BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Negara bukan
hanya sekedar suatu wilayah luas yang ditinggali oleh sekelompok manusia. Setiap
negara memiliki suatu sistem, yang secara otonomi berputar dan menggerakkan
perilaku manusia di dalamnya. Sistem ini merupakan sistem politik.
Sistem politik tidak secara sempit hanya mengacu pada
partai politik saja. Pada tubuh pemerintahan suatu negara, sistem politik merambah
ke dalam beberapa bidang, mulai dari bidang ekonomi hingga kepada bidang pertahanan dan
keamanan. Merambahnya sistem politik ke berbagai bidang tersebut mengisyaratkan bahwa
sistem politik memiliki peran sangat penting dalam pemerintahan suatu negara.
Pada
praktiknya, sistem politik tidak berjalan statis melainkan dinamis. Sistem
politik di suatu negara sewaktu-waktu dapat berubah seiring dengan perubahan kondisi
internal negara tersebut maupun hubungannya dengan negara lain dalam lingkungan
politik internasional. Perubahan kondisi internal seperti pergantian pemimpin
negara tersebut, masalah dalam negeri yang tidak kunjung usai, hingga pemberontakan
yang dilakukan sekelompok masyarakat untuk menggulingkan pemerintah.
Perubahan sistem politik tersebut dapat berimbas pada kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah negara. Perubahan sistem politik tidak hanya menjadi simbol dari
pergantian era pemerintahan, melankan juga bentuk koreksi bagi
kebijakan-kebijakan pemerintah sebelumnya.
Hampir semua negara pernah mengalami perubahan sistem
politik tersebut. Salah satu negara yang telah mengalami berbagai perubahan
sistem politik adalah Indonesia.
Setelah
masa kolonialisme Jepang berakhir,
Indonesia pun mendeklarasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Deklarasi
tersebut merupakan awal bagi Indonesia untuk secara mandiri hidup dan membangun
sistem politik sebagai sebuah negara yang merdeka. Sistem politik di Indonesia telah
mengalami beberapa perubahan yang diikuti oleh pergantian kepala negara.
Pemerintahan
Presiden pertama Indonesia, Soekarno dikenal dengan nama masa Orde Lama.
Pemerintahan Presiden Indonesia selanjutnya yaitu Soeharto dikenal dengan masa Orde
Baru. Kemudian era presiden selanjutnya setelah turunnya Soeharto dikenal dengan
nama era Reformasi. Perubahan sistem politik Indonesia menjadi sebuah bentuk usaha
pembaharuan kebijakan bagi pemerintahan sebelumnya.
Pengubahan sistem politik di Indonesia
pun berimbas kepada berbagai bidang. Beberapa bidang tersebut antara lain
partai politik, media, peran masyarakat, hingga kesejahteraan rakyat yang
ditandai dengan kondisi ekonomi negara. Setiap pengubahan sistem tersebut
selalu dikaji dan dilihat hasilnya oleh pemerintah dengan melihat kondisi
sebelum dan setelah pengubahan sistem politik diterapkan. Pemerintah maupun
masyarakat pada akhirnya dapat melihat bagaimana prospek negara selanjutnya
dengan menggunakan konsep pembandingan kondisi sebelum dan sesudah sistem
politik mengalami pengubahan tersebut.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas terdapat rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana situasi sistem politik Indonesia pada masa orde
baru, reformasi sampai saat ini?
2.
Bagaimana prospek sistem politik Indonesia dilihat dari elemen-elemen
berkaitan dengan sistem tersebut seperti peran
media, pertahanan dan keamanan, peran masyarakat, peran partai politik, dan
pembangunan serta kesejahteraan sejak masa orde baru, reformasi, hingga
sekarang?
1.3.
Batasan Masalah
Dikarenakan
materi yang dibahas dalam makalah ini terlalu luas, oleh karena penulis
memiliki batasan masalah sebagai berikut:
Makalah ini
hanya membahas mengenai sistem politik Indonesia pada masa orde baru, reformasi
hingga saat ini dan makalah ini juga hanya membahas prospek sistem politik
Indonesia dilihat dari elemen-elemen seperti peran media, pertahanan dan
keamanan, peran masyarakat, peran partai politik dan kesejahteraan pembangunan
sejak masa orde baru, reformasi, hingga saat ini.
1.4.
Tujuan Makalah
1.
Untuk mengetahui bagaimana situasi sistem politik
Indonesia pada masa orde baru, reformasi sampai saat ini
2.
Untuk mengetahui bagaimana prospek sistem politik
Indonesia dilihat dari elemen-elemen yang berkaitan seperti peran media,
pertahanan dan keamanan, peran masyarakat, peran partai politik, kesejahteraan
pembangunan sejak masa orde baru, reformasi hingga saat ini.
1.5.
Manfaat Makalah
Makalah ini diharapkan bisa bermanfaat baik secara akademis
maupun praktis
1.
Secara akademis penulis berharap makalah ini dapat dijadikan
rekomendasi untuk mempelajari ilmu komunikasi dalam hal sistem politik
indonesia dan melihat prospek sistem politik indonesia dari tahun ke tahun.
2.
Secara praktis penulis berharap makalah ini dapat
dijadikan acuan mahasiswa khususnya ilmu komunikasi untuk ikut serta dalam
sistem politik Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Sistem Politik Indonesia pada Masa Orde Baru, Reformasi,
sampai saat ini
Sistem politik Indonesia diartikan sebagai
kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam Negara Indonesia yang
berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan, upaya-upaya
mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan skala
prioritasnya.
Sistem politik Indonesia
dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa dan mencapai tujuan nasional, maka
sesuai dengan pancasila dan undang-undang Dasar 1945, pemerintah republik
Indonesia menyelenggarakan politik Negara, yaitu keseluruhan penyelenggaraan
politik, yang cenderung lebih sentralistik karena UUD 1945 itu sendiri yang
integralistik, dengan memanfaatkan dan mendayagunakan segala kemampuan aparatur
Negara serta segenap dana dan daya, demi terciptanya tujuan nasional, dan
terlaksananya tugas Negara sebagaimana di tetapkan dalam UUD 1945.
Pada masa Orde Baru telah
mengalami keruntuhan seiring jatuhnya Soeharto sebagai presiden yang telah
memimpin Indonesia selama 32 tahun, pada tanggal 1 Mei Soeharto akhirnya
mengundurkan diri yang di sambut oleh masyarakat, utamnya di Jakarta dengan
tumpah ruah di jalan, mereka bersujud kepada Pemilik Alam dengan berlinang air
mata. Sesyukur itukah mereka, entahlah, mereka memang sudah bosan di pimpin
selama setengah abad hanya dua orang saja.8 setelah sebelumnya krisis ekonomi menghancurkan
legitimasi pemerintahn Orde Baru.
Dalam kaitan ini, Jhon
Mcbeth bahwa kehancuran di bidang ekonomi, yang
selama ini menjadi ladasan legitimasi pemerintahan Soeharto, tidak akan pernah
ada kesempatan untuk perubahan politik. Menurut Mcbeth, jika keadaan ekonomi
dan masalah yang ditinggalkan pemerintahan Soeharto tidak sedemikian menjadi
faktor yang mendatangkan ketidakstabilan, masa itu akan menjadi periode yang
sangat menggairahkan bagi Indonesia sejak kemerdekaannya. Sejak
soeharto lengser dari kursi kepresidenannya, bahkan sampai di penghujung abad
19, bangsa Indonesia belum mengetahui kemana arah perubahan akan terjadi. Pada saat itu, kita baru
bisa mengecap aromanya saja. Pada tahun 1999, memang sudah di gelar pemilu
multi partai. Tapi keikutsertaan 48 partai politik dari berbagai latar belakang
yang kompleks, baru sebatas euphoria, bukan perubahan yang bermakna reformasi.
Meski political will sudah mengiringnya.
Perlahan tapi pasti, bangunan reformasi
mulai terlihat fondasinya di paruh akhir tahun 2000. Setidaknya, melalui
keberanian untuk mengamandemen UUD 1945, bangsa ini tengah memulai perubahan yang bersifat
struktural. Meski, sejak Habibie naik panggung kekuasaan, secara kultural,
perubahan itu sudah terjadi. Bahkan, sampai pemilu kedua di era reformasi, pada
tahun 2004 perubahan struktural dalam format politik Indonesia, seakan mencapai
klimaksnya. Terlebih, ketika kesuksesan mengamandemenkan UUD 1945, di buktikan
dengan lahirnya seoramg presiden republik Indonesia dari rahim pemilihan presiden
langsung (Pemilu Presiden).
Era Reformasi seringkali di
anggap sebagai era di mana “banyak penumpang gelap” masuk dalam gerbong gerakan
refomasi. Hal ini dapat di lihat ketika beberapa mantan menteri di era orde
baru berkoar-koar tentang reformasi. Bahkan, para mantan birokrat sipil maupun
militer termasuk pengusaha “merubah kostum politiknya” dari gaya orba menjadi
gaya seorang reformis. Mereka terlibat aktif dalam mendanai aksi-aksi mahasiswa
dan massa. Bahkan, “perselingkuhan” dengan media-media tertentu membuat mereka
sering “nongol” di media massa dengan tema-tema reformasi.
Pada saat dimana
partai-partai politik berdiri, kaum-kaum yang umumnya memiliki energi politik
relatif besar tersebut, dengan mudah masuk kejajaran elit partai. Dan akhirnya,
proses rekrutmen politik berjalan secara tidak sehat. Padahal proses rekrutmen
politik tersebut seharusnya dilakukan dengan baik. Menurut Almond, rekrutmen
politik merupakan proses penyeleksian individu untuk dapat mengisi lowongan
jabatan-jabatan politik maupun pemerintahan, yang pada umumnya terdapat dua
cara, yaitu secara terbuka dan tertutup. Rekrutmen politik yang bersifat
terbuka merupakan proses penyeleksian terbuka untu seluruh warga negara.
Sedangkan dengan rekrutmen politik tertutup dimaksudkan bahwa individu tertentu
saja yang dapat di rekrut untuk menduduki jabatan politik maupun pemerintahan.
Di era pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dengan kabinet pelanginya dimana institusi pembantu
presiden banyak di isi oleh orang – orang dari parpol. Hal ini merupakan
keniscayaan apabila presiden mengharapkan dukungan yang cukup besar di DPR.
Namun kemudian misi utama kabinet menjadi bergeser lebih banyak menjalankan
misi mengadakan kompromi dan akomodasi dengan partai – partai politik. Suatu hal
yang oleh banyak pengamat disepakati merupakan kemampuan untuk membangun sebuah
jembatan yang cukup efektif dalam memelihara pola hubungan konsultatif dengan
legislatif.
Menurut beberapa pengamat
politik kompromi dan akomodasi itu sendiri di lain sisi mengandung beberapa hal
yang kurang menguntungkan. Pertama, dengan banyaknya pihak yang terlibat dalam
politik kompromi keputusan yang dibuat kerap kali berjalan lambat dan tidak
responsif. Hal ini terutama tidak saja demikian banyaknya pihak yang harus dilibatkan,
tetapi juga mempertimbangkan efek-efek politik yang akan terjadi. Sering dalam
situasi tersebut, obyektivitas menjadi tersingkir dan jalan tengah yang tidak
tuntas menjadi pilihan pemerintah. Kasus lumpur Lapindo dan fenomena
pemberantasan korupsi yang tebang pilih merupakan contoh-contoh hal tersebut.
Kedua, keterlibatan banyak
partai menyebabkan keputusan yang ditujukan untuk kepentingan umum dan masa
depan bangsa, terhambat oleh kepentingan sesaat partai-partai politik (baca
elite politik). Nuansa oligarki ini menyebabkan persoalan-persoalan seperti
kemiskinan, jumlah pengangguran, dan melambungnya harga-harga sembako seolah
menjadi angin lalu saja. Ketiga, nuansa politik yang lebih diutamakan dalam
beragam masalah sebagai konsekuensi politik kompromi dan akomodasi, akhirnya
memperlambat penguatan dan pendewasaan sistem politik .
2.2.
Prospek Sistem Politik Indonesia dilihat dari elemen
media, pertahanan dan keamanan, peran masyarakat, peran partai politik,
kesejahteraan pembangunan.
A. Peran Media dalam Sistem Politik Indonesia dan Prospek kedepannya
A. Peran Media dalam Sistem Politik Indonesia dan Prospek kedepannya
·
Orde baru
Pada masa orde baru Keberadaan media dan pers
diawasi secara ketat oleh pemerintah di bawah
naungan departemen penerangan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi hal – hal
buruk di dalam pemerintahan orde baru sampai di telinga masyarakat. Pers tidak
bisa melakukan apapun selain patuh pada aturan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Aspirasi masyarakat untuk pemerintah tidak tersalurkan sama sekali. Hal ini
dikarenakan komunikasi politik yang terjadi hanya top – down. Artinya pers
hanya sebagai komunikator dari pemerintah ke rakyat. Pers tidak dapat melakukan
fungsinya sebagai komunikator dari rakyat ke pemerintah. Selain itu,
pemberitaan yang disalurkan ke masyarakat mengenai pemerintah harus merupakan
berita – berita yang menjunjung tinggi keberhasilan pemerintah. Yang
diberitakan hanyalah sesuatu yang baik. Apabila suatu media nekat menerbitkan
pemberitaan – pemberitaan miring soal pemerintah, bisa dipastikan nasib media
tersebut berada di ujung tanduk.
Berdasarkan penjelasan politik yang dipaparkan di atas, jelas bahwa pers pada masa
orde baru sangat dikendalikan oleh pemerintah. Kontrol pemerintah terhadap pers
tidak dapat diragukan lagi, begitu juga dengan pegaruhnya. Kebijakan –
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah orde baru sangat tidak mendukung
keberadaan pers. Salah satu contohnya adalah kebijakan SIUPP, yakni Surat Izin
untuk Penerbitan Pers, yang mana sangat tidak pro-pers. Pers mengalami
kesulitan saat dituntut untuk melasanakan fungsi – fungsi yang secara alamiah
melekat padanya, khususnya fungsi mereka bagi masyarakat. Fungsi pers bagi
masyarakat adalah menampilkan informasi yang berdimensi politik lebih banyak
dibandingkan dengan ekonomi, dengan didominasi subyek negara serta
kecenderungan pers untuk lebih berat ke sisi negara harus dilakukan dengan cara
lebih memilih realitas psikologis dibanding dengan realitas sosiologis. Tidak
hanya itu, 9 elemen dasar Bill Kovach mengenai jurnalisme yang seharusnya
diamalkan oleh pers tidak terlaksana. 9 elemen dasar tersebut adalah :
1.
Kewajiban utama jurnalisme adalah
pada pencarian kebenaran
2. Loyalitas
utama jurnalisme adalah pada warga negara
3. Esensi utama
jurnalisme adalah disiplin verifikasi
4. Jurnalis
harus menjaga indepedensi dari objek liputannya
5. Jurnalis
harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan
6. Jurnalis
harus memberi forum bagi publik untuk saling kritik dan menemukan kompromi
7. Jurnalis
harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan
8. Jurnalis
harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional
9. Jurnalis
harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personelnya
Jika sudah
begitu, bisa dikatakan pers telah kehilangan jati dirinya. Contoh kediktatoran
pemerintah terhadap pers adalah peristiwa 21 Juni 1994. Saat itu beberapa media
massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka
mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai penyelewengan yang dilakukan
oleh pejabat-pejabat Negara. Akan tetapi, meskipun pemerintah telah membungkam
media sedemikian rupa, tetapi saja ada media yang pantang menyerah melakukan
perlawanan pada pemerintah. Salah satunya adalah Tempo. Pemerintah orde baru
selalu merasa terancam dengan keberadaan Tempo. Hal tersebut wajar karena sikap
pantang menyerah yang ditanamkan media tersebut kepada wartawan – wartawannya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Tempo menjadi media terpenting pada masa orde
baru. Sesungguhnya pada masa orde baru terdapat lembaga yang menaungi pers di
Indonesia, yaitu Dewan Pers. Sesuai UU Pers Nomor 40 tahun 1999, dewan pers
adalah lembaga independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya untuk
mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.
Berdasarkan amanat UU, dewan pers meiliki 7 fungsi :
1.
Melindungi kemerdekaan pers dari
campur tangan pihak lain, bisa pemerintah dan juga masyarakat
2.
Melakukan pengkajian untuk
pengembangan kehidupan pers
3.
Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan
kode etik jurnalistik
4.
Memberikan pertimbangan dan
pengupayaan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus yang berhubungan
dengan pemberitaan pers
5.
Mengembangkan komunikasi antara
pers, masyarakat, dan pemerintah.
6.
Memfasilitasi organisasi pers dalam
menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan
7.
Mendata persahaan pers
Namun sangat
disayangkan bahwa dewan pers masa orde baru tidak melaksanakan fungsinya dengan
efektif. Ironisnya, dewan pers justru tidak melindungi rekan sesama jurnalis.
Hal tersebut terlihat saat peristiwa pembredelan media tahun 1994. Banyak
anggota dewan pers yang tidak meyetujui pemberedelan tersebut, namun dewan pers
dipaksa menyetujui langkah pemerintah tersebut. Tidak ada yang bisa dilakukan
dewan pers selain mematuhi instruksi pemerintah. Menolak sama artinya dengan melawan
pemerintah. Bisa disimpulkan keberadaan dewan pers masa orde baru hanya sebatas
formalitas.
·
Orde Reformasi
saat orde baru tumbang, pers seperti
kehilangan kendali. Arus kebebasan dibuka lebar – lebar secara spontan. Gelombang kebebasan pers tercipta secara besar
besaran, bukan perlahan dengan proses yang seharusnya. Suatu kebijakan yang
monumental karena dianggap sebagai tonggak dimulainya kebebesan pers di
Indonesia yakni dikeluarkannya Permenpen No. 01/per/Menpen/1998, tentang
Kententuan – Ketentuan SIUPP. Pada Permenpen ini, sanksi pencabutan SIUPP
maupun pembreidelan bagi pers ditiadakan. Ada lima peraturan, baik berupa
Peraturan Menteri maupun Surat Keputusan Menteri, yang keseluruhannya
menghambat ruang gerak pers, dicabut. Puncaknya adalah dikeluarkannya Undang-
Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Terdapat pasal di dalam undang-undang
ini yang menyatakan pencabutan semua undang- undang pers yang ada sebelumnya. Sejak
saat itu, tidak ada lagi kebijakan pemerintah yang memberatkan pers. Akibatnya,
permintaan untuk izin penerbitan meningkat. Pers masa
reformasi selalu dihubungkan dengan demokrasi. Yang mana demokrasi berarti
kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat. Salah satu indikator
demokrasi adalah terciptanya jurnalisme yang independen. Walaupun pada
kenyataannya saat ini, terkadang pers masih dimanfaatkan oleh pemerintah untuk
melanggengkan kekuasaan. Semenjak
pencabutan SIUPP hingga sekarang pers lebih tunduk kepada pemilik modal dan
partai politik yang ada. Hal ini bisa dilihat pada pemilu tahun 2014. Media
saling mendukung dan menjatuhkan partai dan aktor politik satu sama lain.
Perbedaannya pada saat ini lembaga pemerintah bukan hanya dewan pers tetapi
juga ada KPI dan KOMINFO yang bertugas dalam hal penyiaran media tersebut.
namun seperti yang kita lihat semakin kesini kecendurangan media lebih kepada
pemilik modal dan corong politik.
Harapan media
untuk mewujudkan proses demokrasi akan sulit terwujud walaupun secara
perkembangan teknologi kita sudah memasuki era digital dimana ruang publik akan
semakin terbuka dan demokrasi semakin ditunjang menggunakan sosial media, semua
orang bebas berpendapat dalam media ini, namun sayangnya belum ada aturan yang
mengikat untuk media ini. Data dari kompas mengatakan bahwa media sosial ini
gunakan oleh pemilih pemula yaitu generasi dibawah 21 tahun dimana mereka
peduli tentang isu politik namun cepat sekali berpindah tanpa melihat
latarbelakang politik dari aktor politik tersebut. hal ini sudah terjadi dari
tahun 2013 ketika pasangan Jokowi dan Basuki Tjahja Purnama menyalonkan diri
menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Hal serupa juga terjadi ketika
pemilihan PILPRES 2014 dimana masyarakat umum maupun artis di Indonesia
membuatkan lagu untuk kedua calon dan diunggah kedalam media sosial.
Kemungkinan hal semacam ini akan terus berkembang untuk kedepannya. Mungkin
apabila dilihat dari perkembangan teknologi kita bisa dikatakan demokrasi
tetapi harus kita sadari lagi bahwa konsep media demokrasi itu mencakup
keseragaman pemilik dan isi. Tetapi sekarang ini yang terjadi adalah beberapa
media menjadi group. Dimana sosial media juga dipenuhi kelompok dari group
tersebut. seperti yang kita tahu Metro TV yang dimiliki aktor politik dia juga
ikut andil dalam media cetak yaitu Media Indonesia, media online dengan nama
media indonesia. Kemudian sosial media
dengan nama Metro News. Apabila media
sendiri sulit untuk demokratis lantas bagaimana fungsi media sebagai pilar
keempat demokrasi. Kemungkinan demokrasi di Indonesia akan sulit terwujud.
B. Pertahanan dan Keamanan
· Orde lama hingga
orde baru
Sejarah
politik Indonesia menunjukkan adanya peran militer yang dominan dalam sistem
politik. Militer memainkan peran yang amat penting dalam rangka merebut dan
mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan militer tersebut tidak hanya dalam
konteks melawan penjajah sebagai bentuk ancaman dari luar, namun juga melawan
ancaman dari dalam seperti pemberontakan untuk merubah NKRI.
TNI mulai memainkan peran yang penting dalam
mempengaruhi kekuasaan menjelang akhir tahun 1950-an. Presiden pertama
Indonesia, Soekarno bahkan menjadikan TNI sebagai tritunggal bersama dirinya.
Peran TNI dalam sistem politik mencapai puncaknya pada saat pengambilan
kekuasaan oleh Soeharto pada tahun 1965. TNI memandang dirinya berhak mengambil
kepemimpinan apabila kaum sipil dipandang tidak bisa secara efektif melindungi
kepentingan nasional. Militer kemudian difungsikan oleh eksekutif sebagai
kekuatan penyeimbang melawan oposisi politik Dalam era orde baru, militer
bahkan berafiliasi dengan partai penguasa yaitu Golkar. Selama kurun waktu
hampir tiga puluh dua tahun militer mendapatkan posisi yang istimewa dan
strategis dalam kehidupan politik, sosial bahkan ekonomi di Indonesia. Selama
militer patuh dan tunduk pada Soeharto, militer akan terus mendapat posisi yang
strategis dalam pemerintahan.
Kondisi mulai berubah menjelang akhir masa
pemerintahan Soeharto. Pada tahun 1980-an, militer sudah mulai tidak mendukung
kepemimpinan Soeharto. Hal ini dikarenakan perhatian Soeharto kepada militer telah
bergeser kepada kolega-kolega pengusaha yang dekat dengan keluarganya. Hingga pada Mei 1998, Soeharto mundur dari kursi
kepresidenan, terjadi perubahan dalam peran dan fungsi militer. Pemerintahan
mulai dipegang dari sipil, ada perubahan yang dilakukan dalam membatsi peran
militer dalam politik serta banyak terjadi penataan dalam lingkungan internal
partai Golkar ketika Harmoko menjadi ketua umum. Reformasi membuat militer
harus mereformasi diri pula. Namun mendudukan militer dibawah supremasi sipil seperti
yang diungkapkan dalam perspektif teoritis sebelumnya belum terlaksana secara
optimal di Indonesia.
Seperti yang telah diungkapkan bahwa proses
demokratisasi di Indonesia ditandai oleh posisi angkatan bersenjata Indonesia
di bawah otoritas sipil. Di lain pihak, militer Indonesia memandang perannya
dalam kehidupan politik dibenarkan oleh fakta sejarah, dan juga militer tidak
dibentuk oleh pemerintah sipil melainkan rakyat sendiri. Hal ini apabila
dicermati agak bertentangan dengan pengesahan militer menjadi TNI pasca
proklamasi Agustus 1945. Konsep dwifungsi yang dijalankan oleh militer dengan
masuk ke dalam ranah politik masih tetap ada hingga saat ini. Hal ini tidak
lepas dari lamanya militer mendapatkan berbagai privillege dari penguasa orde
baru, yang sekali lagi juga dari
kalangan militer.
·
Orde
Reformasi
Reformasi menciptakan fenomena tersendiri terkait
peran militer dalam politik di Indonesia. TNI terbelah menjadi faksi-faksi yang
saling berlawanan, yang dikategorisasikan sebagai reformis dan konservatif.
Sebagian kecil jendral dalam tubuh TNI secara terbuka mengaku sebagai reformis,
namun mereka harus berhadapan dengan posisi yang kuat dari lawan mereka.
Mayoritas perwira sangat berhati-hati terhadap reformasi. Meskipun mereka
menerima retorika supremasi sipil atas angkatan bersenjata, mereka ragu untuk
merumuskan mekanisme reformasi ini. Mayoritas perwira ini terbagi ke dalam
kelompok garis keras dan kelompok moderat, serta hampir tidak mungkin
membedakan kedua kelompok ini karena sering berubah-ubah dengan cara yang sulit
diprediksikan. Namun yang penting untuk dicermati adalah masih adanya
kecenderungan dalam diri militer untuk masuk atau mengintervensi ke dalam
kehidupan politik.
Dilema yang dihadapi banyak negara, termasuk
Indonesia ketika memulai proses reformasi adalah mana yang harus didahulukan,
membangun kontrol demokratis atau membangun kontrol sipil atas militer. Kontrol
demokratis berarti bahwa struktur komando militer adalah subjek, dan
bertanggungjawab pada lembaga demokratis, seperti parlemen. Sementara itu,
kontrol sipil atas militer ditandai dengan personel non-militer mendominasi
semua proses pertahanan dan pengambilan keputusan militer, seperti keputusan
kebijakan pertahanan, strategi pertahanan dan keamanan nasional, hingga promosi
jabatan. Namun di Indonesia kondisi yang ada menunjukkan bahwa militer bukanlah
subjek bagi otoritas tinggi manapun. Militer memiliki kontrol penuh atas
pengambilan keputusannya sendiri. Kesulitan lain yang muncul adalah menempatkan
pengambilan keputusan militer di bawah kontrol sipil bukanlah tugas yang
sederhana. Kesulitas mendapatkan orang-orang yang ahli dalam hal seputar
militer akan menjadi pembenaran bagi militer untuk tetap menguasai proses
pengambilan keputusan tentang pertahanan. Terlepas dari hal tersebut, tingkat
kontrol sipil atas militer menjadi tolok ukur kedalaman proses demokratisasi di
Indonesia. Bagaimana reformasi mempengaruhi militer di Indonesia dalam
kehidupan politik menjadi sebuah hal yang harus diulas secara mendalam dan
komprehensif.
Reformasi pada tahun 1998 dijadikan sebagai tonggak
untuk masuk ke dalam kehidupan bernegara dan berpolitik yang lebih demokratis.
Kungkungan rezim orde baru selama tiga dekade mulai tergerus arus reformasi.
Banyak tuntutan dari masyarakat untuk membentuk kondisi negara yang lebih baik.
Dalam konteks demokratisasi, masyarakat yang prodemokrasi menuntut dengan amat
kuat agar ABRI (TNI) melakukan reformasi besar-besaran dalam dirinya. Tuntutan
ini dilandasi dengan alasan bahwa militer telah terlibat terlalu jauh dalam
politik serta dianggap sebagai sumber matinya demokrasi di Indonesia. Militer
juga dianggap bertanggungjawab terhadap masalah-masalah seputar HAM di
Indonesia, yang dahulu mengatasanamakan keamanan. Militer juga dianggap terlalu
jauh masuk ke dalam ranah non-pertahanan seperti bisnis yang menyebabkan
profesionalitas TNI menjadi menurun.
Dalam konteks negara demokrasi, TNI diharuskan
menghapus konsep dwifungsi ABRI, yaitu peran dalam bidang pertahanan dan juga
pemerintahan. Demokratisasi yang sedang berjalan mensyaratkan TNI untuk kembali
ke barak dan berfokus pada upaya pertahanan dan keamanan semata tanpa harus
masuk ke ranah politik. TNI kemudian menjadikan tuntutan tersebut sebagai bahan
diskusi internal, dan kemudian menghasilkan empat paradigma baru TNI yang
diumumkan oleh Wiranto. Pertama, militer akan mengubah posisi dan metode untuk
tidak selalu harus di depan dan mendominasi. Posisi yang merekan pada masa orde
baru mereka berikan kepada institusi fungsional yang lebih kompeten. Kedua,
mengubah konsep menduduki menjadi mempengaruhi. Artinya posisi militer yang
dahulu menguasai posisi yang strategis, kini harus dibatasi. Mempengaruhi bukan
berarti mengintervensi, melainkan berkontribusi pada pembangunan. Mengubah cara
mempengaruhi secara langsung menjadi tidak langsung. Hal ini dilakukan untuk
menghindari keterlibatan yang berlebihan pada berbagai kegiatan yang tidak
berkaitan dengan tugas utamanya. Keempat kesediaan untuk secara bersama-sama
melakukan pengambilan keputusan penting kenegaraan dan pemerintahan dengan
komponen bangsa lainnya.
Upaya untuk menjamin proses demokratisasi berjalan
dengan baik telah dilakukan oleh parlemen. MPR melakukan upaya dari segi hukum
dengan mengamandemen pasal 30 UUD 1945. Dalam amandemen tersebut ditegaskan
tugas dari TNI adalah mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan
kedaulatan negara. Selain itu amandemen tersebut juga menggariskan adanya
pemisahan antara isntitusi Polri dan TNI. Hal ini karena tugas mereka yang
berbeda. TNI sebagai alat pertahanan negara, sementara Polri sebagai institusi
yang menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat.
Banyak perwira militer yang kemudian masuk ke dalam
posisi yang strategis dalam komando operasional militer dan badan eksekutif
lainnya. Hal ini juga diperparah dengan lemahnya perhatian kalangan parlemen
mengenai keseriusan penanganan kejahatan kemanusiaan di masa lalu. Hal-hal
inilah yang menyebabkan keberulangan kejahatan kemanusiaan. Hal ini semakin
diperkuat dengan adanya pengadilan militer yang cenderung lunak dalam mengadili
anggota militer yang terlibat kejahatan. Di sini lah sebetulnya diperlukan
peran aktif parlemen dan masyarakat dalam mengusut kejahatan di masa lalu untuk
memberi peringatan bagi pihak-pihak yang mau melakukan hal yang sama di masa
kini.
Selain sibuk masuk ke dalam ranah politik, militer
juga masuk ke dalam dunia bisnis. Hal ini tidak lepas dari kondisi orde baru
yang memberikan ruang sebebas-bebasnya bagi militer untuk berbisnis. Peran
militer dalam bisnis cenderung menghambat bahkan mematikan peran sipil dalam ruang yang
sama. Militer menggunakan hak-hak istimewa dari pemerintah untuk mendapatkan
keuntungan finansial yang besar dari bisnis, sehingga mereka enggan
melepaskannya terutama dalam upaya reformasi TNI. Selain itu, karena terlalu
sibuk dalam bisnis, militer melupakan misi utamanya yaitu menjaga pertahanan
dan kemanan. Masuknya militer ke dalam ranah non-pertahanan seperti politik dan
bisnis benar-benar menumpulkan profesionalitas militer. Selain itu, hal
tersebut juga menyebabkan kemerosotan dalam hal teknologi, seperti dalam
alutsista. Hal ini menyebabkan fungsi pertahanan yang seharusnya dilakukan oleh
TNI menjadi terbengkalai dan menyebabkan negara ini rawan mendapat serangan
baik dari luar maupun dari dalam.
·
Peran
Politik satuan Militer di Masa Depan
Secara
konseptual, TNI berusaha mendekonstruksi mengenai peran politik mereka. Mereka
menyebutnya sebagai ‘politik negara’. Politik negara mengandung makna bahwa
militer tidak terlibat dalam politik praktis, namun masih memiliki peran
politik. Peran politik TNI pasca orde baru berkaitan dengan penggunaan hak
pilih dan dipilih dalam pemilu.
Hak
pilih dan dipilh bagi militer memang mengundang perdebatan bagi sejumlah pihak.
Adanya hak memilih dikhawatirkan dapat memecah belah soliditas internal TNI. Di
kalangan sipil, terdapat kekhawatiran bahwa ketika TNI itu memiliki hak untuk
memilih akan membuat TNI cenderung mendukung kekuatan politik tertentu. Hak
politik tersebut (memilih dan dipilih) dapat saja diberikan kepada TNI ketika
sudah terjadi perubahan-perubahan besar-besaran atau reformasi di tubuh TNI.
Presiden SBY bahkan menyatakan masih belum memberikan persetujuan diberikannya
hak memilih mengingat reformasi internal di kalangan internal TNI belum
selesai. Pemberian hak politik kepada TNI dan Polri saat ini bisa saja membuat
TNI dan Polri terseret ke kancah politik ketika hak pilih itu diberikan. Hal
ini juga tidak lepas dari persaingan antara purnawirawan TNI dalam perebutan
kekuasaan.
Pertanyaan
kemudian yang muncul adalah kapan hak politik TNI dan Polri akan diberikan. Ada
tiga kondisi yang memungkinkan diberikannya hak politik TNI dan Polri. Pertama,
ketika reformasi di tubuh TNI mendekati fase tuntas. Kedua, terdapat penerimaan
oleh kelompok prodemokrasi (masyarakat sipil). Ketiga, manakala TNI dan Polri
mampu membangun jarak dengan para politisi, termasuk dengan para purnawirawan
yang terlibat dalam persaingan untuk memperebutkan dan mempertahankan
kekuasaan.
Berdasarkan
hal tersebut, untuk kedepannya menurut Moeldoko, baik dalam uji kelayakan di
DPR maupun kepada pers, menegaskan, TNI akan netral. Anggota TNI yang terlibat
secara fisik atau meminjamkan fasilitas kepada partai politik akan dicopot.
Kepala Staf TNI AD Jenderal Budiman juga mengatakan hal yang sama. Secara
nonformal, perwira kerap menyatakan tidak ingin campur tangan pada politik.
Ada
trauma di dalam TNI, khususnya TNI AD, akan keterlibatan mereka di politik pada
masa Orde Baru. TNI AD yang membawa Soeharto memegang tampuk pemerintahan
selama 32 tahun justru akhirnya dikhianati dan disandera Soeharto. Semua
dibelokkan Soeharto untuk berpusat pada dirinya, termasuk dwifungsi ABRI itu
sendiri. Adanya perbedaan faksi di dalam tubuh TNI antara yang ingin mengkritik
Soeharto dan ikut serta dalam rezimnya, menimbulkan keretakan dalam tubuh TNI.
Alih-alih menjalankan peran mulianya sebagai tentara rakyat, ABRI menjadi
tentara politik. Hadirnya capres dari kalangan purnawirawan militer membuat
peta pertarungan yang dinamis. Saat ini, ada dua nama yang menonjol jaringan
dan logistiknya, yaitu Prabowo Subianto dan Pramono Edhie Wibowo. Keduanya dari
Kopassus. Edhie (Akmil 80) pernah menjadi anak buah Prabowo (Akmil 73) yang
tentunya menyisakan banyak cerita.
Sebagai
harapan untuk kedepannya, netralitas TNI dalam politik bisa dibuktikan dengan
konsistensinya sebagai tentara profesional yang mumpuni. Ancaman di masa depan
begitu kompleks sehingga yang dibutuhkan tidak hanya tentara yang hebat, tetapi
juga persatuan dengan rakyat. Persatuan ini penting untuk membentuk sistem
keamanan nasional yang memosisikan Indonesia secara terhormat di tingkat
regional ataupun global.
C.
Peran Partai Politik
·
Era
orde baru
Di
zaman orde baru peran partai politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
mencoba ditata melalui UU no. tahun 1973, partai politik yang jumlahnya cukup
banyak ditata menjadi 3 kekuatan politik yang terdiri dari 2 parta politik
yaitu PPP dan PDI serta 1 Golkar. Namun penataan partai politik tersebut tidak
membuat semakin berperanya partai politik sebagai sarana aspirasi politik
rakyat dalam pembuatan keputusan. Partai politik yang diharapakan dapat
mewadahi aspirasi politik yang natinya akan menjadi kebijakan public tidak
terwujud. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kebijakan politik yang dihasilkan
pada pemerintahan orde baru ternyata kurang memeperhatikan aspirasi politik
rakyat dan cenderung merupakan sarana legitimasi penguasa dan kelompok
tertentu. Pada masa ini partai politik hampir tidak memiliki peranan berarti,
politik sama sekali tidak ditempatkan sebagai kekuatan politik namun lebih pada
mesin politik pemerintah dan sebagai assesoris demokrasi.
·
Era
reformasi
Di masa inilah partai politik, mendapatkan
ruang yang luas untuk mewujudkan diri sebagai organisasi yang memiliki
peran dan fungsi memobilisasi rakyat atas nama kepentingan-kepentingan politik
sekaligus memberi legitimasi pada proses-proses politik, di antaranya adalah
tentang “suksesi” kepemimpinan nasional. Namun harapan ini membentur pada
konflik antara partai politik dimana dalam pemilu 1999, terjadi
penolakan terhadap Habibie juga Megawati Soekarnoputri dari satu kelompok
terhadap kelompok yang lainnya. Ini artinya partai politik menyuarakan
kepentingan rakyat akan tetapi secara dalam hubungan dengan partai berada dalam
masalah ketidak profesionalan. Penolakan terhadap Habibie sebagai representasi
penolakan terhadap “Orde Baru”, yang memiliki kaitan kuat dengan Soeharto.
Sementara terhadap Megawati, penolakan dilakukan oleh partai-partai Islam
beserta Golkar yang memanfaatkan isue “haram” presiden wanita. Gerakan “asal
bukan” Habibie atau Megawati yang akhirnya melahirkan bangunan aliansi
partai-partai Islam (PAN,PPP,PBB, dan Partai Keadilan) yang dikenal kala itu
sebagai kelompok “Poros Tengah”.
Bangunan aliansi yang dilakukan
poros tengah yang kemudian menyeret PKB untuk menghianati PDI Perjuangan dan
mengusung K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden Republik Indonesia
setelah Habibie. Namun dalam perjalanannya, keakraban Amien Rais (sebagai
pemimpin poros tengah) dan Gus Dur terberai kembali akibat dari
perbedaaan-perbedaan kepentingan politik yang dilakukan masing-masing.
Pada keterberaian ini pula yang
meruntuhkan legitimasi politik Gus Dur sebagai Presiden, walaupun disisi lain,
terdapat berbagai kepentingan politik yang ikut meramaikannya seperti
kepentingan politik militer, PDI Perjuangan, kelompok penguasa “korporatisme”
nasional yang dihegemoni Soeharto atau Orde Baru, termasuk kepentingan modal
asing atau Negara lain (seperti Amerika Serikat, Uni Eropa) yang terusik atas
beberapa kebijakan ekonomi nasional yang dilakukan Kabinet Gus Dur serta dari
kelompok kepentingan ideologis yang radikal untuk mengubah konsepsi Indonesia
menjadi berkarakter politik Islam atau demokrasi Liberal.
Dari tarikan kepentingan kekuasaan
“suksesi” nasional yang dilakukan para elite, yang selanjutnya membangun
perspektif tersendiri dalam konflik-konflik konstitusi di Indonesia. Seperti
dalam kejatuhan K.H. Abdurrahman Wahid memperkuat perlunya tindakan “amandemen”
atas UUD 1945, karena konstitusi tersebut membuka perseteruan “interpretasi”
dan dianggap menjadi sumber kekacauan ketatanegaraan di Indonesia. Terlebih
pada perdebatan sistem politik Indonesia , apakah presidensil atau parlementer?
Dalam kasus Gus Dur, sistem presidensil versi UUD 1945 terbukti rentan, dan
bisa terdeviasi pada sistem parlementer.
Maka dari sistem yang mendua, MPR
periode 1999-2004 melakukan perubahan terhadap UUD 1945 dalam kekuasaan
politik Soeharto tindakan amandemen merupakan tindakan yang diharamkan walau
terdapat beberapa amandemen yang ditengarai tidak sejalan dengan keinginan
rakyat terutama mengenai pasal-pasal politik yang krusial, bahkan beberapa
pasal-pasal yang diamandemen meletakan pada bentuk “konspirasi” demi
kepentingan dan penyelamatan terhadap kelompok-kelompok tertentu. Dan tidaklah
menjadi aneh jika dimasa Megawati (pasca Gus Dur) dalam pidato kenegaraannya 16
Agustus 2001 mengusung “komisi konstitusi”, yang berkembang di Sidang Tahunan
MPR 2001 dan memunculkan perbedaan tajam antara sikap “konservatisme” di
majelis karena kegagalannya membentuk komisi dan tidak mampu melakukan
perubahan-perubahan atas pasal-pasal krusial. Padahal tanpa komisi konstitusi
independent akan menjadi kesulitan untuk dapat menghasilkan dasar-dasar
berbangsa dan bernegara yang lebih demokratis serta mencerminkan kepentingan
rakyat.
Kemudian dalam kepemimipinan
Megawati Soekarno purti kekuatan kepartaian terus menguat terutama persaingan
politik antara aliran politik nasionalis dan aliran politik agamis. Golongan
Karya bagaimanapun juga mempunya hubugan historis yang tidak perna berbarengan
degan PDI - Perjuangan.Kekuatan nasionalis terpecah menjadi dua bagian.Peluang
ini di manfaatkan kelopok nasionalis lainnya untuk menaikan citra politik
masanya dengan melakukan pembusukan dari luar terhadap partai-partai lama yang
berkuasa .Dalam pemilihan Umum 2004 Partai Nasionalis aliran nasionalis –
religus yakni demokrat memenagkan pemilihan presiden secara langsung.
SBY – JK Golkar memainkan JK sebagai
calon dari partai Golkar dan kolaborasi yang menarik mernjadi kekuatan yang
cukup sepurna dan Persoalan lain adalah degan adanya partai politik yang
terlalu banyak dalam pemilu setelah selesai pemilihan umum presiden dan
legislatif dan eksekutif di puat daerah propinsi,kabupaten/kota mengalami masalah
yang berkebanjangan yang kemudian berdampak pada tindakan-tindakan kekerasan
yang terjadi hamper di seluruh Indonesia.Dengan sejumlah masalah yang banyak
dalam dalam pemilihan-pemilihan umum partai politik di Indonesia mendapat
riuang yang besar dan menda[patkan pemasukan dari para kandidikat yang maju
menjadi calon di legislattif maupun di eksekutif.Peran partai politik
semakin kuat dabn semakin tidak terkontrol dalam pemilihan umum 2009
Partai politk tetap menjadi lembaga yang sakral untuk menentukan karir politik
para politisi yang hendak mencalonkan diri.Karena partai politik sudah menjadi
lembaga yang moderat di pemilihan umum 2009 untuk pemilihan presiden SBY
merangkul orang netral dan sebagai ekonom dan itu adalah suatu strategi yang
menarik sehingga dalam pemilihan umum 2009 SBY - Boediyono menang dalam
pemilihan umum 2009 dan yang menjadi pertanyaan hingga hari ini partai demokrat
menang dalam pemilihan umum 2009 dari mana kemenagan itu dan bagaimana
kemenagan itu sampai hari ini pertanyaan itu menjadi misterius dan belum ada
jawabannya.Kasus Cikias di angkat dalam rangkaian menjawab pertanyaan itu akan
tetapi kasus cikias menghilang begitu saja.Kasus Ceanturypun demikian ,Kasus
Mafia Pajakpun demikian dan berbagai kasus korupsi di masa kepemimpina SBY-JK
dan SBY-Boediyono saat ini.
Partai politik menjadi kendaraan
politik yang mempunyai legitimasi yang kuat akan tetapi kepentingan rakyat
sudah tidak lagi terlihat secara nyata oleh karena partai politik menjadi alat
elit politik.
·
Perbandingan peran partai poitik di
era, kemerdekaan, orde lama, orde baru dan era baru
Rekomendasi
Melihat peranan partai politik yang
sangat signifikan dalam sisitem demokrasi di Indonesia, perlu adanya perbaikan
dalam tubuh partai politik Indonesia. Peran yang sedemikian besar dalam
demokrasi di Indonesia justru berbanding
terbalik dengan kinerja partai politik saat ini, yang hanya focus pada
perebutan kekuasaan dan kepentingan kelompok yang hanya bekerja pada saat menjelang
pemiihan umum serta mengabaikan fungsi utama partai politik. Oleh karena itu
diharapakan partai politik mampu menjalankan fungsi sebagai sarana komunikasi
politik, sarana sosialisasi politik, serta rekuitmen politik.
Sebagai sarana komunikasi politik,
kader-kader partai politik yang ada legisatif harus selalu intensive dalam
melakukan komunikasi dengan masyarakat yang diwakilinya, mereka harus melakukan
pertemuan rutin dengan para konstituen sehingga wakil rakyat yang ada di
legislative benar-benar mewakili suara
rakyat. Dalam hal ini partai politik memiiki peran untuk mengontrol
kader-kadernya sehingga peran partai poitik sebagai jembatan atau sarana
komunikasi antar rakyat dan pemerintah berjalan dengan baik.
Sedangkan sebagai sarana sosialisasi
politik, partai politik harus selalu aktif memberikan sosialisasi terhadap
masyarakat akan kepedulian dan kesadaran politik, dalam hal ini partai politik
tidak hanya bekerja ketika tahun-tahun menjelang pemilu saja, tapi partai
politik juga terus bekerja sepanjang tahun karna partai politik bertanggung
jawab dalam melakukan pendidikan politik terhadap seluruh warga negara demi
kemajuan sistem demokrasi yang ada.
Sebagai sarana rekuitmen politik,
ini merupakan fungsi partai politik yang
paling penting dalam sistem demokrasi, baik buruknya suatu pemerintahan
tergantung actor-aktor yang menjalankanya. Oleh karena itu partai politik harus
selektif dalam melakukan rekuitmen, tidak hanya melakukan hal pragmatis demi
kepentingan kelompok saja. Diharapkan partai politik mampu menyeleksi dan
mendidik kader-kader yang militan yang siap untuk mengabdikan dirinya terhadap
pemerintahan sehingga pemerintahan yang ada benar-benar dikendalikan oleh
orang-orang yang berkualitas bukan orang-orang karbitan.
Jika partai politik mampu
menjalankan fungsinya dengan baik maka cita-cita yang ada dalam pembukaan dalam
undang-undang dasar dan niai-nilai dalam pancasila bukan hanya sekedar harapan,
bukan hanya sekedar hayalan tapi akan benar-benar dapat dirasakan.
D.
Kondisi Kesejahteraan Masyarakat Indonesia Masa Orde Baru dan Masa Reformasi
· Orde Baru
Kebijakan
pemerintah pada masa Orde Baru adalah dengan Rencana Pembangunan Lima Tahunan
(Repelita) yang telah berjalan selama 6 periode (hingga Repelita VI). Pada
Repelita I, pembangunan difokuskan pada stabilitas ekonomi dengan melakukan
pengendalian inflasi dan penyediaan kebutuhan pangan dan sandang dalam jumlah
yang cukup. Repelita II difokuskan kepada peningkatan kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat melalui upaya peningkatan ketersediaan lapangan kerja.
Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu prioritas utamanya,
guna mendorong terciptanya lapangan kerja. Fokus Repelita III diletakkan kepada
swasembada pangan, peningkatan ekspor nonmigas dan pengupayaan terjadinya
pemerataan hasil-hasil pembangunan. Pada Repelita III ini dilakukan berbagai
upaya untuk memperlancar proses transisi ekonomi, dari sektor pertanian ke
industri. Repelita IV ditujukan kepada upaya peningkatan kemampuan ekonomi
dalam negeri dengan mengurangi ketergantungan pada sektor migas dan mendorong
ekspor nonmigas. Hal ini juga merupakan reaksi atas memburuknya perekonomian
dunia dan neraca pembayaran Indonesia pada Repelita III. Disamping itu,
diupayakan juga peningkatakan industri manufaktur dengan tetap memperhatikan
peningkatan kesempatan kerja. Dalam periode ini dilakukan perbaikan di sektor
riil maupun moneter, melalui berbagai kebijakan seperti melakukan evaluasi
untuk mendorong ekspor, deregulasi perbankan untuk memobilisasi dana masyarakat
melalui tabungan domestik, deregulasi sektor riil untuk mengurangi hambatan
tarif dan memacu infestasi. Fokus Repelita V tidak jauh berbeda dengan fokus
Repelita IV, yakni mengupayakan peningkatan kemampuan dalam negeri. Pemerintah
juga berupaya meningkatkan kemampuan berusaha bagi seluruh warga dengan menghilangkan
berbagai kendala yang dapat menghambat keikutsertaan masyarakat dalam
pembangunan. Deregulasi sektor riil dan sektor moneter terus dilakukan untuk
mendorong tercapainya perekonomian yang lebih efisien. Fokus Repelita VI
ditujukan kepada pemantapan dan penataan industri nasional, peningkatan
diversifikasi usaha dan hasil pertanian serta peningkatan ekstensifikasi dan
intesifikasi pertanian yang didukung oleh industri pertanian. Peningkatan dan
pemantapan koperasi, peningkatan peran pasar dalam negeri serta perluasan pasar
luar negeri. Disamping itu dilakukan pula peningkatan pemerataan yang meliputi
peningkatan kegiatan ekonomi rakyat, kesempatan usaha, lapangan kerja serta
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan rakyat (NN: 2012).
Di masa pemerintahan Orde Baru, kebijakan pemerintah senantiasa
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan untuk ini diperlukan kelompok
masyarakat profesional-spesialis-bisnis yang hanya menyangkut kelompok
minoritas tetapi menyedot bantuan pengucuran dana pemerintah yang sangat
besar. Keberhasilan kebijakan pemerintah ini telah terbukti hasilnya karena
hampir selama Pelita V pertumbuhan ekonomi mencapai (7%) setiap tahunnya.
Sementara itu kelompok masyarakat mayoritas kurang diberdayakan sehingga
pertumbuhan usaha ekonomi rakyat kurang dapat berkembang dan akhirnya dapat
dilihat gap antara golongan minoritas kaya dengan mayoritas miskin menjadi
sangat lebar. Kondisi ini disusul dengan adanya gejolak ekonomi moneter yang
utamanya melanda negara-negara ASEAN sehingga ekonomi Indonesia menjadi
terpuruk sampai saat ini. Sementara itu pula bangunan ekonomi rakyat berupa
usaha kelompok ekonomi produktif belum dipersiapkan dengan baik. Hal ini
ditandai dengan dikuasainya 58% PDB Indonesia oleh kurang lebih 200 konglomerat
terbesar di negara ini, sedangkan BUMN dan usaha menengah menguasai 24% dan
10%, sisanya (8%) dikuasai oleh 34 juta usaha kecil. Pada perkembangan sektor
industri, selama ini terfokus pada industri padat modal, yang berdampak pada
membengkaknya pengeluaran sekitar 82%. Sebaliknya di bidang ketenagaan
ditengarai bahwa sektor ini hanya mampu menampung 33% jumlah tenaga kerja di
bidang industri, sedangkan 67% yang lainnya ditampung oleh industri kecil dan
rumah tangga yang hanya membutuhkan keluaran sebanyak 18% (Zain, 2011: 80-81).
· Masa Reformasi
Pada masa
reformasi, tepatnya masa sekarang, subsidi umum yang ditransformasi menjadi
pengurangan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) kini diturunkan menjadi suatu
program pengurangan kemiskinan. Program-program pengurangan kemiskinan tersebut
dibagi ke dalam beberapa kelompok. Salah satu kelompok tersebut adalah rumah
tangga. Kelompok ini terdiri dari beberapa program bantuan sosial, antara lain
Raskin, Jamkesmas, Bantuan Siswa Miskin (BSM), dan Program Keluarga Harapan
(PKH) (Perdana, 2014: 4).
Raskin (Beras Miskin) adalah suatu skema bantuan sosial yang merupakan
bagian dari program jaring pengaman sosial pada awal tahun 1998. Dasar
pemikiran dari ‘Beras OPK’, nama program ini sebelumnya, adalah untuk memasok
pasar dengan beras bersubsidi di sejumlah titik distribusi di seluruh negeri
sehinggga rumah tangga yang berpendapatan rendah tetap mampu membeli beras
tersebut. Kemudian, ketika ekonomi membaik, pemerintah meneruskan program ini
dan mengganti nama program ini menjadi Raskin. Saat ini, Raskin menyasar
sekitar 15 juta rumah taangga (25% masyarakat termiskin), meskipun pada suatu
titik sempat dialokasikan untuk 20 juta rumah tangga. (Perdana, 2014: 9).
Seperti Raskin, Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) berasal dari era
jaring pengaman sosial tahun 1998. Pada tahun 1998, pemerintah pusat
membebaskan biaya untuk rawat jalan dan rawat inap di Puskesmas, atau Kelas III
di rumah sakit pemerintah, bagi warga miskin yang memegang surat keterangan
dari kepala desa. Skema ini disebut sebagai JPK Gakin (Jaring Pengaman
Kesehatan untuk Warga Miskin). Setelah krisis, antara tahun 2004 dan 2007
program tersebut disebut Askeskin (Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin)
dan dijalankan oleh perusahaan asuransi pemerintah, PT Askes. Sejak tahun 2008,
Kementrian Kesehatan, yaitu lembaga pemerintah pusat yang bertanggung jawab
atas program tersebut, mengakhiri perjanjian dengan PT Askes dan menjalankan
Jamkesmas di bawah program yang didanai negara. Saat ini, Jamkesmas menyasar
76,4 juta masyarakat Indonesia, yaitu sekitar 30 persen dari populasi total
masyarakat Indonesia (Perdana, 2014: 10).
BSM (Bantuan Siswa Miskin) adalah program bantuan dana tunai untuk siswa
dari keluarga miskin yang sedang bersekolah di tingkat SD, SMP dan SMA. Program
ini diperkenalkan pada tahun 2008, dan memberikan uang tunai sejumlah Rp360.000
(US$36) hingga Rp1.000.000 (US$100) per siswa per tahun, tergantung dari
tingkat sekolah. Jumlah ini dimaksudkan untuk menutupi pengeluaran terkait
sekolah selain uang sekolah, khususnya biaya transportasi. Pada tahun 2008, BSM
memberikan bantuan kepada sekitar 3 juta siswa di seluruh tingkatan SD, SMP dan
SMA. Pada akhir tahun 2013, program ini sudah menyasar 8 juta siswa. Pada paruh
kedua tahun 2013, menyusul kenaikan harga bahan bakar, BSM diperluas lebih jauh
hingga menyasar seluruh siswa dari rumah tangga di dasar 25 persentil, yang
mana setara dengan 15,4 juta siswa (Perdana, 2014: 10).
Pada tahun 2007 pemerintah meluncurkan Program Keluarga Harapan (PKH) di
tujuh provinsi yang menjangkau 350.000 keluarga. PKH menyasar rumah tangga di bawah 7-10 persen (yang mana dikategorikan
sebagai ‘sangat miskin’) yang terdiri setidaknya dari kategori berikut: ibu
hamil; anak di bawah usia 6 tahun; anak usia sekolah dasar (7-12 tahun); atau
anak usia SMP (12-15 tahun). Rumah tangga PKH harus memastikan bahwa ibu hamil
mengunjungi pusat layanan kesehatan setidaknya empat kali sepanjang masa
kehamilan; dan bahwa anak dengan usia di bawah 6 tahun mengunjungi klinik
kesehatan untuk mengukur bobot dan tingginya sekaligus menerima vitamin dan
imunisasi yang terjadwal, dan bahwa anak pada usia sekolah akan dapat masuk
sekolah dan menjaga kehadirannya di sekolah minimal 85 persen setiap bulannya.
Pada tahun 2013, PKH sudah beroperasi di 70 persen kabupaten di Indonesia.
Program ini menjangkau 2,4 juta rumah tangga, dan akan diperluas hingga
menjangkau 3,2 pada tahun 2014. Rumah tangga dapat menerima hingga Rp2.800.000
per tahun (US$280), tergantung pada berapa banyak anggota keluarganya yang
terdaftar di PKH, dan jika mereka benar-benar memenuhi semua syarat kelayakan.
Rumah tangga PKH pada tahun 2013 rata-rata menerima Rp1.400.000 (US$140) per
tahun (Perdana, 2014: 11).
Prospek Kesejahteraan Masyarakat
Indonesia Mendatang
Dari kedua era di atas, ketimpangan antarwilayah menjadi
salah satu isu utama untuk mempertahankan kesejahteraan masyarakat Indonesia ke
depan. Perbedaan rata-rata Indeks Pembangunan Manusia (IPM) antara wilayah
Sumatera dan Jawa-Bali dengan Nusa Tenggara-Maluku-Papua tidak pernah kurang
dari 5 angka. Artinya, ketertinggalan wilayah timur Indonesia masih relatif
tinggi. Hal serupa ditunjukkan Indeks Kesejahteraan (IK) yang disusun Litbang
Kompas. Ketimpangan antarwilayah menjadi warna utama dari potret kesejahteraan
Indonesia. Jawa-Bali menjadi wilayah dengan IK terbaik. Sementara Nusa
Tenggara-Maluku-Papua tetap yang terburuk. Tahun 2012 rata-rata IK Jawa-Bali
69,4, berselisih 12,8 poin di atas rata-rata gabungan enam provinsi di bagian
timur Indonesia. Laju IPM dan IK tidak lepas dari kinerja ekonomi, pendidikan,
kesehatan, dan infrastruktur dasar di setiap wilayah. Semakin baik kinerjanya,
semakin tinggi pula probabilitas IPM dan IK tumbuh lebih cepat.
Karakteristik wilayah mungkin memiliki pengaruh kinerja
wilayah. Namun, yang jelas, distribusi anggaran sebagai salah satu determinan
utama kinerja pun ternyata masih timpang. Berdasarkan data Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD), Jawa-Bali mendominasi anggaran untuk fungsi-fungsi
terkait ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Tahun 2012 wilayah ini mengambil
sekitar 31 persen dari total anggaran untuk fungsi ekonomi. Bahkan, untuk
fungsi pendidikan dan kesehatan mencapai 44 dan 46 persen.
Hingga kini, pembangunan manusia, yang menjadi representasi
kesejahteraan rakyat, menjadi salah satu pekerjaan rumah terberat. Sayangnya,
para pengambil kebijakan masih saja bersilang pendapat mengenai prioritas
perbaikan. Upaya untuk mendorong konvergensi antarwilayah hanya menjadi isu
minor dan kian terabaikan. Tanpa pemerataan anggaran dan inisiatif perbaikan
yang kuat, sulit rasanya menjadikan Indonesia negara terdepan dalam pembangunan
manusia. Ringkasnya, jalan menuju Indonesia yang sejahtera masih panjang.
Inilah tantangan bagi presiden Indonesia mendatang.
E.
Partisipasi
Masyarakat dalam Politik
Peran serta atau partisipasi masyarakat
dalam politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk turut serta
secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pimpinan negara, dan
secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah, ‘public
policy’. Secara konvensional kegiatan ini mencakup tindakan seperti: memberikan
suara dalam pemilihan umum, ‘voting’; menghadiri rapat umum, ‘campaign’;
menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan; mengadakan
pendekatan atau hubungan, ‘contacting’
dengan pejabat pemerintah, atau anggota parlemen dan sebagainya (Budiardjo,
2008).
Partisipasi bisa bersifat individual
atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik, secara damai
atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif. Fungsi
utama partai politik adalah mencari dan mempertahankan kekuasaan guna
mewujudkan program-programnya berdasarkan ideologi tertentu. Cara yang
digunakan partai politik dalam sistem politik demokratis untuk mendapatkan
dan/atau mempertahankan kekuasaan itu adalah dengan melalui mekanisme pemilihan
umum. Terkait dengan tugas tersebut maka menjadi tugas partai politik untuk
mencari dukungan seluas-luasnya dari masyarakat agar tujuan itu dapat tercapai.
Cara lain dalam mendorong partisipasi
masyarakat terhadap pemilu melalui penguatan partai politiknya. Argumentasinya,
bahwa partai politik diwajibkan melakukan pendidikan politik. Bukan malahan
partai politik mengarahkan pemilih dengan metode politik instan, yaitu
pemberian uang. Ketika pola atau cara ini masih direproduksi terus menerus,
bisa dipastikan nilai dan pemahaman masyarakat terhadap partisipasi menjadi
mengecil hanya dihargai dengan uang. Bukan karena kesadaran sendiri untuk
memilih partai karena kinerja serta keberpihakannya dalam momentum pemilu.
Demikian pula halnya jika seseorang mau
terlibat aktif dalam kegiatan pertisipasi politik menurut Davis terdapat tiga unsur, yaitu: (1) Adanya
penyertaan pikiran dan perasaan, (2) adanya motivasi untuk berkontribusi, serta
(3) adanya tanggung jawab bersama. Karena esensinya partisipasi berasal dari
dalam atau dari diri sendiri masyarakat tersebut. Artinya meskipun diberi
kesempatan oleh pemerintah atau Negara tetapi kalau kemauan ataupun kemampuan
tidak ada maka partisipasi tidak akan terwujud.
Di samping itu ada bentuk-bentuk
partisipasi politik sebagaimana dikemukakan Sulaiman (1998), bahwa
bentuk-bentuk partisipasi politik adalah sebagai berikut: (1) partisipasi dalam
kegiatan bersama secara fisik dan tatap muka; (2) partisipasi dalam bentuk
iuran uang, barang, dan prasarana; (3) partisipasi dalam proses pengambilan
keputusan; serta (4) partisipasi dalam bentuk dukungan. Selanjutnya Sulaiman
mengatakan ada beberapa jenis partisipasi politik yaitu (1) partisipasi pikiran, “psychological
participation”, (2) partisipasi tenaga, ‘physical participation’, (3)
partisipasi pikiran dan tenaga, ‘psychological and physical participation’; (4)
partisipasi keahlian, ‘participation with skill’, (5) partisipasi barang,
‘material participation’, dan (6) partisipasi uang/dana, ‘money participation’.
Kesempatan berpartisipasi berasal dari
luar masyarakat. Demikian pula walaupun kemauan dan kemampuan berpartisipasi
oleh masyarakat ada tetapi kalau tidak diberi kesempatan oleh pemerintah Negara
maka partisipasi tidak akan terjadi. Oleh karena itu tiga hal tersebut kemauan,
kemampuan maupun kesempatan merupakan factor yang sangat penting dalam
mewujudkan partisipasi. Selama ini kegiatan partisipasi masyarkat masih dipahami
sebagai upaya mobilitasi masyarakat untuk kepentingan Pemerintah atau Negara.
Padahal sebenarnya partisipasi idealnya masyarakat ikut serta dalam menentukan
kebijakan Pemerintah yaitu bagian dari control masyarakat terhadap kebijakan
Pemerintah.
Dengan demikian implementasi partisipasi
masyarakat seharusnya anggota masyarakat merasa tidak lagi menjadi obyek dari
kebijakan pemerintah tetapi harus dapat mewakili masyarakat sendiri untuk
kepentingan mereka sendiri.
Partisipasi Masyarakat
Dalam Pemilu
Dalam analisis politik modern
partisipasi politik merupakan suatu masalah yang penting dan akhir-akhir ini
banyak dipelajari terutama hubungannya dengan Negara berkembang. Sebagai
definisi umum dapat dikatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan
seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan
politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan Negara secara langsung atau
tidak langsung, memengaruhi kehidupan kebijakan (public policy).
Setiap perhelatan demokrasi atau
pemiihan umum yang diselenggarakan oleh Negara Republik Indonesia memiliki
dampak terhadap perkembangan kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Para
elit politik sejatinya memberikan pendidikan politik yang cerdas kepada
masyarakat agar kesadaran berdemokrasi semakin tinggi dari berbagai kalangan.
Kesadaran berdemokrasi tersebut akan tinggi jika partisipasi masyarakat dalam
memberikan haknya juga tinggi.
Karena itu, kesadaran masyarakat
untuk berpartisipasi secara positif dalam sistem politik yang ada, jika
seseorang tersebut merasa dirinya sesuai dengan suasana lingkungan dimana dia
berada. Apabila kondisi yang terjadi adalah sebaliknya, maka akan lahir sikap
dan tingkah laku politik yang tampak janggal atau negatif, misalnya jika
seseorang sudah terbiasa berada dalam lingkungan berpolitik yang demokratis,
tetapi dia ditempatkan dalam sebuah lingkungan masyarakat yang feodal atau
tidak demokratis maka dia akan mengalami kesulitan dalam proses beradaptasi.
Meningkatnya keterlibatan
masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu), menunjukan semakin
kuatnya tatanan demokrasi dalam sebuah negara. Demokrasi menghendaki adanya
keterlibatan rakyat dalam setiap penyelenggaraan yang dilakukan negara. Rakyat
diposisikan sebagai aktor penting dalam tatanan demokrasi, karena pada
hakekatnya demokrasi mendasarkan pada logika persamaan dan gagasan bahwa
pemerintah memerlukan persetujuan dari yang diperintah. Keterlibatan masyarakat
menjadi unsur dasar dalam demokrasi. Untuk itu, penyelenggaraan pemilu sebagai
sarana dalam melaksanakan demokrasi, tentu saja tidak boleh dilepaskan dari
adanya keterlibatan masyarakat.
Partisipasi politik akan berjalan
selaras manakala proses politik berjalan secara stabill. Seringkali ada
hambatan partisipasi politik ketika stabilitas politik belum bisa diwujudkan,
karena itu penting untuk dilakukan oleh para pemegang kekuasaan untuk melakukan
proses stabilisasi politik. Disamping itu pula proses berikutnya melakukan
upaya pelembagaan politik sebagai bentuk dari upaya untuk memberikan kasempatan
kepada masyarakat untuk mengaktualisasikan cita-citanya.
Partisipasi politik tidak lebih
dari keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan, atau juga
dijelaskan secara subtantif bisa berarti upaya atau usaha terorganisir oleh
konstituen atau warga Negara yang baik untuk memilih para pemimpin yang mereka
nilai baik juga. Partispasi ini mereka melakukannya dengan penuh tanggung jawab
terhadap kehidupan bersama dalam lingkup suatu bangsa dan negara. Partisipasi
politik ditekankan pada aspek untuk mendukung kepentingan-kepentingan atau visi
dan misi elit politik tetentu.
Sebagai masyarakat yang bijak kita
harus turut serta dalam proses prmilihan umum dalam rangka menentukan pemimpin
yang akan memimpin kita. Dengan demikian, secara tidak langsung kita akan
menentukan pembuat kebijakan yang akan berusaha mensejahterakan masyarakat
secara umum. Dalam turut berpartisipasi dalam proses pemilihan umum sebagai
masyarakat yang cerdas kita harus mampu menilai calon yang terbaik yang
sekiranya mampu dan mau mendengarkan aspirasi masyarakat agar pembangunan yang
akan dilakukan sesuai dengan keinginan masyarakat dan tidak memilih calon yang
hanya mementingkan diri sendiri atau kelompoknya saja sehingga melupakan
janji-janji yang sudah diucapkan dalam masa kampanye. Sebagai pemilik hak
pemilih dalam pemilu kita jangan sampai menyia-nyiakan hak suara hanya untuk
iming-iming sementara yang dalam artian kita harus memberikan suara kita kepada
calon yang tepat. Ketidakikutsertaan kita sebenarnya justru akan membuat kita
susah sendiri karena kita tidak turut memilih tetapi harus mengikuti pemimpin
yang tidak kita pilih. Partisipasi pemilih dalam pelaksanaan Pemilu mutlak
diperlukan, tanpa adanya partisipasi pemilih, Pemilu hanyalah menjadikan
sebagai objek semata dan salah satu kritiknya adalah ketika masyarakat tidak
merasa memiliki dan acuh tak acuh terhadap pemilihan umum.
A.
Partisipasi
Masyarakat Dalam Pemilu orde lama (1955), Orde baru (1971-1997), Reformasi
(Periode awal 1999), dan Pemilu 2014
Partisipasi politik masyarakat pada
Pemilu rezim Orde Lama (1955), rezim Orde Baru (1971-1997) dan Orde Reformasi
(periode awal 1999) cukup tinggi, yaitu rata-rata diatas 90%, diiringi dengan
tingkat Golput yang relatif rendah, yaitu dibawah 10% (masih dalam batas
kewajaran).
Tingkat partisipasi poitik masyarakat
dalam Pemilu di Indonesia pada Pemilu tahun 1955 mencapai 91,4 % dan jumlah
Golput mencapai 8,6%, pada Pemilu 1971 tingkat partisipasi politik pemilih
96,6% dan jumlah Golput mencapai 3,4 %, Pemilu 1977 dan Pemilu 1982 tingkat
partisipasi politik pemilih 96,5% dan jumlah Golput mencapai 3,5%, pada Pemilu
1987 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 96,4% dan jumlah Golput 3,6%,
pada Pemilu 1992 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 95,1% dan jumlah
Golput mencapai 4,9%, pada Pemilu 1997 tingkat partisipasi politik pemilih
mencapai 93,6% dan jumlah Golput mencapai 6,4%, pada Pemilu 1999 tingkat
partisipasi politik pemilih mencapai 92,6% dan jumlah Golput 7,3%, pada Pemilu
Legislatif tahun 2004 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 84,1% dan
jumlah Golput 15,9%, pada Pilpres putaran pertama tingkat partisipasi politik
pemilih mencapai 78,2% dan jumlah Golput 21,8%, sedangkan pada Pilpres putaran
kedua tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 76,6% dan jumlah Golput
23,4%.
Pada Pemilu Legislatif tahun 2009
tingkat partisipasi politik pemilih semakin menurun yaitu hanya mencapai 70,9%
dan jumlah Golput semakin meningkat yaitu 29,1% dan pada Pilpres 2009 tingkat
partisipasi politik pemilih mencapai 71,7% dan jumlah Golput mencapai 28,3%.
Pada pemilu 2014 berdasarkan survei dari CSIS dan lembaga survei Cyrus Network
telah menetapkan persentase pemilih yang enggan menggunakan hak pilihnya pada
pemilihan umum legislatif 2014. Dari hasil kalkulasi mereka melalui metode
penghitungan cepat partsisipasi masyarakat 75,2 %, dan jumlah golput mencapai
24,8 %. (Sumber: www.merdeka.com)
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat
disimpulkan bahwa sistem politik merupakan sekumpulan berbagai kegiatan suatu
negara yang berkaitan dengan kepentingan umum seperti pengembilan keputusan,
seleksi skala prioritas. Sistem politik di Indonesia diwarnai oleh sistem
pemerintahan. Seperti yang kita ketahui sistem pemerintahan berganti dari masa
kemasa. Salah satunya adalah orde baru, masa ini ditandai dengan kepemimpinan
Soeharto yang otoriter. sistem pemerintahan pada orde baru juga sangat
berpengaruh pada elemen-elemen sistem politik di Indonesia. Elemen-elemen itu
sendiri adalah media, dimana pada masa orde baru media dituntut tunduk pada
pemerintah. Hal ini ditandai dengan adanya SIUPP, fungsi media sebagai jembatan
antara pemerintah dengan rakyat tidak terpenuhi. Media dijadikan alat untuk
pemerintah. Dibidang ketahanan dan keamanan dimana peran militer sangat dominan
pada sistem politik. Peran partai
politik pada masa orde baru kurang memperhatikan aspirasi rakyat dan digunakan
sebagai legitimasi penguasa dan kelompok tertentu. Dalam hal pembangunan dan
kesejahteraan masa orde baru adanya REPELITA yang terbukti dengan pertumbuhan
ekonomi mencapai 7% pada PELITA.
Prospek sistem politik Indonesia dilihat dari elemen-elemen yang berkaitan
yaitu peran media. Media sendiri memiliki peran yang sangat signifikan sebagai
pilar keempat demokrasi di Indonesia dengan berkembangnya teknologi peran
tersebut akan semakin ditunjang. tetapi sayangnya setelah era reformasi hingga
saat ini pers lebih tunduk pada pemilik modal dan partai politik hal ini justru
yang bertolak belakang dengan demokrasi karena seperti yang kita ketahui
pengertian demokrasi sendiri dari, oleh dan untuk rakyat. Apabila media akan
terus seperti itu peran media sebagai pilar tentu akan berubah menjadi
distorsi. Sebagai harapan untuk kedepannya, netralitas TNI dalam politik bisa
dibuktikan dengan konsistensinya sebagai tentara profesional yang mumpuni.
Ancaman di masa depan begitu komplek ssehingga yang dibutuhkan tidak hanya
tentara yang hebat, tetapi juga persatuan dengan rakyat. Persatuan ini penting
untuk membentuk sistem keamanan nasional yang memosisikan Indonesia secara
terhormat di tingkat regional ataupun global. Kemudian
apabila kita ingin melihat prospek bagaimana partisipasi masyarakat dalam
sistem politik bisa dilihat dari keterlibatan masyarakat itu sendiri dalam
pemilu. Hal ini bisa dilihat dari kinerja presiden atau dari kabinet yang ada.
Prospek untuk kesejahteraan pembangunan di Indonesia sendiri Tanpa
pemerataan anggaran dan inisiatif perbaikan yang kuat, sulit rasanya menjadikan
Indonesia negara terdepan dalam pembangunan manusia. Ringkasnya, jalan menuju
Indonesia yang sejahtera masih panjang. Inilah tantangan
bagi presiden Indonesia mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Wartawan Kompas. 2013. Menatap
Indonesia 2014: Tantangan, Prospek Politik
dan Ekonomi Indonesia.
Jakarta: Buku Kompas.
Mahendra, Bayu. 2013. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: Universitas
Islam Indonesia.
Zain, Machmud.
2011. Reformasi Pengentasan Kemiskinan dari Pendekatan Ekonomi ke Pendekatan
Kesejahteraan.Jurnal
Masyarakat Kebudayaan dan Politik. Volume 12, Nomor 4: 79-96.
NN. 2012. Kebijakan
Ekonomi Dimasa Orde Baru (Suatu Retrospektif). Harian Pelita Edisi 22 November 2012.
Perdana, Ari A. 2014. Kesejahteraan
Sosial di Indonesia: Dari Subsidi Bahan Bakar Fosil hingga Perlindungan Sosial
yang Lebih Baik. The International Institute for Sustainable Development.
http://www.merdeka.com,
diakses pada 2 Juni 2015, 16:00 WIB
No comments:
Post a Comment
Silahkan baca dan share