BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pasang
surut sejarah militer Indonesia berjalan seiring dengan dinamika politik bangsa
dari sejak awal kemerdekaan hingga sekarang. Bahkan, Salim Said menyebutkan
bahwa keterlibatan militer dalam politik adalah sama tuanya dengan sejarah
republik ini. Sebelum gaung reformasi yang dimotori Amien Rais dan mahasiswa
digulirkan, gagasan perlunya TNI melakukan reformasi telah banyak diserukan
baik oleh kalangan masyarakat sipil maupun mantan petinggi militer. Dalam
reformasi internal TNI, salah satu ganjalan utama yang dipandang akan
menghambat pertumbuhan demokrasi dan reformasi nasional adalah masalah dwi
fungsi ABRI yang didalamnya adalah menyangkut keberadaan koter. Koter selama
ini diakui banyak kalangan lebih dijadikan sebagai insrumen militer terpenting
dalam merealisasikan peran sosial politik tentara.
Bila
menelusuri berbagai literatur di bidang kemiliteran modern, profil dan model
kemiliteran di Indonesia memang memiliki keunikan dan kekhasannya tersendiri.
Sementara dalam peran di masa lampau terutama di era pemerintahan Presiden
Soeharto, TNI pernah mengalami distorsi peran dengan menjadikan komando
teritorialnya, sebagai kepanjangan tangan politik, bahkan untuk melakukan
berbagai tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM.
Pembentukan
koter merupakan upaya pelembagaan dari konsep dwi fungsi ABRI (peran sosial
politik tentara). Kendati, dalam fakta historis keterlibatan tentara dalam
urusan non-kemiliteran sebenarnya telah dimulai sejak awal kemerdekaan. Hal itu
karena lebih didorong oleh situasi dan kondisi bangsa pada saat itu. Konstelasi
politik yang kompleks dalam suasana revolusioner saat itu telah melahirkan
sosok tentara yang otonom dari segala campur tangan pemerintahan sipil. Tentara
menganggap dirinya tidak dilahirkan melalui „rahim‟ sistem politik dan
pemerintahan yang saat itu didominasi oleh para politisimelainkan oleh
kompleksitas suasana revolusioner tersebut. Namun demikian tentara hanya
memiliki legitimasi sejarah yang belum terlembagakan secara lebih baku baik
dalam bentuk doktrin maupun peraturan perundang-undangan karena hanya berbentuk
pernyataan ataupun pidato petinggi tentara tentang perlunya keterlibatan
tentara dalam urusan non-kemiliteran. Setelah segala permasalahan internal
berhasil diselesaikan dan kudeta PKI berhasil digagalkan serta kewibawaan
politik Presiden Soekarno semakin merosot, tentara mulai memiliki kesempatan
lebih baik untuk merekonseptualisasi jati dirinya, terutama dalam menentukan
bagaimana posisi seharusnya dalam sistem politik dengan konsep "dwi fungsi‟.
Pada
perkembangan selanjutnya, dengan mengatasnamakan dwifungsi, struktur teritorial
ini melakukan pembinaaan teritorial yang memasukkan muatan sosial politik,
karena ABRI adalah bagian dari eksekutif dan memiliki struktur yang paralel
dengan struktur departemen dalam negeri. Muatan sosial politik dapat
diterjemahkan dengan upaya memenangkan golongan, maupun permainan otoritas
dalam memenangkan pemilihan lurah, camat, bupati, dan seterusnya dengan kata
lain ABRI memperkokoh dirinya untuk menjadi alat kekuasaan. Untuk tujuan
manajemen daerah operasi militer, Indonesia dibagi dalam sepuluh daerah militer
(Kodam atau Komando Daerah Militer) yang dipimpin olehseorang panglima
berpangkat mayor jenderal. Masing-masing daerah militer dibagi lagi ke dalam
resort-resort militer (Korem atau Komando Resort Militer), seluruhnya berjumlah
39, yang didirikan di tingkat bekas keresidenan dan dipimpin oleh seorang
colonel. Masing-masing resort militer ini dibagi lagi menjadi distrik-distrik
militer (Kodim atau Komando Distrik Militer) seluruhnya berjumlah 150 dan
dipimpin oleh seorang letnan kolonel. Masing-masing Kodim ini kemudian dibagi
lagi menajdi sub-distrik militer (Koramil atau Komando Rayon Militer). Kepada
Koramil inilah para aparat yang tak berpangkat (Babinsa) yang disetiap desa
memberikan laporan.
Militer
mempunyai perangkat untuk operasi-operasi teritorial yang dirancang untuk
mengorganisir dan memobilisasi rakyat dan sumber daya untuk mendukung
operasi-operasi gerilya dan keamanan internal. Semua tingkat komanda daerah
(Kodam) mempunyai fungsi intelijen, dan semua tingkat di atas Koramil mempunyai
staf intelijen yang menyiapkan dukungan operasional untuk komandan mereka dan
melaporkan secara nasional kepada BIA.
Dengan
postur militer Indonesia ini, maka membuka kemungkinan dominasi politik militer
dari mulai tingkat pusat hingga daerah. Di sepanjang rezim kekuasaan Orde Baru,
menteri dalam negeri selalu diduduki oleh militer. Struktur militer ini makin
diperkuat oleh adanya hubungan organisasional dan historis antara ABRI dan
Golkar sehingga maka struktur koter menjadi sarana potensial untuk mendominasi
kekuasaan yang seharusnya berasa di tangan sipil. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis ingin
mengulas mengenai peran militer dalam sistem politik Indonesia dari masa orba
hingga reformasi saat ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan penjabaran latar belakang di atas, maka perumusan masalah
yang terbentuk adalah sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana peranan militer dalam
sistem politik di Indonesia pada masa orde lama, orde baru dan reformasi?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah
jawaban dari rumusan masalah di atas , yaitu sebagai berikut:
1.3.1 Mengetahui bagaimana peranan
militer dalam sistem politik di Indonesia pada masa orde lama, orde baru dan
reformasi.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini
adalah bisa memberikan pengetahuan mengenai peranan militer dalam sistem
politik di Indonesia dari masa ke masa.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Militer
Militer dapat diartikan sebagai kelompok
yang memegang senjata dan merupakan organisasi kekerasan fisik yang sah untuk
mengamankan negara dari ancaman luar negeri maupun dalam negeri. Dalam hal ini,
militer berfungsi sebagai alat negara yang menjunjung tinggi supremasi sipil. Militer
juga dapat didefinisikan sebagai sebuah organisasi yang diberi wewenang oleh
Negara untuk menggunakan kekuatan termasuk menggunakan senjata, dalam
mempertahankan bangsanya ataupun untuk menyerang Negara lain.
Para pengamat hubungan sipil-militer dalam
negeri seperti Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryahardiprojo (1999)
mendefinisikan militer berkaitan dengan kekuatan bersenjata yaitu TNI sebagai
organisasi kekuatan bersenjata yang bertugas menjaga kedaulatan negara.
Sedangkan Hardito membatasi pihak militer ditekankan pada perwira professional.
Dari pengertian yang dikemukakan diatas,
dapat dikatan bahwa pengertian militer secara universal adalah institusi
bukan sipil yang mempunyai tugas dalam bidang pertahanan dan keamanan, dalam
hal ini militer merupakan suatu lembaga, bukan individu yang menduduki posisi
dalam organisasi militer.
Tipe
Orientasi Militer
Jenis-jenis orientasi militer berbeda di
setiap negara, tergantung bagaimana pihak militer dalam pemerintahan, selain
itu juga tergantung sistem politik yang dianut negara tersebut. Setiap negara
mempunyai karakteristik sendiri terhadap tipe-tipe orientasi militernya,
menurut Amos Perlmutter ada tiga jenis orientasi militer yang timbul di negara
modern, masing-masing bertindak sebagai reaksi terhadap jenis kekuasaan sipil
yang di lembagakan, yakni (2000:25):
1. Militer Profesional
Militer profesional adalah militer yang
memegang teguh fungsi pertahanan-kemanan, mempunyai keahlian dalam menggunakan
senjata, setia pada negara bukan pada pemerintah atau komandan, punya jiwa
korsa yang kuat, dan punya etika militer yang kuat. Etika ini mementingkan
ketertiban, hirarkhi dan pembagian tugas serta pengakuan atas nation-state sebagai bentuk tertinggi organisasi politik.
2. Militer Praetorian
Militer pretorian adalah militer yang lebih
suka berpolitik atau menjalankan aktivitas ekonomi, ketimbang mengurusi
pertahanan. Militer aktif yang jadi menteri, parlemen, kepala daerah, atau
menjalankan bisnis adalah militer pretorian, alias militer yang tidak punya
etika profesional.
Militer pretorian melakukan politisasi di
seluruh kekuatan-kekuatan sosial yang melingkupinya, bahkan akhir dari ujung
politisasi yang dilakukannya menciptakan atau membangun masyarakat
praetorianisme, sehingga lembaga-lembaga politik menjadi tidak efektif baik
dalam menyikapi perubahan ataupun dalam upaya-upaya merumuskan kebijakan serta
pada tindakan-tindakan politik.
Praetorian yang oligarkis adalah kaum
militer bekerja sama dengan pemilik tanah yang luas dan pemimpin-pemimpin
agama, dan di luar mereka hampir-hampir tidak ada organisasi yang diperbolehkan
berkembang. Adapun mengenai pretorian radikal sering lahir dari pretorian yang
oligarkis, pelopornya adalah perwira-perwira reformis dan nasionalistis yang
berasal dari golongan menengah, yang mendambakan modernisasi dan pembangunan
ekonomi. Aliansi kaum militer pretorian radikal dibangun dengan
kelompok-kelompok profesi dan intelektual serta kadang dengan kaum buruh.
Pretorian radikal ini yang melahirkan pemerintahan korporatis.
3. Militer
revolusioner professional
Militer
revolusioner professional mempunyai pola intervensi ilegal, namun tidak seperti
tentara pretorian yang melalui kudeta militer atau melalui kerjasama dengan
kelompok-kelompok lain sebelum dan selama proses intervensi. Intervensi tentara
revolusioner merupakan suatu aktivitas kelompok militer yang ilegal yang
beroperasi secara sembunyi, dan dilancarkan untuk mendukung kelompok
revolusioner yang sudah ada yang secara terang-terangan berusaha mengambil alih
kekuasaan dengan bantuan dan dukungan kelembagaan secara besar-besaran.
Tentara
revolusioner pretorian bukanlah hasil dari keahlian militer, melainkan
pengabdian revolusi dan mendapatkan dukungan partai. Tentara revolusioner tidak
mengenal adanya pendaftaran dan penerimaan perwira, melainkan kesadaran sendiri
untuk ikut bergabung membela kepentingan revolusi. Oleh karna itu tentara
revolusi tidak ada pembatasan jumlah tentaranya.
2.2 Militer
pada Era Orde Baru, Orde Lama, dan Reformasi
2.2.1
Militer Pada Era Orde Lama
Sejak awal mula terbentuknya pemerintahan Indonesia,
militer Indonesia telah memiliki peran yang sangat besar dalam menentukan garis
sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Sehingga selama masa lima tahun revolusi
Indonesia (1945-1949) dengan mudah rakyat Indonesia dapat menyaksikan betapa
mencoloknya peranan militer. Demikian jelas dan penting peranan politik tentara
ketika itu sehingga sangat masuk akal apabila dikatakan bahwa karakteristik
yang paling mencolok dalam masa itu adalah adanya dualisme kepemimpinan, yaitu
militer dan politik (Leni, 2013: 33).
TNI adalah tentara yang menciptakan diri sendiri (self
created army), artinya bahwa mereka tidak diciptakan oleh pemerintah, dan juga
tidak tidak diciptakan oleh suatu partai politik sebagaimana layaknya terjadi pada negara
demokratis lainnya. Tentara Indonesia terbentuk, mempersenjatai diri dan
mengorganisasi dirinya sendiri. Hal tersebut terjadi akibat adanya keengganan
pemerintah sipil pada waktu itu untuk menciptakan tentara. Pemerintah pusat
yang didominasi oleh generasi tua dibawah pimpinan Soekarno, berharap dapat
mencapai kemerdekaan secara damai. Namun, Tentara Indonesia yang pada saat itu
dimotori oleh para pemuda berpendapat lain dengan Soekarno. Para pemuda kemudian berinisiatif untuk mempersenjatai diri dan mendirikan organisasi
tentara sendiri, dengan tekad untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru saja
diproklamasikan tersebut (Leni, 2013: 33).
Sebab lain yang menyebabkan kuatnya peranan Tentara
Indonesia dalam politik adalah pola tingkah laku Panglima Besar Sudirman di mana
menurut A.H. Nasution, Sudirman berulangkali mengatakan bahwa tentara bukanlah
alat mati, melainkan alat hidup. Disiplin tentara bukanlah
disiplin kadafer, melainkan disiplin berjiwa. Sudirman juga tidak pernah
menghindari persoalan politik negara, bergaul secara rapat dengan kaum politik,
bahkan tidak jarang menjadi penengah dalam konflik antara pemerintah dan pihak
oposisi (Leni, 2013: 34). Pada beberapa kesempatan yang lain, A.H.
Nasution juga mengungkapkan bahwa Sudirman selalu bertindak selaras dengan
pengertian bahwa tentara adalah alat revolusi dan alat perjuangan, jadi bukan
semata-mata alat pemerintah. Pidato-pidato beliau, demikian Nasution, mengupas
soal-soal politik dan khusus hubungan dengan Belanda, beliau berusaha
menghubungkan “pemerintah sayap kiri” dengan oposisi “persatuan
perjuangan”. Beliau selalu mengambil bagian dalam
pertemuan-pertemuan penting dari pihak pemerintah maupun dari pihak oposisi
(Leni, 2013: 33). Dari uraian diatas, dapat dilihat betapa tingkah laku dalam
berpolitik Sudirman telah menjadi contoh dan inspirasi bagi para pimpinan TNI
sesudahnya dalam menyikapi hubungan sipil militer, serta menentukan
keterlibatan mereka dalam politik di negeri ini.
Campur
Tangan Militer pada Masa Demokrasi Parlementer
Peristiwa 17 Oktober 1952 serta kejadian yang mengawali
dan mengakhirinya, mungkin dapat dilihat sebagai suatu peristiwa yang paling
dapat menjelaskan awal keterlibatan kembali tentara dalam percaturan politik
pada masa tersebut. Pada saat itu terjadi demonstrasi di gedung parlemen,
demonstrasi dilakukan oleh sekitar 5000 orang dan kemudian bertambah sampai
sekitar 30.000 orang. Dengan parlemen baru, serta menuntut segera
dilaksanakannya pemilihan umum. (Yahya A. Muhaimin dalam Leni, 2013: 34).
Peristiwa tersebut dipicu oleh mosi Manai Sophiaan, Sekretaris
Jenderal PNI, yang diawali oleh serangkaian kegiatan politik di parlemen yang
menurut penilaian TNI telah mencampuri teknis militer. Mosi Manai Sophiaan
bermula dari rencana TNI untuk me-reorganisasi TNI menjadi tentara Indonesia
yang profesional dan “to transform the existing army into highly trained
core army”. Rencana ini disetujui dan didukung oleh Menteri Hamengkubuwono,
namun rencana demobilisasi ini ditentang oleh Kolonel Bambang Supeno yang pada
bulan Juli 1952 kemudian mendesak Presiden Soekarno untuk mengganti Kepala Staf
Angkatan Darat Kolonel A.H. Nasution.
Akibat konflik intern Angkatan Darat tersebut, Kolonel
Bambang Supeno kemudian dipecat. Sementara itu, persoalan tersebut ternyata
telah menjadi sorotan parlemen Komisi Pertahanan sehingga akhirnya
masalah tersebut menjadi political issue, yang memancing munculnya
serangkaian mosi di parlemen. Tanggal 28 September 1952, Zainal Baharuddin
(Ketua Komisi Pertahanan), yang didukung oleh Partai Murba, Partai Buruh, PRN
dan PKI mengajukan mosi yang menyatakan “tidak percaya dan tidak menerima policy
yang dijalankan Menteri Pertahanan dalam menyelesaikan konflik di dalam
tubuh TNI dan meminta agar diadakan reformasi serta reorganisasi pimpinan
Kementrian Pertahanan serta pimpinan Militer”. Berikutnya pada tanggal 13
Oktober 1952, I.J. Kasimo dari partai Katholik mengajukan mosi yang merupakan counter
motion dengan dukungan dari wakil-wakil partai Masyumi, Parkindo dan Parindra,
yang intinya berisikan kemungkinan penyempurnaan struktur Kementrian Pertahanan
dan struktur kemiliteran.
Pada tanggal 14 Oktober 1952 muncul mosi ketiga yang
dimotori oleh Sekjen PNI, Manai Sophiaan yang didukung oleh NU (Nahdlatul
Ulama) dan PSII yang intinya agar Panitia Negara memberikan saran “kemungkinan
penyempurnaan pimpinan dan organisasi Kementrian Pertahanan dan Kemiliteran”.
Mosi Manai Sophiaan ini memungkinkan dilakukannya pemecatan atau penggantian
pimpinan-pimpinan militer yang tidak disetujuinya, dan ternyata mosi tersebut
mendapat dukungan yang diam-diam dari Presiden Soekarno, yang melalui Mr. Ishaq
dan Mr. Sunarjo mendesak agar pimpinan PNI (Ali Sastroamidjojo dan Sartono)
mendukung mosi tersebut (Yahya A. Muhaimin dalam Leni, 2013: 35-36).
TNI
sebagai
Kekuatan Politik Setelah Jatuhnya Kabinet Ali
Pada tanggal 2 Mei 1955, seminggu setelah Konferensi Asia
Afrika digelar, KSAD Bambang Sugeng mengundurkan diri dari jabatannya, didorong
oleh ketidakmampuannya melaksanakan amanat Piagam Yogya sebagai buntut dari
penyelesaian peristiwa 17 Oktober. Untuk menduduki jabatan tersebut, kabinet
berketetapan akan mengangkat salah satu perwira dari “kelompok anti 17 Oktober”
dan segera mengajukan calon-calonnya, namun pimpinan TNI AD menjelang akhir Mei
menegaskan bahwa pengisian dan pengangkatan KSAD harus didasarkan pada
senioritas dan kecakapan sejalan dengan kepentingan militer.
Akan tetapi kemudian kabinet Ali memutuskan untuk
mengangkat Kolonel Bambang Utojo menjadi KSAD yang baru, yang sebenarnya pada
saat itu senioritasnya masih rendah. Pimpinan TNI menolak keputusan tersebut,
dan mengancam akan melakukan boycott terhadap pengangkatan Bambang Utojo
apabila tetap akan dilaksanakan. Pada hari pengangkatan Kolonel Bambang Utojo
dengan suatu upacara pelantikan sebagai KSAD, dengan pangkat Mayor Jenderal,
Pimpinan TNI dan para perwira yang diundang memboikotnya atas perintah Pejabat
KSAD Zulkifli Lubis, dan Lubis menolak untuk menyerahkan otoritasnya kepada
Bambang Utojo. Pemerintah kemudian melalui menteri pertahanan Mr. Iwa Kusuma
Sumantri atas instruksi dari Presiden Soekarno bertindak dengan memecat Lubis
dari segala jabatannya. Kolonel Lubis tidak menggubris pemecatan itu dengan
menyatakan bahwa dia didukung oleh seluruh perwira Komandan Teritorium, serta
seluruh pimpinan TNI. Akhirnya timbullah polemik dimana para pimpinan TNI di
satu pihak dan Pemerintah di pihak yang lain tetap berkeras pada keputusan
masing-masing. Sementara itu, ternyata keputusan politik pemerintah terhadap
TNI AD itu ditentang oleh partai-partai, dan bahkan partai-partai pemerintah di
Parlemen mengajukan mosi tidak percaya atas keputusan tersebut, serta menuntut
agar menteri-menterinya ditarik dari kabinet. Hanya PNI dan PKI-lah yang tetap
mendukung keputusan tersebut, dan menyuarakan dalam media massa tentang adanya
bahaya diktator militer (Yahya A. Muhaimin dalam Leni, 2013: 37).
Munculnya
Militer Sebagai Kekuatan Politik Pada Masa Transisi 1957-1959
Pada masa transisi di dalam kehidupan politik di
Indonesia, Tentara Nasional Indonesia melalui Mayor Jenderal A. H. Nasution
sebagai KSAD, menitik beratkan tindakannya untuk mengurangi, dan bahkan untuk
menghilangkan kerapuhan politis yang merupakan kelemahan paling fundamentil
yang ada pada TNI. Jenderal Nasution menitikberatkan usahanya untuk mendapatkan
legitimacy atau “dasar hukum” bagi TNI untuk melakukan peranan-peranan
non-militer, dalam hal ini peranan politik yang selama ini belum dimiliki TNI.
Akibat konsepsi yang dilemparkan oleh Bung Karno tersebut, timbullah reaksi pro
dan kontra yang luar biasa di kalangan masyarakat dan terutama di kalangan
partai-partai politik, sehingga muncul polarisasi antara dua kekuatan yang pro Soekarno
maupun yang kontra Soekarno. Bahkan daerah-daerah sudah banyak yang kemudian semakin
keras menentang pemerintah pusat dan diantaranya menyatakan daerah kekuasaannya
dalam keadaan darurat perang.
Pada hari itu juga Presiden Soekarno mengumumkan Negara
dalam keadaan darurat/bahaya perang, atau S.O.B. S.O.B. inilah yang akhirnya
memberikan dasar hukum legitimacy
kepada militer, untuk melakukan tindakan-tindakan non-militer khususnya
tindakan politik.
Setelah kabinet Ali kedua jatuh, Presiden menunjuk
Suwirjo untuk membentuk kabinet, namun upaya tersebut pun gagal sehingga
akhirnya Soekarno menunjuk dirinya sendiri sebagai “warga negara Soekarno”
menjadi formatir guna membentuk suatu kabinet darurat. Soekarno berhasil
membentuk kabinet dengan Ir. Djuanda Kartawidjaja sebagai Perdana Menteri
merangkap sebagai Menteri Pertahanan, dan kabinet tersebut diberi nama Kabinet
Kerja. Pada proses pemilihan anggota Kabinet Kerja tersebut, terlihat dengan
kentara bahwa militer telah dijadikan landasan utama oleh pemerintah, dengan
mengurangi peranan partai-partai politik serta parlemen, dan sebaliknya selaras
dengan naiknya peranan politik Presiden dan Angkatan Darat. Dengan dasar S.O.B.
ini pula Kabinet Djuanda membentuk suatu Dewan Nasional, yang keanggotaannya
didasarkan pada golongan fungsionil, sehingga militer terutama TNI-AD yang juga
termasuk dalam golongan ini sangat mendukung adanya Dewan Nasional. Soekarno
beranggapan bahwa Dewan Nasional ini merefleksikan seluruh masyarakat Indonesia
berkedudukan lebih tinggi dari kabinet yang hanya mewakili parlemen.
2.2.2 Militer Pada Era Orde Baru
Keterikatan ABRI dalam politik terlihat
yaitu pada prakteknya militer bukan saja diperbolehkan mengikuti dunia politik,
melainkan juga ”bersama kekuatan sosial politik lainnya” terlibat dalam
kehidupan kenegaraan, yang bersumber pada aspek legal empirik. Militer secara kelembagaan
atau individu terlibat dalam berbagai kegiatan seperti:
a)
Sebagai pilar Orde Baru, duduknya TNI di DPR
melalui jalur pengangkatan meskipun bukan partai tetapi didasarkan atas Susduk
DPR/MPR RI yang mengesahkan kedudukan tersebut.
b)
Sebagai stabilisator dan dinamisator, kehadiran
politik TNI di wujudkan melalui Golkar. Disamping untuk menjamin berjalannya
sistem demokrasi, politisi Orde Baru juga berusaha melahirkan kekuatan politik
yang dominan.
c)
TNI bukan saja hadir di lembaga legislatif tetapi
juga di eksekutif. Hal tersebut dapat dilihat dari TNI yang duduk pada jabatan
kunci di pemerintahan, baik yang masih aktif maupun yang sudah purnawirawan.
d)
Dalam usaha menopang kesejahteraan keluarga TNI,
Presiden Soeharto juga banyak memberikan kesempatan untuk berbisnis.
e)
Disamping tugas-tugas kekaryaan dan ekonomi, TNI
juga memerankan fungsi modernisasi dengan ABRI masuk desa (AMD) pada daerah
tertinggal dengan nama TNI.
Pada masa Soeharto militer tampil mengendalikan
kekuasaan, militer mengukuhkan keyakinan dan kebenaran dwifungsi yang kemudian
secara resmi dinyatakan sebagai doktrin, yang secara eksplisit menolak
pandangan yang secara tegas mengharuskan militer mengambil jarak dari kehidupan
politik, sembari menyatakan militer sebagai penyelamat negara dan penjaga ideologi
negara, Pancasila. Dengan kata lain Dwifungsi dikembangkan menjadi sejumlah
asumsi dasar sebagai justifikasi peran politik militer, yang mencakup: (1) nilai
kesejarahan, dalam hal ini militer Indonesia dipersepsikan sebagai institusi
yang memiliki sejarah sendiri sebagai tentara rakyat yang berperan besar dalam
menghadapi perlawanan militer; (2) mengamankan ideologi negara, dalam hal ini militer
bertanggung jawab mengamankan ideologi negara; (3) Pancasila: bentuk negara, militer
merumuskan pandangan bentuk negara Indonesia sebagai negara kesatuan yang
diatur dalam sistem kekeluargaan.
Militer dan sipil adalah satu keluarga, yang memiliki hak
dan tanggung jawab yang sama. Berangkat dari sejumlah asumsi dasar tersebut
menjadikan pihak militer dengan penuh keyakinan menerapkan kebijakan dwifungsi
yang dengan praktek ini membawa TNI kemudian menjadi bagian penting dalam sistem
kekuasaan di Indonesia. Militer muncul sebagai Power Elite (Maliki, 2000).
2.2.3 Militer Dan Politik Pada Era Reformasi
2.2.3 Militer Dan Politik Pada Era Reformasi
Reformasi nasional telah memberikan ruang yang
seluas-luasnya kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk mengekspresikan
aspirasi politiknya yang telah tersumbat kurang lebih 32 tahun oleh rezim Orde
Baru (Gaffar, 1999). Pembukaan “kran” demokrasi di era reformasi telah
memberikan peluang bagi masyarakat, LSM, Partai Politik, Ormas dan kekuatan
politik lainnya untuk berkompetisi secara sehat dalam kaancah percaturan
politik. Reformasi nasional telah berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan
politik dan ekonomi pada seluruh komponen masyarakat Indonesia.
Salah
satu dampak dari bergulirnya reformasi nasional tersebut adalah adanya
reformasi TNI (pada masa pemerintahan
rezim Orde Baru bernama ABRI) (Chrisnandi, 2005: 33-34). Sebagai kekuatan
politik yang dominan dan tanpa tandingannya ketika rezim Orde Baru masih
berkuasa, maka dengan munculnya gerakan reformasi telah mendorong TNI untuk
melakukan semacam “introspeksi diri” alias melihat ke dalam terhadap berbagai
“kekeliruan” yang dilakukan pada masa rezim Orde Baru. Sebagai pilar utama
tatatan politik Orde Baru, TNI merasa telah kehilangan “patron” nya, yakni
Presiden Soeharto, yang menyatakan berhenti dari jabatan presiden pada tanggal
21 Mei 1998.
Ditambah
lagi dengan adanya kekuatan masyarakat sipil (civil society) yang sangat
kuat menyuarakan agar supaya TNI kembali ke barak (back to barrack),
keluar dari kancah politik praktis, dan angkat kaki dari lingkungan
pemerintahan, yang tentunya membuat TNI “mau tidak mau” atau “suka atau tidak
suka” harus merespon suasana kebatinan yang berkembang di tengah masyarakat
ketika reformasi mulai bergelora tersebut (Chrisnandi, 2005: 113-120). Respon
kalangan TNI terhadap berbagai tuntutan kalangan masyarakat sipil tersebut
dilakukan secara relatif cepat dengan merumuskan reformasi internal TNI, di
mana kebijakan redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi diimplementasikan baik
di kalangan internal TNI maupun kalangan di luar TNI. Sebagian kalangan di
tubuh TNI menyatakan bahwa reformasi internal TNI merupakan sebuah keharusan, dengan
atau tanpa reformasi (Wirahadikusumah, 1999).
TNI
menyadari bahwa supremasi sipil atas militer dalam negara demokrasi tidak bisa
ditawar lagi sebagai sebuah keniscayaan sejarah yang harus diterima. TNI
meneguhkan komitmen untuk melakukan langkah-langkah kongkret terkait pembenahan
di tubuh TNI maupun kaitannya dengan relasi TNI dengan dunia politik dan
pemerintahan. Di bawah kendali Panglima ABRI ketika itu, dirumuskan berbagai
persiapan dalam melakukan reformasi TNI di tengah sorotan masyarakat, baik
masyarakat domestik maupun masyarakat internasional (Samego et.al., 1998).
Reformasi TNI
Komitmen
TNI dalam melakukan reformasi TNI ditepati dengan langkah kongkret yang dimulai
pada tahun 1998 dengan mengumumkan penghapusan Dwi Fungsi ABRI[1], menghilangkan konsep
kekaryaan ABRI[2],
berubahnya nama ABRI menjadi TNI, dan TNI terpisah secara organisatoris dari
Polri pada tanggal 1 April 1999. Diterbitkannya TAP MPR No.VI /2000 tentang
Pemisahan TNI - Polri dan TAP MPR No.VII/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri
semakin menguatkan secara yuridis reformasi TNI di era reformasi. Tidak hanya
berhenti ditataran tersebut, Pemerintah dan MPR/DPR juga melakukan amandemen
terhadap UUD 1945 yang mana di dalamnya terdapat pasal-pasal yang menegaskan
peran, tugas dan fungsi TNI secara lebih eksplisit dan bernuansa penghormatan
TNI terhadap supremasi sipil terhadap militer. Selain itu, Pemerintah dan DPR
menerbitkan UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara yang di dalamnya
secara tersurat menegaskan bahwa TNI sebagai kekuatan utama pertahanan negara
tunduk dan patuh terhadap pemerintahan sipil yang direpresentasikan dalam
kedudukan TNI yang berada di bawah struktur organisasi Departemen Pertahanan (Said,
2001: 305).
Diterbitkannya
UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI telah mengakselerasi reformasi TNI. Dalam UU
tersebut dinyatakan secara tegas bahwa TNI adalah alat pertahanan Negara yang
tunduk dan patuh pada pemerintahan sipil dalam rangka supremasi sipil. Pasal 2
ayat (d) dalam UU TNI tersebut termaktub penegasan agar supaya TNI menjadi
tentara yang profesional, di mana Tentara Profesional adalah tentara yang
terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak
berbisnis dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik
negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia,
ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi.
Dalam
pasal tersebut sangat jelas sekali bahwa TNI diharapkan menjadi tentara yang
profesional dan tidak mengulangi kesalahan sejarah di masa lalu. Dalam
kaitannya dengan relasi TNI dan politik, disepakati pula adanya penghapusan
Fraksi ABRI/Fraksi TNI-Polri dari gedung DPR dan keluarnya kekuatan TNI di
parlemen sejak tahun 2004 serta lepasnya TNI dari Partai Golkar dalam konteks
ABG (ABRI, Birokrasi dan Golkar) (Yulianto, 2002). Pada lingkungan internal TNI
sendiri, ditetapkan kebijakan larangan anggota TNI aktif/ masih berdinas untuk
menduduki jabatan pada level pemerintahan, partai politik, BUMN dan menjadi
anggota DPR. TNI juga meneguhkan komitmen untuk tidak menggunakan hak pilihnya
dalam Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 agar supaya menjaga netralitas TNI dari tarik
menarik kepentingan partai politik di kancah politik praktis.
Berkaitan
dengan HAM dan demokrasi, TNI menyadari bahwa banyak pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh anggota TNI di masa lalu ketika menjalankan tugas di lapangan.
Berbagai sorotan dan kecaman terhadap pelanggaran HAM yang dituduhkan kepada
anggota TNI, baik dari masyarakat Indonesia maupun dari masyarakat global dan
lembaga internasional, telah mendorong TNI untuk mulai menghormati nilai-nilai
HAM dalam pelaksanaan tugas. Sampai dengan saat ini, TNI telah bekerjasama
dengan berbagai lembaga domestik dan lembaga internasional dalam
mensosialisasikan nilai-nilai HAM kepada setiap prajurit TNI. Hal ini dilakukan
dengan penerbitan buku saku HAM bagi prajurit TNI, masuknya mata pelajaran HAM
dalam kurikulum pendidikan TNI, dan pelatihan HAM bagi prajurit TNI. Bahkan,
saat ini, sedang digodok di DPR mengenai RUU Peradilan Militer yang tentunya
apabila RUU ini berhasil disahkan akan menciptkan hubungan sipil-militer yang
baik di Indonesia. TNI juga mulai diperkenalkan dengan nilai-nilai demokrasi
dimana kontrol sipil terhadap militer merupakan sebuah keharusan dalam alam
demokrasi.
Peran politik militer dalam buku DR. Salim said dapat
dilihat dari tiga perspektif, yaitu:
1)
Perspektif Sosiologis, militer yang dalam hal ini
lebih menekankan pada hubungan sosial antara para elite militer dengan masalah
sosial budaya yang diakibatkannya.
2)
Perspektif Perbandingan Politik, yang mana
kelompok militer dianalisis sebagai kekuatan politik yang berperan penting
dalam proses perubahan yang direncanakan dalam suatu negara.
3)
Perspektif strategi dan ilmu hubungan
internasional, yang menitikberatkan pada peran militer dalam interaksi hubungan
antar bangsa sebagai dampak perkembangan pemikiran strategis darinya.
Hapusnya
Dwifungsi ABRI
Dalam penelitian yang dilakukan oleh LIPI (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia) pada tahun anggaran 1996-1997 dalam dua tahap di lima
belas propinsi tentang harapan masyarakat terhadap Peran Sosial-Politik
ABRI menghasilkan beberapa temuan di lapangan antara lain yaitu empat kategori
kelompok:
1)
Kelompok yang menolak dwifungsi ABRI bertolak
dari pemikiran yang menentang kehadiran ABRI dalam maslah non-militer. Kelompok
ini jelas berpegang pada prinsip supremasi sipil, dan hanya mengijinkan tentara
terlibat pada urusan non-militer pada keadaan darurat.
2)
Kelompok yang tidak apriori menolak peran
sosial-politik ABRI, tetapi menghendaki pembatasan yang disesuaikan dengan
kebutuhan yang ada dalam masyarakat. Secara terinci kelompok ini menunjuk MPR
sebagai tempat ABRI untuk berperan. Dengan melibatkan ABRI di MPR, kelompok ini
mengharapkan ABRI bisa terhindar dari kudeta.
3)
Kelompok yang tergolong pragmatis melihat dwi
fungsi ABRI sebagai tidak terhindarkan lagi karena dalam politik riil kekuatan
masih di perlukan. Kendati demikian kelompok ini berharap agar realitas politik
tersebut hendaknya tidak di jadikan ukuran atau landasan dalam mengambil
kebijakan secara nasional dan lintas waktu. Oleh sebab itu kelompok ini
berharap agar Peran sosial-politik ABRI di bidang kekaryaan harus senantiasa
disesuaikan dengan kebutuhan.
4)
Kelompok struktural melihat ABRI sebagai penjamin
stabilitas pembangunan dan persatuan bangsa. Bagi kelompok ini pengurangan
jumlah personel ABRI dalam jabatan-jabata sipil yang selama ini di pegangnya,
bahkan di DPR-RI akan mempengaruhi proses manajemen pemerintahan pada umumnya,
dan pengendalian konflik pada khususnya.
Berdasarkan temuan tersebut, LIPI memberikan enam
rekomendasi kebijakan yaitu:
1)
Dalam rangka reformasi politik, dengan semakin
mapannya lembaga-lembaga politik dan sipil, ABRI perlu menitikberatkan perannya
secara strategis dan mengurangi keterlibatannya dalam politik praktis,
keorganisasian dan kepartaian.
2)
Dalam bidang sosial-ekonomi, jika kemanunggalan
ABRI dan rakyat di masa lalu bersifat fisik, kini harus ditujukan kepada
tantangan yang lebih abstrak, seperti bagaimana meningkatkan demokrasi,
menanggapi masalah kemiskinan, kesenjangan sosial dan masalah hak asasi
manusia.
3)
Dalam pemerintahan, peran sosial-politik ABRI atau
dwi fungsi di perlukan untuk mendorong dinamika penyelenggaraannya. Kehadiran
ABRI didalamnya hanya dimungkinkan pada cabang pemerintahan yang memerlukan
penanganan keamanan.
4)
ABRI diperlukan untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas pelaksanaan politik luar negeri, yang di maksudkan di sini yaitu
adalah perlunya ABRI secara militer menjadi sangat kuat sehingga negara asing
tidak tergoda untuk memandang rendah negara kita, terutama ketika memiliki
masalah dengan beberapa negara tetangga dalam urusan tapal batas.
5)
Peran sosial-politik ABRI diperlukan untuk
mempercepat proses pengembangan sumber daya manusia indonesia yang handal dalam
kompetisi internasional. Caranya dengan menciptakan iklim yang kondusif
terhadap daya cipta dan daya saing.
6)
Peran sosial-politik ABRI di arahkan untuk
membantu proses penegakan hukum dan pemberdayaan masyarakat.
2.3 TNI dan
Bisnis
Melihat
perkembangan reformasi TNI sejak awal reformasi nasional sampai dengan saat
ini, kurun waktu lebih dari satu dasawarsa, menunjukkan langkah yang sangat
baik dan patut diajungi jempol. Proses reformasi TNI yang dikhawatirkan akan
menimbulkan resistensi di kalangan internal TNI tidak terjadi. Sebagian besar
kalangan TNI menyadari bahwa reformasi TNI di era reformasi adalah sebuah
keharusan sejarah sehingga dapat berjalan dengan relatif baik (Said, 2002).
Reformasi TNI yang berlangsung aman tentunya mendorong hubungan sipil militer
yang harmonis dalam percaturan politik Indonesia.
Banyak
kalangan menyatakan bahwa bisnis TNI telah menggurita ke dalam perekonomian
nasional. Bisnis TNI telah berjalan puluhan tahun, khususnya semenjak
berdirinya Republik Indonesia terlepas dari penjajahan Belanda. Sebagai unsur
yang menganggap sebagai “paling berjasa” atas kemerdekaan Republik Indonesia,
TNI melakukan “nasionalisasi” terhadap berbagai perusahaan dan bisnis yang
sebelumnya dikelola oleh penjajah Belanda, berupa industri pertanian,
perkebunan, peternakan, perikanan, dan lain-lain. Bisnis TNI ini dikelola
melalui berbagai yayasan dan koperasi TNI dimana keuntungan bisnisnya dikatakan
untuk kesejahteraan prajurit TNI.
Perilaku
prajurit TNI yang terjun dalam dunia bisnis dengan mengelola berbagai
perusahaan ini menyebabkan TNI jauh dari kata “professional”. Banyak pihak
menyatakan bahwa keterlibatan TNI dalam dunia bisnis disebabkan oleh alasan
historis sebagai pihak yang menilai paling berjasa terhadap terbentuknya NKRI,
rendahnya kesejahteraan prajurit, kecilnya alokasi anggaran pertahanan/TNI
dalam APBN, dan adanya kecenderungan ideologis karakter TNI yang berwatak
“tentara niaga” yang memburu rente sebagai warisan para jenderal di masa lalu.
Reformasi
bisnis TNI merupakan amanat dalam UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI di mana
dalam pasal 76 dinyatakan secara eksplisit bahwa: “Dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun sejak berlakunya undang-undang ini, pemerintah harus mengambil alih
seluruh aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh TNI baik secara
langsung maupun tidak langsung”. Jangka waktu atau batas terakhir lima tahun
sejak diundangkannya UU TNI tersebut adalah tahun 2009, tepatnya tanggal 16
Oktober 2009, dimana semua bisnis TNI harus sudah diambil alih oleh pemerintah.
Penataan Bisnis TNI
Pada
tanggal 16 April 2008, pemerintah menetapkan Keputusan Presiden No.7 Tahun 2008
Tentang Pembentukan Tim Nasional Pengalihan Aktifitas Bisnis (Timnas PAB) TNI,
yang diketuai oleh Erry Riyana Harjapamekas. Timnas PAB TNI dibentuk untuk
melanjutkan tugas dari TSTB TNI. Timnas PAB TNI memiliki tiga tugas pokok.
Tugas pokok pertama, menilai dengan cara menginventarisasi, mengidentifikasi,
dan mengelompokkan semua aktivitas bisnis TNI yang dimiliki dan dikelola TNI,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Tugas pokok kedua, merumuskan
langkah kebijakan semua bisnis TNI sesuai dengan kategori untuk kemudian ditata
sesuai UU yang berlaku. Tugas pokok ketiga, Timnas memberikan rekomendasi
langkah kebijakan kepada Presiden.
Hasil
verifikasi yang dilakukan oleh Timnas PAB TNI menunjukkan bahwa bisnis TNI
terbagi menjadi tiga jenis, yaitu yayasan, koperasi, dan pemanfaatan barang
milik negara, yang diuraikan sebagai berikut: Yayasan (23 unit, dengan 53 PT
didalamnya); Koperasi (1.098 unit, dengan 2 PT didalamnya); Pemanfaatan Barang
Milik Negara/BMN (Barang Milik Negara yang dimanfaatkan oleh pihak ketiga
berupa 1.618 bidang tanah seluas 16.544,54 hektar, 3.470 bidang tanah dan bangunan
seluas 8.435,81 hektar: 6.699 unit gedung dan bangunan seluas 37,57 hektar).
Dengan demikian, total asset yayasan dan koperasi termasuk perusahan yang
dimiliki TNI adalah : (1) Koperasi Rp 1,3 triliun; dan (2) Yayasan Rp 1, 8
triliun, sehingga total aset bisnis TNI adalah Rp 3,1 triliun. Jumlah total aset
bisnis TNI tersebut dikurangi total kewajiban sebesar Rp 1 triliun, maka dapat
dikatakan total aset bisnis TNI sekitar Rp 2,1 triliun bersih setelah dikurangi
kewajiban.
Permasalahan
yang muncul kemudian adalah sampai dengan saat ini, Pemerintah belum melakukan
langkah kongkret pengalihan aktifitas bisnis TNI sebagaimana yang
direkomendasikan oleh TSTB yang dilanjutkan oleh Timnas PAB TNI. Padahal,
tenggat waktu 16 Oktober 2009, sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 76 UU
TNI, sudah semakin dekat, namun belum ada kejelasan, kepastian, dan titik
terang kebijakan pemerintah dalam mengambil alih
bisnis TNI tersebut. Pemerintah terkesan lambat dan lamban dalam mengambil
tindakan mengalihkan seluruh bisnis TNI untuk kepentingan negara. Pemerintah
seperti ragu, bimbang, khawatir, dan takut dalam membuat kebijakan pengalihan
aktifitas bisnis TNI.
Upaya
melakukan transformasi bisnis TNI dapat dimaknai sebagai upaya TNI menuju
profesionalisme militer di era reformasi yang tidak lagi terjun dalam dunia
bisnis dan melepaskan diri dari kegiatan bisnis yang selama ini dipegang dan
dikelola baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Pengambil alihan
bisnis TNI secara garis besar memiliki empat tujuan. Pertama, sebagai langkah
untuk menghentikan penyimpangan fungsi TNI dari fungsi pertahanan. Kedua, untuk
membangun dan meningkatkan profesionalisme TNI. Ketiga, upaya untuk menegakkan
supremasi dan kontrol sipil atas militer, khususnya kontrol pada pemanfaatan anggaran
pertahanan. Pemerintah dan parlemen harus memegang kendali penuh atas anggaran
dan belanja pertahanan, dengan hanya membuka satu pintu pemenuhan anggaran dari
pemerintah. Keempat, meminimalisir dan mengurangi distorsi pada ekonomi
nasional sebagai akibat dari bisnis TNI yang akan mengganggu esensi dari
persaingan bisnis yang adil dan terbuka.
2.4 Babinsa dalam Sistem Politik Indonesia
Babinsa adalah merupakan kepanjangan dari Bintara Pembina
Desa yang berada dibawah Koramil. Babinsa adalah pelaksana pembinaan
teritorial yang berhadapan langsung dengan masyarakat desaserta dengan segala
permasalahan yang penuh dengan kemajemukan. Oleh karena itu sesuai dengan
tekad TNI dalam rangka ikut berperan aktif dalam pelaksanaan pembangunn Nasional
yang bertumpu pada pembangunan masyarakat desa, maka Babinsa harus mempunyai
kemampuan yang memadai agar dapat memacu masyarakat desanya aktif dalam
pembagunan. Oleh karena itu Babinsa dituntut memiliki kondisi mental serta motivasi
yang tangguh (nilai juang yang tinggi), tingkat profesionlisme yang memadai dan
kemmpuan yang dapat diandalkan.
Dapatlah difahami bahwa tugas pokok babinsa secara garis
besar adalah sebagai berikut :
1.
Melaksanakan
tugas pokok sebagai prajurit TNI terutama dalam mengaplikasikan kemampuan
Teritorial,dan wajib TNI.
2.
Melaksanakan
tugas dibidang keamanan dan ketertiban dimasyarakat
3.
Membina
dan membimbing masyarakat dalam kaitan dengan keamanan dan ketertiban,
4.
Menangkal
berbagai bahaya, gangguan dan ancaman yang diakibatkan oleh penyalahgunaan
Narkoba, zat adiktif, Ilegal Loging, maupun terorisme
5.
Melaksanakan
tugas intelegen
6.
Melaksanakan
kegiatan bakti sosial dimasyarakat
7.
Melaksanakan
kegiatan sosial sebagai akibat dari adanya bencana alam maupun
peristiwa-peristiwa lainnya
8.
Melaksanakan
berbagai kegiatan baik dibidang pertanian, perikanan, peternakan, dan lain-lain
dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan pendapatan masyarakat.
9.
Melaksanakan
pembinaan dan penyuluhan dibidang pertanian, perikanan,peternakan, dan
lain-lain serta penyuluhan tentang program KB,
10. Melaksanakan tugas dalam pembinaan
territorial.
11. Melakanakan tugas kerjasama dengan
pemerintah Daerah.
Saat Soeharto berkuasa, Kodam di seluruh Indonesia diberi kewenangan
teritorial. Kodam dalam operasinya membawahi Korem, Kodim dan Bintara Pembina
Desa (Babinsa) yang menjangkau seluruh pelosok tanah air dan tentunya
seluruhnya adalah personel TNI AD. Babinsa benar-benar dimanfaatkan sebagai ujung tombak
di Era Orde Baru. Bak telik sandi, Babinsa menjadi menjadi 'mata dan telinga'
untuk memantau semua gerak-gerik warga negaranya. Menurut Jenkins, pada Pemilu
Tahun 1971, TNI khususnya Angkatan darat berperan sangat jauh, bahkan hingga
mempengaruhi politik saat itu. TNI
AD melalui perangkatnya benar-benar menyusup ke masyarakat untuk menjegal
setiap gerakan lawan politik Soeharto meski hanya di tingkat desa.
Menurut Jenkins dalam buku Soeharto dan barisan Jenderal Orba halaman 17, para perwira teritorial
berperan memonitor perkembangan politik dan sosial serta 'menikam' rekan sipil
mereka jika diperlukan. Tetapi pengaruh mereka jauh melampaui hal itu. Orang
yang hendak melakukan perjalanan perlu mendapat surat izin dari pihak AD,
demikian halnya ketika ingin mengadakan pertemuan, menyelenggarakan suatu
upacara dan menerbitkan sesuatu.
Penetrasi yang dilakukan TNI AD dilakukan melalui perangkat
yang paling rendah yakni Babinsa. Babinsa di era Soeharto melakukan pengawasan dan pemantauan di tiap desa yang menjadi
teritorinya. Babinsa ini biasanya dibantu dua atau tiga orang untuk memantau
betul setiap desa.
Babinsa juga menjaga hubungan baik dengan perangkat dan
kepala desa. Dari sanalah semua kegiatan yang menjerumus ke makar bisa
dipantau, dideteksi bahkan dihilangkan. Setelah
Reformasi, banyak kalangan yang meminta agar satuan Teritorial TNI dibubarkan.
Tetapi tidak bagi babinsa, hingga kini Babinsa masih ada namun perannya di
masyarakat sudah disesuaikan dengan tuntutan saat ini.
Para petinggi TNI AD saat ini selalu menyebut jika Babinsa
lebih banyak membantu pembangunan di desa-desa dengan karya baktinya. Melakukan
kegiatan kegiatan bakti sosial seperti pengobatan massal (gratis), operasi
katarak dan bibir sumbing, sunatan massal dan sebagainya.
2.5 Contoh Kasus di Indonesia
Contoh mutakhir dari intervensi militer ke dalam
wilayah politik adalah manipulasi proses pemilihan kepemimpinan di tubuh PDI
yang berbuntut menjadi apa yang kita kenal dengan pristiwa 27 Juli 1996.
Sekalipun mengorbankan banyak jiwa, militer merasa lebih aman jika ketua PDI
yang sah bukan tokoh yang berpotensi menjadi kekuatan tandingan. Peristiwa
serupa terjadi beberapa tahun sebelumnya dalam proses pemilihan ketua PPP.
Berkat kesigapannya militer kembali mampu memanipulasi proses pemilihan agar
menghasilkan pemimpin partai yang tidak berpotensi sebagai ancaman terhadap
pemerintah.
Pada tahun 1985 diberlakukan azas tunggal Pancasila
terhadap seluruh partai dan mengharuskan semua partai mencabut ideologi yang
melekat pada semua lembaga. Dengan disahkanya undang-undang kepartaian (UU
No.3/1975 dan diperbaharui dengan UU No.3/1985) yang berakibat fatal bagi
partai politik. Di parlemen ABRI/TNI memiliki fraksi tersendiri, yang mana
kompisisi yang terdapat di dalam parlemen merupakan orang yang pro terhadap
Soeharto dan di dominasi oleh Golkar dan TNI.
Dengan adanya Dwifungsi ABRI menjamin perwira aktif
untuk masuk kedalam struktur pemerintahan, mereka menjabat sebagai kepala
pemerintahan di daerah seperti gubernur dan bupati yang di angkat secara
langsung oleh presiden. Parlemen sendiri memiliki fraksi ABRI dan organisasi
kemasyarakatan yang sengaja di bentuk oleh ABRI, selain itu juga ABRI memiliki
bisnis yang sangat besar. Perwira militer menduduki jabatan strategis dalam
setiap perusahaan negara maupun swasta, disisi lain bisnis dan yayasan ABRI
mendapat bantuan dana yang melimpah dari pemerintah. Tahun 1997, Indonesia
mengalami krisis moneter sehingga menyebabkan krisis ekonomi berkepanjangan dan
berkembang menjadi krisis multidimensi di segala bidang kehidupan masyarakat.
Hal inilah menjadi pemicu pergolakan dimana-mana, terutama yang berasal dari
kaum mahasiswa. Puncaknya 21 mei 1998 menjadi hari keruntuhan bagi presiden
Soeharto yang mendatangkan pukulan telak bagi ABRI, yang mana menjadi pilar
utama pada masa orde baru kini mengalami krisis legitimasi dari masyarakat.
Dengan manuver yang dilakukan kepala staf Angkatan
Bersenjata, Jendral Wiranto, dengan keterampilan yang tinggi sepanjang 1998,
tidak saja pada masa transisi Habibie, tetapi juga mempersatukan Angkatan Darat
yang mengalami keretakan internal. Wiranto telah menunjukan kemauan yang tulus
untuk mendengarkan aspisari masyarakat akan perlunya reformasi politik; ia
memahami betul barapa besarnya taruhanya bagi ABRI dalam membantu kearah sistem
Indonesia yang lebih pluralistis.
Contoh Kasus Pada Masa Orde Lama
Salah satu sejarah
dimana tentara memainkan peranan politiknya adalah manakala Belanda mendarat di
Indonesia untuk melaksanakan agresinya yang kedua, Sukarno kemudian
memerintahkan tentara melalui Sudirman untuk tetap berada di kota Yogyakarta
sebagai suatu keputusan politik, namun kemudian sebaliknya tentara menolak
perintah tersebut dan memilih untuk meninggalkan kota dan melakukan perang
gerilya.
Kali kedua dimana tentara memainkan peran
politik sentral adalah ketika Sukarno dan Hatta ditangkap oleh Belanda pada
masa agresi Belanda kedua, sementara belum ada lembaga politik lainnya yang
dapat memerankan peranan politik melawan kolonial Belanda, praktis tentara
adalah tinggal satu-satunya kekuatan yang tersisa, sehingga kemudian TNI atas
dasar pertimbangan situasi mengambil alih peran politik tersebut, dan secara
aktif kemudian mengambil keputusan-keputusan politik dalam perjuangan
menghadapi Belanda.
Berbagai peristiwa lain
pada kurun waktu 1945-1949 turut memperburuk situasi politik dalam negeri,
seperti pemberontakan komunis di Madiun pada tahun 1948 dan peristiwa
penculikan politik tanggal 3 Juli 1946, hal ini memaksa TNI yang pada dasarnya
memang memiliki kecenderungan berpolitik untuk terjun di arena politik.
Peran politik yang dilakukan tentara ini membuat kemudian tentara memperoleh
legitimasi rakyat yang begitu besar untuk ikut campur di dalam masalah politik.
Contoh Kasus Pada Masa Orde Baru
Keterikatan ABRI dalam politik terlihat yaitu pada
prakteknya militer bukan saja di perbolehkan mengikuti dunia politik, melainkan
juga ”bersama kekuatan sosial politik lainnya” terlibat dalam kehidupan
kenegaraan, yang bersumber pada aspek legal empirik. Militer secara
kelembagaan atau individu terlibat dalam berbagai kegiatan seperti ;
1. Sebagai pilar Orde Baru, duduknya TNI di DPR melalui
jalur pengangkatan meskipun bukan partai tetapi didasarkan atas Susduk DPR/MPR
RI yang mengesahkan kedudukan tersebut.
2. Sebagai stabilisator dan dinamisator, kehadiran politik
TNI di wujudkan melalui Golkar. Disamping untuk menjamin berjalannya sistem
demokrasi, politisi Orde Baru juga berusaha melahirkan kekuatan politik yang
dominan.
3. TNI bukan saja hadir di lembaga legislatif tetapi juga di
eksekutif. Hal tersebut dapat dilihat dari TNI yang duduk pada jabatan kunci di
pemerintahan, baik yang masih aktif maupun yang sudah purnawirawan.
4. Dalam usaha menopang kesejahteraan keluarga TNI, Presiden
Soeharto juga banyak memberikan kesempatan untuk berbisnis. Disamping
tugas-tugas kekaryaan dan ekonomi, TNI juga memerankan fungsi modernisasi
dengan ABRI masuk desa (AMD) pada daerah tertinggal dengan nama TNI.
Contoh Kasus Pada Masa Reformasi
Arus reformasi juga mulai mengurangi dominasi Angkatan Darat
(AD) dalam TNI. Pada era Soeharto berkuasa, jabatan Panglima TNI selalu berasal
dari AD. Abdurrahman Wahid yang terpilih sebagai Presiden, mendobrak tradisi
ini dengan mengangkat seorang Marsekal Angkatan Laut (AL) sebagai Panglima TNI.
Presiden Megawati Soekarnoputri yang menggantikan Abdurrahman Wahid membuat
jabatan Panglima TNI diisi kembali dari AD. Di penghujung pemerintahan Megawati,
Undang-undang 34/2004 tentang TNI disahkan dan menyatakan bahwa posisi Panglima
TNI dijabat secara bergantian. Upaya melanjutkan kepemimpinan TNI di bawah
Jenderal (AD) Ryamizard Ryacudu sempat memicu kontroversi, saat Presiden hasil
Pemilu 2004 Susilo Bambang Yudhoyono tetap memutuskan Marsekal TNI AU Djoko
Suyanto sebagai Panglima TNI.
KontraS mencatat, pasca 2004 banyak anggota TNI, baik
purnawirawan maupun yang masih aktif ikut dalam pertarungan pemilihan kepala
daerah (pilkada). Meskipun jauh-jauh hari Panglima TNI yang waktu itu dijabat
oleh Jenderal Endriartono Sutarto sudah memperingatkan mengenai netralitas TNI
dalam pilkada, serta tidak diperkenankannya anggota TNI aktif untuk ikut
mencalonkan diri, namun kembali fakta di lapangan berkata lain, beberapa
anggota TNI aktif tetap tergoda untuk ikut bertarung berebut kursi
gubernur/wakil gubernur ataupun walikota/bupati. Fenomena ini sebenarnya
disebabkan oleh tiga faktor.
Pertama,
persoalan regulasi politik yang memang masih memberi peluang bagi anggota aktif
TNI untuk ikut mencalonkan diri dalam pemilihan umum. Walaupun dalam UU TNI
Pasal 39 Ayat (4) sudah ditegaskan, setiap prajurit (anggota TNI aktif)
dilarang untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilu dan jabatan
politis lainnya, UU Pemilihan Umum masih memberi celah tersebut. Anggota TNI
aktif boleh mencalonkan diri sebagai calon dalam Pemilu dengan syarat harus
berstatus non aktif yang bersifat sementara, jika terpilih baru kemudian
diberhentikan/pensiun dini. Celah inilah yang membuat TNI secara institusional
tidak bisa menjatuhkan sanksi kepada anggotanya yang berniat untuk ikut
bertarung dalam pemilihan umum.
Kedua,
tentu persoalan paradigma juga masih merupakan masalah pokok. Sejak proses
reformasi 1998, TNI gagal untuk meredefinisikan atau merevitalisasi paradigma
mengenai “TNI adalah tentara rakyat” yang lahir dari rakyat dan bersama rakyat.
Paradigma ini cenderung mengaburkan hubungan sipil militer dalam sistem negara,
sehingga dengan berbekal paradigma itu, TNI selain berperan dalam pertahanan
negara juga harus memiliki peran di wilayah publik seperti ekonomi, sosial,
budaya dan politik. Kegagalan meredefinisikan paradigma ini, membawa
figur-figur militer masih terus tergoda untuk masuk ke wilayah publik, contoh
nyatanya adalah pilkada. Celakanya kegagalan paradigmatik ini diikuti dengan
tumpulnya analisa politik dari kalangan militer dalam membaca perubahan,
peluang politik yang ditawarkan partai politik tidak seiring dengan kesadaran
dan minat pemilih.
Hal ini dibuktikan dengan tumbangnya beberapa figur militer
di beberapa pilkada. Contohnya adalah gagalnya Tayo Tahmadi di Jawa Barat yang
disusul kalahnya Agum Gumelar pada pemilihan Gubernur selanjutnya di Jawa
Barat. Hal yang sama dialami Tritamtomo di Jawa Timur, disusul Letkol (Bais)
Didi Sunardi di Serang Banten, dan Kolonel (Inf) DJ Nachrowi di Ogan Ilir
Sumatera Selatan. Belum lagi pertarungan dua Jenderal purnawirawan yakni
Letjend TNI (Purn) Bibit Waluyo dan Mayjen TNI (Purn) Agus Suyitno di Jawa
Tengah. Kekalahan-kekalahan ini menunjukkan bahwa pilihan rakyat tidak lagi
menyandarkan pilihannya pada figur yang berlatar belakang militer, sehingga
sangat merugikan bagi TNI, jika melepaskan kader-kader terbaiknya untuk
bertarung dalam kontestasi pemilu. Tenaga dan pikiran mereka akan berkontribusi
lebih banyak jika fokus pada tugas pokok TNI yang diamanatkan konstitusi kita
sebagai alat pertahanan negara.
Ketiga,
masalah lain berada di luar institusi TNI, yakni lemahnya kapasitas politik
sipil dalam hal kaderisasi internal partai. Frustasi politik dalam mencetak
kader yang berkualitas, selalu membuat partai masih mencari-cari figur dari
militer yang sudah dikenal luas oleh masyarakat. Dalam hal ini figur militer
selalu difasilitasi dan ditarik-tarik oleh partai untuk masuk dalam kontestasi
politik. Peluang ini jelas disambut baik oleh para figur militer yang memang
kebetulan punya ambisi politik namun peluang politiknya tertutup oleh proses
reformasi TNI yang memangkas tradisi politik TNI. Secara institusi TNI juga
tidak bisa berbuat banyak, karena peluang itu sah dan dibenarkan oleh regulasi
yang ada. Majunya calon berlatar belakang militer bisa dilihat dari banyaknya
purnawirawan Jenderal yang berminat untuk bertarung dalam kontestasi pemilihan
presiden 2009 maupun yang ikut dalam pengurus partai politik.
Konsep kemanunggalan yang disalah artikan. Tidak ada yang
memungkiri, pada saat perang kemerdekaan militer Indonesia adalah satu
kesatuan, saling bahu membahu melawan kolonialisme Belanda pada saat itu, namun
fakta sejarah ini tidak bisa kemudian diklaim sebagai hak sejarah oleh TNI.
“Historical fallacies (kesalahan sejarah) telah
menumbuhkan persepsi yang salah, bahwa fakta sejarah harus diperlakukan sebagai
hak sejarah. Sekalipun barangkali fakta sejarah menunjukkan, TNI adalah anak
kandung revolusi dan tak terpisahkan dari rakyat, sehingga menyandang peran
ganda – sebagai militer profesional sekaligus sebagai kekuatan sosial politik –
fakta tersebut tidak bisa dengan sendirinya menjadi hak”
Konsep kemanunggalan rakyat dengan TNI pada masa Orde Baru
melegitimasi peran sosial politik TNI. Kini zaman sedang berubah, landasan
historis TNI seharusnya bisa lebih dinamis, konsep pertahanan modern dengan
melibatkan rakyat dalam definisi konvensional adalah paradigma usang. Perlu
digagas hubungan sipil militer, jarak, tugas dan tanggungjawab yang jelas. TNI
dan masyarakat sipil di negara demokrasi tidaklah berada pada posisi sejajar,
tapi masyarakat sipil adalah pemegang kedaulatan tertinggi, termasuk supremasi
terhadap militer melalui mekanisme politik yang ada.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Peranan militer dalam sistem politik di Indonesia di
masa lampau terutama di era pemerintahan Presiden Soeharto, TNI pernah
mengalami distorsi peran dengan menjadikan komando teritorialnya, sebagai
kepanjangan tangan politik, bahkan untuk melakukan berbagai tindakan kekerasan
dan pelanggaran HAM. Dengan postur militer Indonesia ini, maka membuka
kemungkinan dominasi politik militer dari mulai tingkat pusat hingga daerah. Di
sepanjang rezim kekuasaan Orde Baru, menteri dalam negeri selalu diduduki oleh
militer. Struktur militer ini makin diperkuat oleh adanya hubungan
organisasional dan historis antara ABRI dan Golkar sehingga maka struktur koter
menjadi sarana potensial untuk mendominasi kekuasaan yang seharusnya berasa di
tangan sipil.
Setelah Reformasi, banyak kalangan yang meminta agar satuan
Teritorial TNI dibubarkan. Tetapi tidak bagi babinsa, hingga kini Babinsa masih
ada namun perannya di masyarakat sudah disesuaikan dengan tuntutan saat ini. Para petinggi TNI AD saat ini selalu menyebut jika
Babinsa lebih banyak membantu pembangunan di desa-desa dengan karya baktinya.
Melakukan kegiatan kegiatan bakti sosial seperti pengobatan massal (gratis),
operasi katarak dan bibir sumbing, sunatan massal dan sebagainya.
3.2 Saran
Saran bagi
penulisan makalah ini adalah untuk kedepannya agar memberikan lebih informasi
mengenai peranan militer dalam sistem politik Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Amos Perlmutter. 2000. Militer
dan Politik. Jakarta : PT. Grafindo Persada.
Chrisnandi,
Yudi. 2005. Reformasi Internal TNI :
Perspektif Baru Hubungan
Sipil-Militer di Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Leni,
Nurhasanah. 2013. Keterlibatan Militer dalam Kancah Politik di Indonesia.
Jurnal TAPIs Vol.9 No.1 Januari-Juni.
Maliki, Zainuddin.
2000. Birokrasi Militer dan Partai politik dalam Negara.
Samego,
Indria et.al. 1998. Bila ABRI Menghendaki
: Desakan Kuat reformasi
Atas Konsep Dwifungsi ABRI. Bandung : Mizan.
Said,
Salim. 2001. Militer Indonesia dan Politik
: Dulu, Kini, dan Kelak. Jakarta:
Sinar Harapan.
…………..
2002. Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi
ABRI : Perkembangan
Pemikiran Politik Militer Indonesia. Jakarta: Aksara Karunia.
Sayidiman Suryohadiprojo. 1999. Hubungan-Sipil Militer di Indonesia: Suatu Pembahasan, sebuah makalah
yang disajikan dalam Seminar Nasional Mencari Format Baru Hubungan
Sipil-Militer. Jakarta: FISIP UI.
Transisi.Gaffar, Affan. 1999. Politik
Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi.
Yogyakarta
Pustaka Pelajar.
Wirahadikusumah,
Agus. 1999. Indonesia Baru dan Tantangan
TNI : Pemikiran
Masa Depan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan).
Yulianto,
Arif. 2002. Hubungan Sipil Militer di
Indonesia Pasca Orde Baru.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
[1] Dwifungsi ABRI adalah konsep yang dicetuskan oleh
Jenderal A.H. Nasution dimana peran ABRI tidak hanya sebagai kekuatan
pertahanan dan keamanan semata melainkan juga sebagai kekuatan sosial politik,
yang mana konsep tersebut dijadikan sebagai “alat” bagi ABRI kala itu untuk
masuk dalam ranah politik praktis.
[2] Pada masa Orde Baru, muncul konsep kekaryaan ABRI dimana
banyak personil ABRI yang masih aktif ditempatkan / ditugaskan / dikaryakan di
berbagai lembaga legialif / parlemen maupun di lembaga pemerintahan, baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta
BUMN dan BUMD.
No comments:
Post a Comment
Silahkan baca dan share