Home About
JIKA ADA YANG DITANYAKAN ATAU DATA YANG KALIAN BUTUHKAN, SILAHKAN BERKOMENTAR PADA MATERI TERSEBUT...TERIMAKASIH

Tuesday, 17 December 2019

Sistem Politik Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Greget partai-partai politik untuk bersaing dalam koridor Undang-Undang Pemilu mulai terasa. Sejak partai-partai politik tersebut mulai diverifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), hingga diumumkannya statusnya sebagai kontestan pemilu, berbagai respons reaksi atau tanggapan muncul dari partai-partai politik terhadap hasil kerja KPU.
Pengajuan caleg adalah fase yang memiliki implikasi penting terhadap pergerakan perempuan di Indonesia. Berbagai pihak terkait mulai dari KPU, pengamat dan analisis politik, LSM sampai aktivis perempuan mencermati dan menilai apakah partai-partai politik dalam mengajukan caleg melaksanakan amanat yang ada dalam pasal 65 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 atau tidak. Melalui pasal tersebut jumlah perempuan dalam lembaga perwakilan rakyat yang bisa didongkrak. Pasal 65 ayat (1) tersebut menegaskan bahwa setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten atau Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan perwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen. Amanat inilah yang kemudian popular dan familiar dengan istilah “Kuota Perempuan 30 persen”.
Dari daftar caleg sementara yang masuk ke KPU berbagai daerah ternyata tidak sampai 20% partai politik yang bisa memenuhi amanat pasal 65 ayat (1) tersebut. Perlu diakui ketentuan pasal 65 ayat (1) ini memang tidak bersifat imperative, dan tidak menyediakan dasar bagi KPU untuk menjatuhkan sanksi sekiranya partai-partai politik tidak mentaatinya. Pasal tersebut juga tidak secara tegas mengatur, apakah keterwakilan 30% yang diinginkan ada pada level pencalonan atau pada level perolehan suara. Namun paling tidak ketentuan tersebut member peluang yang sedikit terbuka bagi kaum perempuan untuk ikut ambil bagian dalam pengambilan kebijakan.

1.2  Rumusan Masalah
Menghadapi realitas yang telah dijelaskan pada latar belakang di atas, maka beberapa pertanyaan penting mengenai Peran Perempuan dalam Sistem Politik di Indonesia, bisa diajukan sebagai berikut:
a.   Bagaimana peran perempuan dalam perjuangan kemerdekaan?
b.   Bagaimana kondisi dan keterlibatan perempuan dalam dunia politik paska kemerdekaan?
c.   Bagaimana hak politik perempuan?
d.   Bagaimana perempuan dalam perspektif hukum dan politik?
e.   Bagaimana peran perempuan dalam parlemen di Indonesia?
f.    Bagaimana peran perempuan dalam kementerian di Indonesia?

1.3  Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penulisan makalah mengenai Peran Perempuan dalam Sistem Politik di Indonesia adalah:
a.   Untuk mengetahui peran perempuan dalam perjuangan kemerdekaan.
b.   Untuk mengetahui kondisi dan keterlibatan perempuan dalam dunia politik paska kemerdekaan.
c.   Untuk memahami hak politik perempuan.
d.   Untuk mengetahui perempuan dalam perspektif hukum dan politik.
e.   Untuk memahami peran perempuan dalam parlemen di Indonesia
f.    Untuk memahami peran perempuan dalam kementerian di Indonesia.






BAB  II
PEMBAHASAN
2.1  Perempuan dalam Perjuangan Kemerdekaan
2.1.1       Sejarah Gerakan Perempuan di Indonesia
Soekarno dalam bukunya Sarinah mengatakan bahwa;
“soal wanita adalah soal masyarakat. Sayang sekali masalah wanita itu belum pernah dipelajari sungguh-sungguh oleh pergerakan kita.Kita tidak dapat menyusun negara dan menyusun masyarakat jika kita tidak mengerti soal wanita.”
Demikian penting soal wanita ini menjadi bahan bagi penyusunan masyarakat dan negara, sehingga pemahaman atas persoalan perempuan menjadi salah satu pijakan dalam membangun gerakan perempuan.Selain itu, Sukarno mengatakan bahwa:
“nasib kaum wanita Indonesia tergantung dari tangan mereka sendiri. Kaum laki-laki harus terus mengingatkan dan memberikan keyakinan kepada kaum wanita Indonesia tentang pentingnya mereka ikut dalam gerak perjuangan.Perempuan Indonesia harus bahu membahu dengan laki-laki mewujudnya cita-cita bangsa yang sejahtera, adil dan makmur, zonder exploitation de lhomme par lhomme.
Di satu sisi gerakan perempuan harus mengembalikan kepercayaan diri dan kemampuan pada diri kaum perempuan untuk bisa menolong dirinya sendiri.Sehingga pada gilirannya kelak mereka dapat berdiri tegak sebagai pribadi yang merdeka. Di pihak lain, gerakan perempuan sadar bahwa mereka punya peran penting dalam perjuangan yang lebih luas.
Gagasan Kartini Di penghujung abad ke-19.Kartini menulis tentang ketertindasannya sebagai perempuan Jawa.Ia menyadari bahwa pembebasan perempuan bisa terwujud bila terjadi perubahan pola pikir di kalangan masyarakat Jawa secara keseluruhan. Memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan adalah kerja pemberadaban suatu bangsa dan bukan semata-mata tugas perempuan.Kartini memang belum berpikir tentang Indonesia, tetapi dia sangat menyadari bahwa nasib “bangsa boemipoetra” saat itu sedang berada di bawah kekuasaan feodal dan kolonial.Gagasan Kartini tentang pentingnya kemerdekaan berpikir dan berbuat bagi semua orang tanpa membedakan gender dan kelas untuk meningkatkan kualitas hidup suatu bangsa menjadi salah satu syarat kaum perempuan yang terlibat dalam gerakan nasional sejak awal abad ke-20. Kartini mendesakkan bahwa prasyarat perjuangan pembebasan manusia harus mempertimbangkan pengalaman perempuan sampai wilayah yang paling privat, yakni lembaga perkawinan.Hal ini berbeda dengan dengan Tjoet Nja’ Dhien di Aceh, Nyi Ageng Serang di Jawa, atau Martha Chistina Tiahahu di Maluku, yang memperlihatkan bahwa perempuan dapat dipercayai untuk mengarungi dunia laki-laki.
Awal Abad ke-20 Terbuka Ruang-ruang Pendidikan.Dengan kebijakan politik Etis penguasa kolonial yang menganggap kaum bumiputra malas, bodoh dan tidak beradab membuka ruang-ruang pendidikan secara luas dengan harapan rakyat Hindia Belanda akan menerima peradaban barat dan menjadi bagian Kerajaan Belanda dengan sukarela. Kesempatan ini langsung dimanfaatkan oleh kaum bumiputra yang menganggap kemajuan sebagai tumbuhnya gairah untuk berpikir merdeka, meninggalkan kepatuhan kepada penguasa kolonial dan terlibat dalam kerja-kerja melawan pembodohan, diskriminasi dan segala bentuk ketidakadilan.Gagasan kemajuan kaum bumiputera terpelajar (sedikit) berpengaruh terhadap pandangan mereka tentang perempuan. Mereka tetap melihat peran utama perempuan adalah melahirkan dan merawat anak, tetapi kepedulian mereka akan perlunya satu generasi baru dengan kualitas moral dan intelektual yang lebih baik membuat mereka berpikir tentang pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan sebagai ibu. Sementara, kaum perempuan terdidik melihat bahwa sistem kolonialisme dan tradisi feodal sudah menyebabkan kehidupan perempuan secara umum terpuruk.Di tingkat elit, perempuan semata-mata dijadikan perhiasan rumah tangga, tidak berpengetahuan, tidak memiliki wawasan, dan menjadi korban poligami. Di tingkat bawah, kemiskinan mendorong perempuan menerima kawin paksa sejak usia dini, yang bisa menggiring mereka pada perceraian tidak adil secara berulang, prostitusi dan pergundikan. Mereka berpendapat, dengan bekal pendidikan dan ketrampilan, perempuan akan mampu mengusahakan hidup sendiri dan tidak bergantung secara ekonomi pada laki-laki. Sedangkan pengetahuan kerumahtanggaan, kesehatan ibu dan anak, gizi, kebersihan akan membuat perempuan mampu merawat keluarga dengan lebih baik.Semangat inilah yang mendorong perempuan-perempuan terdidik di beberapa tempat menyelenggarakan sekolah-sekolah bagi perempuan, diantaranya:
a.      Sekolah Istri. Pada tanggal 16 Januari 1904 sekolah perempuan pertama, yakniSekolah Istri didirikan oleh Dewi Sartika. Delapan tahun kemudian berubah nama menjadi Sekolah Kautamaan Istri dan meluas menjadi sembilan sekolah yang memberi perhatian terbesar pada anak-anak perempuan dari kalangan rakyat biasa.
b.     Sekolah Kerajinan Amai Setia. Di Kotogadang, Roehana Koeddoes mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia pada tahun 1911
c.      Sekolah Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya (PIKAT). Di Manado Maria Walanda Maramis mendirikan Sekolah PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya) pada 1917.
d.     Sementara itu ide Kartini dilanjutkan oleh C. Th. Van Deventer beserta istrinya dengan mendirikan Sekolah Kartini pada tahun 1913 di Semarang.
e.      Sekolah Agama Perempuan Aisyiyah. Di kalangan organisasi Islam, seperti Muhammadiyah, pada tahun 1917 di Yogyakarta membentuk Aisyiyah yang menyelenggarakan sekolah berkurikulum modern bagi anak-anak perempuan dengan tekanan pada pendidikan agama.
f.      Pesantren Dinijah Poetri. Di Padang Panjang, Rahma El Joenoesia, pada tahun 1922, mendirikan pesantren perempuan yang diberi namaDinijah Poetri.
Dukungan dari para lelaki yang aktif dalam pergerakan nasional menjadi penting, terutama menghadapi tantangan dari kalangan konservatif di kalangan bumiputra yang tidak melihat perlunya perempuan berkumpul, bertukar pikiran, menyatakan pendapat dan bekerja untuk masyarakat.Di samping itu perempuan juga membutuhkan bantuan dari laki-laki untuk mengenali dan memanfaatkan perangkat kerja modern, seperti organisasi, penerbitan dan pertemuan umum.
a.      Poetri Mardika didirikan di Jakarta pada tahun 1912, didorong oleh Boedi Oetomo.
b.     Poetri Hindia. Surat kabar perempuan pertama, yang diterbitkan oleh jurnalis R.M. Tirto Adhisoerjo di Bandung pada 1909, masih dipimpin dan diawaki oleh laki-laki. Baru tiga tahun kemudian,
c.      Rohana Koeddoes menerbitkan Soenting Melajoe (Bukittinggi) yang sepenuhnya dikelola perempuan.
Dalam waktu kurang lebih 15 tahun organisai-organisasi  lainpun berdiri di berbagai kota dengan kegiatan, antara lain; menyelenggarakan pendidikan dan layanan kesejahteraan sosial bagi perempuan, memberi beasiswa kepada anak-anak perempuan berbakat, menyebarkan informasi tentang pendidikan, dan menerbitkan surat kabar mingguan untuk menyebarluaskan gagasan tentang kemajuan dan keadaban perempuan. Setelah itu muncul kongres-kongres perempuan, diantaranya;
a.      Kongres Perempuan Indonesia I
Kongres Perempuan Indonesia I di Jakarta 1928.Kongres ini menekankan pandangan tentang pentingnya keutuhan rumah tangga dengan perkawinan yang bahagia.Persoalan sosial seperti perdagangan perempuan, prostitusi, pergundikan, atau kawin paksa diperbincangkan dalam kerangka pentingnya membangun institusi perkawinan dan kerumahtanggaan yang sehat dan kuat demi kemajuan dan keadaban bangsa.Masalah poligami mulai menjadi tema, yang menurut Sitti Soendari, adalah merupakan masalah perempuan.Selanjutnya masalah poligami ini menjadi sumber perdebatan sepanjang sejarah gerakan perempuan, apakah poligami sesungguhnya sumber masalah atau bagian dari penyelesaian masalah bagi perempuan?
b.     Kongres Perempuan Indonesia II
Kongres Perempuan Indonesia II membentuk Komisi Penyelidik Hukum Perkawinan di bawah pimpinan ahli hukum Maria Ulfah Santoso yang hasilnya disampaikan pada Kongres Perempuan III. Kesimpulannya adalah bahwa pada akhirnya masyarakat Indonesia akan sepakat bahwa poligami harus dihapuskan. Dari perdebatan tentang poligami dapat dipelajari bahwa soal pelembagaan perkawinan dan posisi perempuan di dalamnya menjadi masalah politik kebangsaan.
c.      Kongres Perempuan Indonesia III
Pada Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung, tepatnya pada tanggal 22 Desember 1938, yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Ibu, muncullah semboyan “Merdeka Melaksanakan Dharma”, yakni menekankan pentingnya tugas perempuan sebagai ibu keluarga, ibu masyarakat dan ibu bangsa.
Organisasi-organisasi perempuan bukannya tidak menyadari sisi politis dari perjuangan mereka.Namun, kepelikan yang mereka alami saat berhadapan dengan adat dan agama membuat mereka memilih jalur-jalur aman dalam memperjuangkan kebutuhan dan hak-hak perempuan.Tuduhan dari kalangan Islam bahwa kaum nasionalis sudah berniat menghinakan Islam dan menceraiberaikan rakyat Indonesia dengan membicarakan poligami membuat kongres-kongres perempuan di masa sebelum kemerdekaan tidak berbicara tentang agama dan politik.Mungkin satu-satunya organisasi perempuan yang berani menerobos batasan gerak politik perempuan dan menolak poligami adalah Istri Sedar yang didirikan pada 1930 di bawah Soewarni Pringgodigdo. Soewarni menyatakan: “Perempuan Indonesia berhak atas keadilan dan kemerdekaan, dan poligami adalah penolakan sesungguhnya dari keadilan dan kemerdekaan.” Ketika Soekarno menyatakan bahwa gerakan perempuan pertama-tama harus mendukung kemerdekaan nasional sebelum menuntut hak-haknya, Soewarni berpendapat sebaliknya, bahwa kesetaraan perempuan menjadi prasyarat memenangkan kemerdekaan nasional.
Posisi politik sebagai ibu bangsa mencerminkan tentang keperempuanan dan kebangsaan yang sangat terkait dengan kemampuan biologis perempuan sebagai ibu dan peran sosialnya sebagai ibu rumah tangga.Rumusan ibu bangsa ini dapat dipahami sebagai strategi gerakan perempuan memperoleh tempat dalam pergerakan nasional tanpa menimbulkan banyak tentangan dari pihak laki-laki.Akan tetapi, di pihak lain, strategi ibu bangsa ini mengukuhkan pembedaan peran antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.Perempuan tetap dilihat sebagai makhluk domestik.Pembedaan ini membatasi dan membebani keterlibatan perempuan di ranah publik.Perempuan dapat terlibat dalam kegiatan politik selama mereka tidak melupakan tugasnya melahirkan keturunan baru dan mengurus rumah tangga.
Dalam perkembangan selanjutnya, gerakan perempuan mulai mengambil tugas-tugas perjuangan.Bersama kaum laki-laki perempuan bergabung dalam perjuangan pembebasan nasional dan menjadikan organisasi sebagai alat perjuangannya.Isteri Sedar sebuah organisasi perempuan yang didirikan di Bandung dalam kongresnya tahun 1932 menyatakan diri ingin meningkatkan status perempuan Indonesa melalui perjuangan kemerdekaan. Ide dasarnya adalah bahwa tidak akan ada persamaan hak antara laki-laki dan perempuan bila tidak ada kemerdekaan.
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942, semua organisasi perempuan dilarang kecuali Fujinkai yang merupakan organisasi bentukan Jepang untuk para istri pegawai pemerintah dan sebagai wadah memobilisir dukungan demi kepentingan fasisme Jepang. Salah satu kegiatan dari Fujinkai ini adalah pemberantasan buta huruf.
2.2  Kondisi dan Keterlibatan Perempuan dalam Dunia Politik Paska Kemerdekaan
Peran perempuan dalam ranah politik di Indonesia bisa dikatakan masih minim, dan aspirasi kaum perempuan cenderung diabaikan.Di Indonesia negara yang masih cenderung Patriarkal suara perempuan kurang didengarkan, meski semenjak paska kemerdekaan telah banyak pergerakan perempuan mulai dari organisasi hingga partai politik yang bermunculan.Misalnya pada tahun 1945, pergerakan wanita menggalang persatuan dan membentuk badan persatuan. Persatuan Wanita Indonesia (Perwani) dan Wanita Negara Indonesia (Wani) yang kemudian melebur menjadi satu badan dengan nama Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari).
Kemudian, pada bulan Februari 1946 di Solo, lahirlah Badan Kongres Wanita Indonesia (KOWANI). Kongres tersebut memutuskan antara lain mulai mengadakan hubungan dengan luar negeri. Maka dari itu Kongres Wanita Indonesia menjadi anggota WIDF (Women’s International Democratic Federation).
Secara umum arah perkembangan gerakan wanita sampai tahun 1950 telah mencakup paling tidakhal-hal berikut:
1.     Pertama, sebagai kelanjutan dari kecenderungan pada masa sebelumnya, wawasan dan lingkup perhatian organisasi wanita telah meluas tidak hanya pada masalah dan isue wanita saja, tetapi juga ke bidang-bidang lain seperti politik dan pemerintahan.
2.     Kedua,muncullah jenis organisasi wanita yang semakin beragam. Selain organisasi-organisasi yang sudah ada sebelumnya seperti organisasi yang berafiliasi pada partai politik dan organisasi yang berazaskan agama, muncul pula organisasi khusus pada kelompok sosial tertentu seperti dikalangan istri Angkatan Bersenjata, dan organisasi profesi. Selain itu, azas demokrasi yang dipercaya sebagai dasar negara yang baru merdeka juga telah mendorong kaum wanita untuk membentuk partai politik agar kepentinngan kaum wanita juga terwakili dan tersalur.
3.     Ketiga, ruang gerak organisasi wanita juga semakin meluas, tidak hanya lokal dan nasional tetapi juga internasional, dengan bergabungnya organisasi-organisasi dalam Kowani dengan WIDF.
4.     Keempat,sebagai akibat orientasi gerakan yang diambil, kegiatan organisasi-organisasi wanita juga beragam. Yang terakhir ini paling tidak dapat dipisahkan menjadi dua kelompok besar, pertama organisasi-organisasi yang mendasarkan kegiatannya pada kesejahteraan (welfare) yaitu masalah pendidikan, sosial ekonomi, kewanitaan dan kegiatan karitatif; dan kedua organisasi yang berkonsentrasi pada masalah-masalah politik.
Sangatlah  perlu  untuk dilihat dalam konteks Indonesia, bagaimana  posisi perempuan  dalam  Negara  Indonesia sendiri. Jikalau ditelusuri, Kepedulian Negara terhadap perempuan dapat  dirunut sejak masa  pemerintahan Presiden RI  pertama, Soekarno. Pada masa itu, perempuan telah diakui haknya dalam politik, baik hak pilih dalam pemilihan umum 1955, maupun juga  duduk sebagai anggota  parlemen. Pada masa  itu juga  telah ada  UU  yang  bernuansa  keadilan gender, yaitu UU 80 tahun 1958. Undang-Undang  tersebut menentukan prinsip pembayaran yang  sama untuk pekerjaan yang sama. Perempuan dan laki-laki tidak dibedakan dalam sistem penggajian.Keluarnya  UU  ini  merupakan salah satu contoh dari keberhasilan perjuangan kaum perempuan ketika itu. Pada  masa  Soeharto ada  juga  kemajuan penting  yang  dicapai perempuan, salah satu kemajuan yang  dapat dicatat adalah  dijadikannya  masalah perempuan sebagai masalah politik dan adanya kebijakan-kebijakan publik yang secara eksplisit bertujuan untuk menangani masalah-masalah perempuan. Secara kelembagaan hal ini tercermin dari adanya  suatu kementrian yang  bertugas menangani masalah-masalah perempuan.
Pada Tahun 1978 dibentuk Kantor Menteri Muda Urusan Peranan Wanita atau lebih dikenal melalui akronim Menmud UPW. Pada tahun 1983 status menterimuda ini ditingkatkan menjadi Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Keppres No.25 Tahun 1983 yang mengatur kedudukan, tugas pokok, fungsi dan tata kerja menteri Negara. Pada  Bab I  Pasal 1 ayat 8  Keppres tersebut ditegaskan  bahwa “Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, disingkat MenUPW, mempunyai tugas pokok menangani peranan wanita dalam pembangunan di segala bidang. Visi  Kantor MenUPW adalah peningkatan peranan wanita  dalam pembangunan.  Untuk pertama kalinya, visi ini dilembagakan melalui GBHN 1978, dan di dalamnya termuat secara khusus pembahasan mengenai Peranan Wanita dalam Pembangunan dan Pembinaan bangsa. Pada dasarnya, pembahasan ini mencoba mengembangkan sebuah  perspektif mengenai peran perempuan, yaitu perspektif ‘peran ganda wanita’. Secara jelas perspektif ini dirumuskan dalam bentuk kebijakan pembangunan berideologikan ‘Panca Dharma Wanita’ yang meliputi wanita sebagai :
1)     Istri dan pendamping  suami;
2)     Pendidik dan pembina  generasi muda;
3)     Ibu pengatur rumah tangga;
4)     Pekerja  yang  menambah penghasilan keluarga; dan
5)     Anggota  organisasi masyarakat khususnya  organisasi wanita  dan organisasi sosial.
Dalam perkembangannya, perspektif peran ganda wanita dan kebijakan ideologis Panca Dharma wanita  ini  mengakar kuat  dalam proses pembangunan semasa pemerintahan orde baru. Prestasi penting pada masa Menmud UPW adalah keterlibatannya dalam memprakarsai berdirinya Pusat Studi Wanita (PSW) di beberapa Universitas negeri di seluruh Indonesia.Setidaknya ada dua manfaat berdirinya PSW, yaitu sebagai semacam think tank bagi pembuatan kebijakan dan program yang applicable bagi pembangunan di pusat maupun daerah tempat PSW itu berada.
Reformasi politik di Indonesia tentunya telah memberikan harapan  besar bagi kaum perempuan. Gerakan-gerakan  yang sebelumnya seperti tidak memiliki energi, muncul dengan berbagai usaha pembedayaan hak-hak perempuan, kususnya  hak politik. Kebangkitan kaum perempuan dalam pola kehidupan di era globalisasi telah membawa perubahan dalam perkembangan pembangunan terutama  di  Indonesia.
2.3  Kepemimpinan Perempuan
Kesempatan bagi munculnya peran serta masyarakat termasuk kelompok perempuan dalam proses pengambilan keputusan sejalan dengan pembangunan nasional di negaraIndonesia telah terjamin. Upaya-upaya maksimal pemberdayaan perempuan menunjukkan political willdari pemerintah yang apresiatif terhadapperkembangan pengarusutamaan gender pada pergulatan politik nasional padakebijakan-kebijakan yang  dikeluarkan. Dalam GBHN  1999 telah mengarah bahwapemberdayaan perempuan dilaksanakan dengan: pertama, meningkatkan kependudukandan peran perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang diemban oleh lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan gender. Kedua, meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan  tetapmempertahankan nilai persatuan dan kersatuan  usaha  pemberdayaan perempuan serta  kesejahteraan  keluarga  dan masyarakat. Untuk sampai ke arah tersebut,peningkatan kualitas dari perempuan perlu mendapat perhatian yang serius. Untukmenjawab semua itu sebagai tindak lanjutnya  adalah perlu peningkatan  partisipasi perempuan dengan beberapa hal seperti:
1.     Adanya gerakan penyadaran bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama sebagai warga Negara. Hal ini perlu dilakukan paling tidak untuk meminimalisir ketidakadilan yang  terjadi atau harapan tertinggi untukmencapai suatu keadilan dan keseimbangan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan wajah baru dalam dunia kita tentunya wajah yang  bebasdari diskriminasi. Masing-masing individu    perlu menyadarakankedudukannya, dan mengerti bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai posisi yang  sejajar dan diharapkan mampu memunculkan kesadaran bahwa antara laki-laki dan perempuan bisa memberikan kontribusi dengan porsi yangsama tanpa ada niat untuk menguasai ataumenghegemoni dari pihak laki-lakidan perasaan minder dari pihak perempuan karena  merasa  dirinya  hanya menjadi warga  Negara  kelas dua.
2.     Salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk melakukan hal tersebut antara lain dengan mengikutsertakan para perempuan untuk masuk dalam proses pengambilan keputusan.  Perlu ditegaskan sekali  lagi bahwa kesetaraanmenjadi langkah utama berjalannya proses demokratisasi karena akan muncul jaminan terbukanya akses dan peluang bagi seluruh elemen masyarakat baik itu laki-laki maupun perempuan.
3.     Gerakan pemberdayaan perempuan ini adalah suatu gerakan transformasi.Yang  utama  dalam  gerakan pemberdayaan perempuan adalah, dengandibukanya  peluang  dan kesempatan yang  sama bagi perempuan untuk ikut serta berperan aktif dalam seluruh kegiatan dalam masyarakat.
4.     Perlu juga adanya  penyadaran  bagi  kaum perempuan  sendiri bahwa kesempatan yang  diberikan pada  kaum perempuan harus digunakan sebaik-baiknya, hal ini dilakukan untuk membuktikan bahwa perempuan siap denganpemberian peluang  tersebut karena  selama  ini ada suara minor yang mengatakan bahwa perempuan belum  mampu atau siap dengan  kesetaraangender tersebut. Hal tersebut terjadi karena banyak dari pihak perempuantidak punya  kepercayaan diri untuk  mengaktualisasi diri.
5.     Perlunya  pemfokusan  perbaikan relasi antara  perempuan dan laki-laki. Adanya  kesadaran bahwa  kedudukan antara  laki-laki dan perempuan adalahsamasehingga tidak ada yang merasa dirinya lebih tinggi dari yang lain. Padadasarnya antara laki-laki dan perempuan adalah mitra maka perbaikan relasiini  mencakup hubungan  di segala  aspek yaitu meliputi hubungan ekonomi, politik, ekonomi sosial dan budaya.
Kepemimpinan atau leadership yang sering kita dengar sebagai sesuatu yanghanya dimiliki oleh kalangan elit atau kaum laki-laki saja, kini sudah luntur sejalandengan pergerakan dari kaum perempuan yang concern terhadap pengarusutamaan gender. Karena kepemimpinan yang  secara  umum  diartikan sebagai suatu kegiatan seserang dalam memimpin, membimbing, mempengaruhi atau mengontrol pikiran,perasaan atau tingkah laku orang lain dapat dilakukan oleh kaum perempuan melalui suatu karya (kepemimpinan yang bersifat tidak langsung) atau kontak pibadi antara seseorang dengan orang  lain secara  tatap  muka (kepemimpinan yang  bersifat langsung).
2.4  Hak Politik Perempuan
Secara Yuridis formal hak politik perempuan merupakan hak asasi sebagaimana  dimuat dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. Pasal 1 intinya adalah bahwa semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat danhak-hak yang  tidak berbeda. Pasal 7 menegaskan bahwa  setiap orang  berhak atasperlindungan hukum yang sama dan Pasal 21 menentukan bahwa setiap orang berhakturut serta  dalam pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung  maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas. Setiap orang diangkat berhak atas kesempatan yang  sama,  untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan dinegerinya (instrument Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, 1997). Selain itu perlu diperhatikan pula bahwa pemerintah telah meratifikasikonvensi tentang  hak politik perempuan sebagaimana  tertuang  dalam UU No. 68 Tahun 1958. Dalam UU tersebut terdapat ketentuan bahwa perempuan berhakmemberikan suara  dalam semua  pemilihan dengan status yang  sama dengan priatanpa  diskriminasi. Selain itu UU  No.39 Tahun  1999 tentang  Hak asasiManusia khususnya Pasal 46 seara tegas memberikan jaminan keterwakilan perempuan.Atasdasar itu semua, kiranya  tidak perlu ragu bahwa  perempuan pun juga dijamin hak politiknya. Persoalan tinggal pada perempuan sendiri mau atau tidakmemanfaatkan ini. Memperhatikan tentang ruang  politik yang  sudah  terbuka  bagi kaum perempuan, maka dapatlah dikatakan perempuan  dapat mengimplementasikan hak politiknya secara terbuka pula. Adanyajaminan  mengenai hak politik, memberikandampak yang sangat positif bagi pergerakan politik kaum perempuan. Dalam upayamerepresentasikan hak politik dalamketerwakilannya dalam pengambilan keputusanpolitik, maka  yang  perlu untuk dilihat bagaimanakah konteks perempuan danperwakilan  politik. Hal ini sangat perlu untuk dicermati  guna  memperhatikan lebih jauh, bagaimanakah aktualisasi perempuan dalam perwakilan politik yang  mereka jalani.
2.5  Perempuan Dalam Perspektif Hukum Dan Politik
Dalam konteks Indonesia, perkembangan  politik keterwakilan perempuan arahnya semakin jelas,  itu dengan ditetapkannya UU yang mengatur kejelasan keterlibatan perempuan dalam kancah politik yang tertuang dalam UU  No 2 Tahun 2008 dan UU No 10 Tahun 2008.
1.     Perspektif Hukum Dan Politik UU No 2 Tahun 2008Tahun 2008 diawali  dengan sebuah sejarah yang baru dalam keputusan Negara mengenai perpolitikan di negeri ini.Pada  4 januari 2008 diundangkannya Undang-undang partai politik dengan UU No 2 Tahun 2008 tentang partai politik melalui LN No 2 Tahun 2008. Berbagai hal diatur di dalam undang-undang sebelumnya, yakni UU No 31 Tahun 2002. Antara lain,  pengaturan pembentukanPartai Politik; Ketentuan Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga;Asas dan ciri Parpol, serta tujuan dan fungsinya. Salah satu hal mendasar dalam UU No 2 Tahun 2008, adalah syarat menjadibadan hukum atas suatu partai politik. Disyaratkan bahwa untuk menjadi suatu badanhukum, parpol harus memiliki kepengurusan, sedikitnya  60% dari jumlah propinsi,50% dari jumlah kabupaten/kota pada setiap propinsi yang bersangkutan. Sementarauntuk kecamatan, harus memiliki  kepengurusan setidaknya  25%  dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan.
Syarat badan  hukum dalam hal jumlah kepenguruan pada UU No 2  Tahun 2008 lebih diperketat, yakni sedikitnya memiliki 60% dari jumlah propinsi. Pada UU No 31 Tahun 2002, hanya disyaratkan sedikitnya memiliki 50% dari jumlah provinsi.Untuk kepengurusan pada jumlah kabupaten/kota dan kecamatan, hal demikian tidakberbeda dengan UU No 31 Tahun 2008.Baik pada UU No 2008 maupun UU sebelumnya, syarat untuk menjadi badanhukum dari suatu partai politik, harus memiliki kepengurusan paling sedikit 50% darijumlahkabupaten/kota pada setiap propinsi yang bersangkutan, dan 25% dari jumlahkecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan.  KetentuanUU No 2 Tahun 2008 juga menentukan, pengesahan Parpol menjadi badan hukum dilakukan dengan keputusan Mentri Hukum  dan HAM, paling lama 15 hari  sejakberakhirnya proses penelitan dan/verifikasi. Hal ini berbeda  dengan UU  No 32 Tahun 2002, karena UU selama  ini  menentukan  pengesahan parpol sebagai badanhukum, dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM selambat-lambatnya 30 hari setelah penerimaan pendaftaran.
Dalam masalah kesetaraan gender, diatur secara  tegas dengan  menentukan tindakan keperansertaan perempuan, berupaya  sedikitnya  30% keterwakilanperempuan dalam suatu parpol. Begitu pula dengan jumlah kepengurusan perempuan sedikitnya 30%  di tingkat propinsi dan kabupaten/kota.  Hal ini  harus dinyatakandalam AD dan ART suatu partai. Dari pinsip-prinsip yang terkandung UU No 2 Tahun 2008 ini  diharapkanmampu mengeksistensikan setiap partai politik menjadi parpol yang tangguh. Lebihmampu menjadi agen pembaruan sosial dan kehidupan politik yang sehat, baik secarainternal maupun dalam peran eksternalnya di tengah bangsa  Indonesia yang sedangmenapaki langkah ke arah demokratisasi yang kuat.
2.     Prspektif Hukum Dan Politik UU No 10 Tahun 2008UU No 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah dan DewanPerwakilan Rakyat Daerah, merupakan penganti  UU  No 12 tahun 2003. UU No 12 tahun 2003 sebelumnya juga telah mengalami perubahan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 10 tahun 2006  tentang Penetapan  Peraturan Pemerintahpengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang  Nomor  12  Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DewanPerwakilan Rakyat, Dewan perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi Undang-Undang. UU No 12 Tahun 2003 sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan, dan dinamika demokrasi masyarakat, maka  kemudian digantikan dengan UU No 10 Tahun 2008.
Sebagaimana  sebelumnya  pada  UU No  12 tahun 2003, dalam  UU  No 10 Tahun 2008 diatur berbagai hal mengenai Pemilu. Antaralain, mengenai asas,pelaksanaan dan lembaga penyelenggara Pemilu; Peserta dan Persyaratan mengikutiPemilu; kemudian mengenai peraturan hak-hak untuk memilih. Kemudian diatur pula dalam UU No 10 Tahun 2008 ini  mengenai jumlah kursi dan daerah pemilihan anggota DPR, Penyusun Daftar pemilih; dan bagaimana  pencalonan anggotaDPR,DPD,DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Dalam hal ini, sistem keterwakilan perempuan  juga  menjadi bagian dari UU No 10 Tahun 2008.  Sistem keterwakilan  politik perempuan dikaitkan  dengan  Affirmtive Actions, sebagai langkah solusi mengejar keterbelakangannyadari kaum pria. 
Selanjutnya di dalam UU ini diatur mengenai kampanye; pengaturan pemungutan suara, begitu pula perlengkapan mengenai pemungutan suara, begitupula perlengkapan mengenai pemungutan  suara, perhitungan suara,  dan demikian penetapan hasil pemilu. Selanjutnya mengenai penetapan perolehan kursi dan calonterpilih.  Hal ini  diatur  mengenai pemungutan  suara ulangdan penghitungan suaraulang; begitu pula mengenai kemungkinan pemilu lanjutan  dan pemilu susulan. Selain itu diatur pula dalam, undang-undang ini mengenai pemantauan Pemilu.
Mengenai keterwakilan perempuan  dalam UU  No 10 Tahun  2008, terdapatkemajuan secara signifikan dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya, yakni baik UU No 12 Tahun 2003 maupun UU No 31 tahun 2002 tentang Parpol. UU No10 Tahun 2008 merupakan tindak lanjut dari sistem politik mengenai keterwakilanperempuan  (dalam kepengurusan partai) sebagaimana  ditentukan pada  UU  No 2tahun 2008 tentang Partai Politik. 
Demikianlah dalam UU No 10 Tahun 2008, politik keterwakilan perempuanditeruskan dan diwujudkan dalam rangka  pemilihan wakil-wakil  rakyat, baik di tingkat pusat (parlemen) maupun di tingkat daerah (DPRD). UU NO 10 Tahun 2008ini  sangat penTing artinya  bagi realisasi politik keterwakilan  perempuan (feminisasi politik).  Karena  meskipun sedemikian baiknya  sistem keterwakilan perempuan dilaksanakan di tingkat parpol (pembentukan dan kepengurusan parpol), namun jika tidak diwujudkan dalam fase selanjutnya secara eksternal dalam bentuk pencalonan anggota legislatif, asas keterwakilan demikian adalah tidak bermakna apa-apa.Maka UU  No 10 Tahun 2008 menentukan, bahwa bagi setiap parpol, hanya bisa mengikuti atau menjadi peserta pemilu, haruslah memenuhi persyaratan, antaralain menyertakan sekurang-kurangnya  30% keterwakilan. Tanpa dipenuhinya persyaratan keterwakilan perempuan oleh setiap partai, tidak akan diterima sebagai Parpol peserta Pemilu. Mengenai sistem keterwakilan perempuan menuut UU No 10tahun 2008, dapat dilihat pada pasal 53 sampai pasal 58 UU No 10 Tahun 2008. Pasal53 mengatakan bahwa:
“Daftar  bakal calon  sebagaimana dimaksud  dalam  Pasal  52  memuat paling  sedikit  30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”.
Pasal 52 mengatur hal penyusunan bakal calon legislatif (caleg). Pasal 52 ini menentukan bahwa bakal caleg disusun dalam daftar bakal calon oleh parpol masing-masing (ayat 1): bakal caleg  anggota DPRD ditetapkan oleh pengurus partaipolitik peserta pemilu tingkat pusat: bakal caleg  anggota  DPRD provinsi ditetapakan olehpengurus Partai Politik  Peserta  Pemilu tingkat provinsi;  dan bakal caleg  anggotaDPRD kabupaten/kota ditetapkanoleh pengurus Partai politik Pesera Pemilu tingkatKabupatn/Kota. Nama-nama bakal caleg  ini  di susun berdasarkan no urut. MenurutPasal 55 ayat (2) ditentukan secara tegas bahwa:
“Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1(satu) orang perempuan bakal calon”.
Penentuan calon anggota legislatif  perempuan  sebanyak minimal 30  %,seperti disebutkan  di atas, dilakukan melalui  sistem Zipper System atau zig-zag. Caleg perempuanditempatkan dalam daftar caleg dengan komposisi  1  diantara  3nama, atau setiap  3 nama yang ada,  terdapat 1 caleg perempuan.Penempatan ini tentunya dimulai dari nomor urut terkecil hingga nomor urut besar.
Apa yang disebut Affirmative Action, telah dituangkan pada Pasal 53 sampaidengan pasal 58 UU  No 10 Tahun 2008. Affirmative Action, dimekanisme  melalui ketentuan-ketentuan yang  memungkinkan adanya  semacam tindakan khusus kepadakaum perempuan dalam  penentuan calon legislatif. Pasal 53s/d58 juga merupakanaplikasi secara  nyata  dari jiwa UU No 10 Tahun 2008 yang  tidak  bias gender,malahan memberikan kesempatan seluas-luasnya  bagi semua golongan dan lapisanuntuk memilih dan dipilih pada kesempatan pemilu yang ditentukan.
Affirmative action adalah merupakan upaya jalan keluar dari permasalahankaum perempuan atas ketertinggalannya. Affirmative Action dikatakan juga sebagai pengecualian demokrasi. Karena sifatnya kekecualian, maka tindakan khusus ini, terkadang disebut pula diskriminasi positif. Disebut diskriminasi positif, karena demi memperhatikan pemberdayaan kaum perempuan dalam politik, arti demokrasi dalam politik tersebut seakan menjadi tidak tampak, namun kebijakan  khusus demikian masih dapat dinilai positif sebagai langkah mengatasi kesenjangan gender.
Dilihat baik UU No 2 Tahun 2008 tentang Parpol maupun UU No 10 tahun 2008 tentang  Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, DewanPerwakilan Daerah, dan  Dewan Perwakilan rakyat daerah, merupakan instrument hukum yang revolusioner dalam kancah perpolitikan di Indonesia.

2.6  Peran Perempuan dalam Parlemen di Indonesia
Berikut adalah data lengkap mengenai keterlibatan perempuan dalam perpolitikan Indonesia, khususnya menjadi anggota dewan perwakilan rakyat (DPR RI) :
Masa Kerja
DPR
Perempuan
(Orang)
Jumlah Anggota
(Orang)
Presentase
1950 – 1955 (DPRS)
9
236
3,8
1955 – 1960
17
272
6,3
1956 – 1959 (Konsituante)
25
488
5,1
1971 – 1977
36
460
7,8
1977 – 1982
29
460
6,3
1982 – 1987
39
460
8,5
1987 – 1992
65
500
13
1992 – 1997
62
500
12,5
1997 – 1999
54
500
10,8
1999 – 2004
45
500
9
2004 – 2009
63
550
11,5
2009 – 2014
99
560
17,7
Sumber :Diolah oleh Miriam Budiardjo berdasarkan Blackburn untuk masa kerja DPR dari tahun 1950 hingga masa Konstituante. Masa kerja DPR 1972 hingga 1977 berdasarkan rekapitulasi Bintan R. Saragih di Suara Pembaruan tanggal 22 April 1994. Masa Kerja DPR 1997 – 1999 berdasarkan data dari Sekretariat Jenderal DPR/MOR RI.Masa Kerja 1999 – 2004 berdasarkan data dari Buku Lampiran XII, Komisi Pemilihan Umum 1999.

Berdasarkan tabel di atas, semenjak tahun 1950 hingga periode 1971 – 1977, jumlah perempuan yang menjadi anggota dewan perwakilan rakyat cenderung terus meningkat, yaitu mulai dari sembilan orang hingga mencapai 36 orang. Namun, pada periode 1977 – 1982 jumlah tersebut justru menurun menjadi 29 orang. Pada periode berikutnya, yaitu 1982 hingga tahun 1992 jumlah perempuan yang menjadi anggota dewan kembali meningkat. Pada periode kerja 1982 – 1987 jumlahnya meningkat dari 29 orang menjadi 39 orang.Kemudian pada periode berikutnya yaitu 1992 – 1997 meningkat tajam menjadi 65 orang.
Pada periode kerja berikutnya, yaitu 1997 hingga periode 1999 – 2004 jumlah tersebut cenderung kembali menurun.Pada periode 1997 – 1999, jumlah perempuan yang menjadi anggota parlemen sebanyak 54 orang, kemudian pada periode berikutnya jumlah tersebut kembali menurun menjadi 45 orang.Peningkatan kembali terjadi pada periode 2004 – 2009 dan 2009 – 2014.Pada periode 2004 – 2009, jumlah perempuan yang menjadi anggota dewan sebanyak 63 orang, sedangkan di periode berikutnya angka tersebut kembali meningkat menjadi 99 orang.
Berikut adalah tabel jumlah anggota parlemen perempuan periode 1992 – 2004 berdasarkan fraksi partainya:
Fraksi
1992 – 1997
1997 -1999
1999 – 2004
Orang
%
Orang
%
Orang
%
PPP
4 (62)
6,4
6 (89)
6,7
3 (58)
5,2
Golkar
48 (282)
17
43 (325)
13,2
16 (120)
13,3
PDI – P
6 (56)
10,7
1 (11)
9
15 (153)
9,8
ABRI / TNI
4 (100)
4
4(75)
5,3
3 (3,8)
7,9
Total
62 (500)
12,4
54 (500)
10,8
45 (500)
9
Sumber :Diolah oleh Miriam Budiardjo berdasarkan rekapitulasi Bintan R. Saragih di Suara Pembaruan, 22 April 1994 untuk masa bakti 1992 – 1997. Untuk masa bakti 1992 – 1997 berdasarkan data dari Sekretariat Jenderal DPR/MPR RI.Data tahun 1999-2004 berdasarkan data dari Pemilu Indonesia dalam Angka dan Fakta, Biro Humas KPU.

Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengangkat jumlah keterlibatan perempuan dalam bidang politik, salah satu cara yang dianggap sebagai langkah yang paling strategis adalah dengan menempatkan perempuan-perempuan dalam posisi strategis di kawasan kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Dengan demikian, perempuan akan terlibat aktif dalam proses pembuatan keputusan, termasuk memberikan pertimbangan-pertimbangan yang mengedepankan kepentingan kaum perempuan.
Laporan perkembangan PBB tahun 1995 yang menganalisis gender dan pembangunan di 174 negara menyatakan bahwa: “Meskipun benar bahwa tidak ada hubungan nyata yang terbentuk antara tingkat partisipasi perempuan dalam lembaga-lembaga politik dan kontribusi mereka terhadap kemajuan perempuan, tetapi 30% keanggotaan dalam lembaga-lembaga politik dianggap sebagai jumlah kritis yang dapat membantu perempuan untuk memberi pengaruh yang berarti dalam politik.
Fenomena yang dipaparkan diatas bukanlah tipikal Indonesia saja, tetapi juga terjadi di belahan dunia lain. Perempuan juga masih sibuk menuntut kesetaraan untuk masuk dalam kawasan politik.Peran perempuan dalam bidang politik dan pemerintahan memang masih sangat minim. Secara umum, perempuan anggota parlemen dunia menurut perhitungan IPU (Inter-Parlimentary Union) baru sekitar 13,7 % . Dari jumlah tersebut, tentu saja tidak cukup untuk mempresentasikan kepentingan perempuan.Karenanya tidak mengherankan, kalau keputusan yang dihasilkan lebih banyak mendomesikkan peran-peran perempuan.
Perjuangan memperoleh kuota 30 persen di Indonesia dilakukan dalam rangka menjawab problematika ketimpangan tersebut di atas. Perjuangan itu dimulai dengan diresmikannya sebuah Kelompok Kerja atau Forum dengan nama Kaukus Perempuan Politik di Gedung DPR/MPR pada tanggal 19 Juli 2001. Ini menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah politik perempuan di parlemen Indonesia.Kaukus Perempuan politik ini beranggotakan perempuan anggota parlemen Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan peran perempuan dalam dunia politik.Pada tahun 200, telah berdiri juga sebuah kaukus yang bernama Kaukus Perempuan Politik Indonesia.Bedanya dengan Kaukus Perempuan Politik adalah bahwa Kaukus Prempuan Politik Indonesia keanggotaannya lebih terbuka, yaitu perempuan-perempuan yang akitf dalam partai politik di Indonesia.Namun, tujuan mereka pun tak jauh berbeda, memperjuangkan dan menegakkan hak-hak politik perempuan di Indonesia.
Undang-Undang No 12 Tahun 2003, yang disahkan pada tanggal 11 Maret 2003 adalah langkah maju, meskipun masih menyisakan banyak perdebatan di masyarakat. Terbukanya peluang bagi terwujudnya kesetaraan peranan perempuan dalam politik melalui implementasi UU tersebut akan terus menjadi bahan diskusi, yang tetap aktual dan penuh daya tarik. Yang jelas, ketentuan pasal 65 ayat (1) UU tersebut merupakan titik kulminasi dari perjuangan panjang kaum perempuan untuk masuk ke dalam jalur pengambil keputusan di parlemen.

2.7 Peran Perempuan dalam Kementerian di Indonesia
Era Kepemimpinan
Nama Menteri Perempuan
Jabatan
Ir. Soekarno
1.     Maria Ulfah Santoso
2.     Soerastri Karma Trimurti
3.     Rusiah Sardjono
1.   Menteri Sosial (1946 – 1947)
2.   Menteri Perburuhan (1947 – 1948)
3.   Menteri Sosial (1962 – 1966)
Soeharto & Habibie
1.     Nani Soedarsono
2.     Lasjiah Soetanto
3.     Anindyati Sulasikin Murpratomo
4.     Haryati Soebadio
5.     Mien Sugandhi
6.     Siti Hardijanti Rukmana
7.     Justika Sjarifuddin Baharsjah
8.     Tuty Alawiyah
1.   Menteri Sosial (1983 – 1988)
2.   Menteri Negara Peranan Wanita (1983 – 1987)
3.   Menteri Negara Peranan Wanita (1987 – 1988) dan Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (1988 – 1993)
4.   Menteri Sosial (1993 – 1998)
5.   Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (1993 – 1998)
6.   Menteri Sosial (1998)
7.   Menteri Pertanian (1998) dan Menteri Sosial (1998 – 1999)
8.   Menteri Negara Peranan Wanita (1998 – 1999)
Abdurrahman Wahid & Megawati
1.     Erna Witoelar
2.     Khofifah Indar Parawansa
3.     Rini Mariani Soemarno Soewandi
4.     Sri Redjeki Sumarjoto
1.   Menteri Pemukiman & Pengembangan Wilayah (1999 – 2000) dan Menteri Pemukiman & Prasarana Wilayah (2000 – 2001)
2.   Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (1999 – 2001)
3.   Menteri Perindustrian & Perdagangan (2001 – 2004)
4.   Menteri Negara Pemberdayaan Wanita (2001 – 2004)
Susilo Bambang Yudhoyono
1.     Meutia Hatta Swasono
2.     Mari Elka Pangestu
3.     Siti Fadilah Supari
4.     Sri Mulyani Indrawati
5.     Endang Rahayu Sedyaningsih
6.     Linda Amalia Sari Gumelar
7.     Armida Alisjahbana
1.   Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (2004 – 2009)
2.   Menteri Perdagangan (2004 – 2009)
3.   Menteri Kesehatan (2004 – 2009)
4.   Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (2004 – 2005) dan Menteri Keuangan (2005 – 2009)
5.   Menteri Kesehatan (2009)
6.   Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak (2009)
7.   Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (2009)
Joko Widodo
1.     Rini Soemarno
2.     Siti Nurbaya
3.     Puan Maharani
4.     Nila F Moeloek
5.     Khofifah Indar Parawansa
6.     Yohana Yembise
7.     Retno LP Marsudi
8.     Susi Pudjiastuti
1.   Menteri Badan Usaha Milik Negara (2014 – sekarang)
2.   Menteri Kehutanan & Lingkungan Hidup (2014 – sekarang)
3.   Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (2014 – sekarang)
4.   Menteri Kesehatan (2014 – sekarang)
5.   Menteri Sosial (2014 – sekarang)
6.   Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2014 – sekarang)
7.   Menteri Luar Negeri (2014 – sekarang)
8.   Menteri Kelautan dan Perikanan (2014 – sekarang)

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa pada pemerintahan era presiden Joko Widodo, jumlah menteri perempuan paling banyak yaitu sebanyak 8 orang.Selain meningkat secara kuantitatif, kehadiran delapan menteri dalam kabinet Kerja dibawah pemerintahan Joko Widodo juga meningkat secara kualitas. Bila sebelumnya menteri dengan jenis kelamin perempuan hanya menempati posisi menteri yang dianggap kurang strategis dan rata-rata hanya menjabat sebagai menteri pemberdayaan perempuan, namun pada era pemerintahan Joko Widodo, menteri perempuan juga ditempatkan di beberapa posisi yang cukup strategis.
Sebagai contoh, adalah ditempatkannya Rini Soemarno menjadi menteri BUMN, jabatan yang sebelumnya dipegang oleh Dahlan Iskan, menteri laki-laki. Kemudian penempatan Puan Maharani sebagai menteri koordinator juga dianggap sebagai posisi yang cukup strategis, karena belum ada di pemerintahan sebelumnya menteri koordinator dijabat oleh perempuan. Dan yang paling terakhir serta paling fenomenal adalah penempatan Susi Pudjiastuti sebagai menteri kelautan dan perikanan.Posisi menteri ini sangat strategis, sebab Indonesia memiliki luas laut yang sangat besar, serta terkandung potensi keuntungan negara dalam jumlah yang besar bila dapat dikelola dengan baik.Penempatan Susi Pudjiastuti sebagai menteri kelautan dan perikanan dinilai tepat dan mampu meningkatkan pendapatan negara dari sektor kelautan.


BAB III
PENUTUP
3.1     Kesimpulan
Peran perempuan dalam Sistem Politik Indonesia sudah ada sejak penjajahan belanda dimana mereka berjuang dan berpartisipasi melalui Organisasi gerakan-gerakan perempuan.Perempuan pun telah diakui haknya dalam politik, baik hak pilih dalam pemilihan umum 1955, maupun juga  duduk sebagai anggota  parlemen. Namun jumlah perempuan dalam partisipasi politik masih kurang. Hal ini disebabkan perempuan mengalami tiga rintangan sosial utama untuk menjadi pelaku politik. Pertama sumber daya yang diperlukan untuk memasuki politik yang  mereka  miliki lebih lemah. Kedua, bermacam-macam kekangan gaya hidup mengakibatkan  perempuan mempunyai sedikit waktu untuk politik. Keluarga dan kewajiban-kewajiban lain yang menuntut perhatian penuh secara khas dijalankan oleh perempuan mengurangi waktu mereka  untuk kegiatan lain-lain. Ketiga, tugas politik dikategorikan sebagai tugas laki-laki, yang  menghalangi kaum perempuan mengejar  karier politik dan juga  merintangi rekruitmen mereka  yang tampil  ke depan.










DAFTAR PUSTAKA
1.     Muhadjir M. Darwin. 2005.Negara Dan Perempuan, Reorientasi Kebijakan Publik.Yogyakarta: GrahaGuru
2.     Hendra Nurtjahjo. 2006. Filsafat Demokrasi, Jakarta: Bumi Aksara
3. Kewajiban Perempuan dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. http://www.apikartini.org/2014/12/25/kewajiban-perempuan-dalam-perjuangan-kemerdekaan-indonesia.htmldiakses pada tanggal 25 Desember 2014
4.     Ratnawati. Potret Kuota Perempuan di Parlemen. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Volume 7, Nomor 3, pp. 259 – 314 Maret 2004


No comments:

Post a Comment

Silahkan baca dan share