seperti bahasa dan kepercayaan dari suatu kelompok masyarakat), sama seperti kekuasaan dan otoritas adalah obyek material dari ilmu politik, atau produksi dan distribusi barang pada ilmu ekonomi. Antropolog cenderung mempelajari masyarakat primitif, non-industrial dan terkebelakang, sedangkan sosiologi mempelajari masyarakat yang lebih maju. Akibatnya, antropologi cenderung mempelajari masyarakat secara keseluruhan, sedangkan sosiologi mempelajari bagian-bagian dari masyarakat, dan umumnya mengkhususkan diri pada institusi-institusi seperti keluarga dsb.
Asal usul kedua ilmu ini berbeda. Sosiologi berasal dari filsafat sejarah, pemikiran politik dan ilmu-ilmu positif, sedangkan antropologi berasal dari biologi. Meski pada awalnya terdapat konvergensi antara keduanya, di kemudian hari terjadi divergensi. Antropologi sosial cenderung mempelajari masyarakat2 kecil yang relatif tidak berubah dan tidak memiliki catatan sejarah seperti Melanesia. Sosiologi sebaliknya mempelajari bagian2 dari masyarakat yang ada sekarang seperti keluarga atau mobilitas sosial. Metode sosiologi mengandung nilai-nilai, dan sebab itu konklusi-konklusinya penuh dengan pertimbangan etis. Sebaliknya antropologi sosial memberikan deskripsi dan analisa dengan term-term netral karena mereka menempatkan diri sebagai outsiders tanpa melibatkan diri dalam nilai-nilai. Ranah kajian antropologi sosial adalah kelompok masyarakat yang belum berkembang, sedangkan ranah sosiologi adalah yang berskala besar, organisasi-organisasi, serta proses-proses impersonal.
Di masa modern muncul lagi konvergensi. Unit-unit kecil yang diteliti oleh antropologi sosial sudah punah karena pengaruh modernisasi dan teknologi. Menghadapi keadaan seperti ini sosiologi dan antropolosi sosial memusatkan perhatian pada proses pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial. Kedua ilmu itu bermanfaat dalam studi tentang masyarakat Afrika dan Asia yang sedang berubah karena pengaruh Barat. Jadi bukan lagi hak prerogatif sosiologi untuk mempelajari masyarakat maju.
Semakin banyak studi antropologi terhadap masyarakat maju, seperti studi tentang komunitas kecil, kinship groups dll. Konsep-konsep dasar seperti struktur, fungsi, status, peran, konflik, perubahan dan evaluasi digunakan baik oleh sosiolog maupun antropolog sosial.

1.8.3. Sosiologi dan Ilmu Politik
Sosiologi dan ilmu politik berkonvergensi, bahkan konvergensinya meningkat. Obyek material keduanya sama, yakni manusia. Awalnya dari karya-karya Karl Marx. Menurut Marx institusi-institusi dan perilaku politik terkait erat dengan sistem ekonomi dan kelas-kelas sosial. Pada akhir abad 19 studi-studi menjadi lebih detail seperti studi ttg partai-partai politik, elit, perilaku pemungutan suara, birokrasi dan ideologi-ideologi politik seperti tampak pada sosiologi politik dari Michels, Weber, dan Pareto. Bahkan University of Chicago memprakarsai munculnya disiplin ilmu politik behavioral.
Fungsionalisme dan sistem sosial telah diadopsi ke politik. Ada minat baru terhadap ide-ide sosiologis Marx karena revolusi di negara-negara berkembang seperti dipelajari oleh para ilmuwan politik, sosiolog bahkan antropolog. Sosiologi politik yang dirintis Michaels, Weber, dan Pareto bersifat komparatif, dan semakin sulit membedakan ilmu politik dari sosiologi politik. Ketika negara-negara semakin mengusahakan kesejahteraan bagi rakyatnya, perspektif sosiologis semakin meresap ke dalam aktivitas dan pemikiran politik.

1.8.4. Sosiologi dan Sejarah
Obyek material sosiologi dan sejarah tumpang tindih. Sejarahwan sering memberikan material yang digunakan oleh sosiolog. Kenyataannya sosiologi sejarah bergantung pada data yang hanya disuplai oleh sejarahwan. Metode komparatif pun membutuhkan data historis. Tapi riset sosiologis juga memberikan informasi yang dibutuhkan sejarahwan. Obyek material dari sejarah sangat overlap dengan sosiologi pada umumnya, khususnya sosiologi sejarah.
Tapi kedua ilmu juga berbeda. Radcliffe-Brown mengatakan sosiologi bersifat nomotetis, sedangkan sejarah bersifat idiografis. Sejarahwan mendeskripsikan peristiwa-peristiwa unik, sedangkan sosiolog membuat generalisasi-generalisasi. Sejarahwan menyelidiki sekuensi2 peristiwa-peristiwa partikular, sedangkan sosiolog mentest generalisasi dengan memeriksa sekuensi peristiwa-peristiwa. Dengan kata lain: sejarahwan berminat dengan interplay antara personalitas dan kekuatan-kekuatan sosial, sedangkan sosiolog berminat pada kekuatan-kekuatan sosial itu sendiri. Sejarah pertama-tama mempelajari masa lampau dan berusaha menceritakan perubahan dari waktu ke waktu sementara fokus utama sosiologi adalah membuat generalisasi-generalisasi. Tapi lewat karya-karya besar seperti Etika Protestan dari Weber dan Social and Cultural Dynamics maka perbedaan kedua ilmu ini menjadi kabur.
Semakin jelas bahwa historiagrafi dan sosiologi tak dapat dipisahkan karena menyangkut hal yang sama yakin manusia yang hidup di masyarakat, terkadang dari sudut pandang yang sama.

1.8.5. Sosiologi dan Ekonomi
Kaum Marxist mengatakan pemahaman atas superstruktur (yang terdiri dari institusi2 sosial) tak dapat sepenuhnya terjadi kalau tidak dalam konteks substruktur ekonomi. Jadi perilaku ekonomi manusia adalah kunci untuk memahami perilaku sosial manusia, dan sebab itu ekonomi lebih penting dibanding sosiologi. Sosiologi sendiri mengkritik teori ekonomi yang dianggap bersifat reduksionis. Konsep manusia dalam ekonomi mengabaikan berbagai faktor sosial yang mempengaruhi perilaku ekonomi.
A. Lowie menunjuk dua prinsip sosiologis di balik hukum klasik pasar: economic man dan kompetisi atau mobilitas faktor-faktor produksi. Parsons dan Smelser kemudian mencoba menunjukkan bahwa teori ekonomi adalah bagian dari teori sosiologi umum. Dalam praktik ada sejumlah studi sosiologis tentang masalah-masalah teori ekonomi. Dewasa ini interaksi kedua ilmu meningkat.
Salah satu cabang sosiologi ialah sosiologi ekonomi yang mempelajari aspek-aspek sosial dari kehidupan ekonomi. Ilmu ekonomi menekankan relasi variabel-variabel ekonomi murni (relasi harga dan suplai barang, arus uang, input-output etc), sedangkan sosiologi mempelajari pabrik-pabrik sebagai organisasi sosial, suplai tenaga kerja sebagai dipengaruhi nilai-nilai dan preferensi, pengaruh pendidikan terhadap perilaku ekonomi, peran sistem kasta dalam perkembangan ekonomi dsb. Ekonomi kini tidak lagi hanya berminat pada mekanisme pasar tetapi juga pertumbuhan ekonomi, produk nasional, pendapatan nasional, dan pembangunan di kawasan sedang berkembang. Di semua bidang ini ekonom harus bekerjasama dengan sosiolog atau dia sendiri harus menjadi sosiolog.

1.9. Manfaat Belajar Sosiologi
Manfaat sosiologi dapat disimak dari akar katanya, yakni socius (Latin: teman). Jadi secara etimologis sosiologi adalah ilmu untuk mencari teman dan membina pertemanan. Dengan kata lain ilmu tentang masyarakat dan hidup bermasyarakat (hidup bersama orang lain). Kehidupan social (bersama) diisi dengan tindakan-tindakan sosial. Menurut Weber tindakan adalah perilaku manusia yang mempunyai makna subyektif (subjective meaning) bagi pelakunya.
Jadi setiap tindakan pasti mempunyai makna tertentu bagi pelaku tindakan. Tujuan sosiologi ialah memahami (verstehen) makna subyektif dari suatu tindakan. Untuk mencapai ini, orang harus menempatkan dirinya di tempat pelaku tindakan itu agar dapat menghayati pengalaman orang itu.
Hal ini terkait dengan pandangan dasar sosiologi bahwa kehidupan sosial bersifat sangat kompleks sehingga harus diurai dan diamati secara saksama. Tidak bisa menilai suatu tindakan secara hitam putih. Maka dalam menganalisis  prostitusi dan bunuh diri, misalnya, sosiolog harus menempatkan diri di pihak pekerja seks atau pelaku bunuh diri supaya dapat memahami makna subyektif dari tindakan-tindakan itu. Jadi, belajar sosiologi membuat seseorang mampu menjadi seorang “teman” yang baik.
Manfaat sosiologi dapat disimak dari pernyataan Peter L. Berger tentang citra ideal seorang sosiolog. Menurut dia sosiolog adalah “…someone concerned with understanding society in a disciplined way. The nature of this discipline is scientific”. Jadi ahli sosiologi bertugas memahami masyarakat dengan mengikuti aturan ilmiah, mengikuti aturan mengenai pembuktian ilmiah. Ia harus obyektif, mengendalikan prasangka dan pilihan pribadi, mengamati secara jernih dengan menghindari penilaian normatif.
Seorang ahli sosiologi, kata Berger adalah “…a person intensively, endlessly, shamelessly interested in the doings of men”. Perhatian intensif, tak henti-henti dan tanpa rasa malu terhadap perilaku manusia ini dapat membawa sosiolog ke tempat yang mungkin dihindari orang lain. Sosiolog melibatkan diri dengan hal yang dianggap terlalu suci ataupun terlalu menjijikkan untuk diteliti secara tidak terlibat. Maka sosiolog bergaul dengan rohaniwan maupun pekerja seks apabila pertanyaan penelitiannya memang mengharuskannya untuk kesana.
Berger juga bicara tentang daya pesona (fascination) dari sosiologi. Dimanakah pesona sosiologi? Berger berkata: the fascination of sociology lies in the fact that its perspective makes us see in a new light the very world in which we have lived all our lives”. Semua ini menjadi mungkin, kata Berger, karena apa yang semula diduga ternyata keliru (things are not what they seem). Pandangan seorang sosiolog harus menembus tembok depan gedung yang menutupi struktur sosial; ia harus melihat apa yang berada di balik tembok (seeing through the facades of social structures).
Pertama, sosiolog adalah orang yang suka bekerjsama dengan orang lain, menolong orang lain, melakukan sesuatu untuk orang lain. Kedua, sosiolog adalah seorang teoretikus di bidang pekerjaan sosial. Ketiga, sosiolog adalah orang yang melakukan reformasi sosial (perekayasa sosial). Keempat, sosiolog adalah pengamat yang tidak melakukan manipulasi.
Contoh yang dikutip Berger: media massa di AS pernah memberitakan tentang seorang rohaniwan yang terkenal dengan kotbahnya yang bagus lewat jaringan televisi. Dia jadi panutan jutaan umatnya. Ternyata dia berselingkuh dengan sekretarisnya dan menikmati gaya hidup sangat mewah dengan menyalahgunakan dana umat. Dia lalu dihadapkan ke pengadilan.
Seorang rohaniwan lain harus berurusan dengan pengadilan karena terlibat kasus penggelapan pajak. Uang derma dari umatnya dijadikan modal untuk ditanamkan di sebuah pabrik senjata di luar negeri. Seorang perempuan terpandang kelas atas dari keturunan baik-baik yang jadi idola masyarakat ternyata membiayai gaya hidupnya yang glamour itu dengan mengoperasikan sebuah rumah pelacuran. Inilah yang disebut Berger sebagai things are not what they seem.
Sosiolog hanya melakukan pengungkapan seperti itu karena didorong oleh debunking motive, yakni motif untuk membongkar kepalsuan sistem sosial yang sedang diteliti untuk membuka kedok yang menutup wajah (there is a debunking motive inherent in sociological consciousness. The sociologist will be driven time and again, by the very logic of his discipline, to debunk the social systems he is studying), kata Berger.
Jadi, fenomena sosial memang sangat kompleks. Untuk mengurai kerumitan dan kompleksitas itu sosiolog harus menempatkan diri di tempat orang atau gejala yang diteliti untuk menemukan subjective meaning dari tindakan orang lain. Ia harus melihat orang lain sebagai homo socius, bukan homo economicus. Ia harus menjadi socius, teman bagi orang lain, termasuk orang yang tidak disukainya sekali pun karena metode ilmunya memang menuntut demikian.

1.10. Relevansi Sosiologi Bagi Ilmu Komunikasi
Relevansi sosiologi bagi (ilmu) komunikasi terletak terutama dalam peran media massa (cetak dan elektronik) sebagai agen sosialisasi (lihat bab tentang Sosialisasi), peran yang juga dilakoni oleh keluarga, teman bermain, dan sekolah. Sosialisasi adalah proses di mana anak belajar menjadi anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat (Berger 1978). Dalam proses sosialisasi yang dipelajari adalah peran-peran (roles). Menurut Berger melalui sosialisasi “masyarakat dimasukkan ke dalam manusia”.
Pertama harus dikatakan bahwa sosiologi dan komunikasi berhubungan sangat erat kalau (ilmu) komunikasi diartikan sebagai proses penyampaian pesan (message) melalui media tertentu. Ini merupakan bagian dari interaksi social yang menjadi inti dari sosiologi. Maka sosiologi lebih berperan dalam proses penyampaian pesan tersebut. Agar pesan yang hendak disampaikan itu dapat diterima oleh pihak yang dituju, maka pihak penyampai pesan disarankan untuk menempatkan diri di tempat pihak yang dituju. Inilah yang dimaksudkan dengan subjective meaning. Hanya dengan demikian maka dipilih proses penyampaian pesan, materi (message), dan media yang dibutuhkan.
Disini kita hanya bicara tentang pesan (message), yaitu materi yang dikomunikasikan, termasuk nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Yang diperhatikan sosiologi adalah kenyataan bahwa terkadang, agen-agen sosialisasi menyosialisasikan nilai-nilai yang seakan bertentangan. Pesan-pesan itu banyak kali tidak sepadan/sama.
Contoh, kalau keluarga melarang anak untuk merokok, minum minuman keras, tidak boleh melawan guru atau orang lebih tua, bersikap baik dan sopan terhadap perempuan, tidak nyontek, maka sering hal-hal itu berlawanan dengan sosialisasi yang ditemukan di sekolah atau media massa.
Yang diharapkan dari sosialisasi ialah agar individu berkembang menjadi orang yang baik dan bertanggung jawab, dan dengan demikian bersama individu lain yang dibentuk seperti itu akan menjadi anggota masyarakat yang baik dan bertanggungjawab pula. Kalau pesan yang disosialisasikan oleh agen-agen sosialisasi (seperti keluarga, teman bermain, sekolah, dan media massa) saling mendukung, maka tujuan sosialisasi tercapat (yakni individu yang baik dan bertanggungjawab). Masalah muncul kalau pesan dari satu agen sosialisasi tidak terlalu sama dengan agen sosialisasi lain.
Menurut penelitian Urie Bronfenbrenner (1970) pola sosialisasi anak di AS cenderung menghasilkan anak dengan perilaku antisosial dibanding di Soviet. Di AS peran keluarga dalam sosialisasi semakin kecil, sedangkan peran teman bermain dan media massa menjadi dominan. Pola sosialisasi di Soviet, katanya, memperlihatkan kecocokan antara pesan-pesan yang disampaikan keluarga, sekolah, lingkungan luar sekolah, dan media massa sehingga menghasilkan anak yang berperilaku prososial.
Media massa elektronik dewasa ini, yang jangkauannya sudah global, memainkan peran sangat penting dalam sosialisasi, dan ini sangat mengkhawatirkan. Penelitian Fuller dan Jacobs di AS menunjukkan bahwa banyak anak menggunakan sebagian besar waktu untuk nonton televisi dibanding waktu yang digunakan untuk sekolah atau belajar. Banyak acara yang ditonton anak-anak adalah acara untuk orang dewasa. Dikatakan anak yang menonton acara-acara televisi yang mengandung kekerasan cenderung menampilkan perilaku keras dan agresif. Berbagai penelitian juga mengungkapkan bahwa kekerasan di televisi membuat penonton lebih agresif dalam perilakunya sehari-hari.
Jadi sudut pandang sosiologi sangat berguna bagi media massa, khususnya elektronik (yang menjadi pilihan utama orang-orang modern dan terpelajar), dalam mengelola penyiaran informasi ke berbagai strata masyarakat. Sudut pandang sosiologis itu akan memampukan para pengelola dan pekerja media massa untuk memperhatikan strata yang paling rentan dengan dampak negatif pemberitaan media massa. Anak-anak dan remaja, kaum perempuan, orang miskin, dan masyarakat adat perlu dukungan dari media massa yang sangat berorientasi kapitalistik dewasa ini. Dampak negatif lebih banyak dirasakan oleh kelompok-kelompok tersebut. Kepekaan sosiologis yang diperoleh dalam sosiologi diharapkan memberi keseimbangan antara keuntungan kapital dan nila-nilai kemanusiaan yang juga menjadi tugas media massa untuk melestarikannya.

No comments:

Post a Comment

Silahkan baca dan share