Bab 4
STRUKTUR DAN PENGENDALIAN SOSIAL
4.1. Pendahuluan
4.2. Struktur Sosial
4.3. Institusi Sosial
4.4. Masyarakat (Society)
4.5. Pengendalian Sosial
4.5.1. Pengertian
4.5.2. Cara Pengendalian Sosial
4.1. Pendahuluan
Tatanan sosial (struktur sosial) merupakan bidang pembahasan meso- dan
makrososiologi. Sosiologi makro menganalisis proses sosial
berskala besar dan berjangka panjang, mulai dari kerumunan, organisasi
hingga masyarakat teritorial, mulai dari
hari, minggu, bulan, tahun hingga abad (mikrososiologi: individu dan
kelompok kecil dalam jangka waktu pendek: detik, menit, jam). Mikrososiologi
mempelajari situasi, makrososiologi mempelajari struktur (Douglas 1973). Jadi
yang dianalisis makrososiologi dalam proses jangka panjang seperti sekularisasi,
rasionalisasi, industrialisasi, modernisasi, kapitalisme, urbanisasi dll
(Randall Collins (1981).
Jadi makrososiologi menggunakan sudut pandang struktur. Sosiologi
mempelajari hubungan sosial, institusi, dan masyarakat. Meso- dan makrososiologi
memusatkan diri pada institusi dan masyarakat (Inkeles 1965). Fakta sosial
(Durkheim) mengacu pada institusi yang mengendalikan individu dalam masyarakat.
Sehingga menurut Durkheim sosiologi adalah ilmu masyarakat dan mempelajari
institusi.
4.2. Struktur Sosial
Apa itu struktur sosial? Ada berbagai pemahaman tentang struktur sosial.
Dalam mikrososiologi stuktur dikaitkan dengan perilaku sosial elementer dalam
hubungan sosial sehari-hari (Homans). Dalam makrososiologi struktur sosial
menyangkut kecenderungan jangka panjang yang menandai sejarah (Lenski).
Struktur social dapat juga berarti keterkaitan antara institusi-institusi
(Parsons), atau pola hubungan antar-manusia dan antarkelompok (Coleman).
Dalam sosiologi, struktur menunjuk pada sesuatu yang terdiri atas bagian
(pola perilaku individu/kelompok, institusi, dan masyarakat) yang saling
bergantung dan membentuk pola tertentu. Kornblum (1988)mengartikan struktur
sebagai pola perilaku berulang-ulang yang menciptakan hubungan antar-individu
dan antarkelompok dalam masyarakat.
Ada dua konsep penting dalam membahas struktur sosial, yakni status dan
peran (role). Status adalah kumpulan hak dan kewajiban. Peran
adalah aspek dinamis dari status (Ralph Linton (1968). Seorang dikatakan
menjalankan peran manakala ia menjalankan hak dan kewajiban (status).
Contoh, dosen mempunyai status dan peran. Status dosen terdiri atas
sejumlah kewajiban (mengajar, melakukan penelitian ilmiah, pengabdian
masyarakat) dan hak (menempati jabatan fungsional, imbalan/gaji). Jadi, peran
dosen mengacu pada bagaimana dia yang berstatus dosen menjalankan hak dan
kewajibannya (mengajar dsb.).
Status juga dapat dibedakan atas status yang diperoleh (ascribed status) dan status yang diraih
(achieved status) (Linton). Status
yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada individu tanpa memandang
kemampuan atau perbedaan antarindividu yang dibawa sejak lahir, misalnya usia
(anak, dewasa, lansia), jenis kelamin (laki dan perempuan), hubungan
kekerabatan, dan kelahiran dalam suatu kelompok khusus seperti kasta atau
kelas. Sebagian besar status dalam semua sistem sosial termasuk status yang
diperoleh (ascribed status).
Sedangkan status yang diraih adalah status yang memerlukan kualitas
tertentu. Status yang ini tidak
diwariskan sejak lahir, tapi harus diraih melalui persaingan dan usaha pribadi.
Menurut Robert K. Merton (1965) ciri dasar struktur sosial ialah bahwa
status tidak hanya melibatkan satu peran terkait tetapi sejumlah peran yang
dinamakannya perangkat peran (role-set).
Perangkat peran adalah pelengkap hubungan peran yang dimiliki seseorang karena
menduduki suatu status sosial tertentu.
Misalnya, status sebagai mahasiswa fakultas kedokteran, tidak hanya
melibatkan peran mahasiswa terkait dengan dosen, tetapi juga sekumpulan peran yang
mengkaitkan statusnya sebagai mahasiswa kedokteran dengan mahasiswa lain, juru
rawat, dokter, dan sebagainya.
Perangkat peran ini berbeda dengan peran majemuk (multiple roles) yang mengacu pada perangkat peran yang terkait
dengan berbagai status yang dipunyai seseorang, misalnya status seorang sebagai
guru, istri, ibu, penganut agama X, anggota partai Y. Merton menyebutnya
sebagai perangkat status (status set).
4.3. Institusi Sosial
Institusi sosial (Durkheim) atau lembaga kemasyarakatan (Selo Soemardjan),
atau pranata sosial (Koentjaraningrat, Mely G. Tan, Hasja W. Bachtiar). Ada
berbagai definisi tentang institusi sosial, misalnya struktur status dan peran
yang diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan dasar anggota masyarakat (Kornblum,
1988), seperangkat norma yang terinstitusionalisasi, yakni telah diterima
sejumlah besar anggota sistem sosial, ditanggapi secara sungguh-sungguh (internalized), dan diwajibkan, dan
terhadap pelanggar dikenakan sanksi (Harry M. Johnson).
Sedangkan Peter L. Berger (1978) mendefinisikan institusi sebagai a distinctive complex of social
actions. Berger mengacu kepada konsep Arnold Gehlen tentang institusi
sebagai regulatory agency yang
menyalurkan tindakan manusia laksana naluri yang mengatur tindakan hewan.
Contoh, dorongan untuk menikah. Pada banyak masyarakat dorongan untuk menikah
nampak serupa suatu yang bersifat naluriah tapi sebetulnya dorongan yang
ditanamkan pada diri seseorang oleh masyarakat melalui institusi seperti
keluarga, pendidikan, agama, media massa, dan iklan.
Ada berbagai institusi sosial, seperti institusi keluarga, pendidikan,
agama, ekonomi, dan politik. Studi sosiologis terhadap institusi-institusi
menghasilkan berbagai cabang khusus sosiologi seperti sosiologi keluarga,
sosiologi pendidikan, sosiologi agama, sosiologi ekonomi, dan sosiologi
politik.
4.4. Masyarakat (society)
Masyarakat dipelajari dalam sosiologi makro. Apa itu masyarakat (society)? Agar sebuah kelompok disebut masyarakat, ada
empat syarat yang harus dipenuhi, yaitu (1) kemampuan bertahan melebihi masa
hidup seorang individu; (2) rekrutmen seluruh atau sebagian anggota melalui
reproduksi; (3) kesetiaan kepada suatu “sistem tindakan utama bersama”; (4)
adanya sistem tindakan utama yang bersifat “swasembadha” (Marion Levy).
Menurut Inkeles, suatu kelompok dinamakan masyarakat bila kelompok itu
memenuhi keempat syarat tersebut. Atau bila kelompok itu dapat bertahan stabil
untuk beberapa generasi walaupun samasekali tidak ada orang atau kelompok lain
di luar kelompok tersebut.
Menurut Talcott Parsons (1968) masyarakat adalah sistem sosial yang self-subsistent, swasembada), melebihi
masa hidup individu normal, dan merekrut anggota secara reproduksi biologis dan
melakukan sosialisasi terhadap generasi berikutnya.
Edward Shills menekankan aspek pemenuhan kebutuhan sendiri (self-sufficiency) yang terdiri atas
pengaturan diri, reproduksi sendiri, dan penciptaan sendiri (self-regulation, self-reproduction,
self-generation). Kesimpulan, dalam sosiologi tidak semua kelompok disebut
masyarakat.
4.5. Pengendalian Sosial
Berturut-turut akan dibahas tentang pengertian pengendalian sosial dan
cara/mekanisme pengendalian sosial tersebut.
4.5.1. Pengertian
Fakta sosial (Durkheim) adalah
suatu yang bersifat memaksa bagi individu. Sifat memaksa ini dapat dilihat
dengan jelas dari sanksi atas perlawanan terhadap setiap usaha individu untuk
melanggar fakta sosial. Fakta sosial berada di luar individu dan memiliki daya
paksa untuk mengendalikan individu. Jadi individu harus menaati sejumlah aturan
yang terdapat dalam masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat menjalankan
pengendalian sosial (social control)
terhadap individu.
Apa itu kontrol sosial? Lagi-lagi ada banyak pendapat. Kontrol sosial
adalah berbagai cara yang digunakan masyarakat untuk menertibkan anggota yang
membangkang (Berger, 1978); proses-proses, direncanakan atau tidak
direncanakan, dengannya individu-individu diajar, diyakinkan, atau dipaksa
untuk menyesuaikan diri dengan kebiasaan dan nilai-nilai kehidupan dari
kelompok (Roucek, 1965). Jadi definisi Roucek lebih luas dari Berger karena
tidak hanya terbatas pada tindakan terhadap mereka yang membangkang tetapi
mencakup pula proses yang dapat diklasifikasikan sebagai proses sosialisasi.
4.5.2. Cara Pengendalian Sosial
Berger menyebut jenis kontrol sosial tertua ialah paksaan fisik. Menurut
dia, kekerasan fisik dapat digunakan bilamana cara paksaan lain gagal.
Kekerasan fisik dapat bersifat resmi ataupun spontan. Resmi/sah, misalnya
penembakan terhadap para demonstran yang tidak mematuhi aturan demonstrasi yang
sesuai undang-undang. Bisa juga karena spontanitas, misalnya pencopet langsung
dihajar massa.
Cara atau mekanisme lain untuk menjalankan kontrol sosial dilakukan
misalnya untuk ruang lingkup terbatas, misalnya dalam kelompok profesi,
lingkungan pergaulan, dan lingkungan keluarga, seperti membujuk,
memperolok-olok, menggosipkan, mempermalukan, dan mengucilkan.
Roucek menyebut mekanisme kontrol sosial lain seperti gossip, olok-olok,
pengucilan, menyakiti. Jenis lainnya ialah ideologi, bahasa, seni, rekreasi, organisasi rahasia, cara tanpa
kekerasan, kekerasan dan teror, pengendalian ekonomi, perencanaan ekonomi dan
sosial. Dia menyebutkan beragam klasifikasi kontrol sosial seperti melalui
institusi atau tidak; secara lisan atau simbolik; melalui kekerasan; melalui
hukuman atau imbalan; formal atau tidak formal.
Jadi terdapat bermacam-macam mekanisme kontrol atau pengendalian sosial. Menurut
Berger setiap individu berada di pusat seperangkat lingkaran konsentris yang
mewakili sistem kontrol sosial tertentu. Kadang-kadang kontrol sosial itu
terjadi secara akumulatif oleh berbagai lingkup lingkaran sosial dimana
individu itu menjadi anggotanya.
No comments:
Post a Comment
Silahkan baca dan share