BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Greget partai-partai politik untuk
bersaing dalam koridor Undang-Undang Pemilu mulai terasa. Sejak partai-partai
politik tersebut mulai diverifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), hingga
diumumkannya statusnya sebagai kontestan pemilu, berbagai respons reaksi atau
tanggapan muncul dari partai-partai politik terhadap hasil kerja KPU.
Pengajuan caleg adalah fase yang
memiliki implikasi penting terhadap pergerakan perempuan di Indonesia. Berbagai
pihak terkait mulai dari KPU, pengamat dan analisis politik, LSM sampai aktivis
perempuan mencermati dan menilai apakah partai-partai politik dalam mengajukan
caleg melaksanakan amanat yang ada dalam pasal 65 ayat (1) Undang-Undang No. 12
Tahun 2003 atau tidak. Melalui pasal tersebut jumlah perempuan dalam lembaga
perwakilan rakyat yang bisa didongkrak. Pasal 65 ayat (1) tersebut menegaskan
bahwa setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR,
DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten atau Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan
memperhatikan perwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen. Amanat inilah
yang kemudian popular dan familiar dengan istilah “Kuota Perempuan 30 persen”.
Dari daftar caleg sementara yang
masuk ke KPU berbagai daerah ternyata tidak sampai 20% partai politik yang bisa
memenuhi amanat pasal 65 ayat (1) tersebut. Perlu diakui ketentuan pasal 65
ayat (1) ini memang tidak bersifat imperative, dan tidak menyediakan dasar bagi
KPU untuk menjatuhkan sanksi sekiranya partai-partai politik tidak mentaatinya.
Pasal tersebut juga tidak secara tegas mengatur, apakah keterwakilan 30% yang
diinginkan ada pada level pencalonan atau pada level perolehan suara. Namun
paling tidak ketentuan tersebut member peluang yang sedikit terbuka bagi kaum
perempuan untuk ikut ambil bagian dalam pengambilan kebijakan.
1.2 Rumusan Masalah
Menghadapi realitas yang telah
dijelaskan pada latar belakang di atas, maka beberapa pertanyaan penting mengenai
Peran Perempuan dalam Sistem Politik di
Indonesia, bisa diajukan sebagai berikut:
a. Bagaimana
peran perempuan dalam perjuangan kemerdekaan?
b. Bagaimana
kondisi dan keterlibatan perempuan dalam dunia politik paska kemerdekaan?
c. Bagaimana hak
politik perempuan?
d. Bagaimana perempuan dalam perspektif hukum dan politik?
e. Bagaimana peran perempuan dalam parlemen di Indonesia?
f. Bagaimana peran
perempuan dalam kementerian di Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah, maka
tujuan penulisan makalah mengenai Peran
Perempuan dalam Sistem Politik di Indonesia adalah:
a. Untuk
mengetahui peran perempuan dalam perjuangan kemerdekaan.
b. Untuk
mengetahui kondisi dan keterlibatan perempuan dalam dunia politik paska
kemerdekaan.
c. Untuk
memahami hak politik
perempuan.
d. Untuk
mengetahui perempuan dalam perspektif hukum dan politik.
e. Untuk
memahami peran
perempuan dalam parlemen di Indonesia
f. Untuk
memahami peran
perempuan dalam kementerian di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perempuan dalam
Perjuangan Kemerdekaan
2.1.1
Sejarah
Gerakan Perempuan di Indonesia
Soekarno dalam bukunya Sarinah mengatakan bahwa;
“soal wanita adalah
soal masyarakat. Sayang sekali masalah wanita itu belum pernah dipelajari
sungguh-sungguh oleh pergerakan kita.Kita tidak dapat menyusun negara dan
menyusun masyarakat jika kita tidak mengerti soal wanita.”
Demikian
penting soal wanita ini menjadi bahan bagi penyusunan masyarakat dan negara,
sehingga pemahaman atas persoalan perempuan menjadi salah satu pijakan dalam
membangun gerakan perempuan.Selain itu, Sukarno
mengatakan bahwa:
“nasib kaum
wanita Indonesia tergantung dari tangan mereka sendiri. Kaum laki-laki harus
terus mengingatkan dan memberikan keyakinan kepada kaum wanita Indonesia
tentang pentingnya mereka ikut dalam gerak perjuangan.Perempuan Indonesia harus
bahu membahu dengan laki-laki mewujudnya cita-cita bangsa yang sejahtera, adil
dan makmur, zonder exploitation de lhomme par lhomme.
Di satu sisi gerakan perempuan harus mengembalikan
kepercayaan diri dan kemampuan pada diri kaum perempuan untuk bisa menolong
dirinya sendiri.Sehingga pada gilirannya kelak mereka dapat berdiri tegak
sebagai pribadi yang merdeka. Di pihak lain, gerakan perempuan sadar bahwa
mereka punya peran penting dalam perjuangan yang lebih luas.
Gagasan Kartini Di penghujung abad ke-19.Kartini
menulis tentang ketertindasannya sebagai perempuan Jawa.Ia menyadari bahwa
pembebasan perempuan bisa terwujud bila terjadi perubahan pola pikir di
kalangan masyarakat Jawa secara keseluruhan. Memperjuangkan kesetaraan bagi
perempuan adalah kerja pemberadaban suatu bangsa dan bukan semata-mata tugas
perempuan.Kartini memang belum berpikir tentang Indonesia, tetapi dia sangat
menyadari bahwa nasib “bangsa boemipoetra” saat itu sedang berada di
bawah kekuasaan feodal dan kolonial.Gagasan Kartini tentang pentingnya
kemerdekaan berpikir dan berbuat bagi semua orang tanpa membedakan gender dan
kelas untuk meningkatkan kualitas hidup suatu bangsa menjadi salah satu syarat
kaum perempuan yang terlibat dalam gerakan nasional sejak awal abad ke-20.
Kartini mendesakkan bahwa prasyarat perjuangan pembebasan manusia harus
mempertimbangkan pengalaman perempuan sampai wilayah yang paling privat, yakni
lembaga perkawinan.Hal ini berbeda dengan dengan Tjoet Nja’ Dhien di Aceh, Nyi
Ageng Serang di Jawa, atau Martha Chistina Tiahahu di Maluku, yang
memperlihatkan bahwa perempuan dapat dipercayai untuk mengarungi dunia
laki-laki.
Awal Abad ke-20 Terbuka Ruang-ruang Pendidikan.Dengan
kebijakan politik Etis penguasa kolonial yang menganggap kaum bumiputra malas,
bodoh dan tidak beradab membuka ruang-ruang pendidikan secara luas dengan
harapan rakyat Hindia Belanda akan menerima peradaban barat dan menjadi bagian
Kerajaan Belanda dengan sukarela. Kesempatan ini langsung dimanfaatkan oleh
kaum bumiputra yang menganggap kemajuan sebagai tumbuhnya gairah untuk berpikir
merdeka, meninggalkan kepatuhan kepada penguasa kolonial dan terlibat dalam
kerja-kerja melawan pembodohan, diskriminasi dan segala bentuk
ketidakadilan.Gagasan kemajuan kaum bumiputera terpelajar (sedikit) berpengaruh
terhadap pandangan mereka tentang perempuan. Mereka tetap melihat peran utama
perempuan adalah melahirkan dan merawat anak, tetapi kepedulian mereka akan
perlunya satu generasi baru dengan kualitas moral dan intelektual yang lebih
baik membuat mereka berpikir tentang pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan
sebagai ibu. Sementara, kaum perempuan terdidik melihat bahwa sistem
kolonialisme dan tradisi feodal sudah menyebabkan kehidupan perempuan secara
umum terpuruk.Di tingkat elit, perempuan semata-mata dijadikan perhiasan rumah
tangga, tidak berpengetahuan, tidak memiliki wawasan, dan menjadi korban
poligami. Di tingkat bawah, kemiskinan mendorong perempuan menerima kawin paksa
sejak usia dini, yang bisa menggiring mereka pada perceraian tidak adil secara
berulang, prostitusi dan pergundikan. Mereka berpendapat, dengan bekal
pendidikan dan ketrampilan, perempuan akan mampu mengusahakan hidup sendiri dan
tidak bergantung secara ekonomi pada laki-laki. Sedangkan pengetahuan
kerumahtanggaan, kesehatan ibu dan anak, gizi, kebersihan akan membuat
perempuan mampu merawat keluarga dengan lebih baik.Semangat inilah yang
mendorong perempuan-perempuan terdidik di beberapa tempat menyelenggarakan sekolah-sekolah
bagi perempuan, diantaranya:
a. Sekolah
Istri. Pada tanggal 16 Januari 1904 sekolah perempuan pertama, yakniSekolah Istri didirikan oleh Dewi
Sartika. Delapan tahun kemudian berubah nama menjadi Sekolah Kautamaan Istri
dan meluas menjadi sembilan sekolah yang memberi perhatian terbesar pada
anak-anak perempuan dari kalangan rakyat biasa.
b. Sekolah
Kerajinan Amai Setia. Di Kotogadang, Roehana Koeddoes mendirikan Sekolah
Kerajinan Amai Setia pada tahun 1911
c. Sekolah
Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya (PIKAT). Di Manado Maria Walanda Maramis
mendirikan Sekolah PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya) pada 1917.
d. Sementara
itu ide Kartini dilanjutkan oleh C. Th. Van Deventer beserta istrinya dengan
mendirikan Sekolah Kartini pada tahun 1913 di Semarang.
e. Sekolah
Agama Perempuan Aisyiyah. Di kalangan organisasi Islam, seperti Muhammadiyah,
pada tahun 1917 di Yogyakarta membentuk Aisyiyah yang menyelenggarakan sekolah
berkurikulum modern bagi anak-anak perempuan dengan tekanan pada pendidikan
agama.
f.
Pesantren
Dinijah Poetri. Di Padang Panjang, Rahma El Joenoesia, pada tahun 1922,
mendirikan pesantren perempuan yang diberi namaDinijah Poetri.
Dukungan
dari para lelaki yang aktif dalam pergerakan nasional menjadi penting, terutama
menghadapi tantangan dari kalangan konservatif di kalangan bumiputra yang tidak
melihat perlunya perempuan berkumpul, bertukar pikiran, menyatakan pendapat dan
bekerja untuk masyarakat.Di samping itu perempuan juga membutuhkan bantuan dari
laki-laki untuk mengenali dan memanfaatkan perangkat kerja modern, seperti
organisasi, penerbitan dan pertemuan umum.
a. Poetri
Mardika didirikan di Jakarta pada tahun 1912, didorong oleh Boedi Oetomo.
b. Poetri
Hindia. Surat kabar perempuan pertama, yang diterbitkan oleh jurnalis R.M.
Tirto Adhisoerjo di Bandung pada 1909, masih dipimpin dan diawaki oleh laki-laki.
Baru tiga tahun kemudian,
c. Rohana
Koeddoes menerbitkan Soenting Melajoe (Bukittinggi) yang sepenuhnya
dikelola perempuan.
Dalam
waktu kurang lebih 15 tahun organisai-organisasi lainpun berdiri di
berbagai kota dengan kegiatan, antara lain; menyelenggarakan pendidikan dan
layanan kesejahteraan sosial bagi perempuan, memberi beasiswa kepada anak-anak
perempuan berbakat, menyebarkan informasi tentang pendidikan, dan menerbitkan
surat kabar mingguan untuk menyebarluaskan gagasan tentang kemajuan dan
keadaban perempuan. Setelah itu muncul kongres-kongres perempuan, diantaranya;
a. Kongres
Perempuan Indonesia I
Kongres
Perempuan Indonesia I di Jakarta 1928.Kongres ini menekankan pandangan tentang
pentingnya keutuhan rumah tangga dengan perkawinan yang bahagia.Persoalan
sosial seperti perdagangan perempuan, prostitusi, pergundikan, atau kawin paksa
diperbincangkan dalam kerangka pentingnya membangun institusi perkawinan dan
kerumahtanggaan yang sehat dan kuat demi kemajuan dan keadaban bangsa.Masalah
poligami mulai menjadi tema, yang menurut Sitti Soendari, adalah merupakan
masalah perempuan.Selanjutnya masalah poligami ini menjadi sumber perdebatan
sepanjang sejarah gerakan perempuan, apakah poligami sesungguhnya sumber
masalah atau bagian dari penyelesaian masalah bagi perempuan?
b. Kongres
Perempuan Indonesia II
Kongres
Perempuan Indonesia II membentuk Komisi Penyelidik Hukum Perkawinan di bawah
pimpinan ahli hukum Maria Ulfah Santoso yang hasilnya disampaikan pada Kongres
Perempuan III. Kesimpulannya adalah bahwa pada akhirnya masyarakat Indonesia
akan sepakat bahwa poligami harus dihapuskan. Dari perdebatan tentang poligami
dapat dipelajari bahwa soal pelembagaan perkawinan dan posisi perempuan di
dalamnya menjadi masalah politik kebangsaan.
c. Kongres
Perempuan Indonesia III
Pada
Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung, tepatnya pada tanggal 22 Desember
1938, yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Ibu, muncullah semboyan “Merdeka
Melaksanakan Dharma”, yakni menekankan pentingnya tugas perempuan sebagai ibu
keluarga, ibu masyarakat dan ibu bangsa.
Organisasi-organisasi
perempuan bukannya tidak menyadari sisi politis dari perjuangan mereka.Namun,
kepelikan yang mereka alami saat berhadapan dengan adat dan agama membuat
mereka memilih jalur-jalur aman dalam memperjuangkan kebutuhan dan hak-hak
perempuan.Tuduhan dari kalangan Islam bahwa kaum nasionalis sudah berniat
menghinakan Islam dan menceraiberaikan rakyat Indonesia dengan membicarakan
poligami membuat kongres-kongres perempuan di masa sebelum kemerdekaan tidak
berbicara tentang agama dan politik.Mungkin satu-satunya organisasi perempuan
yang berani menerobos batasan gerak politik perempuan dan menolak poligami
adalah Istri Sedar yang didirikan pada 1930 di bawah Soewarni Pringgodigdo.
Soewarni menyatakan: “Perempuan Indonesia berhak atas keadilan dan kemerdekaan,
dan poligami adalah penolakan sesungguhnya dari keadilan dan kemerdekaan.”
Ketika Soekarno menyatakan bahwa gerakan perempuan pertama-tama harus mendukung
kemerdekaan nasional sebelum menuntut hak-haknya, Soewarni berpendapat
sebaliknya, bahwa kesetaraan perempuan menjadi prasyarat memenangkan
kemerdekaan nasional.
Posisi
politik sebagai ibu bangsa mencerminkan tentang keperempuanan dan kebangsaan
yang sangat terkait dengan kemampuan biologis perempuan sebagai ibu dan peran
sosialnya sebagai ibu rumah tangga.Rumusan ibu bangsa ini dapat dipahami
sebagai strategi gerakan perempuan memperoleh tempat dalam pergerakan nasional
tanpa menimbulkan banyak tentangan dari pihak laki-laki.Akan tetapi, di pihak
lain, strategi ibu bangsa ini mengukuhkan pembedaan peran antara laki-laki dan
perempuan dalam masyarakat.Perempuan tetap dilihat sebagai makhluk
domestik.Pembedaan ini membatasi dan membebani keterlibatan perempuan di ranah
publik.Perempuan dapat terlibat dalam kegiatan politik selama mereka tidak
melupakan tugasnya melahirkan keturunan baru dan mengurus rumah tangga.
Dalam
perkembangan selanjutnya, gerakan perempuan mulai mengambil tugas-tugas
perjuangan.Bersama kaum laki-laki perempuan bergabung dalam perjuangan
pembebasan nasional dan menjadikan organisasi sebagai alat perjuangannya.Isteri
Sedar sebuah organisasi perempuan yang didirikan di Bandung dalam kongresnya
tahun 1932 menyatakan diri ingin meningkatkan status perempuan Indonesa melalui
perjuangan kemerdekaan. Ide dasarnya adalah bahwa tidak akan ada persamaan hak
antara laki-laki dan perempuan bila tidak ada kemerdekaan.
Pada
masa pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942, semua organisasi perempuan
dilarang kecuali Fujinkai yang merupakan organisasi bentukan Jepang untuk para
istri pegawai pemerintah dan sebagai wadah memobilisir dukungan demi
kepentingan fasisme Jepang. Salah satu kegiatan dari Fujinkai ini adalah
pemberantasan buta huruf.
2.2 Kondisi dan
Keterlibatan Perempuan dalam Dunia Politik Paska Kemerdekaan
Peran
perempuan dalam ranah politik di Indonesia bisa dikatakan masih minim, dan
aspirasi kaum perempuan cenderung diabaikan.Di Indonesia negara yang masih
cenderung Patriarkal suara perempuan kurang didengarkan, meski semenjak paska
kemerdekaan telah banyak pergerakan perempuan mulai dari organisasi hingga
partai politik yang bermunculan.Misalnya pada tahun 1945, pergerakan wanita
menggalang persatuan dan membentuk badan persatuan. Persatuan Wanita Indonesia
(Perwani) dan Wanita Negara Indonesia (Wani) yang kemudian melebur menjadi satu
badan dengan nama Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari).
Kemudian, pada bulan
Februari 1946 di Solo, lahirlah Badan Kongres Wanita Indonesia (KOWANI).
Kongres tersebut memutuskan antara lain mulai mengadakan hubungan dengan luar
negeri. Maka dari itu Kongres Wanita Indonesia menjadi anggota WIDF (Women’s
International Democratic Federation).
Secara umum arah
perkembangan gerakan wanita sampai tahun 1950 telah mencakup paling
tidakhal-hal berikut:
1. Pertama, sebagai
kelanjutan dari kecenderungan pada masa sebelumnya, wawasan dan lingkup
perhatian organisasi wanita telah meluas tidak hanya pada masalah dan isue
wanita saja, tetapi juga ke bidang-bidang lain seperti politik dan
pemerintahan.
2. Kedua,muncullah
jenis organisasi wanita yang semakin beragam. Selain organisasi-organisasi yang
sudah ada sebelumnya seperti organisasi yang berafiliasi pada partai politik
dan organisasi yang berazaskan agama, muncul pula organisasi khusus pada
kelompok sosial tertentu seperti dikalangan istri Angkatan Bersenjata, dan
organisasi profesi. Selain itu, azas demokrasi yang dipercaya sebagai dasar
negara yang baru merdeka juga telah mendorong kaum wanita untuk membentuk
partai politik agar kepentinngan kaum wanita juga terwakili dan tersalur.
3. Ketiga, ruang gerak
organisasi wanita juga semakin meluas, tidak hanya lokal dan nasional tetapi
juga internasional, dengan bergabungnya organisasi-organisasi dalam Kowani
dengan WIDF.
4. Keempat,sebagai
akibat orientasi gerakan yang diambil, kegiatan organisasi-organisasi wanita
juga beragam. Yang terakhir ini paling tidak dapat dipisahkan menjadi dua
kelompok besar, pertama organisasi-organisasi yang mendasarkan kegiatannya pada
kesejahteraan (welfare) yaitu masalah pendidikan, sosial ekonomi, kewanitaan
dan kegiatan karitatif; dan kedua organisasi yang berkonsentrasi pada
masalah-masalah politik.
Sangatlah perlu
untuk dilihat dalam konteks Indonesia, bagaimana posisi perempuan dalam
Negara Indonesia sendiri. Jikalau
ditelusuri, Kepedulian Negara terhadap perempuan dapat dirunut sejak masa pemerintahan Presiden RI pertama, Soekarno. Pada masa itu, perempuan
telah diakui haknya dalam politik, baik hak pilih dalam pemilihan umum 1955,
maupun juga duduk sebagai anggota parlemen. Pada masa itu juga
telah ada UU yang
bernuansa keadilan gender, yaitu
UU 80 tahun 1958. Undang-Undang tersebut
menentukan prinsip pembayaran yang sama
untuk pekerjaan yang sama. Perempuan dan laki-laki tidak dibedakan dalam sistem
penggajian.Keluarnya UU ini
merupakan salah satu contoh dari keberhasilan perjuangan kaum perempuan
ketika itu. Pada masa Soeharto ada
juga kemajuan penting yang
dicapai perempuan, salah satu kemajuan yang dapat dicatat adalah dijadikannya
masalah perempuan sebagai masalah politik dan adanya kebijakan-kebijakan
publik yang secara eksplisit bertujuan untuk menangani masalah-masalah
perempuan. Secara kelembagaan hal ini tercermin dari adanya suatu kementrian yang bertugas menangani masalah-masalah perempuan.
Pada Tahun 1978 dibentuk
Kantor Menteri Muda Urusan Peranan Wanita atau lebih dikenal melalui akronim
Menmud UPW. Pada tahun 1983 status menterimuda ini ditingkatkan menjadi Menteri
Negara Urusan Peranan Wanita, Keppres No.25 Tahun 1983 yang mengatur kedudukan,
tugas pokok, fungsi dan tata kerja menteri Negara. Pada Bab I
Pasal 1 ayat 8 Keppres tersebut
ditegaskan bahwa “Menteri Negara Urusan
Peranan Wanita, disingkat MenUPW, mempunyai tugas pokok menangani peranan
wanita dalam pembangunan di segala bidang. Visi
Kantor MenUPW adalah peningkatan peranan wanita dalam pembangunan. Untuk pertama kalinya, visi ini dilembagakan
melalui GBHN 1978, dan di dalamnya termuat secara khusus pembahasan mengenai
Peranan Wanita dalam Pembangunan dan Pembinaan bangsa. Pada dasarnya,
pembahasan ini mencoba mengembangkan sebuah
perspektif mengenai peran perempuan, yaitu perspektif ‘peran ganda
wanita’. Secara jelas perspektif ini dirumuskan dalam bentuk kebijakan
pembangunan berideologikan ‘Panca Dharma Wanita’ yang meliputi wanita sebagai :
1) Istri dan
pendamping suami;
2) Pendidik dan
pembina generasi muda;
3) Ibu pengatur rumah
tangga;
4) Pekerja yang
menambah penghasilan keluarga; dan
5) Anggota organisasi masyarakat khususnya organisasi wanita dan organisasi sosial.
Dalam perkembangannya,
perspektif peran ganda wanita dan kebijakan ideologis Panca Dharma wanita ini
mengakar kuat dalam proses pembangunan
semasa pemerintahan orde baru. Prestasi penting pada masa Menmud UPW adalah
keterlibatannya dalam memprakarsai berdirinya Pusat Studi Wanita (PSW) di
beberapa Universitas negeri di seluruh Indonesia.Setidaknya ada dua manfaat
berdirinya PSW, yaitu sebagai semacam think tank bagi pembuatan
kebijakan dan program yang applicable bagi pembangunan di pusat maupun
daerah tempat PSW itu berada.
Reformasi politik di
Indonesia tentunya telah memberikan harapan
besar bagi kaum perempuan. Gerakan-gerakan yang sebelumnya seperti tidak memiliki
energi, muncul dengan berbagai usaha pembedayaan hak-hak perempuan,
kususnya hak politik. Kebangkitan kaum
perempuan dalam pola kehidupan di era globalisasi telah membawa perubahan dalam
perkembangan pembangunan terutama
di Indonesia.
2.3 Kepemimpinan Perempuan
Kesempatan
bagi munculnya peran serta masyarakat termasuk kelompok perempuan dalam proses
pengambilan keputusan sejalan dengan pembangunan nasional di negaraIndonesia
telah terjamin. Upaya-upaya maksimal pemberdayaan perempuan menunjukkan political
willdari pemerintah yang apresiatif terhadapperkembangan pengarusutamaan
gender pada pergulatan politik nasional padakebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Dalam GBHN 1999 telah mengarah bahwapemberdayaan
perempuan dilaksanakan dengan: pertama,
meningkatkan kependudukandan peran perempuan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara yang diemban oleh lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya
kesetaraan gender. Kedua,
meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetapmempertahankan nilai persatuan dan
kersatuan usaha pemberdayaan perempuan serta kesejahteraan
keluarga dan masyarakat. Untuk
sampai ke arah tersebut,peningkatan kualitas dari perempuan perlu mendapat
perhatian yang serius. Untukmenjawab semua itu sebagai tindak lanjutnya adalah perlu peningkatan partisipasi perempuan dengan beberapa hal
seperti:
1. Adanya gerakan
penyadaran bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama sebagai warga
Negara. Hal ini perlu dilakukan paling tidak untuk meminimalisir ketidakadilan
yang terjadi atau harapan tertinggi
untukmencapai suatu keadilan dan keseimbangan. Hal ini dilakukan sebagai upaya
untuk menciptakan wajah baru dalam dunia kita tentunya wajah yang bebasdari diskriminasi. Masing-masing individu perlu menyadarakankedudukannya, dan mengerti
bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai posisi yang sejajar dan diharapkan mampu memunculkan
kesadaran bahwa antara laki-laki dan perempuan bisa memberikan kontribusi
dengan porsi yangsama tanpa ada niat untuk menguasai ataumenghegemoni dari pihak
laki-lakidan perasaan minder dari pihak perempuan karena merasa
dirinya hanya menjadi warga Negara
kelas dua.
2. Salah satu jalan yang
bisa ditempuh untuk melakukan hal tersebut antara lain dengan mengikutsertakan
para perempuan untuk masuk dalam proses pengambilan keputusan. Perlu ditegaskan sekali lagi bahwa kesetaraanmenjadi langkah utama
berjalannya proses demokratisasi karena akan muncul jaminan terbukanya akses
dan peluang bagi seluruh elemen masyarakat baik itu laki-laki maupun perempuan.
3. Gerakan pemberdayaan
perempuan ini adalah suatu gerakan transformasi.Yang utama
dalam gerakan pemberdayaan
perempuan adalah, dengandibukanya
peluang dan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk ikut serta berperan
aktif dalam seluruh kegiatan dalam masyarakat.
4. Perlu juga adanya penyadaran
bagi kaum perempuan sendiri bahwa kesempatan yang diberikan pada kaum perempuan harus digunakan
sebaik-baiknya, hal ini dilakukan untuk membuktikan bahwa perempuan siap
denganpemberian peluang tersebut
karena selama ini ada suara minor yang mengatakan bahwa
perempuan belum mampu atau siap
dengan kesetaraangender tersebut. Hal
tersebut terjadi karena banyak dari pihak perempuantidak punya kepercayaan diri untuk mengaktualisasi diri.
5. Perlunya pemfokusan
perbaikan relasi antara perempuan
dan laki-laki. Adanya kesadaran
bahwa kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalahsamasehingga
tidak ada yang merasa dirinya lebih tinggi dari yang lain. Padadasarnya antara
laki-laki dan perempuan adalah mitra maka perbaikan relasiini mencakup hubungan di segala
aspek yaitu meliputi hubungan ekonomi, politik, ekonomi sosial dan
budaya.
Kepemimpinan atau
leadership yang sering kita dengar sebagai sesuatu yanghanya dimiliki oleh
kalangan elit atau kaum laki-laki saja, kini sudah luntur sejalandengan pergerakan
dari kaum perempuan yang concern terhadap pengarusutamaan gender. Karena
kepemimpinan yang secara umum
diartikan sebagai suatu kegiatan seserang dalam memimpin, membimbing,
mempengaruhi atau mengontrol pikiran,perasaan atau tingkah laku orang lain
dapat dilakukan oleh kaum perempuan melalui suatu karya (kepemimpinan yang
bersifat tidak langsung) atau kontak pibadi antara seseorang dengan orang lain secara
tatap muka (kepemimpinan
yang bersifat langsung).
2.4 Hak Politik Perempuan
Secara Yuridis formal hak politik perempuan
merupakan hak asasi sebagaimana dimuat
dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. Pasal 1 intinya adalah bahwa
semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat danhak-hak yang tidak berbeda. Pasal 7 menegaskan bahwa setiap orang
berhak atasperlindungan hukum yang sama dan Pasal 21 menentukan bahwa
setiap orang berhakturut serta dalam
pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih
secara bebas. Setiap orang diangkat berhak atas kesempatan yang sama,
untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan dinegerinya (instrument
Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, 1997). Selain itu perlu diperhatikan
pula bahwa pemerintah telah meratifikasikonvensi tentang hak politik perempuan sebagaimana tertuang
dalam UU No. 68 Tahun 1958. Dalam UU tersebut terdapat ketentuan bahwa
perempuan berhakmemberikan suara dalam
semua pemilihan dengan status yang sama dengan priatanpa diskriminasi. Selain itu UU No.39 Tahun
1999 tentang Hak asasiManusia
khususnya Pasal 46 seara tegas memberikan jaminan keterwakilan
perempuan.Atasdasar itu semua, kiranya
tidak perlu ragu bahwa perempuan
pun juga dijamin hak politiknya. Persoalan tinggal pada perempuan sendiri mau
atau tidakmemanfaatkan ini. Memperhatikan tentang ruang politik yang
sudah terbuka bagi kaum perempuan, maka dapatlah dikatakan
perempuan dapat mengimplementasikan hak
politiknya secara terbuka pula. Adanyajaminan
mengenai hak politik, memberikandampak yang sangat positif bagi
pergerakan politik kaum perempuan. Dalam upayamerepresentasikan hak politik
dalamketerwakilannya dalam pengambilan keputusanpolitik, maka yang
perlu untuk dilihat bagaimanakah konteks perempuan danperwakilan politik. Hal ini sangat perlu untuk dicermati guna
memperhatikan lebih jauh, bagaimanakah aktualisasi perempuan dalam
perwakilan politik yang mereka jalani.
2.5 Perempuan
Dalam Perspektif Hukum Dan Politik
Dalam konteks Indonesia, perkembangan politik keterwakilan perempuan arahnya
semakin jelas, itu dengan ditetapkannya
UU yang mengatur kejelasan keterlibatan perempuan dalam kancah politik yang
tertuang dalam UU No 2 Tahun 2008 dan UU No 10 Tahun 2008.
1.
Perspektif Hukum Dan Politik UU No 2 Tahun
2008Tahun 2008 diawali dengan sebuah
sejarah yang baru dalam keputusan Negara mengenai perpolitikan di negeri ini.Pada 4 januari 2008 diundangkannya Undang-undang
partai politik dengan UU No 2 Tahun 2008 tentang partai politik melalui LN No 2
Tahun 2008. Berbagai hal diatur di dalam undang-undang sebelumnya, yakni UU No
31 Tahun 2002. Antara lain, pengaturan
pembentukanPartai Politik; Ketentuan Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga;Asas dan ciri Parpol, serta tujuan dan fungsinya. Salah satu hal
mendasar dalam UU No 2 Tahun 2008, adalah syarat menjadibadan hukum atas suatu
partai politik. Disyaratkan bahwa untuk menjadi suatu badanhukum, parpol harus
memiliki kepengurusan, sedikitnya 60%
dari jumlah propinsi,50% dari jumlah kabupaten/kota pada setiap propinsi yang
bersangkutan. Sementarauntuk kecamatan, harus memiliki kepengurusan setidaknya 25%
dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang
bersangkutan.
Syarat badan
hukum dalam hal jumlah kepenguruan pada UU No 2 Tahun 2008 lebih diperketat, yakni sedikitnya
memiliki 60% dari jumlah propinsi. Pada UU No 31 Tahun 2002, hanya disyaratkan
sedikitnya memiliki 50% dari jumlah provinsi.Untuk kepengurusan pada jumlah
kabupaten/kota dan kecamatan, hal demikian tidakberbeda dengan UU No 31 Tahun
2008.Baik pada UU No 2008 maupun UU sebelumnya, syarat untuk menjadi badanhukum
dari suatu partai politik, harus memiliki kepengurusan paling sedikit 50%
darijumlahkabupaten/kota pada setiap propinsi yang bersangkutan, dan 25% dari
jumlahkecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan. KetentuanUU No 2 Tahun 2008 juga menentukan,
pengesahan Parpol menjadi badan hukum dilakukan dengan keputusan Mentri Hukum dan HAM, paling lama 15 hari sejakberakhirnya proses penelitan
dan/verifikasi. Hal ini berbeda
dengan UU No 32 Tahun 2002,
karena UU selama ini menentukan
pengesahan parpol sebagai badanhukum, dilakukan oleh Menteri Hukum dan
HAM selambat-lambatnya 30 hari setelah penerimaan pendaftaran.
Dalam masalah kesetaraan gender, diatur
secara tegas dengan menentukan tindakan keperansertaan perempuan,
berupaya sedikitnya 30% keterwakilanperempuan dalam suatu parpol.
Begitu pula dengan jumlah kepengurusan perempuan sedikitnya 30% di tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Hal ini
harus dinyatakandalam AD dan ART suatu partai. Dari pinsip-prinsip yang
terkandung UU No 2 Tahun 2008 ini
diharapkanmampu mengeksistensikan setiap partai politik menjadi parpol
yang tangguh. Lebihmampu menjadi agen pembaruan sosial dan kehidupan politik
yang sehat, baik secarainternal maupun dalam peran eksternalnya di tengah
bangsa Indonesia yang sedangmenapaki
langkah ke arah demokratisasi yang kuat.
2.
Prspektif Hukum Dan Politik UU No 10 Tahun
2008UU No 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah dan DewanPerwakilan Rakyat
Daerah, merupakan penganti UU No 12 tahun 2003. UU No 12 tahun 2003
sebelumnya juga telah mengalami perubahan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan UU No 10 tahun 2006 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintahpengganti
Undang-Undang No 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Anggota DewanPerwakilan Rakyat, Dewan perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah menjadi Undang-Undang. UU No 12 Tahun 2003 sudah tidak
sesuai dengan tuntutan perkembangan, dan dinamika demokrasi masyarakat,
maka kemudian digantikan dengan UU No 10
Tahun 2008.
Sebagaimana
sebelumnya pada UU No
12 tahun 2003, dalam UU No 10 Tahun 2008 diatur berbagai hal mengenai
Pemilu. Antaralain, mengenai asas,pelaksanaan dan lembaga penyelenggara Pemilu;
Peserta dan Persyaratan mengikutiPemilu; kemudian mengenai peraturan hak-hak
untuk memilih. Kemudian diatur pula dalam UU No 10 Tahun 2008 ini mengenai jumlah kursi dan daerah pemilihan
anggota DPR, Penyusun Daftar pemilih; dan bagaimana pencalonan anggotaDPR,DPD,DPRD Provinsi dan
DPRD Kabupaten/Kota. Dalam hal ini, sistem keterwakilan perempuan juga
menjadi bagian dari UU No 10 Tahun 2008.
Sistem keterwakilan politik
perempuan dikaitkan dengan Affirmtive
Actions, sebagai langkah solusi mengejar keterbelakangannyadari kaum pria.
Selanjutnya di dalam UU ini diatur mengenai
kampanye; pengaturan pemungutan suara, begitu pula perlengkapan mengenai
pemungutan suara, begitupula perlengkapan mengenai pemungutan suara, perhitungan suara, dan demikian penetapan hasil pemilu. Selanjutnya
mengenai penetapan perolehan kursi dan calonterpilih. Hal ini
diatur mengenai pemungutan suara ulangdan penghitungan suaraulang;
begitu pula mengenai kemungkinan pemilu lanjutan dan pemilu susulan. Selain itu diatur pula
dalam, undang-undang ini mengenai pemantauan Pemilu.
Mengenai keterwakilan perempuan dalam UU
No 10 Tahun 2008,
terdapatkemajuan secara signifikan dibandingkan dengan undang-undang
sebelumnya, yakni baik UU No 12 Tahun 2003 maupun UU No 31 tahun 2002 tentang
Parpol. UU No10 Tahun 2008 merupakan tindak lanjut dari sistem politik mengenai
keterwakilanperempuan (dalam
kepengurusan partai) sebagaimana ditentukan
pada UU
No 2tahun 2008 tentang Partai Politik.
Demikianlah dalam UU No 10 Tahun 2008, politik
keterwakilan perempuanditeruskan dan diwujudkan dalam rangka pemilihan wakil-wakil rakyat, baik di tingkat pusat (parlemen)
maupun di tingkat daerah (DPRD). UU NO 10 Tahun 2008ini sangat penTing artinya bagi realisasi politik keterwakilan perempuan (feminisasi politik). Karena
meskipun sedemikian baiknya
sistem keterwakilan perempuan dilaksanakan di tingkat parpol
(pembentukan dan kepengurusan parpol), namun jika tidak diwujudkan dalam fase
selanjutnya secara eksternal dalam bentuk pencalonan anggota legislatif, asas
keterwakilan demikian adalah tidak bermakna apa-apa.Maka UU No 10 Tahun 2008 menentukan, bahwa bagi
setiap parpol, hanya bisa mengikuti atau menjadi peserta pemilu, haruslah
memenuhi persyaratan, antaralain menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan. Tanpa dipenuhinya
persyaratan keterwakilan perempuan oleh setiap partai, tidak akan diterima
sebagai Parpol peserta Pemilu. Mengenai sistem keterwakilan perempuan menuut UU
No 10tahun 2008, dapat dilihat pada pasal 53 sampai pasal 58 UU No 10 Tahun
2008. Pasal53 mengatakan bahwa:
“Daftar
bakal calon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal
52 memuat paling sedikit
30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”.
Pasal 52 mengatur hal penyusunan bakal calon
legislatif (caleg). Pasal 52 ini menentukan bahwa bakal caleg disusun dalam
daftar bakal calon oleh parpol masing-masing (ayat 1): bakal caleg anggota DPRD ditetapkan oleh pengurus
partaipolitik peserta pemilu tingkat pusat: bakal caleg anggota
DPRD provinsi ditetapakan olehpengurus Partai Politik Peserta
Pemilu tingkat provinsi; dan
bakal caleg anggotaDPRD kabupaten/kota
ditetapkanoleh pengurus Partai politik Pesera Pemilu tingkatKabupatn/Kota.
Nama-nama bakal caleg ini di susun berdasarkan no urut. MenurutPasal 55
ayat (2) ditentukan secara tegas bahwa:
“Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya
1(satu) orang perempuan bakal calon”.
Penentuan calon anggota legislatif perempuan
sebanyak minimal 30 %,seperti
disebutkan di atas, dilakukan
melalui sistem Zipper System atau zig-zag. Caleg perempuanditempatkan dalam daftar
caleg dengan komposisi 1 diantara
3nama, atau setiap 3 nama yang ada, terdapat 1 caleg perempuan.Penempatan ini
tentunya dimulai dari nomor urut terkecil hingga nomor urut besar.
Apa yang disebut Affirmative Action,
telah dituangkan pada Pasal 53 sampaidengan pasal 58 UU No 10 Tahun 2008. Affirmative Action,
dimekanisme melalui ketentuan-ketentuan
yang memungkinkan adanya semacam tindakan khusus kepadakaum perempuan
dalam penentuan calon legislatif. Pasal
53s/d58 juga merupakanaplikasi secara
nyata dari jiwa UU No 10 Tahun
2008 yang tidak bias gender,malahan memberikan kesempatan
seluas-luasnya bagi semua golongan dan
lapisanuntuk memilih dan dipilih pada kesempatan pemilu yang ditentukan.
Affirmative action adalah merupakan upaya
jalan keluar dari permasalahankaum perempuan atas ketertinggalannya. Affirmative
Action dikatakan juga sebagai pengecualian demokrasi. Karena sifatnya
kekecualian, maka tindakan khusus ini, terkadang disebut pula diskriminasi
positif. Disebut diskriminasi positif, karena demi memperhatikan
pemberdayaan kaum perempuan dalam politik, arti demokrasi dalam politik tersebut
seakan menjadi tidak tampak, namun kebijakan
khusus demikian masih dapat dinilai positif sebagai langkah mengatasi
kesenjangan gender.
Dilihat baik UU No 2 Tahun 2008 tentang Parpol
maupun UU No 10 tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, DewanPerwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan rakyat daerah,
merupakan instrument hukum yang revolusioner dalam kancah perpolitikan di
Indonesia.
2.6 Peran Perempuan dalam Parlemen di
Indonesia
Berikut adalah data
lengkap mengenai keterlibatan perempuan dalam perpolitikan Indonesia, khususnya
menjadi anggota dewan perwakilan rakyat (DPR RI) :
Masa Kerja
DPR
|
Perempuan
(Orang)
|
Jumlah Anggota
(Orang)
|
Presentase
|
1950 – 1955 (DPRS)
|
9
|
236
|
3,8
|
1955 – 1960
|
17
|
272
|
6,3
|
1956 – 1959
(Konsituante)
|
25
|
488
|
5,1
|
1971 – 1977
|
36
|
460
|
7,8
|
1977 – 1982
|
29
|
460
|
6,3
|
1982 – 1987
|
39
|
460
|
8,5
|
1987 – 1992
|
65
|
500
|
13
|
1992 – 1997
|
62
|
500
|
12,5
|
1997 – 1999
|
54
|
500
|
10,8
|
1999 – 2004
|
45
|
500
|
9
|
2004 – 2009
|
63
|
550
|
11,5
|
2009 – 2014
|
99
|
560
|
17,7
|
Sumber
:Diolah oleh Miriam
Budiardjo berdasarkan Blackburn untuk masa kerja DPR dari tahun 1950 hingga
masa Konstituante. Masa kerja DPR 1972 hingga 1977 berdasarkan rekapitulasi
Bintan R. Saragih di Suara Pembaruan tanggal 22 April 1994. Masa Kerja DPR 1997
– 1999 berdasarkan data dari Sekretariat Jenderal DPR/MOR RI.Masa Kerja 1999 –
2004 berdasarkan data dari Buku Lampiran XII, Komisi Pemilihan Umum 1999.
Berdasarkan tabel di
atas, semenjak tahun 1950 hingga periode 1971 – 1977, jumlah perempuan yang
menjadi anggota dewan perwakilan rakyat cenderung terus meningkat, yaitu mulai
dari sembilan orang hingga mencapai 36 orang. Namun, pada periode 1977 – 1982
jumlah tersebut justru menurun menjadi 29 orang. Pada periode berikutnya, yaitu
1982 hingga tahun 1992 jumlah perempuan yang menjadi anggota dewan kembali
meningkat. Pada periode kerja 1982 – 1987 jumlahnya meningkat dari 29 orang
menjadi 39 orang.Kemudian pada periode berikutnya yaitu 1992 – 1997 meningkat
tajam menjadi 65 orang.
Pada periode kerja
berikutnya, yaitu 1997 hingga periode 1999 – 2004 jumlah tersebut cenderung
kembali menurun.Pada periode 1997 – 1999, jumlah perempuan yang menjadi anggota
parlemen sebanyak 54 orang, kemudian pada periode berikutnya jumlah tersebut
kembali menurun menjadi 45 orang.Peningkatan kembali terjadi pada periode 2004
– 2009 dan 2009 – 2014.Pada periode 2004 – 2009, jumlah perempuan yang menjadi
anggota dewan sebanyak 63 orang, sedangkan di periode berikutnya angka tersebut
kembali meningkat menjadi 99 orang.
Berikut adalah tabel
jumlah anggota parlemen perempuan periode 1992 – 2004 berdasarkan fraksi
partainya:
Fraksi
|
1992 – 1997
|
1997 -1999
|
1999 – 2004
|
|||
Orang
|
%
|
Orang
|
%
|
Orang
|
%
|
|
PPP
|
4 (62)
|
6,4
|
6 (89)
|
6,7
|
3 (58)
|
5,2
|
Golkar
|
48 (282)
|
17
|
43 (325)
|
13,2
|
16 (120)
|
13,3
|
PDI – P
|
6 (56)
|
10,7
|
1 (11)
|
9
|
15 (153)
|
9,8
|
ABRI / TNI
|
4 (100)
|
4
|
4(75)
|
5,3
|
3 (3,8)
|
7,9
|
Total
|
62 (500)
|
12,4
|
54 (500)
|
10,8
|
45 (500)
|
9
|
Sumber
:Diolah oleh Miriam
Budiardjo berdasarkan rekapitulasi Bintan R. Saragih di Suara Pembaruan, 22
April 1994 untuk masa bakti 1992 – 1997. Untuk masa bakti 1992 – 1997
berdasarkan data dari Sekretariat Jenderal DPR/MPR RI.Data tahun 1999-2004
berdasarkan data dari Pemilu Indonesia dalam Angka dan Fakta, Biro Humas KPU.
Berbagai upaya dapat
dilakukan untuk mengangkat jumlah keterlibatan perempuan dalam bidang politik,
salah satu cara yang dianggap sebagai langkah yang paling strategis adalah
dengan menempatkan perempuan-perempuan dalam posisi strategis di kawasan
kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Dengan demikian, perempuan
akan terlibat aktif dalam proses pembuatan keputusan, termasuk memberikan
pertimbangan-pertimbangan yang mengedepankan kepentingan kaum perempuan.
Laporan perkembangan
PBB tahun 1995 yang menganalisis gender dan pembangunan di 174 negara
menyatakan bahwa: “Meskipun benar bahwa tidak ada hubungan nyata yang terbentuk
antara tingkat partisipasi perempuan dalam lembaga-lembaga politik dan
kontribusi mereka terhadap kemajuan perempuan, tetapi 30% keanggotaan dalam
lembaga-lembaga politik dianggap sebagai jumlah kritis yang dapat membantu
perempuan untuk memberi pengaruh yang berarti dalam politik.
Fenomena yang
dipaparkan diatas bukanlah tipikal Indonesia saja, tetapi juga terjadi di
belahan dunia lain. Perempuan juga masih sibuk menuntut kesetaraan untuk masuk
dalam kawasan politik.Peran perempuan dalam bidang politik dan pemerintahan
memang masih sangat minim. Secara umum, perempuan anggota parlemen dunia
menurut perhitungan IPU (Inter-Parlimentary
Union) baru sekitar 13,7 % . Dari jumlah tersebut, tentu saja tidak cukup
untuk mempresentasikan kepentingan perempuan.Karenanya tidak mengherankan,
kalau keputusan yang dihasilkan lebih banyak mendomesikkan peran-peran perempuan.
Perjuangan
memperoleh kuota 30 persen di Indonesia dilakukan dalam rangka menjawab
problematika ketimpangan tersebut di atas. Perjuangan itu dimulai dengan
diresmikannya sebuah Kelompok Kerja atau Forum dengan nama Kaukus Perempuan
Politik di Gedung DPR/MPR pada tanggal 19 Juli 2001. Ini menjadi salah satu
tonggak penting dalam sejarah politik perempuan di parlemen Indonesia.Kaukus
Perempuan politik ini beranggotakan perempuan anggota parlemen Indonesia yang
bertujuan untuk meningkatkan peran perempuan dalam dunia politik.Pada tahun
200, telah berdiri juga sebuah kaukus yang bernama Kaukus Perempuan Politik
Indonesia.Bedanya dengan Kaukus Perempuan Politik adalah bahwa Kaukus Prempuan
Politik Indonesia keanggotaannya lebih terbuka, yaitu perempuan-perempuan yang
akitf dalam partai politik di Indonesia.Namun, tujuan mereka pun tak jauh
berbeda, memperjuangkan dan menegakkan hak-hak politik perempuan di Indonesia.
Undang-Undang No 12
Tahun 2003, yang disahkan pada tanggal 11 Maret 2003 adalah langkah maju,
meskipun masih menyisakan banyak perdebatan di masyarakat. Terbukanya peluang
bagi terwujudnya kesetaraan peranan perempuan dalam politik melalui
implementasi UU tersebut akan terus menjadi bahan diskusi, yang tetap aktual
dan penuh daya tarik. Yang jelas, ketentuan pasal 65 ayat (1) UU tersebut
merupakan titik kulminasi dari perjuangan panjang kaum perempuan untuk masuk ke
dalam jalur pengambil keputusan di parlemen.
2.7 Peran Perempuan
dalam Kementerian di Indonesia
Era Kepemimpinan
|
Nama Menteri Perempuan
|
Jabatan
|
Ir. Soekarno
|
1.
Maria Ulfah Santoso
2.
Soerastri Karma Trimurti
3.
Rusiah Sardjono
|
1.
Menteri Sosial (1946 – 1947)
2.
Menteri Perburuhan (1947 –
1948)
3.
Menteri Sosial (1962 – 1966)
|
Soeharto &
Habibie
|
1.
Nani Soedarsono
2.
Lasjiah Soetanto
3.
Anindyati Sulasikin Murpratomo
4.
Haryati Soebadio
5.
Mien Sugandhi
6.
Siti Hardijanti Rukmana
7.
Justika Sjarifuddin Baharsjah
8.
Tuty Alawiyah
|
1.
Menteri Sosial (1983 – 1988)
2.
Menteri Negara Peranan Wanita
(1983 – 1987)
3.
Menteri Negara Peranan Wanita
(1987 – 1988) dan Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (1988 – 1993)
4.
Menteri Sosial (1993 – 1998)
5.
Menteri Negara Urusan Peranan
Wanita (1993 – 1998)
6.
Menteri Sosial (1998)
7.
Menteri Pertanian (1998) dan
Menteri Sosial (1998 – 1999)
8.
Menteri Negara Peranan Wanita
(1998 – 1999)
|
Abdurrahman
Wahid & Megawati
|
1.
Erna Witoelar
2.
Khofifah Indar Parawansa
3.
Rini Mariani Soemarno Soewandi
4.
Sri Redjeki Sumarjoto
|
1.
Menteri Pemukiman &
Pengembangan Wilayah (1999 – 2000) dan Menteri Pemukiman & Prasarana
Wilayah (2000 – 2001)
2.
Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan (1999 – 2001)
3.
Menteri Perindustrian &
Perdagangan (2001 – 2004)
4.
Menteri Negara Pemberdayaan
Wanita (2001 – 2004)
|
Susilo Bambang
Yudhoyono
|
1.
Meutia Hatta Swasono
2.
Mari Elka Pangestu
3.
Siti Fadilah Supari
4.
Sri Mulyani Indrawati
5.
Endang Rahayu Sedyaningsih
6.
Linda Amalia Sari Gumelar
7.
Armida Alisjahbana
|
1.
Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan (2004 – 2009)
2.
Menteri Perdagangan (2004 –
2009)
3.
Menteri Kesehatan (2004 – 2009)
4.
Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional (2004 – 2005) dan Menteri Keuangan (2005 – 2009)
5.
Menteri Kesehatan (2009)
6.
Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan & Perlindungan Anak (2009)
7.
Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional (2009)
|
Joko Widodo
|
1.
Rini Soemarno
2.
Siti Nurbaya
3.
Puan Maharani
4.
Nila F Moeloek
5.
Khofifah Indar Parawansa
6.
Yohana Yembise
7.
Retno LP Marsudi
8.
Susi Pudjiastuti
|
1.
Menteri Badan Usaha Milik
Negara (2014 – sekarang)
2.
Menteri Kehutanan &
Lingkungan Hidup (2014 – sekarang)
3.
Menteri Koordinator Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan (2014 – sekarang)
4.
Menteri Kesehatan (2014 –
sekarang)
5.
Menteri Sosial (2014 –
sekarang)
6.
Menteri Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak (2014 – sekarang)
7.
Menteri Luar Negeri (2014 –
sekarang)
8.
Menteri Kelautan dan Perikanan
(2014 – sekarang)
|
Berdasarkan tabel
diatas, dapat diketahui bahwa pada pemerintahan era presiden Joko Widodo,
jumlah menteri perempuan paling banyak yaitu sebanyak 8 orang.Selain meningkat
secara kuantitatif, kehadiran delapan menteri dalam kabinet Kerja dibawah
pemerintahan Joko Widodo juga meningkat secara kualitas. Bila sebelumnya
menteri dengan jenis kelamin perempuan hanya menempati posisi menteri yang
dianggap kurang strategis dan rata-rata hanya menjabat sebagai menteri
pemberdayaan perempuan, namun pada era pemerintahan Joko Widodo, menteri
perempuan juga ditempatkan di beberapa posisi yang cukup strategis.
Sebagai contoh,
adalah ditempatkannya Rini Soemarno menjadi menteri BUMN, jabatan yang
sebelumnya dipegang oleh Dahlan Iskan, menteri laki-laki. Kemudian penempatan
Puan Maharani sebagai menteri koordinator juga dianggap sebagai posisi yang cukup
strategis, karena belum ada di pemerintahan sebelumnya menteri koordinator
dijabat oleh perempuan. Dan yang paling terakhir serta paling fenomenal adalah
penempatan Susi Pudjiastuti sebagai menteri kelautan dan perikanan.Posisi
menteri ini sangat strategis, sebab Indonesia memiliki luas laut yang sangat
besar, serta terkandung potensi keuntungan negara dalam jumlah yang besar bila
dapat dikelola dengan baik.Penempatan Susi Pudjiastuti sebagai menteri kelautan
dan perikanan dinilai tepat dan mampu meningkatkan pendapatan negara dari
sektor kelautan.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Peran perempuan dalam Sistem Politik Indonesia sudah ada sejak
penjajahan belanda dimana mereka berjuang dan berpartisipasi melalui Organisasi
gerakan-gerakan perempuan.Perempuan pun telah diakui haknya dalam politik, baik
hak pilih dalam pemilihan umum 1955, maupun juga duduk sebagai anggota parlemen. Namun jumlah perempuan dalam partisipasi
politik masih kurang. Hal ini disebabkan perempuan mengalami tiga rintangan
sosial utama untuk menjadi pelaku politik. Pertama sumber daya yang diperlukan
untuk memasuki politik yang mereka miliki lebih lemah. Kedua, bermacam-macam
kekangan gaya hidup mengakibatkan
perempuan mempunyai sedikit waktu untuk politik. Keluarga dan
kewajiban-kewajiban lain yang menuntut perhatian penuh secara khas dijalankan
oleh perempuan mengurangi waktu mereka
untuk kegiatan lain-lain. Ketiga, tugas politik dikategorikan sebagai
tugas laki-laki, yang menghalangi kaum
perempuan mengejar karier politik dan
juga merintangi rekruitmen mereka yang tampil
ke depan.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Muhadjir M. Darwin. 2005.Negara Dan
Perempuan, Reorientasi Kebijakan Publik.Yogyakarta: GrahaGuru
2.
Hendra Nurtjahjo. 2006. Filsafat Demokrasi,
Jakarta: Bumi Aksara
3. Kewajiban
Perempuan dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. http://www.apikartini.org/2014/12/25/kewajiban-perempuan-dalam-perjuangan-kemerdekaan-indonesia.htmldiakses
pada tanggal 25 Desember 2014
4.
Ratnawati. Potret Kuota Perempuan di Parlemen.
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Volume 7, Nomor 3, pp. 259 – 314 Maret
2004
No comments:
Post a Comment
Silahkan baca dan share