Home About
JIKA ADA YANG DITANYAKAN ATAU DATA YANG KALIAN BUTUHKAN, SILAHKAN BERKOMENTAR PADA MATERI TERSEBUT...TERIMAKASIH

Tuesday, 17 December 2019

Sistem Politik Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.      Latar Belakang
Negara bukan hanya sekedar suatu wilayah luas yang ditinggali oleh sekelompok manusia. Setiap negara memiliki suatu sistem, yang secara otonomi berputar dan menggerakkan perilaku manusia di dalamnya. Sistem ini merupakan sistem politik. Sistem politik tidak secara sempit hanya mengacu pada partai politik saja. Pada tubuh pemerintahan suatu negara, sistem politik merambah ke dalam beberapa bidang, mulai dari bidang ekonomi hingga kepada bidang pertahanan dan keamanan. Merambahnya sistem politik ke berbagai bidang tersebut mengisyaratkan bahwa sistem politik memiliki peran sangat penting dalam pemerintahan suatu negara.
Pada praktiknya, sistem politik tidak berjalan statis melainkan dinamis. Sistem politik di suatu negara sewaktu-waktu dapat berubah seiring dengan perubahan kondisi internal negara tersebut maupun hubungannya dengan negara lain dalam lingkungan politik internasional. Perubahan kondisi internal seperti pergantian pemimpin negara tersebut, masalah dalam negeri yang tidak kunjung usai, hingga pemberontakan yang dilakukan sekelompok masyarakat untuk menggulingkan pemerintah. Perubahan sistem politik tersebut dapat berimbas pada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah negara. Perubahan sistem politik tidak hanya menjadi simbol dari pergantian era pemerintahan, melankan juga bentuk koreksi bagi kebijakan-kebijakan pemerintah sebelumnya. Hampir semua negara pernah mengalami perubahan sistem politik tersebut. Salah satu negara yang telah mengalami berbagai perubahan sistem politik adalah Indonesia.
Setelah masa kolonialisme Jepang berakhir, Indonesia pun mendeklarasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Deklarasi tersebut merupakan awal bagi Indonesia untuk secara mandiri hidup dan membangun sistem politik sebagai sebuah negara yang merdeka. Sistem politik di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan yang diikuti oleh pergantian kepala negara. Pemerintahan Presiden pertama Indonesia, Soekarno dikenal dengan nama masa Orde Lama. Pemerintahan Presiden Indonesia selanjutnya yaitu Soeharto dikenal dengan masa Orde Baru. Kemudian era presiden selanjutnya setelah turunnya Soeharto dikenal dengan nama era Reformasi. Perubahan sistem politik Indonesia menjadi sebuah bentuk usaha pembaharuan kebijakan bagi pemerintahan sebelumnya.
Pengubahan sistem politik di Indonesia pun berimbas kepada berbagai bidang. Beberapa bidang tersebut antara lain partai politik, media, peran masyarakat, hingga kesejahteraan rakyat yang ditandai dengan kondisi ekonomi negara. Setiap pengubahan sistem tersebut selalu dikaji dan dilihat hasilnya oleh pemerintah dengan melihat kondisi sebelum dan setelah pengubahan sistem politik diterapkan. Pemerintah maupun masyarakat pada akhirnya dapat melihat bagaimana prospek negara selanjutnya dengan menggunakan konsep pembandingan kondisi sebelum dan sesudah sistem politik mengalami pengubahan tersebut.

1.2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas terdapat rumusan masalah sebagai berikut:
1.   Bagaimana situasi sistem politik Indonesia pada masa orde baru, reformasi sampai saat ini?
2.   Bagaimana prospek sistem politik Indonesia dilihat dari elemen-elemen berkaitan dengan sistem tersebut seperti peran media, pertahanan dan keamanan, peran masyarakat, peran partai politik, dan pembangunan serta kesejahteraan sejak masa orde baru, reformasi, hingga sekarang?

1.3.      Batasan Masalah
Dikarenakan materi yang dibahas dalam makalah ini terlalu luas, oleh karena penulis memiliki batasan masalah sebagai berikut:
Makalah ini hanya membahas mengenai sistem politik Indonesia pada masa orde baru, reformasi hingga saat ini dan makalah ini juga hanya membahas prospek sistem politik Indonesia dilihat dari elemen-elemen seperti peran media, pertahanan dan keamanan, peran masyarakat, peran partai politik dan kesejahteraan pembangunan sejak masa orde baru, reformasi, hingga saat ini.

1.4.      Tujuan Makalah
1.   Untuk mengetahui bagaimana situasi sistem politik Indonesia pada masa orde baru, reformasi sampai saat ini
2.   Untuk mengetahui bagaimana prospek sistem politik Indonesia dilihat dari elemen-elemen yang berkaitan seperti peran media, pertahanan dan keamanan, peran masyarakat, peran partai politik, kesejahteraan pembangunan sejak masa orde baru, reformasi hingga saat ini.

1.5.      Manfaat Makalah
Makalah ini diharapkan bisa bermanfaat baik secara akademis maupun praktis
1.   Secara akademis penulis berharap makalah ini dapat dijadikan rekomendasi untuk mempelajari ilmu komunikasi dalam hal sistem politik indonesia dan melihat prospek sistem politik indonesia dari tahun ke tahun.
2.   Secara praktis penulis berharap makalah ini dapat dijadikan acuan mahasiswa khususnya ilmu komunikasi untuk ikut serta dalam sistem politik Indonesia.






BAB II
PEMBAHASAN

2.1.      Sistem Politik Indonesia pada Masa Orde Baru, Reformasi, sampai saat ini
Sistem politik Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan skala prioritasnya.
Sistem politik Indonesia dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa dan mencapai tujuan nasional, maka sesuai dengan pancasila dan undang-undang Dasar 1945, pemerintah republik Indonesia menyelenggarakan politik Negara, yaitu keseluruhan penyelenggaraan politik, yang cenderung lebih sentralistik karena UUD 1945 itu sendiri yang integralistik, dengan memanfaatkan dan mendayagunakan segala kemampuan aparatur Negara serta segenap dana dan daya, demi terciptanya tujuan nasional, dan terlaksananya tugas Negara sebagaimana di tetapkan dalam UUD 1945.
Pada masa Orde Baru telah mengalami keruntuhan seiring jatuhnya Soeharto sebagai presiden yang telah memimpin Indonesia selama 32 tahun, pada tanggal 1 Mei Soeharto akhirnya mengundurkan diri yang di sambut oleh masyarakat, utamnya di Jakarta dengan tumpah ruah di jalan, mereka bersujud kepada Pemilik Alam dengan berlinang air mata. Sesyukur itukah mereka, entahlah, mereka memang sudah bosan di pimpin selama setengah abad hanya dua orang saja.8 setelah sebelumnya krisis ekonomi menghancurkan legitimasi pemerintahn Orde Baru.
Dalam kaitan ini, Jhon Mcbeth bahwa kehancuran di bidang ekonomi, yang selama ini menjadi ladasan legitimasi pemerintahan Soeharto, tidak akan pernah ada kesempatan untuk perubahan politik. Menurut Mcbeth, jika keadaan ekonomi dan masalah yang ditinggalkan pemerintahan Soeharto tidak sedemikian menjadi faktor yang mendatangkan ketidakstabilan, masa itu akan menjadi periode yang sangat menggairahkan bagi Indonesia sejak kemerdekaannya. Sejak soeharto lengser dari kursi kepresidenannya, bahkan sampai di penghujung abad 19, bangsa Indonesia belum mengetahui kemana arah perubahan akan terjadi. Pada saat itu, kita baru bisa mengecap aromanya saja. Pada tahun 1999, memang sudah di gelar pemilu multi partai. Tapi keikutsertaan 48 partai politik dari berbagai latar belakang yang kompleks, baru sebatas euphoria, bukan perubahan yang bermakna reformasi. Meski political will sudah mengiringnya.
Perlahan tapi pasti, bangunan reformasi mulai terlihat fondasinya di paruh akhir tahun 2000. Setidaknya, melalui keberanian untuk mengamandemen UUD 1945, bangsa ini tengah memulai perubahan yang bersifat struktural. Meski, sejak Habibie naik panggung kekuasaan, secara kultural, perubahan itu sudah terjadi. Bahkan, sampai pemilu kedua di era reformasi, pada tahun 2004 perubahan struktural dalam format politik Indonesia, seakan mencapai klimaksnya. Terlebih, ketika kesuksesan mengamandemenkan UUD 1945, di buktikan dengan lahirnya seoramg presiden republik Indonesia dari rahim pemilihan presiden langsung (Pemilu Presiden).
Era Reformasi seringkali di anggap sebagai era di mana “banyak penumpang gelap” masuk dalam gerbong gerakan refomasi. Hal ini dapat di lihat ketika beberapa mantan menteri di era orde baru berkoar-koar tentang reformasi. Bahkan, para mantan birokrat sipil maupun militer termasuk pengusaha “merubah kostum politiknya” dari gaya orba menjadi gaya seorang reformis. Mereka terlibat aktif dalam mendanai aksi-aksi mahasiswa dan massa. Bahkan, “perselingkuhan” dengan media-media tertentu membuat mereka sering “nongol” di media massa dengan tema-tema reformasi.
Pada saat dimana partai-partai politik berdiri, kaum-kaum yang umumnya memiliki energi politik relatif besar tersebut, dengan mudah masuk kejajaran elit partai. Dan akhirnya, proses rekrutmen politik berjalan secara tidak sehat. Padahal proses rekrutmen politik tersebut seharusnya dilakukan dengan baik. Menurut Almond, rekrutmen politik merupakan proses penyeleksian individu untuk dapat mengisi lowongan jabatan-jabatan politik maupun pemerintahan, yang pada umumnya terdapat dua cara, yaitu secara terbuka dan tertutup. Rekrutmen politik yang bersifat terbuka merupakan proses penyeleksian terbuka untu seluruh warga negara. Sedangkan dengan rekrutmen politik tertutup dimaksudkan bahwa individu tertentu saja yang dapat di rekrut untuk menduduki jabatan politik maupun pemerintahan.
Di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan kabinet pelanginya dimana institusi pembantu presiden banyak di isi oleh orang – orang dari parpol. Hal ini merupakan keniscayaan apabila presiden mengharapkan dukungan yang cukup besar di DPR. Namun kemudian misi utama kabinet menjadi bergeser lebih banyak menjalankan misi mengadakan kompromi dan akomodasi dengan partai – partai politik. Suatu hal yang oleh banyak pengamat disepakati merupakan kemampuan untuk membangun sebuah jembatan yang cukup efektif dalam memelihara pola hubungan konsultatif dengan legislatif.
Menurut beberapa pengamat politik kompromi dan akomodasi itu sendiri di lain sisi mengandung beberapa hal yang kurang menguntungkan. Pertama, dengan banyaknya pihak yang terlibat dalam politik kompromi keputusan yang dibuat kerap kali berjalan lambat dan tidak responsif. Hal ini terutama tidak saja demikian banyaknya pihak yang harus dilibatkan, tetapi juga mempertimbangkan efek-efek politik yang akan terjadi. Sering dalam situasi tersebut, obyektivitas menjadi tersingkir dan jalan tengah yang tidak tuntas menjadi pilihan pemerintah. Kasus lumpur Lapindo dan fenomena pemberantasan korupsi yang tebang pilih merupakan contoh-contoh hal tersebut.
Kedua, keterlibatan banyak partai menyebabkan keputusan yang ditujukan untuk kepentingan umum dan masa depan bangsa, terhambat oleh kepentingan sesaat partai-partai politik (baca elite politik). Nuansa oligarki ini menyebabkan persoalan-persoalan seperti kemiskinan, jumlah pengangguran, dan melambungnya harga-harga sembako seolah menjadi angin lalu saja. Ketiga, nuansa politik yang lebih diutamakan dalam beragam masalah sebagai konsekuensi politik kompromi dan akomodasi, akhirnya memperlambat penguatan dan pendewasaan sistem politik .
2.2.      Prospek Sistem Politik Indonesia dilihat dari elemen media, pertahanan dan keamanan, peran masyarakat, peran partai politik, kesejahteraan pembangunan.

A.    Peran Media dalam Sistem Politik Indonesia dan Prospek kedepannya
·     Orde baru
Pada masa orde baru Keberadaan media dan pers diawasi secara ketat oleh pemerintah di bawah naungan departemen penerangan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi hal – hal buruk di dalam pemerintahan orde baru sampai di telinga masyarakat. Pers tidak bisa melakukan apapun selain patuh pada aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Aspirasi masyarakat untuk pemerintah tidak tersalurkan sama sekali. Hal ini dikarenakan komunikasi politik yang terjadi hanya top – down. Artinya pers hanya sebagai komunikator dari pemerintah ke rakyat. Pers tidak dapat melakukan fungsinya sebagai komunikator dari rakyat ke pemerintah. Selain itu, pemberitaan yang disalurkan ke masyarakat mengenai pemerintah harus merupakan berita – berita yang menjunjung tinggi keberhasilan pemerintah. Yang diberitakan hanyalah sesuatu yang baik. Apabila suatu media nekat menerbitkan pemberitaan – pemberitaan miring soal pemerintah, bisa dipastikan nasib media tersebut berada di ujung tanduk.
Berdasarkan penjelasan politik yang dipaparkan di atas, jelas bahwa pers pada masa orde baru sangat dikendalikan oleh pemerintah. Kontrol pemerintah terhadap pers tidak dapat diragukan lagi, begitu juga dengan pegaruhnya. Kebijakan – kebijakan yang dikeluarkan pemerintah orde baru sangat tidak mendukung keberadaan pers. Salah satu contohnya adalah kebijakan SIUPP, yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers, yang mana sangat tidak pro-pers. Pers mengalami kesulitan saat dituntut untuk melasanakan fungsi – fungsi yang secara alamiah melekat padanya, khususnya fungsi mereka bagi masyarakat. Fungsi pers bagi masyarakat adalah menampilkan informasi yang berdimensi politik lebih banyak dibandingkan dengan ekonomi, dengan didominasi subyek negara serta kecenderungan pers untuk lebih berat ke sisi negara harus dilakukan dengan cara lebih memilih realitas psikologis dibanding dengan realitas sosiologis. Tidak hanya itu, 9 elemen dasar Bill Kovach mengenai jurnalisme yang seharusnya diamalkan oleh pers tidak terlaksana. 9 elemen dasar tersebut adalah :
1.   Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran
2.   Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga negara
3.   Esensi utama jurnalisme adalah disiplin verifikasi
4.   Jurnalis harus menjaga indepedensi dari objek liputannya
5.   Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan
6.   Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling kritik dan menemukan kompromi
7.   Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan
8.   Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional
9.   Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personelnya
Jika sudah begitu, bisa dikatakan pers telah kehilangan jati dirinya. Contoh kediktatoran pemerintah terhadap pers adalah peristiwa 21 Juni 1994. Saat itu beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat Negara. Akan tetapi, meskipun pemerintah telah membungkam media sedemikian rupa, tetapi saja ada media yang pantang menyerah melakukan perlawanan pada pemerintah. Salah satunya adalah Tempo. Pemerintah orde baru selalu merasa terancam dengan keberadaan Tempo. Hal tersebut wajar karena sikap pantang menyerah yang ditanamkan media tersebut kepada wartawan – wartawannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa Tempo menjadi media terpenting pada masa orde baru. Sesungguhnya pada masa orde baru terdapat lembaga yang menaungi pers di Indonesia, yaitu Dewan Pers. Sesuai UU Pers Nomor 40 tahun 1999, dewan pers adalah lembaga independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Berdasarkan amanat UU, dewan pers meiliki 7 fungsi :
1.   Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, bisa pemerintah dan juga masyarakat
2.   Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers
3.   Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik
4.   Memberikan pertimbangan dan pengupayaan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers
5.   Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah.
6.   Memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan
7.   Mendata persahaan pers
Namun sangat disayangkan bahwa dewan pers masa orde baru tidak melaksanakan fungsinya dengan efektif. Ironisnya, dewan pers justru tidak melindungi rekan sesama jurnalis. Hal tersebut terlihat saat peristiwa pembredelan media tahun 1994. Banyak anggota dewan pers yang tidak meyetujui pemberedelan tersebut, namun dewan pers dipaksa menyetujui langkah pemerintah tersebut. Tidak ada yang bisa dilakukan dewan pers selain mematuhi instruksi pemerintah. Menolak sama artinya dengan melawan pemerintah. Bisa disimpulkan keberadaan dewan pers masa orde baru hanya sebatas formalitas.

·     Orde Reformasi
saat orde baru tumbang, pers seperti kehilangan kendali. Arus kebebasan dibuka lebar – lebar secara spontan. Gelombang kebebasan pers tercipta secara besar besaran, bukan perlahan dengan proses yang seharusnya. Suatu kebijakan yang monumental karena dianggap sebagai tonggak dimulainya kebebesan pers di Indonesia yakni dikeluarkannya Permenpen No. 01/per/Menpen/1998, tentang Kententuan – Ketentuan SIUPP. Pada Permenpen ini, sanksi pencabutan SIUPP maupun pembreidelan bagi  pers ditiadakan. Ada lima peraturan, baik berupa Peraturan Menteri maupun Surat Keputusan Menteri, yang keseluruhannya menghambat ruang gerak pers, dicabut. Puncaknya adalah dikeluarkannya Undang- Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Terdapat pasal di dalam undang-undang ini yang menyatakan pencabutan semua undang- undang pers yang ada sebelumnya. Sejak saat itu, tidak ada lagi kebijakan pemerintah yang memberatkan pers. Akibatnya, permintaan untuk izin penerbitan meningkat. Pers masa reformasi selalu dihubungkan dengan demokrasi. Yang mana demokrasi berarti kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat. Salah satu indikator demokrasi adalah terciptanya jurnalisme yang independen. Walaupun pada kenyataannya saat ini, terkadang pers masih dimanfaatkan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan. Semenjak pencabutan SIUPP hingga sekarang pers lebih tunduk kepada pemilik modal dan partai politik yang ada. Hal ini bisa dilihat pada pemilu tahun 2014. Media saling mendukung dan menjatuhkan partai dan aktor politik satu sama lain. Perbedaannya pada saat ini lembaga pemerintah bukan hanya dewan pers tetapi juga ada KPI dan KOMINFO yang bertugas dalam hal penyiaran media tersebut. namun seperti yang kita lihat semakin kesini kecendurangan media lebih kepada pemilik modal dan corong politik.
Harapan media untuk mewujudkan proses demokrasi akan sulit terwujud walaupun secara perkembangan teknologi kita sudah memasuki era digital dimana ruang publik akan semakin terbuka dan demokrasi semakin ditunjang menggunakan sosial media, semua orang bebas berpendapat dalam media ini, namun sayangnya belum ada aturan yang mengikat untuk media ini. Data dari kompas mengatakan bahwa media sosial ini gunakan oleh pemilih pemula yaitu generasi dibawah 21 tahun dimana mereka peduli tentang isu politik namun cepat sekali berpindah tanpa melihat latarbelakang politik dari aktor politik tersebut. hal ini sudah terjadi dari tahun 2013 ketika pasangan Jokowi dan Basuki Tjahja Purnama menyalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Hal serupa juga terjadi ketika pemilihan PILPRES 2014 dimana masyarakat umum maupun artis di Indonesia membuatkan lagu untuk kedua calon dan diunggah kedalam media sosial. Kemungkinan hal semacam ini akan terus berkembang untuk kedepannya. Mungkin apabila dilihat dari perkembangan teknologi kita bisa dikatakan demokrasi tetapi harus kita sadari lagi bahwa konsep media demokrasi itu mencakup keseragaman pemilik dan isi. Tetapi sekarang ini yang terjadi adalah beberapa media menjadi group. Dimana sosial media juga dipenuhi kelompok dari group tersebut. seperti yang kita tahu Metro TV yang dimiliki aktor politik dia juga ikut andil dalam media cetak yaitu Media Indonesia, media online dengan nama media indonesia. Kemudian sosial  media dengan nama  Metro News. Apabila media sendiri sulit untuk demokratis lantas bagaimana fungsi media sebagai pilar keempat demokrasi. Kemungkinan demokrasi di Indonesia akan sulit terwujud.
B.      Pertahanan dan Keamanan
·     Orde lama hingga orde baru
Sejarah politik Indonesia menunjukkan adanya peran militer yang dominan dalam sistem politik. Militer memainkan peran yang amat penting dalam rangka merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan militer tersebut tidak hanya dalam konteks melawan penjajah sebagai bentuk ancaman dari luar, namun juga melawan ancaman dari dalam seperti pemberontakan untuk merubah NKRI.
TNI mulai memainkan peran yang penting dalam mempengaruhi kekuasaan menjelang akhir tahun 1950-an. Presiden pertama Indonesia, Soekarno bahkan menjadikan TNI sebagai tritunggal bersama dirinya. Peran TNI dalam sistem politik mencapai puncaknya pada saat pengambilan kekuasaan oleh Soeharto pada tahun 1965. TNI memandang dirinya berhak mengambil kepemimpinan apabila kaum sipil dipandang tidak bisa secara efektif melindungi kepentingan nasional. Militer kemudian difungsikan oleh eksekutif sebagai kekuatan penyeimbang melawan oposisi politik Dalam era orde baru, militer bahkan berafiliasi dengan partai penguasa yaitu Golkar. Selama kurun waktu hampir tiga puluh dua tahun militer mendapatkan posisi yang istimewa dan strategis dalam kehidupan politik, sosial bahkan ekonomi di Indonesia. Selama militer patuh dan tunduk pada Soeharto, militer akan terus mendapat posisi yang strategis dalam pemerintahan.
Kondisi mulai berubah menjelang akhir masa pemerintahan Soeharto. Pada tahun 1980-an, militer sudah mulai tidak mendukung kepemimpinan Soeharto. Hal ini dikarenakan perhatian Soeharto kepada militer telah bergeser kepada kolega-kolega pengusaha yang dekat dengan keluarganya. Hingga pada Mei 1998, Soeharto mundur dari kursi kepresidenan, terjadi perubahan dalam peran dan fungsi militer. Pemerintahan mulai dipegang dari sipil, ada perubahan yang dilakukan dalam membatsi peran militer dalam politik serta banyak terjadi penataan dalam lingkungan internal partai Golkar ketika Harmoko menjadi ketua umum. Reformasi membuat militer harus mereformasi diri pula. Namun mendudukan militer dibawah supremasi sipil seperti yang diungkapkan dalam perspektif teoritis sebelumnya belum terlaksana secara optimal di Indonesia.
Seperti yang telah diungkapkan bahwa proses demokratisasi di Indonesia ditandai oleh posisi angkatan bersenjata Indonesia di bawah otoritas sipil. Di lain pihak, militer Indonesia memandang perannya dalam kehidupan politik dibenarkan oleh fakta sejarah, dan juga militer tidak dibentuk oleh pemerintah sipil melainkan rakyat sendiri. Hal ini apabila dicermati agak bertentangan dengan pengesahan militer menjadi TNI pasca proklamasi Agustus 1945. Konsep dwifungsi yang dijalankan oleh militer dengan masuk ke dalam ranah politik masih tetap ada hingga saat ini. Hal ini tidak lepas dari lamanya militer mendapatkan berbagai privillege dari penguasa orde baru, yang sekali  lagi juga dari kalangan militer.

·     Orde Reformasi
Reformasi menciptakan fenomena tersendiri terkait peran militer dalam politik di Indonesia. TNI terbelah menjadi faksi-faksi yang saling berlawanan, yang dikategorisasikan sebagai reformis dan konservatif. Sebagian kecil jendral dalam tubuh TNI secara terbuka mengaku sebagai reformis, namun mereka harus berhadapan dengan posisi yang kuat dari lawan mereka. Mayoritas perwira sangat berhati-hati terhadap reformasi. Meskipun mereka menerima retorika supremasi sipil atas angkatan bersenjata, mereka ragu untuk merumuskan mekanisme reformasi ini. Mayoritas perwira ini terbagi ke dalam kelompok garis keras dan kelompok moderat, serta hampir tidak mungkin membedakan kedua kelompok ini karena sering berubah-ubah dengan cara yang sulit diprediksikan. Namun yang penting untuk dicermati adalah masih adanya kecenderungan dalam diri militer untuk masuk atau mengintervensi ke dalam kehidupan politik.
Dilema yang dihadapi banyak negara, termasuk Indonesia ketika memulai proses reformasi adalah mana yang harus didahulukan, membangun kontrol demokratis atau membangun kontrol sipil atas militer. Kontrol demokratis berarti bahwa struktur komando militer adalah subjek, dan bertanggungjawab pada lembaga demokratis, seperti parlemen. Sementara itu, kontrol sipil atas militer ditandai dengan personel non-militer mendominasi semua proses pertahanan dan pengambilan keputusan militer, seperti keputusan kebijakan pertahanan, strategi pertahanan dan keamanan nasional, hingga promosi jabatan. Namun di Indonesia kondisi yang ada menunjukkan bahwa militer bukanlah subjek bagi otoritas tinggi manapun. Militer memiliki kontrol penuh atas pengambilan keputusannya sendiri. Kesulitan lain yang muncul adalah menempatkan pengambilan keputusan militer di bawah kontrol sipil bukanlah tugas yang sederhana. Kesulitas mendapatkan orang-orang yang ahli dalam hal seputar militer akan menjadi pembenaran bagi militer untuk tetap menguasai proses pengambilan keputusan tentang pertahanan. Terlepas dari hal tersebut, tingkat kontrol sipil atas militer menjadi tolok ukur kedalaman proses demokratisasi di Indonesia. Bagaimana reformasi mempengaruhi militer di Indonesia dalam kehidupan politik menjadi sebuah hal yang harus diulas secara mendalam dan komprehensif.
Reformasi pada tahun 1998 dijadikan sebagai tonggak untuk masuk ke dalam kehidupan bernegara dan berpolitik yang lebih demokratis. Kungkungan rezim orde baru selama tiga dekade mulai tergerus arus reformasi. Banyak tuntutan dari masyarakat untuk membentuk kondisi negara yang lebih baik. Dalam konteks demokratisasi, masyarakat yang prodemokrasi menuntut dengan amat kuat agar ABRI (TNI) melakukan reformasi besar-besaran dalam dirinya. Tuntutan ini dilandasi dengan alasan bahwa militer telah terlibat terlalu jauh dalam politik serta dianggap sebagai sumber matinya demokrasi di Indonesia. Militer juga dianggap bertanggungjawab terhadap masalah-masalah seputar HAM di Indonesia, yang dahulu mengatasanamakan keamanan. Militer juga dianggap terlalu jauh masuk ke dalam ranah non-pertahanan seperti bisnis yang menyebabkan profesionalitas TNI menjadi menurun.
Dalam konteks negara demokrasi, TNI diharuskan menghapus konsep dwifungsi ABRI, yaitu peran dalam bidang pertahanan dan juga pemerintahan. Demokratisasi yang sedang berjalan mensyaratkan TNI untuk kembali ke barak dan berfokus pada upaya pertahanan dan keamanan semata tanpa harus masuk ke ranah politik. TNI kemudian menjadikan tuntutan tersebut sebagai bahan diskusi internal, dan kemudian menghasilkan empat paradigma baru TNI yang diumumkan oleh Wiranto. Pertama, militer akan mengubah posisi dan metode untuk tidak selalu harus di depan dan mendominasi. Posisi yang merekan pada masa orde baru mereka berikan kepada institusi fungsional yang lebih kompeten. Kedua, mengubah konsep menduduki menjadi mempengaruhi. Artinya posisi militer yang dahulu menguasai posisi yang strategis, kini harus dibatasi. Mempengaruhi bukan berarti mengintervensi, melainkan berkontribusi pada pembangunan. Mengubah cara mempengaruhi secara langsung menjadi tidak langsung. Hal ini dilakukan untuk menghindari keterlibatan yang berlebihan pada berbagai kegiatan yang tidak berkaitan dengan tugas utamanya. Keempat kesediaan untuk secara bersama-sama melakukan pengambilan keputusan penting kenegaraan dan pemerintahan dengan komponen bangsa lainnya.
Upaya untuk menjamin proses demokratisasi berjalan dengan baik telah dilakukan oleh parlemen. MPR melakukan upaya dari segi hukum dengan mengamandemen pasal 30 UUD 1945. Dalam amandemen tersebut ditegaskan tugas dari TNI adalah mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Selain itu amandemen tersebut juga menggariskan adanya pemisahan antara isntitusi Polri dan TNI. Hal ini karena tugas mereka yang berbeda. TNI sebagai alat pertahanan negara, sementara Polri sebagai institusi yang menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat.
Banyak perwira militer yang kemudian masuk ke dalam posisi yang strategis dalam komando operasional militer dan badan eksekutif lainnya. Hal ini juga diperparah dengan lemahnya perhatian kalangan parlemen mengenai keseriusan penanganan kejahatan kemanusiaan di masa lalu. Hal-hal inilah yang menyebabkan keberulangan kejahatan kemanusiaan. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya pengadilan militer yang cenderung lunak dalam mengadili anggota militer yang terlibat kejahatan. Di sini lah sebetulnya diperlukan peran aktif parlemen dan masyarakat dalam mengusut kejahatan di masa lalu untuk memberi peringatan bagi pihak-pihak yang mau melakukan hal yang sama di masa kini.
Selain sibuk masuk ke dalam ranah politik, militer juga masuk ke dalam dunia bisnis. Hal ini tidak lepas dari kondisi orde baru yang memberikan ruang sebebas-bebasnya bagi militer untuk berbisnis. Peran militer dalam bisnis cenderung menghambat  bahkan mematikan peran sipil dalam ruang yang sama. Militer menggunakan hak-hak istimewa dari pemerintah untuk mendapatkan keuntungan finansial yang besar dari bisnis, sehingga mereka enggan melepaskannya terutama dalam upaya reformasi TNI. Selain itu, karena terlalu sibuk dalam bisnis, militer melupakan misi utamanya yaitu menjaga pertahanan dan kemanan. Masuknya militer ke dalam ranah non-pertahanan seperti politik dan bisnis benar-benar menumpulkan profesionalitas militer. Selain itu, hal tersebut juga menyebabkan kemerosotan dalam hal teknologi, seperti dalam alutsista. Hal ini menyebabkan fungsi pertahanan yang seharusnya dilakukan oleh TNI menjadi terbengkalai dan menyebabkan negara ini rawan mendapat serangan baik dari luar maupun dari dalam.

·     Peran Politik satuan Militer di Masa Depan
Secara konseptual, TNI berusaha mendekonstruksi mengenai peran politik mereka. Mereka menyebutnya sebagai ‘politik negara’. Politik negara mengandung makna bahwa militer tidak terlibat dalam politik praktis, namun masih memiliki peran politik. Peran politik TNI pasca orde baru berkaitan dengan penggunaan hak pilih dan dipilih dalam pemilu.
Hak pilih dan dipilh bagi militer memang mengundang perdebatan bagi sejumlah pihak. Adanya hak memilih dikhawatirkan dapat memecah belah soliditas internal TNI. Di kalangan sipil, terdapat kekhawatiran bahwa ketika TNI itu memiliki hak untuk memilih akan membuat TNI cenderung mendukung kekuatan politik tertentu. Hak politik tersebut (memilih dan dipilih) dapat saja diberikan kepada TNI ketika sudah terjadi perubahan-perubahan besar-besaran atau reformasi di tubuh TNI. Presiden SBY bahkan menyatakan masih belum memberikan persetujuan diberikannya hak memilih mengingat reformasi internal di kalangan internal TNI belum selesai. Pemberian hak politik kepada TNI dan Polri saat ini bisa saja membuat TNI dan Polri terseret ke kancah politik ketika hak pilih itu diberikan. Hal ini juga tidak lepas dari persaingan antara purnawirawan TNI dalam perebutan kekuasaan.
Pertanyaan kemudian yang muncul adalah kapan hak politik TNI dan Polri akan diberikan. Ada tiga kondisi yang memungkinkan diberikannya hak politik TNI dan Polri. Pertama, ketika reformasi di tubuh TNI mendekati fase tuntas. Kedua, terdapat penerimaan oleh kelompok prodemokrasi (masyarakat sipil). Ketiga, manakala TNI dan Polri mampu membangun jarak dengan para politisi, termasuk dengan para purnawirawan yang terlibat dalam persaingan untuk memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan.
Berdasarkan hal tersebut, untuk kedepannya menurut Moeldoko, baik dalam uji kelayakan di DPR maupun kepada pers, menegaskan, TNI akan netral. Anggota TNI yang terlibat secara fisik atau meminjamkan fasilitas kepada partai politik akan dicopot. Kepala Staf TNI AD Jenderal Budiman juga mengatakan hal yang sama. Secara nonformal, perwira kerap menyatakan tidak ingin campur tangan pada politik.
Ada trauma di dalam TNI, khususnya TNI AD, akan keterlibatan mereka di politik pada masa Orde Baru. TNI AD yang membawa Soeharto memegang tampuk pemerintahan selama 32 tahun justru akhirnya dikhianati dan disandera Soeharto. Semua dibelokkan Soeharto untuk berpusat pada dirinya, termasuk dwifungsi ABRI itu sendiri. Adanya perbedaan faksi di dalam tubuh TNI antara yang ingin mengkritik Soeharto dan ikut serta dalam rezimnya, menimbulkan keretakan dalam tubuh TNI. Alih-alih menjalankan peran mulianya sebagai tentara rakyat, ABRI menjadi tentara politik. Hadirnya capres dari kalangan purnawirawan militer membuat peta pertarungan yang dinamis. Saat ini, ada dua nama yang menonjol jaringan dan logistiknya, yaitu Prabowo Subianto dan Pramono Edhie Wibowo. Keduanya dari Kopassus. Edhie (Akmil 80) pernah menjadi anak buah Prabowo (Akmil 73) yang tentunya menyisakan banyak cerita.
Sebagai harapan untuk kedepannya, netralitas TNI dalam politik bisa dibuktikan dengan konsistensinya sebagai tentara profesional yang mumpuni. Ancaman di masa depan begitu kompleks sehingga yang dibutuhkan tidak hanya tentara yang hebat, tetapi juga persatuan dengan rakyat. Persatuan ini penting untuk membentuk sistem keamanan nasional yang memosisikan Indonesia secara terhormat di tingkat regional ataupun global.



C.          Peran Partai Politik
·     Era orde baru
Di zaman orde baru peran partai politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mencoba ditata melalui UU no. tahun 1973, partai politik yang jumlahnya cukup banyak ditata menjadi 3 kekuatan politik yang terdiri dari 2 parta politik yaitu PPP dan PDI serta 1 Golkar. Namun penataan partai politik tersebut tidak membuat semakin berperanya partai politik sebagai sarana aspirasi politik rakyat dalam pembuatan keputusan. Partai politik yang diharapakan dapat mewadahi aspirasi politik yang natinya akan menjadi kebijakan public tidak terwujud. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kebijakan politik yang dihasilkan pada pemerintahan orde baru ternyata kurang memeperhatikan aspirasi politik rakyat dan cenderung merupakan sarana legitimasi penguasa dan kelompok tertentu. Pada masa ini partai politik hampir tidak memiliki peranan berarti, politik sama sekali tidak ditempatkan sebagai kekuatan politik namun lebih pada mesin politik pemerintah dan sebagai assesoris demokrasi.

·     Era reformasi
Di masa inilah partai politik, mendapatkan ruang yang luas  untuk mewujudkan diri sebagai organisasi yang memiliki peran dan fungsi memobilisasi rakyat atas nama kepentingan-kepentingan politik sekaligus memberi legitimasi pada proses-proses politik, di antaranya adalah tentang “suksesi” kepemimpinan nasional. Namun harapan ini membentur pada konflik antara partai politik  dimana dalam pemilu 1999,  terjadi penolakan terhadap Habibie juga Megawati Soekarnoputri dari satu kelompok terhadap kelompok yang lainnya. Ini artinya partai politik menyuarakan kepentingan rakyat akan tetapi secara dalam hubungan dengan partai berada dalam masalah ketidak profesionalan. Penolakan terhadap Habibie sebagai representasi penolakan terhadap “Orde Baru”, yang memiliki kaitan kuat dengan Soeharto. Sementara terhadap Megawati, penolakan dilakukan oleh partai-partai Islam beserta Golkar yang memanfaatkan isue “haram” presiden wanita. Gerakan “asal bukan” Habibie atau Megawati yang akhirnya melahirkan bangunan aliansi partai-partai Islam (PAN,PPP,PBB, dan Partai Keadilan) yang dikenal kala itu sebagai kelompok “Poros Tengah”.
Bangunan aliansi yang dilakukan poros tengah yang kemudian menyeret PKB untuk menghianati PDI Perjuangan dan mengusung K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden Republik Indonesia setelah Habibie. Namun dalam perjalanannya, keakraban Amien Rais (sebagai pemimpin poros tengah) dan Gus Dur terberai kembali akibat dari perbedaaan-perbedaan kepentingan politik yang dilakukan masing-masing.
Pada keterberaian ini pula yang meruntuhkan legitimasi politik Gus Dur sebagai Presiden, walaupun disisi lain, terdapat berbagai kepentingan politik yang ikut meramaikannya seperti kepentingan politik militer, PDI Perjuangan, kelompok penguasa “korporatisme” nasional yang dihegemoni Soeharto atau Orde Baru, termasuk kepentingan modal asing atau Negara lain (seperti Amerika Serikat, Uni Eropa) yang terusik atas beberapa kebijakan ekonomi nasional yang dilakukan Kabinet Gus Dur serta dari kelompok kepentingan ideologis yang radikal untuk mengubah konsepsi Indonesia menjadi berkarakter politik Islam atau demokrasi Liberal.
Dari tarikan kepentingan kekuasaan “suksesi” nasional yang dilakukan para elite, yang selanjutnya membangun perspektif tersendiri dalam konflik-konflik konstitusi di Indonesia. Seperti dalam kejatuhan K.H. Abdurrahman Wahid memperkuat perlunya tindakan “amandemen” atas UUD 1945, karena konstitusi tersebut membuka perseteruan “interpretasi” dan dianggap menjadi sumber kekacauan ketatanegaraan di Indonesia. Terlebih pada perdebatan sistem politik Indonesia , apakah presidensil atau parlementer? Dalam kasus Gus Dur, sistem presidensil versi UUD 1945 terbukti rentan, dan bisa terdeviasi pada sistem parlementer.
Maka dari sistem yang mendua, MPR periode 1999-2004 melakukan perubahan terhadap UUD 1945  dalam kekuasaan politik Soeharto tindakan amandemen merupakan tindakan yang diharamkan walau terdapat beberapa amandemen yang ditengarai tidak sejalan dengan keinginan rakyat terutama mengenai pasal-pasal politik yang krusial, bahkan beberapa pasal-pasal yang diamandemen meletakan pada bentuk “konspirasi” demi kepentingan dan penyelamatan terhadap kelompok-kelompok tertentu. Dan tidaklah menjadi aneh jika dimasa Megawati (pasca Gus Dur) dalam pidato kenegaraannya 16 Agustus 2001 mengusung “komisi konstitusi”, yang berkembang di Sidang Tahunan MPR 2001 dan memunculkan perbedaan tajam antara sikap “konservatisme” di majelis karena kegagalannya membentuk komisi dan tidak mampu melakukan perubahan-perubahan atas pasal-pasal krusial. Padahal tanpa komisi konstitusi independent akan menjadi kesulitan untuk dapat menghasilkan dasar-dasar berbangsa dan bernegara yang lebih demokratis serta mencerminkan kepentingan rakyat.
Kemudian dalam kepemimipinan Megawati Soekarno purti kekuatan kepartaian terus menguat terutama persaingan politik antara aliran politik nasionalis dan aliran politik agamis. Golongan Karya bagaimanapun juga mempunya hubugan historis yang tidak perna berbarengan degan PDI - Perjuangan.Kekuatan nasionalis terpecah menjadi dua bagian.Peluang ini di manfaatkan kelopok nasionalis lainnya untuk menaikan citra politik masanya dengan melakukan pembusukan dari luar terhadap partai-partai lama yang berkuasa .Dalam pemilihan Umum 2004 Partai Nasionalis aliran nasionalis – religus yakni demokrat memenagkan pemilihan presiden secara langsung.
SBY – JK Golkar memainkan JK sebagai calon dari partai Golkar dan kolaborasi yang menarik mernjadi kekuatan yang cukup sepurna dan Persoalan lain adalah degan adanya partai politik yang terlalu banyak dalam pemilu setelah selesai pemilihan umum presiden dan legislatif dan eksekutif di puat daerah propinsi,kabupaten/kota mengalami masalah yang berkebanjangan yang kemudian berdampak pada tindakan-tindakan kekerasan yang terjadi hamper di seluruh Indonesia.Dengan sejumlah masalah yang banyak dalam dalam pemilihan-pemilihan umum partai politik di Indonesia mendapat riuang yang besar dan menda[patkan pemasukan dari para kandidikat yang maju menjadi  calon di legislattif maupun di eksekutif.Peran partai politik semakin kuat  dabn semakin tidak terkontrol dalam pemilihan umum 2009 Partai politk tetap menjadi lembaga yang sakral untuk menentukan karir politik para politisi yang hendak mencalonkan diri.Karena partai politik sudah menjadi lembaga yang moderat di pemilihan umum 2009 untuk pemilihan presiden SBY merangkul orang netral dan sebagai ekonom dan itu adalah suatu strategi yang menarik sehingga dalam pemilihan umum 2009 SBY - Boediyono menang dalam pemilihan umum 2009 dan yang menjadi pertanyaan hingga hari ini partai demokrat menang dalam pemilihan umum 2009 dari mana kemenagan itu dan bagaimana kemenagan itu sampai hari ini pertanyaan itu menjadi misterius dan belum ada jawabannya.Kasus Cikias di angkat dalam rangkaian menjawab pertanyaan itu akan tetapi kasus cikias menghilang begitu saja.Kasus Ceanturypun demikian ,Kasus Mafia Pajakpun demikian dan berbagai kasus korupsi di masa kepemimpina SBY-JK dan SBY-Boediyono saat ini.
Partai politik menjadi kendaraan politik yang mempunyai legitimasi yang kuat akan tetapi kepentingan rakyat sudah tidak lagi terlihat secara nyata oleh karena partai politik menjadi alat elit politik.

·     Perbandingan peran partai poitik di era, kemerdekaan, orde lama, orde baru dan era baru

Rekomendasi
Melihat peranan partai politik yang sangat signifikan dalam sisitem demokrasi di Indonesia, perlu adanya perbaikan dalam tubuh partai politik Indonesia. Peran yang sedemikian besar dalam demokrasi di  Indonesia justru berbanding terbalik dengan kinerja partai politik saat ini, yang hanya focus pada perebutan kekuasaan dan kepentingan kelompok yang hanya bekerja pada saat menjelang pemiihan umum serta mengabaikan fungsi utama partai politik. Oleh karena itu diharapakan partai politik mampu menjalankan fungsi sebagai sarana komunikasi politik, sarana sosialisasi politik, serta rekuitmen politik.
Sebagai sarana komunikasi politik, kader-kader partai politik yang ada legisatif harus selalu intensive dalam melakukan komunikasi dengan masyarakat yang diwakilinya, mereka harus melakukan pertemuan rutin dengan para konstituen sehingga wakil rakyat yang ada di legislative benar-benar mewakili  suara rakyat. Dalam hal ini partai politik memiiki peran untuk mengontrol kader-kadernya sehingga peran partai poitik sebagai jembatan atau sarana komunikasi antar rakyat dan pemerintah berjalan dengan baik.
Sedangkan sebagai sarana sosialisasi politik, partai politik harus selalu aktif memberikan sosialisasi terhadap masyarakat akan kepedulian dan kesadaran politik, dalam hal ini partai politik tidak hanya bekerja ketika tahun-tahun menjelang pemilu saja, tapi partai politik juga terus bekerja sepanjang tahun karna partai politik bertanggung jawab dalam melakukan pendidikan politik terhadap seluruh warga negara demi kemajuan sistem demokrasi yang ada.
Sebagai sarana rekuitmen politik, ini merupakan  fungsi partai politik yang paling penting dalam sistem demokrasi, baik buruknya suatu pemerintahan tergantung actor-aktor yang menjalankanya. Oleh karena itu partai politik harus selektif dalam melakukan rekuitmen, tidak hanya melakukan hal pragmatis demi kepentingan kelompok saja. Diharapkan partai politik mampu menyeleksi dan mendidik kader-kader yang militan yang siap untuk mengabdikan dirinya terhadap pemerintahan sehingga pemerintahan yang ada benar-benar dikendalikan oleh orang-orang yang berkualitas bukan orang-orang karbitan.
Jika partai politik mampu menjalankan fungsinya dengan baik maka cita-cita yang ada dalam pembukaan dalam undang-undang dasar dan niai-nilai dalam pancasila bukan hanya sekedar harapan, bukan hanya sekedar hayalan tapi akan benar-benar dapat dirasakan.

D.          Kondisi Kesejahteraan Masyarakat Indonesia Masa Orde Baru dan Masa Reformasi
·     Orde Baru
Kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru adalah dengan Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) yang telah berjalan selama 6 periode (hingga Repelita VI). Pada Repelita I, pembangunan difokuskan pada stabilitas ekonomi dengan melakukan pengendalian inflasi dan penyediaan kebutuhan pangan dan sandang dalam jumlah yang cukup. Repelita II difokuskan kepada peningkatan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat melalui upaya peningkatan ketersediaan lapangan kerja. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu prioritas utamanya, guna mendorong terciptanya lapangan kerja. Fokus Repelita III diletakkan kepada swasembada pangan, peningkatan ekspor nonmigas dan pengupayaan terjadinya pemerataan hasil-hasil pembangunan. Pada Repelita III ini dilakukan berbagai upaya untuk memperlancar proses transisi ekonomi, dari sektor pertanian ke industri. Repelita IV ditujukan kepada upaya peningkatan kemampuan ekonomi dalam negeri dengan mengurangi ketergantungan pada sektor migas dan mendorong ekspor nonmigas. Hal ini juga merupakan reaksi atas memburuknya perekonomian dunia dan neraca pembayaran Indonesia pada Repelita III. Disamping itu, diupayakan juga peningkatakan industri manufaktur dengan tetap memperhatikan peningkatan kesempatan kerja. Dalam periode ini dilakukan perbaikan di sektor riil maupun moneter, melalui berbagai kebijakan seperti melakukan evaluasi untuk mendorong ekspor, deregulasi perbankan untuk memobilisasi dana masyarakat melalui tabungan domestik, deregulasi sektor riil untuk mengurangi hambatan tarif dan memacu infestasi. Fokus Repelita V tidak jauh berbeda dengan fokus Repelita IV, yakni mengupayakan peningkatan kemampuan dalam negeri. Pemerintah juga berupaya meningkatkan kemampuan berusaha bagi seluruh warga dengan menghilangkan berbagai kendala yang dapat menghambat keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan. Deregulasi sektor riil dan sektor moneter terus dilakukan untuk mendorong tercapainya perekonomian yang lebih efisien. Fokus Repelita VI ditujukan kepada pemantapan dan penataan industri nasional, peningkatan diversifikasi usaha dan hasil pertanian serta peningkatan ekstensifikasi dan intesifikasi pertanian yang didukung oleh industri pertanian. Peningkatan dan pemantapan koperasi, peningkatan peran pasar dalam negeri serta perluasan pasar luar negeri. Disamping itu dilakukan pula peningkatan pemerataan yang meliputi peningkatan kegiatan ekonomi rakyat, kesempatan usaha, lapangan kerja serta peningkatan pendapatan dan kesejahteraan rakyat (NN: 2012).
Di masa pemerintahan Orde Baru, kebijakan pemerintah senantiasa berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan untuk ini diperlukan kelompok masyarakat profesional-spesialis-bisnis yang hanya menyangkut kelompok minoritas tetapi menyedot bantuan pengucuran dana  pemerintah yang sangat besar. Keberhasilan kebijakan pemerintah ini telah terbukti hasilnya karena hampir selama Pelita V pertumbuhan ekonomi mencapai (7%) setiap tahunnya. Sementara itu kelompok masyarakat mayoritas kurang diberdayakan sehingga pertumbuhan usaha ekonomi rakyat kurang dapat berkembang dan akhirnya dapat dilihat gap antara golongan minoritas kaya dengan mayoritas miskin menjadi sangat lebar. Kondisi ini disusul dengan adanya gejolak ekonomi moneter yang utamanya melanda negara-negara ASEAN sehingga ekonomi Indonesia menjadi terpuruk sampai saat ini. Sementara itu pula bangunan ekonomi rakyat berupa usaha kelompok ekonomi produktif belum dipersiapkan dengan baik. Hal ini ditandai dengan dikuasainya 58% PDB Indonesia oleh kurang lebih 200 konglomerat terbesar di negara ini, sedangkan BUMN dan usaha menengah menguasai 24% dan 10%, sisanya (8%) dikuasai oleh 34 juta usaha kecil. Pada perkembangan sektor industri, selama ini terfokus pada industri padat modal, yang berdampak pada membengkaknya pengeluaran sekitar 82%. Sebaliknya di bidang ketenagaan ditengarai bahwa sektor ini hanya mampu menampung 33% jumlah tenaga kerja di bidang industri, sedangkan 67% yang lainnya ditampung oleh industri kecil dan rumah tangga yang hanya membutuhkan keluaran sebanyak 18% (Zain, 2011: 80-81).
·     Masa Reformasi
Pada masa reformasi, tepatnya masa sekarang, subsidi umum yang ditransformasi menjadi pengurangan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) kini diturunkan menjadi suatu program pengurangan kemiskinan. Program-program pengurangan kemiskinan tersebut dibagi ke dalam beberapa kelompok. Salah satu kelompok tersebut adalah rumah tangga. Kelompok ini terdiri dari beberapa program bantuan sosial, antara lain Raskin, Jamkesmas, Bantuan Siswa Miskin (BSM), dan Program Keluarga Harapan (PKH) (Perdana, 2014: 4).
Raskin (Beras Miskin) adalah suatu skema bantuan sosial yang merupakan bagian dari program jaring pengaman sosial pada awal tahun 1998. Dasar pemikiran dari ‘Beras OPK’, nama program ini sebelumnya, adalah untuk memasok pasar dengan beras bersubsidi di sejumlah titik distribusi di seluruh negeri sehinggga rumah tangga yang berpendapatan rendah tetap mampu membeli beras tersebut. Kemudian, ketika ekonomi membaik, pemerintah meneruskan program ini dan mengganti nama program ini menjadi Raskin. Saat ini, Raskin menyasar sekitar 15 juta rumah taangga (25% masyarakat termiskin), meskipun pada suatu titik sempat dialokasikan untuk 20 juta rumah tangga. (Perdana, 2014: 9).
Seperti Raskin, Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) berasal dari era jaring pengaman sosial tahun 1998. Pada tahun 1998, pemerintah pusat membebaskan biaya untuk rawat jalan dan rawat inap di Puskesmas, atau Kelas III di rumah sakit pemerintah, bagi warga miskin yang memegang surat keterangan dari kepala desa. Skema ini disebut sebagai JPK Gakin (Jaring Pengaman Kesehatan untuk Warga Miskin). Setelah krisis, antara tahun 2004 dan 2007 program tersebut disebut Askeskin (Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin) dan dijalankan oleh perusahaan asuransi pemerintah, PT Askes. Sejak tahun 2008, Kementrian Kesehatan, yaitu lembaga pemerintah pusat yang bertanggung jawab atas program tersebut, mengakhiri perjanjian dengan PT Askes dan menjalankan Jamkesmas di bawah program yang didanai negara. Saat ini, Jamkesmas menyasar 76,4 juta masyarakat Indonesia, yaitu sekitar 30 persen dari populasi total masyarakat Indonesia (Perdana, 2014: 10).
BSM (Bantuan Siswa Miskin) adalah program bantuan dana tunai untuk siswa dari keluarga miskin yang sedang bersekolah di tingkat SD, SMP dan SMA. Program ini diperkenalkan pada tahun 2008, dan memberikan uang tunai sejumlah Rp360.000 (US$36) hingga Rp1.000.000 (US$100) per siswa per tahun, tergantung dari tingkat sekolah. Jumlah ini dimaksudkan untuk menutupi pengeluaran terkait sekolah selain uang sekolah, khususnya biaya transportasi. Pada tahun 2008, BSM memberikan bantuan kepada sekitar 3 juta siswa di seluruh tingkatan SD, SMP dan SMA. Pada akhir tahun 2013, program ini sudah menyasar 8 juta siswa. Pada paruh kedua tahun 2013, menyusul kenaikan harga bahan bakar, BSM diperluas lebih jauh hingga menyasar seluruh siswa dari rumah tangga di dasar 25 persentil, yang mana setara dengan 15,4 juta siswa (Perdana, 2014: 10).
Pada tahun 2007 pemerintah meluncurkan Program Keluarga Harapan (PKH) di tujuh provinsi yang menjangkau 350.000 keluarga. PKH menyasar rumah tangga di bawah 7-10 persen (yang mana dikategorikan sebagai ‘sangat miskin’) yang terdiri setidaknya dari kategori berikut: ibu hamil; anak di bawah usia 6 tahun; anak usia sekolah dasar (7-12 tahun); atau anak usia SMP (12-15 tahun). Rumah tangga PKH harus memastikan bahwa ibu hamil mengunjungi pusat layanan kesehatan setidaknya empat kali sepanjang masa kehamilan; dan bahwa anak dengan usia di bawah 6 tahun mengunjungi klinik kesehatan untuk mengukur bobot dan tingginya sekaligus menerima vitamin dan imunisasi yang terjadwal, dan bahwa anak pada usia sekolah akan dapat masuk sekolah dan menjaga kehadirannya di sekolah minimal 85 persen setiap bulannya. Pada tahun 2013, PKH sudah beroperasi di 70 persen kabupaten di Indonesia. Program ini menjangkau 2,4 juta rumah tangga, dan akan diperluas hingga menjangkau 3,2 pada tahun 2014. Rumah tangga dapat menerima hingga Rp2.800.000 per tahun (US$280), tergantung pada berapa banyak anggota keluarganya yang terdaftar di PKH, dan jika mereka benar-benar memenuhi semua syarat kelayakan. Rumah tangga PKH pada tahun 2013 rata-rata menerima Rp1.400.000 (US$140) per tahun (Perdana, 2014: 11).
Prospek Kesejahteraan Masyarakat Indonesia Mendatang
Dari kedua era di atas, ketimpangan antarwilayah menjadi salah satu isu utama untuk mempertahankan kesejahteraan masyarakat Indonesia ke depan. Perbedaan rata-rata Indeks Pembangunan Manusia (IPM) antara wilayah Sumatera dan Jawa-Bali dengan Nusa Tenggara-Maluku-Papua tidak pernah kurang dari 5 angka. Artinya, ketertinggalan wilayah timur Indonesia masih relatif tinggi. Hal serupa ditunjukkan Indeks Kesejahteraan (IK) yang disusun Litbang Kompas. Ketimpangan antarwilayah menjadi warna utama dari potret kesejahteraan Indonesia. Jawa-Bali menjadi wilayah dengan IK terbaik. Sementara Nusa Tenggara-Maluku-Papua tetap yang terburuk. Tahun 2012 rata-rata IK Jawa-Bali 69,4, berselisih 12,8 poin di atas rata-rata gabungan enam provinsi di bagian timur Indonesia. Laju IPM dan IK tidak lepas dari kinerja ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar di setiap wilayah. Semakin baik kinerjanya, semakin tinggi pula probabilitas IPM dan IK tumbuh lebih cepat.
Karakteristik wilayah mungkin memiliki pengaruh kinerja wilayah. Namun, yang jelas, distribusi anggaran sebagai salah satu determinan utama kinerja pun ternyata masih timpang. Berdasarkan data Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Jawa-Bali mendominasi anggaran untuk fungsi-fungsi terkait ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Tahun 2012 wilayah ini mengambil sekitar 31 persen dari total anggaran untuk fungsi ekonomi. Bahkan, untuk fungsi pendidikan dan kesehatan mencapai 44 dan 46 persen.
Hingga kini, pembangunan manusia, yang menjadi representasi kesejahteraan rakyat, menjadi salah satu pekerjaan rumah terberat. Sayangnya, para pengambil kebijakan masih saja bersilang pendapat mengenai prioritas perbaikan. Upaya untuk mendorong konvergensi antarwilayah hanya menjadi isu minor dan kian terabaikan. Tanpa pemerataan anggaran dan inisiatif perbaikan yang kuat, sulit rasanya menjadikan Indonesia negara terdepan dalam pembangunan manusia. Ringkasnya, jalan menuju Indonesia yang sejahtera masih panjang. Inilah tantangan bagi presiden Indonesia mendatang.

E.          Partisipasi Masyarakat dalam Politik
Peran serta atau partisipasi masyarakat dalam politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah, ‘public policy’. Secara konvensional kegiatan ini mencakup tindakan seperti: memberikan suara dalam pemilihan umum, ‘voting’; menghadiri rapat umum, ‘campaign’; menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan; mengadakan pendekatan  atau hubungan, ‘contacting’ dengan pejabat pemerintah, atau anggota parlemen dan sebagainya (Budiardjo, 2008).
Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif. Fungsi utama partai politik adalah mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program-programnya berdasarkan ideologi tertentu. Cara yang digunakan partai politik dalam sistem politik demokratis untuk mendapatkan dan/atau mempertahankan kekuasaan itu adalah dengan melalui mekanisme pemilihan umum. Terkait dengan tugas tersebut maka menjadi tugas partai politik untuk mencari dukungan seluas-luasnya dari masyarakat agar tujuan itu dapat tercapai.
Cara lain dalam mendorong partisipasi masyarakat terhadap pemilu melalui penguatan partai politiknya. Argumentasinya, bahwa partai politik diwajibkan melakukan pendidikan politik. Bukan malahan partai politik mengarahkan pemilih dengan metode politik instan, yaitu pemberian uang. Ketika pola atau cara ini masih direproduksi terus menerus, bisa dipastikan nilai dan pemahaman masyarakat terhadap partisipasi menjadi mengecil hanya dihargai dengan uang. Bukan karena kesadaran sendiri untuk memilih partai karena kinerja serta keberpihakannya dalam momentum pemilu.
Demikian pula halnya jika seseorang mau terlibat aktif dalam kegiatan pertisipasi politik menurut  Davis terdapat tiga unsur, yaitu: (1) Adanya penyertaan pikiran dan perasaan, (2) adanya motivasi untuk berkontribusi, serta (3) adanya tanggung jawab bersama. Karena esensinya partisipasi berasal dari dalam atau dari diri sendiri masyarakat tersebut. Artinya meskipun diberi kesempatan oleh pemerintah atau Negara tetapi kalau kemauan ataupun kemampuan tidak ada maka partisipasi tidak akan terwujud.
Di samping itu ada bentuk-bentuk partisipasi politik sebagaimana dikemukakan Sulaiman (1998), bahwa bentuk-bentuk partisipasi politik adalah sebagai berikut: (1) partisipasi dalam kegiatan bersama secara fisik dan tatap muka; (2) partisipasi dalam bentuk iuran uang, barang, dan prasarana; (3) partisipasi dalam proses pengambilan keputusan; serta (4) partisipasi dalam bentuk dukungan. Selanjutnya Sulaiman mengatakan ada beberapa jenis partisipasi politik  yaitu (1) partisipasi pikiran, “psychological participation”, (2) partisipasi tenaga, ‘physical participation’, (3) partisipasi pikiran dan tenaga, ‘psychological and physical participation’; (4) partisipasi keahlian, ‘participation with skill’, (5) partisipasi barang, ‘material participation’, dan (6) partisipasi uang/dana, ‘money participation’.
Kesempatan berpartisipasi berasal dari luar masyarakat. Demikian pula walaupun kemauan dan kemampuan berpartisipasi oleh masyarakat ada tetapi kalau tidak diberi kesempatan oleh pemerintah Negara maka partisipasi tidak akan terjadi. Oleh karena itu tiga hal tersebut kemauan, kemampuan maupun kesempatan merupakan factor yang sangat penting dalam mewujudkan partisipasi. Selama ini kegiatan partisipasi masyarkat masih dipahami sebagai upaya mobilitasi masyarakat untuk kepentingan Pemerintah atau Negara. Padahal sebenarnya partisipasi idealnya masyarakat ikut serta dalam menentukan kebijakan Pemerintah yaitu bagian dari control masyarakat terhadap kebijakan Pemerintah.
Dengan demikian implementasi partisipasi masyarakat seharusnya anggota masyarakat merasa tidak lagi menjadi obyek dari kebijakan pemerintah tetapi harus dapat mewakili masyarakat sendiri untuk kepentingan mereka sendiri.

Partisipasi Masyarakat Dalam Pemilu
Dalam analisis politik modern partisipasi politik merupakan suatu masalah yang penting dan akhir-akhir ini banyak dipelajari terutama hubungannya dengan Negara berkembang. Sebagai definisi umum dapat dikatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan Negara secara langsung atau tidak langsung, memengaruhi kehidupan kebijakan (public policy).
Setiap perhelatan demokrasi atau pemiihan umum yang diselenggarakan oleh Negara Republik Indonesia memiliki dampak terhadap perkembangan kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Para elit politik sejatinya memberikan pendidikan politik yang cerdas kepada masyarakat agar kesadaran berdemokrasi semakin tinggi dari berbagai kalangan. Kesadaran berdemokrasi tersebut akan tinggi jika partisipasi masyarakat dalam memberikan haknya juga tinggi.
Karena itu, kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi secara positif dalam sistem politik yang ada, jika seseorang tersebut merasa dirinya sesuai dengan suasana lingkungan dimana dia berada. Apabila kondisi yang terjadi adalah sebaliknya, maka akan lahir sikap dan tingkah laku politik yang tampak janggal atau negatif, misalnya jika seseorang sudah terbiasa berada dalam lingkungan berpolitik yang demokratis, tetapi dia ditempatkan dalam sebuah lingkungan masyarakat yang feodal atau tidak demokratis maka dia akan mengalami kesulitan dalam proses beradaptasi.
Meningkatnya keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu), menunjukan semakin kuatnya tatanan demokrasi dalam sebuah negara. Demokrasi menghendaki adanya keterlibatan rakyat dalam setiap penyelenggaraan yang dilakukan negara. Rakyat diposisikan sebagai aktor penting dalam tatanan demokrasi, karena pada hakekatnya demokrasi mendasarkan pada logika persamaan dan gagasan bahwa pemerintah memerlukan persetujuan dari yang diperintah. Keterlibatan masyarakat menjadi unsur dasar dalam demokrasi. Untuk itu, penyelenggaraan pemilu sebagai sarana dalam melaksanakan demokrasi, tentu saja tidak boleh dilepaskan dari adanya keterlibatan masyarakat.
Partisipasi politik akan berjalan selaras manakala proses politik berjalan secara stabill. Seringkali ada hambatan partisipasi politik ketika stabilitas politik belum bisa diwujudkan, karena itu penting untuk dilakukan oleh para pemegang kekuasaan untuk melakukan proses stabilisasi politik. Disamping itu pula proses berikutnya melakukan upaya pelembagaan politik sebagai bentuk dari upaya untuk memberikan kasempatan kepada masyarakat untuk mengaktualisasikan cita-citanya.
Partisipasi politik tidak lebih dari keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan, atau juga dijelaskan secara subtantif bisa berarti upaya atau usaha terorganisir oleh konstituen atau warga Negara yang baik untuk memilih para pemimpin yang mereka nilai baik juga. Partispasi ini mereka melakukannya dengan penuh tanggung jawab terhadap kehidupan bersama dalam lingkup suatu bangsa dan negara. Partisipasi politik ditekankan pada aspek untuk mendukung kepentingan-kepentingan atau visi dan misi elit politik tetentu.
Sebagai masyarakat yang bijak kita harus turut serta dalam proses prmilihan umum dalam rangka menentukan pemimpin yang akan memimpin kita. Dengan demikian, secara tidak langsung kita akan menentukan pembuat kebijakan yang akan berusaha mensejahterakan masyarakat secara umum. Dalam turut berpartisipasi dalam proses pemilihan umum sebagai masyarakat yang cerdas kita harus mampu menilai calon yang terbaik yang sekiranya mampu dan mau mendengarkan aspirasi masyarakat agar pembangunan yang akan dilakukan sesuai dengan keinginan masyarakat dan tidak memilih calon yang hanya mementingkan diri sendiri atau kelompoknya saja sehingga melupakan janji-janji yang sudah diucapkan dalam masa kampanye. Sebagai pemilik hak pemilih dalam pemilu kita jangan sampai menyia-nyiakan hak suara hanya untuk iming-iming sementara yang dalam artian kita harus memberikan suara kita kepada calon yang tepat. Ketidakikutsertaan kita sebenarnya justru akan membuat kita susah sendiri karena kita tidak turut memilih tetapi harus mengikuti pemimpin yang tidak kita pilih. Partisipasi pemilih dalam pelaksanaan Pemilu mutlak diperlukan, tanpa adanya partisipasi pemilih, Pemilu hanyalah menjadikan sebagai objek semata dan salah satu kritiknya adalah ketika masyarakat tidak merasa memiliki dan acuh tak acuh terhadap pemilihan umum.


A.      Partisipasi Masyarakat Dalam Pemilu orde lama (1955), Orde baru (1971-1997), Reformasi (Periode awal 1999), dan Pemilu 2014
Partisipasi politik masyarakat pada Pemilu rezim Orde Lama (1955), rezim Orde Baru (1971-1997) dan Orde Reformasi (periode awal 1999) cukup tinggi, yaitu rata-rata diatas 90%, diiringi dengan tingkat Golput yang relatif rendah, yaitu dibawah 10% (masih dalam batas kewajaran).
Tingkat partisipasi poitik masyarakat dalam Pemilu di Indonesia pada Pemilu tahun 1955 mencapai 91,4 % dan jumlah Golput mencapai 8,6%, pada Pemilu 1971 tingkat partisipasi politik pemilih 96,6% dan jumlah Golput mencapai 3,4 %, Pemilu 1977 dan Pemilu 1982 tingkat partisipasi politik pemilih 96,5% dan jumlah Golput mencapai 3,5%, pada Pemilu 1987 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 96,4% dan jumlah Golput 3,6%, pada Pemilu 1992 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 95,1% dan jumlah Golput mencapai 4,9%, pada Pemilu 1997 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 93,6% dan jumlah Golput mencapai 6,4%, pada Pemilu 1999 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 92,6% dan jumlah Golput 7,3%, pada Pemilu Legislatif tahun 2004 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 84,1% dan jumlah Golput 15,9%, pada Pilpres putaran pertama tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 78,2% dan jumlah Golput 21,8%, sedangkan pada Pilpres putaran kedua tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 76,6% dan jumlah Golput 23,4%.
Pada Pemilu Legislatif tahun 2009 tingkat partisipasi politik pemilih semakin menurun yaitu hanya mencapai 70,9% dan jumlah Golput semakin meningkat yaitu 29,1% dan pada Pilpres 2009 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 71,7% dan jumlah Golput mencapai 28,3%. Pada pemilu 2014 berdasarkan survei dari CSIS dan lembaga survei Cyrus Network telah menetapkan persentase pemilih yang enggan menggunakan hak pilihnya pada pemilihan umum legislatif 2014. Dari hasil kalkulasi mereka melalui metode penghitungan cepat partsisipasi masyarakat 75,2 %, dan jumlah golput mencapai 24,8 %. (Sumber: www.merdeka.com)













BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
   Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa sistem politik merupakan sekumpulan berbagai kegiatan suatu negara yang berkaitan dengan kepentingan umum seperti pengembilan keputusan, seleksi skala prioritas. Sistem politik di Indonesia diwarnai oleh sistem pemerintahan. Seperti yang kita ketahui sistem pemerintahan berganti dari masa kemasa. Salah satunya adalah orde baru, masa ini ditandai dengan kepemimpinan Soeharto yang otoriter. sistem pemerintahan pada orde baru juga sangat berpengaruh pada elemen-elemen sistem politik di Indonesia. Elemen-elemen itu sendiri adalah media, dimana pada masa orde baru media dituntut tunduk pada pemerintah. Hal ini ditandai dengan adanya SIUPP, fungsi media sebagai jembatan antara pemerintah dengan rakyat tidak terpenuhi. Media dijadikan alat untuk pemerintah. Dibidang ketahanan dan keamanan dimana peran militer sangat dominan pada sistem politik.   Peran partai politik pada masa orde baru kurang memperhatikan aspirasi rakyat dan digunakan sebagai legitimasi penguasa dan kelompok tertentu. Dalam hal pembangunan dan kesejahteraan masa orde baru adanya REPELITA yang terbukti dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 7% pada PELITA.
Prospek sistem politik Indonesia dilihat dari elemen-elemen yang berkaitan yaitu peran media. Media sendiri memiliki peran yang sangat signifikan sebagai pilar keempat demokrasi di Indonesia dengan berkembangnya teknologi peran tersebut akan semakin ditunjang. tetapi sayangnya setelah era reformasi hingga saat ini pers lebih tunduk pada pemilik modal dan partai politik hal ini justru yang bertolak belakang dengan demokrasi karena seperti yang kita ketahui pengertian demokrasi sendiri dari, oleh dan untuk rakyat. Apabila media akan terus seperti itu peran media sebagai pilar tentu akan berubah menjadi distorsi. Sebagai harapan untuk kedepannya, netralitas TNI dalam politik bisa dibuktikan dengan konsistensinya sebagai tentara profesional yang mumpuni. Ancaman di masa depan begitu komplek ssehingga yang dibutuhkan tidak hanya tentara yang hebat, tetapi juga persatuan dengan rakyat. Persatuan ini penting untuk membentuk sistem keamanan nasional yang memosisikan Indonesia secara terhormat di tingkat regional ataupun global. Kemudian apabila kita ingin melihat prospek bagaimana partisipasi masyarakat dalam sistem politik bisa dilihat dari keterlibatan masyarakat itu sendiri dalam pemilu. Hal ini bisa dilihat dari kinerja presiden atau dari kabinet yang ada. Prospek untuk kesejahteraan pembangunan di Indonesia sendiri Tanpa pemerataan anggaran dan inisiatif perbaikan yang kuat, sulit rasanya menjadikan Indonesia negara terdepan dalam pembangunan manusia. Ringkasnya, jalan menuju Indonesia yang sejahtera masih panjang. Inilah tantangan bagi presiden Indonesia mendatang.


DAFTAR PUSTAKA

Wartawan Kompas. 2013. Menatap Indonesia 2014: Tantangan, Prospek Politik
dan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Buku Kompas.

Mahendra, Bayu. 2013. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia.

Zain, Machmud. 2011. Reformasi Pengentasan Kemiskinan dari Pendekatan Ekonomi ke Pendekatan Kesejahteraan.Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik. Volume 12, Nomor 4: 79-96.

NN. 2012. Kebijakan Ekonomi Dimasa Orde Baru (Suatu Retrospektif). Harian Pelita Edisi 22 November 2012.

Perdana, Ari A. 2014. Kesejahteraan Sosial di Indonesia: Dari Subsidi Bahan Bakar Fosil hingga Perlindungan Sosial yang Lebih Baik. The International Institute for Sustainable Development.


http://www.merdeka.com, diakses pada 2 Juni 2015, 16:00 WIB







No comments:

Post a Comment

Silahkan baca dan share