Sistem Politik Indonesia
dalam Perspektif Historis, Struktural-Fungsional, Budaya Politik dan Bisnis
Politik
Disusun Oleh :
Dadan Kadarusman 18811953
Eka Lasmawati 18811943
Gun Gun Candra Gunadih 18811955
Karina Jayanti 18811941
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS GUNADARMA
DEPOK
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Masalah
Politik adalah
aspek dari semua perbuatan yang berkenaan dengan usaha kolektif bagi
tujuan-tujuan kolektif. Politik juga melekat dalam lingkungan hidup manusia.
Baik sadar atau tidak, politik hadir dimana-mana, politik memengaruhi kehidupan
individu maupun kelompok manusia. Di dalam kehidupan politik, sosialisasi
merupakan suatu kunci bagi perilaku politik. Sosialisasi politik merupakan
proses bagaimana memperkenalkan sistem politik pada seseorang dan bagaimana
orang tersebut menentukan tanggapan serta reaksi-reaksinya terhadap
gejala-gejala politik. Sosialisasi politik terjadi pada setiap orang dan daerah
tanpa terkecuali.
Politik selalu
menyangkut tujuan-tujuan dari kepentingan mayarakat. Konsep-konsep pokok yang
terkandung dalam pengertian politik adalah, negara (state), kekuasaan (power),
pengambilan kemputusan (decision making), kebijakan (policy),
serta pembagian (distribution), dan alokasi (allocation). Negara
adalah organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang
sah dan ditaati oleh segenap rakyatnya. Kekuasaan adalah kempuan seseorang atau
kelompok orang untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai
dengan keinginan yang berkuasa.
Politik bertalian
erat dengan kebijakan dan pemerintahan. Bentuk dari budaya politik dalam suatu
masyarakat dipengaruhi antara lain oleh sejarah perkembangan dari sistem
politik. Dalam makalah ini dibahas mengenai sistem politik dalam perspektif:
historis, struktural fungsional, budaya politik, bisnis, dan politik praktik.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, maka rumusan masalah penyusunan makalah adalah sebagai
berikut:
a.
Bagaimana
sistem politik dalam perspektif historis?
b.
Bagaimana sistem
politik dalam perspektif struktural-fungsional?
c.
Bagaimana
sistem politik dalam perspektif budaya politik?
d.
Bagaimana
sistem politik dalam perspektif bisnis?
e.
Bagaimana
sistem politik dalam perspektif politik praktik?
1.3
Batasan
Masalah
Begitu
luasnya sistem politik dalam perspektif: historis, struktural-fungsional,
budaya politik, bisnis, dan politik praktik, maka masalah dibatasi pada
pengertian secara umum dari masing-masing perspektif dan beberapa gambaran
implementasinya dalam kehidupan politik negara Indonesia.
1.4
Tujuan
Penulisan
Tujuan penulisan
makalah ini adalah untuk mengetahun bagaimana sistem politik dalam perspektif:
historis, struktural-fungsional, budaya politik, bisnis, dan politik praktik.
1.5
Manfaat
Penulisan
Manfaat yang
diharapkan adalah dapat menjadi bahan pembelajaran bagi semua pembaca dan
menjadi sumber referensi atas informasi, sehingga mampu meberikan wawasan yang
lebih luas bagi para pembaca.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Sistem Politik Indonesia
Sistem politik
adalah "sistem pengambilan keputusan yang mengikat masyarakat" atau
"sistem pengalokasian nilai-nilai kemasyarakatan dengan secara sah kepada
masyarakat". Kehidupan politik dapat dilibatkan dengan melihat
segi-seginya satu persatu, seperti menyelidiki berfungsinya lembaga-lembaga
politik (partai politik, kelompok kepentingan, pemerintahan, dan voting), juga
mempelajari sifat-sifat dan akibat-akibat dari praktek-praktek politik
(propaganda, manipulasi, kekerasan), atau juga meneliti struktur tempat
terjadinya praktek-praktek seperti tersebut di atas (Mohtar Mas'oed dalam
Sarsito, 2011: 4-5).
Menurut
Drs. Sukarno, sistem politik adalah sekumpulan pendapat, prinsip, yang
membentuk satu
kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan
dengan cara mengatur individu atau kelompok individu satu sama lain atau dengan negara dan
hubungan negara dengan negara. Sedangkan menurut
Rusadi Kartaprawira, sistem politik adalah mekanisme atau cara kerja
seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur politik yang berhubungan satu
sama lain dan menunjukkan suatu proses yang langggeng.
Sistem
politik Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan
dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses
penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi
dan penyusunan skala prioritasnya.
Dalam penyusunan keputusan-keputusan
kebijaksanaan diperlukan adanya kekuatan yang seimbang dan terjalinnya
kerjasama yang baik antara suprastruktur dan infrastruktur politik sehingga
memudahkan terwujudnya cita-cita dan tujuan-tujuan masyarakat/Negara.
Dalam hal ini yang dimaksud suprastruktur
politik adalah lembaga-lembaga negara. Lembaga-lembaga tersebut di Indonesia diatur
dalam UUD 1945 yakni MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial. Lembaga-lembaga ini yang akan
membuat keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Sedangkan infrastruktur politik adalah badan
yang ada di masyarakat seperti Parpol, Ormas, media massa, Kelompok kepentingan
(Interest Group), Kelompok Penekan (Presure Group), Alat/Media Komunikasi
Politik, Tokoh Politik (Political Figure), dan pranata politik lainnya, melalui
badan-badan inilah masyarakat dapat menyalurkan aspirasinya, tuntutan dan
dukungan sebagai input dalam proses pembuatan keputusan. Dengan adanya
partisipasi masyarakat diharapkan keputusan yang dibuat pemerintah sesuai
dengan aspirasi dan kehendak rakyat.
Di Indonesia, sistem politik yang dianut adalah
sistem politik demokrasi pancasila yakni sistem politik yang didasarkan pada
nilai-nilai luhur, prinsip, prosedur dan kelembagaan yang demokratis. Adapun
prinsip-prinsip sistem politik demokrasi di Indonesia antara lain:
1. Pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif dan
yudikatif berada pada badan yang
berbeda.
2. Negara berdasarkan atas hukum.
3. Pemerintah berdasarkan konstitusi.
4. Jaminan terhadap kebebasan individu dalam
batas-batas tertentu.
5. Pemerintahan mayoritas.
6. Pemilu yang bebas.
7. Parpol lebih dari satu dan mampu melaksanakan
fungsinya.
Sebagai
suatu sistem, prinsip-prinsip ini saling berhubungan satu sama lain. Sistem
politik demokrasi akan rusak jika salah satu komponen tidak berjalan atau
ditiadakan. Contohnya, suatu negara sulit disebut demokrasi apabila hanya ada
satu partai politik. Dengan satu partai, rakyat tidak ada pilihan lain sehingga
tidak ada pengakuan akan kebebasan rakyat dalam berserikat, berkumpul dan
mengemukakan pilihannya secara bebas. Dengan demikian berjalannya satu prinsip
demokrasi akan berpengaruh pada prinsip lainnya.
2.2
Sistem
Politik Indonesia dalam Perspektif Historis
2.2.1
Sistem
Politik Pada Masa Orde Lama (1945-1965)
Orde lama adalah sebutan bagi orde pemerintahan sebelum orde baru yang dianggap tidak melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen yang ditandai dengan diterapkannya Demokrasi Terpimpin di bawah kepemimpinan Soekarno. Presiden Soekarno sebagai tokoh sentral orde lama adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, bahkan ia bertindak sebagai pemimpin besar revolusi.
Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia masuk dalam suatu babak kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Dalam perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia mengalami berbagai perubahan asas, paham, ideologi dan doktrin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan melalui berbagai hambatan dan ancaman yang membahayakan perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan serta mengisi kemerdekaan.
Wujud berbagai hambatan adalah disintegrasi dan instabilisasi nasional sejak periode Orde Lama yang berpuncak pada pemberontakan PKI 30 September 1945 sampai lahirlah Supersemar sebagai titik balik lahirnya tonggak pemerintahan era Orde Lama yang merupakan koreksi total terhadap budaya dan sistem politik Orde Lama dimana masih terlihat kentalnya mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional berlandaskan ideoligi sosialisme komunisme.
Landasan kepemimpinan Soekarno dibangun atas dasar nasionalisme, Islam dan Marxisme. Nasionalisme yang tumbuh dalam dirinya telah menanamkan rasa persatuan dan cinta Tanah Air sekaligus menjadikan dirinya menjadi proklamator dan presiden pertama Indonesia, sementara ideologi Marxisme yang dikembangkannya membuat dirinya memiliki hubungan dekat dengan Uni Soviet dan menanamkan jiwa anti hegemoni dan imperialisme Barat.
Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung (RRT).
Pelaksanaan sistem politik pada masa pemerintahan orde lama diantaranya adalah:
1.
Masa
1945-1950
Gagasan mendominasi
pemikiran para pemimpin bangsa pada awal kemerdekan Indonesia pada tahun 1945,
sepanjang menyangkut peranan negara dan peranan masyarakat adalah gagasan
pluralisme, ini bisa disimpulkan dari usul-usul serta dukungan atas usul-usul
itu di dalam BPUPKI menjelang kemerdekaan. Tampaknya sejak semula kecenderungan
untuk lebih memberikan porsi yang lebih besar bagi peranan rakyat lebih
mendapat tempat di kalangan pemimpin dan masyarakat Indonesia. Pernyataan
konsep kedaulatan rakyat sebagaimana telah tertuang di dalam konstitusi, serta
pernyataan bahwa pemerintah (cq. Presiden) berada di bawah dan bertanggungjawab
kepada MPR dapat dianggap sebagai gambaran tentang pemberian posisi penting
bagi peranan rakyat ini pada waktu itu (Mahfud MD dalam Lesmana, 2013).
Dalam masa ini
Indonesia menggunakan tiga sistem pemerintahan dalam rentan waktu kurang lebih
6 tahun yang digunakan antara lain:
a.
Undang-undang
Dasar 1945.
b.
Konstitusi
RIS 1949, dan
c.
UUDS 1950.
Terjadi penyimpangan dari ketentuan UUD ’45 antara
lain:
1) Berubah fungsi komite
nasional Indonesia pusat dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi
kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang merupakan wewenang MPR.
2) Terjadinya perubahan
sistem kabinet presidensial menjadi kabinet parlementer berdasarkan usul BP –
KNIP.
Pada tahun 1945-1950, terjadi perubahan sistem
pemerintahan dari presidensil menjadi parlemen. Dimana dalam sistem
pemerintahan presidensil, presiden memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai badan
eksekutif dan merangkap sekaligus sebagai badan legislatif.
2.
Masa
1950-1959 Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Periode kedua
pemerintahan Negara Indonesia adalah tahun 1950 sampai 1959 dengan menggunakan
Undang-undang dasar sementara (UUDS) sebagai landasan konstitusionalnya.
Pemerintah ini disebut sebagai pemerintah parlementer, karena pada masa ini
merupakan kejayaan perlemen dalam sejarah politik Indonesia
(representative/Participatory Democracy).
Masa 1950-1959 ialah masa dimana presiden Soekarno
memerintah menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik
Indonesia 1950, dimana periode ini berlangsung dari 17 Agustus 1950 sampai 5
Juli 1959.
Sebelum Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar,
pada saat itu terjadi demo besar-besaran menuntut pembuatan suatu Negara
Kesatuan. Maka melalui perjanjian antara tiga negara bagian, Negara Republik
Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur dihasilkan
perjanjian pembentukan Negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950.
Sejak itu, Negara Indonesia diperintah dengan
menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut
sistem kabinet parlementer. Ciri-cirinya antara lain:
a.
Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu
gugat.
b.
Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintahan.
c.
Presiden berhak membubarkan DPR.
d.
Perdana Menteri diangkat oleh Presiden.
Dualisme pemerintahan yang terjadi di Indonesia
setelah kemerdekaan (antara Belanda dan Indonesia sendiri) mengakibatkan
rumusan sistem pemerintahan masih belum jelas. Keputusan Konferensi Meja Bundar
di Denhaag, Belanda tentang perubahan Republik Indonesia menjadi Republik
Indonesia Serikat (RIS) ditengarai sebagai proyek pemerintah Belanda agar bisa
terus mengontrol Indonesia. RIS sendiri terdiri dari lima belas negara bagian
buatan Belanda, yang telah didudukinya selama tiga tahun. Menurut Hatta, bangsa
Indonesia tidak mempunyai kedaulatan penuh jika masih melakukan kompromi dengan
Belanda soal sistem pemerintahan. Sebagian besar pemimpin Indonesia sepakat
bahwa kompromi dengan pihak belanda bertolak belakang dengan cita-cita
proklamasi. Karena itu, kompromi tersebut sebenarnya adalah strategi untuk
lepas dari rongrongan Belanda yang menolak proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Karena dalam pandangan Hatta, bentuk negara federal RIS tidak akan bersifat permanen
karena bentuk yang sesungguhnya akan ditentukan konstituante hasil pemilihan
umum. Konstituante itu pulalah yang nantinya bertugas menyusun konstitusi baru.
Namun ini berakibat fatal, tawaran sistem parlementer
ternyata mengakibat semrawutnya pemerintahan karena elemen-elemen pemerintahan
merasa mempunyai andil untuk mengatur Negara sehingga menjadi tidak jelas
“siapa mengatur siapa”. Pemilu pertama tahun 1955 yang diharapkan menjadi
tonggak demokrasi sebenarnya salah satu pemicu peralihan demokrasi menjadi
ultra demokrasi yang menjurus anarkisme. Pluralitas dan multi-partai demokrasi
parlementer berujung pada pertarungan ideologis partai yang sangat berpengaruh
di Indonesia. Pada waktu itu, kekuatan ideologis dapat dipetakan menjadi tiga
bagian, yakni Islam, Nasionalis dan Sosialis. PKI yang sebelumnya runtuh akibat
pemberontakan Madiun 1948 bangkit dengan cepat, malah berafiliasi dengan pihak
nasionalis untuk menghadapi partai-partai Islam yang dikhawatirkan mendirikan
Negara Islam. Konflik antar partai tidak bisa dielakkan, ini juga membias pada
elit-elit politik yang bercokol di pemerintahan. DPR dan Konstituante yang
dilahirkan setelah pemilu 1955, juga
membuat keadaan internal pemerintahan semakin buruk. Pertikaian antarmiliter,
pergolakan daerah melawan pusat, inflasi ekonomi dan masa depan Indonesia
menjadi suram. Akhirnya, pada tanggal 5 Juli 1959 Sukarno mengeluarkan dekrit
presiden dan menyatakan Konstituante dibubarkan serta UUD ’45 diberlakukan
lagi. Inilah awal kehancuran demokrasi parlementer di bumi pertiwi dan
bermulanya sistem demokrasi terpimpin.
Dewan Konstituante diserahi tugas membuat
undang-undang dasar yang baru sesuai amanat UUDS 1950.Namun sampai tahun 1959
badan ini belum juga bisa membuat konstitusi baru. Maka Presiden Soekarno
menyampaikan konsepsi tentang Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil pemilu yang
berisi ide untuk kembali pada UUD 1945.
Akhirnya, Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959,
yang membubarkan Konstituante. Pada masa ini terjadi banyak pergantian kabinet
diakibatkan situasi politik yang tidak stabil. Tercatat ada 7 kabinet pada masa
ini.
1)
1950-1951 - Kabinet Natsir
2)
1951-1952 - Kabinet Sukiman-Suwirjo
3)
1952-1953 - Kabinet Wilopo
4)
1953-1955 - Kabinet Ali Sastroamidjojo I
5)
1955-1956 - Kabinet Burhanuddin Harahap
6)
1956-1957 - Kabinet Ali Sastroamidjojo II
7)
1957-1959 - Kabinet Djuanda
2.2.2
Sistem
Politik Pada Masa Orde Baru (1966-1998)
Peristiwa yang lazim disebut
Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) menandai pergantian
orde dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada tanggal 1 Maret 1966 Presiden Soekarno
dituntut untuk menandatangani sebuah surat yang memerintahkan pada Jenderal
Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang perlu untuk keselamatan negara
dan melindungi Soekarno sebagai Presiden. Surat yang kemudian dikenal dengan
sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu diartikan sebagai media
pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh.
Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah
sidang MPRS yang berlangsung pada Juni- Juli 1966. Diantara ketetapan yang dihasilkan
sidang tersebut adalah mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI berikut
ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai
terlarang, setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan.
Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau
Buru. Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional
dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu
diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada dua macam
konsensus nasional, yaitu :
A.
Pertama
berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila
dan UUD 1945 pertama ini disebut juga
dengan konsensus utama.
B.
Sedangkan
konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus
utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara
pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat.
Pada tahun
1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai
presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun
1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Salah satu kebijakan pertama yang
dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia
pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud
untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam
kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28
September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Dalam masa Orde
Baru yang ditandai dengan
dibubarkannya PKI pada tanggal 12 Maret
1966 maka dimulai suatu usaha pembinaan
terhadap partai-partai politik.Pada tanggal 20 Februari 1968 sebagai langkah peleburan dan penggabungan
ormas-ormas Islam yang
sudah ada tetapi belum tersalurkan
aspirasinya maka didirikannyalah Partai
Muslimin Indonesia (PARMUSI) dengan
massa pendukung dari Muhammadiyah,
HMI, PII, Al Wasliyah, HSBI,
Gasbindo, PUI dan IPM.
Selanjutnya
pada tanggal 9 Maret 1970,
terjadi pengelompokan partai dengan terbentuknya
Kelompok Demokrasi Pembangunan
yang terdiri dari PNI, Partai Katholik,
Parkindo, IPKI dan Murba. Kemudian
tanggal 13 Maret 1970 terbentuk kelompok
Persatuan Pembangunan yang terdiri
atas NU, PARMUSI, PSII, dan Perti. Serta
ada suatu kelompok fungsional yang dimasukkan
dalam salah satu kelompok tersendiri
yang kemudian disebut Golongan Karya.
Dengan adanya pembinaan terhadap parpol-parpol
dalam masa Orde Baru maka terjadilah
perampingan parpol sebagai wadah aspirasi
warga masyarakat kala itu, sehingga pada akhirnya dalam Pemilihan Umum 1977 terdapat
3 kontestan, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) serta satu Golongan Karya. Hingga Pemilihan Umum 1977, pada
masa ini peserta pemilu hanya terdiri sebagaimana disebutkan diatas, yakni 2
parpol dan 1 Golkar. Dan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu
memenangkan Pemilu. Hal ini mengingat Golkar dijadikan mesin politik oleh
penguasa saat itu.
2.2.3
Sistem
Politik Pada Masa Reformasi
Mundurnya Presiden
Soeharto pada 21 Mei 1998 setelah sehari sebelumnya terjadi gelombang
demonstrasi besar – besaran yang menuntutnya mundur. Ini tentunya menandai
runtuhnya pemerintahan rezim Orde Baru dan dimulainya suatu masa yang disebut
Reformasi. Hadirnya Reformasi kemudian diikuti oleh berbagai konsekuensi, baik
itu yang positif maupun yang negatif. Akan tetapi hal yang lebih penting adalah
represifitas pemerintah sudah dapat dikurangi, hak dan kebebasan politik
masyarakat untuk berpikir, berorganisasi, dan berpendapat sudah dikembalikan,
dan yang lebih penting lagi adalah proses demokrasi yang kembali tumbuh dan
berjalan.
Era reformasi
muncul sebagai gerakan korektif dan pelopor perubahan-perubahan mendasar di
berbagai aspek kehidupan. Gerakan reformasi yang melahirkan proses perubahan
dan melengserkan pemerintahan orde baru dan melahirkan UU No. 3 Tahun 1999
tentang partai politik memungkinkan sistem multi partai kembali bermunculan.
Harapan peran
partai sebagai wadah penyalur aspirasi politik akan semakin baik, meskipun
hingga saat ini belum menunjukkan kenyataan. Hal ini terlihat dari kampanye
Pemilu yang masih diwarnai banyaknya partai politik yang tidak
mengaktualisasikan aspirasi rakyat dalam wujud program partai yang akan
diperjuangkan. Mirip dengan fenomena lama dimana yang ada hanya janji dan slogan-slogan
kepentingan politik sesaat. Meskipun rezim otoriter telah berakhir dan keran
demokrasi telah dibuka secara luas sejalan dengan bergulirnya proses reformasi,
namun perkembangan demokrasi belum terarah secara baik dan aspirasi masyarakat
belum terpenuhi secara maksimal. Aspirasi rakyat belum tertangkap,
terartikulasi, dan teragregasikan secara transparan dan konsisten.
Distorsi atas
aspirasi, kepentingan, dan kekuasaan rakyat masih sangat terasa dalam kehidupan
politik, baik distorsi yang datangnya dari elit politik, penyelenggara negara,
pemerintah, maupun kelompok-kelompok kepentingan. Di lain pihak, institusi
pemerintah dan negara tidak jarang berada pada posisi yang seolah tidak berdaya
menghadapi kebebasan yang terkadang melebihi batas kepatutan dan bahkan muncul
kecenderungan yang mengarah anarkis walaupun polanya tidak melembaga dan lebih
banyak bersifat kontekstual.
Adanya jaminan hak dan
kebebasan masyarakat untuk berpikir, berorganisasi, dan berpendapat kemudian
menjadi alat untuk melegitimasi lahirnya berbagai lembaga, buku-buku, aksi-aksi
unjuk rasa, dan sebagainya. Partai politik pun tumbuh subur di Indonesia,
bahkan dengan berbagai basis ideologi dan varian yang berbeda. Hal yang tentu
bertolak belakang dengan asas tunggal yang diterapkan selama masa pemerintahan
rezim Orde Baru yang otoriter.
Bahkan menurut Thaha
(2004), Partai politik, terutama setelah tumbangnya era Orde Baru, tumbuh
bagaikan jamur di musim hujan. Pada Pemilu 1999 ratusan partai politik
didirikan, tapi yang boleh ikut Pemilu hanya 48 partai. Pada Pemilu 2004 ini,
juga bermunculan ratusan partai politik, tapi yang lolos verifikasi hanya 24
partai, separuh dari tahun 1999. Realitas ini menandakan bahwa nafsu dan
feeling berpolitik bangsa Indonesia sangat tinggi.
2.3
Sistem
Politik Indonesia dalam Perspektif Struktural Fungsional
Easton menganggap
politik sebagai organisme, memperlakukannya sebagai mahluk hidup. Teori Easton
berisi pernyataan tentang apa yang membuat sistem politik beradaptasi, bertahan
dan bereproduksi, dan terutama berubah. Easton mengungkapkan bahwa memahami sistem
politik sama seperti halnya memahami sistem lain seperti ekonomi, yang
kesemuanya merupakan subsistem dari sistem yang lebih besar. Namun demikian,
sistem politik menurut pandangan Easton bersifat khusus, karena memiliki
kekuatan membuat keputusan yang mengikat semua anggota dalam sistem.
Apabila sistem
berfungsi seperti tahapan yang digambarkan, kita akan mendapatkan “sistem
politik stabil.” Sedangkan apabila sistem tidak berjalan sesuai tahapan, maka
kita akan mendapatkan “sistem politik disfungsional.” Easton menetapkan batasan
lingkungan pada sistem politik dimana input dan output senantiasa berada dalam
keadaan tetap, seperti tergambar dalam ilustrasi di bawah ini. Teori Easton
memiliki beberapa kelemahan, antara lain karena:
1.
Sifatnya yang
mutlak;
2.
Teori
menjunjung tinggi kestabilan, kemudian gagal menjelaskan mengapa sistem dapat
hancur atau konflik;
3.
Teori menolak
setiap kejadian atau masukan dari luar yang akan mendistorsi sistem. Dengan
kata lain, pandangan Easton menyarankan bahwa setiap sistem politik dapat
diisolasi dari yang lainnya (lihat otonomi, kedaulatan);
4.
Teori ini
mengingkari keberadaan suatu negara;
5.
Teori
bersifat mekanistik, dengan demikian melupakan diferensiasi sistem yang timbul
akibat variasi. (lihat autoriarianianisme).
Berangkat dari
kelemahan tersebut, lahirlah kemudian turunan teori sistem politik Almond
dengan pendekatan struktural-fungsional, meninjau sistem politik suatu negara
dari struktur dan fungsi institusi yang ada sebagai suatu bagian integral dari
sistem politik dunia. Oleh karena itu, pendekatan struktural-fungsional sistem
politik akan melengkapi pemahaman terhadap sistem politik yang sudah terlebih
dulu dirumuskan oleh Easton.
Kemudian tahun
1970-an, ilmuwan politik Gabriel Almond dan Bingham Powell memperkenalkan
pendekatan struktural-fungsional untuk membandingkan sistem politik
(comparative politics). Mereka berargumen bahwa memahami suatu sistem politik,
tidak hanya melalui institusinya (atau struktur) saja, melainkan juga fungsi
mereka masing-masing.
Almond (1999)
mendefinisikan sistem sebagai suatu obyek, memiliki bagian yang dapat
digerakan, berinteraksi di dalam suatu lingkungan dengan batas tertentu.
Sedangkan sistem politik merupakan suatu kumpulan institusi dan lembaga yang
berkecimpung dalam merumuskan dan melaksanakan tujuan bersama masyarakat
ataupun kelompok di dalamnya. Pemerintah atau negara merupakan bagian dari
pembuat kebijakan dalam sistem politik.
Pendekatan
struktural-fungsional sistem disusun dari beberapa komponen kunci, termasuk
kelompok kepentingan, partai politik, lembaga eksekutif, legislatif, birokrasi,
dan peradilan. Menurut Almond, hampir seluruh negara di jaman modern ini
memiliki keenam macam struktur politik tersebut. Selain struktur, Almond
memperlihatkan bahwa sistem politik terdiri dari berbagai fungsi, seperti
sosialisasi politik, rekrutmen, dan komunikasi.
Dalam sistem
politik Almond, kedudukan pemerintah sangat vital, mulai dari membangun dan
mengoperasikan sistem pendidikan, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat,
sampai terjun dalam peperangan. Untuk melaksanakan tugas tersebut, pemerintah
memiliki lembaga-lembaga khusus yang disebut struktur, seperti parlemen,
birokrasi, lembaga administratif, dan pengadilan, yang melakukan fungsi khusus
pula, sehingga pemerintah dapat dengan leluasa merumuskan, melaksanakan, dan
menegakan kebijakan.
Struktur harus
dikaitkan dengan fungsi, sehingga kita dapat memahami bagaimana fungsi
berproses dalam menghasilkan kebijakan dan kinerja. Fungsi proses terdiri dari
urutan aktifitas yang dibutuhkan dalam merumuskan kebijakan dan implementasinya
dalam tiap sistem politik, antara lain: artikulasi kepentingan, agregasi
kepentingan, pembuatan kebijakan, dan implementasi dan penegakan kebijakan.
Proses fungsi perlu dipelajari karena mereka memainkan peranan dalam
mengarahkan pembuatan kebijakan. Sebelum kebijakan dirumuskan, beberapa
individu ataupun kelompok dalam pemerintahan atau masyarakat harus memutuskan
apa yang mereka butuhkan dan harapkan dari politik. Proses politik dimulai
ketika kepentingan tersebut diungkapkan atau diartikulasikan.
Almond menyadari
bahwa pendekatan struktural-fungsional dalam memahami sistem masih banyak
kekurangan. Almond kemudian mencontohkan hasil penelitian Theda Scokpol,
mengenai studi sistem politik mencari penyebab terjadinya revolusi dengan
mengamati perubahan politik di berbagai negara melalui perbandingan
lembaga-lembaga yang ada pada periode historis ataupun rejim pemerintahan yang
berbeda, sebagai alternatif, disamping pendekatan dynamic developmental atau pendekatan
dinamika pembangunan sebagai pelengkap pendekatan struktural fungsional dalam
memahami sistem politik.
Namun demikian,
pendekatan struktural-fungsional ternyata belum cukup lengkap dalam menjelaskan
fenomena perubahan politik yang ada. Faktor budaya politik (political culture)
sebagai bagian penting dari sistem politik yang sangat berkaitan erat dengan
sejarah perjalanan suatu bangsa. Terpisah dari siapa yang memaknai dan
mendominasi bahasa sejarah, tetap nilai-nilai historis akan berperan penting sebagai
pertanda lahirnya suatu peradaban ataupun budaya masyarakat tertentu.
Oleh karena itu
penggabungan antara pendekatan analisa sistem, pendekatan struktural-fungsional
dengan sejarah akan melengkapi pemahaman kita akan sistem politik Indonesia
yang sedang dipelajari. Sehingga struktur dan fungsi terkandung dalam sistem
politik sekarang: partai politik; kelompok kepentingan; lembaga eksekutif,
lembaga legislatif; jajaran birokrasi; dan lembaga pengadilan dapat kita
prediksi kecenderungannya di masa mendatang.
Konsep Struktural-fungsional
Struktur politik dapat diklasifikasikan
menjadi bangunan yang nampak secara jelas dan juga tidak jelas yaitu meliputi:
1.
Mesin Politik
Informal (Infrastruktur politik)
Mesin Politik: Informal
(Infrastruktur politik) adalah mesin politik yang ada dalam masyarakat yang
tidak memiliki pengaruh secara langsung dalam pembuatan keputusan politik
negara seperti perubahan UUD, pembuatan UU yang berlaku umum dan memaksa bagi
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Faktor yang bersifat informal
yang dalam kenyataan mempengaruhi cara kerja aparat masyarakat untuk
mengemukakan, menyalurkan, menerjemahkan, menkonvirmasikan tuntuan, dukungan
yang berhubungan dengan kepentingan umum. Kelompok ini termasuk golongan
penekan, with input, alat komunikasi massa dan lain-lain. Struktur semacam ini
dapat berupatatanan yang tak tampak secara jelas tetapi berpengaruh, dan
eksistensinya dapat dirasakan karena fungsi yang mengalir sehingga pendekatan
yang digunakan kemudian disebut struktural fungsional.
Fungsi supra struktur politik
menurut Gabriel Almond meliputi:
1.
Pendidikan
politik
2.
Artikulasi
kepentingan
3.
Agregasi
kepentingan
4.
Rekruitment
politik
5.
Komunikasi
politik
2.
Mesin politik
Resmi (Suprastruktur)
Mesin politik resmi ( supra
struktur) adalah mesin politik yang ada dalam negara yang memiliki pengaruh
secara langsung dalam pembuatan keputusan politik, perubahan UUD, pembuatan UU,
pembuatan keputusan politik lainya yang berlaku umum dan mmemaksa bagi
kehidupan masyarakat dan bernegara.
Lembaga yang dapat disebut
sebagai mesin politik formal atau resmi yang dengan absah mangidentifikasi
berbagai maslah, menentukan dan menjalankan segala keputusan yang mengikat
seluruh anggota masyarakat untuk mencapai kepentingan umum.
Fungsi supra struktur politik
menurut Gabriel Almond meliputi:
1.
Rule making (
pembuatan UU)
2.
Rule
Application (Pelaksanaan UU)
3.
Rule
adjudication (mengadili pelaksanaan UU)
Struktur Politik (struktur Kekuasaan):
1.
Struktur
Politik yang bersifat Sentralisasi: struktur pemerintahan yang sepenuhnya
ditangani oleh pusat
2.
Struktur
Politik yang bersifat Desentralisasi: struktur pemerintahan yang memberikan
keleluasaan kepada daerah untuk menjalankan roda pemerintahan
2.4
Sistem
Politik Indonesia dalam Perspektif Budaya Politik
1.
HAKIKAT
POLITIK
Secara etimologis,
politik berasal dari kata polis (bahasaYunani) yang artinya negara kota. Secara
terminologi, politik (politics) dapat diartikan sebagai:
a.
Menurut
Laswell: “politics as who gets what, when and how”
b.
Miriam
Budiardjo: “politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik
(negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan
melaksanakan tujuan-tujuan itu.
c.
RamlanSurbakti:
“politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka
pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama
masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.
Hakikat politik adalah power atau kekuasaan.
Tetapi tidak semua kekuasaan adalah kekuasaan politik, kekuasaan politik pada
hakikatnya ada pada proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.
Keputusan politik selalu menyangkut kepentingan publik.
2.
BUDAYA
POLITIK
Budaya politik
merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan benegara,
penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat
istiadat, dan norma atau kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota
masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga dapat di artikan sebagai suatu
sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan
publik untuk masyarakat seluruhnya.
Pengertian budaya
politik menurut para ahli :
1.
Sidney Verba:
Politik merupakan suatu sistem kepercayaan empirik, simbolik, serta nilai-nilai
yang menegaskan suatu situasi dimana tindakan politik dilakukan.
2.
Robert Dahl:
Budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang terdiri ide,
pengetahuan, adat istiadat, tahayul dan mitos. Kesemuanya ini dikenal dan
diakui sebagain besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberi rasional
untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.
3.
Mochtar
Masoed: Budaya politik adalah sikap dan orientasi warga suatu negara terhadap
kehidupan pemerintahan negara dan politik di negaranya.
Tipe-Tipe Budaya Politik
1.
Berdasarkan
sikap yang ditunjukkan
a.
Budaya
Politik Militan, tidak memandang perbedaan sebagai usaha mencari alternative
yang terbaik, tetapi melihatnya sebagai usaha jahat dan menantang.Budaya
Politik Toleransi, budaya politik yang pemikirannya berpusat pada masalah atau
ide yang harus dinilai.
2.
Berdasarkan
Orientasi Politiknya, menurut Gabriel Almond sebagai berikut:
a.
Budaya
politik parokial
Budaya politik parokial yaitu budaya politik yang tingkat
partisipasi politiknya sangat rendah. Tipe budaya politik ini umumnya terdapat
pada masyarakat suku Afrika atau masyarakat pedalaman di Indonesia. dalam
masyarakat ini tidak ada peran politik yang bersifat khusus. Kepala suku,
kepala kampung, kyai, atau dukun,yang biasanya merangkum semua peran yang ada,
baik peran yang bersifat politis, ekonomis atau religius.
Ciri-ciri :
1.
Apatis
2.
Pengetahuan
politik rendah
3.
Tidak peduli
dan menarik diri terhadap kehidupan politik
4.
Anggota
masyarakat cenderung tidak menaruh minat terhadap objek politik yang luas
5.
Kesadaran
anggota masyarakat akan adanya pusat kewenangan dan kekuasaan dalam
masyarakatnya rendah
6.
Warga negara
tidak terlalu berharap dalam sistem politik
7.
Tidak ada
peranan politik yang bersifat khusus
8.
Lingkupnya
sempit dan kecil
9.
Masyarakatnya
sederhana dan tradisional
Contoh budaya
politik parokial yakni masyarakat pada suku-suku pedalaman yang mana mereka
belum mengenal betul siapa pemimpin negara mereka dan tidak ikut serta sama
sekali dalam pemilu.
b.
Budaya
politik kaula/subjek
Budaya politik kaula (subjek), yaitu budaya politik yang
masyarakat yang bersangkutan sudah relatif maju baik sosial maupun ekonominya
tetapi masih bersifat pasif. Budaya politik suatu masyarakat dapat dikatakan
subyek jika terdapat frekuensi orientasi yang tinggi terhadap pengetahuan
sistem politik secara umum dan objek output atau terdapat pemahaman mengenai
penguatan kebijakan yang di buat oleh pemerintah. Namun frekuensi orientasi mengenai
struktur dan peranan dalam pembuatan kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak
terlalu diperhatikan. Para subyek menyadari akan otoritas pemerintah dan secara
efektif mereka di arahkan pada otoritas tersebut. Sikap masyarakat terhadap
sistem politik yang ada ditunjukkan melalui rasa bangga atau malah rasa tidak
suka. Intinya, dalam kebudayaan politik subyek, sudah ada pengetahuan yang
memadai tentang sistem politik secara umum serta proses penguatan kebijakan
yang di buat oleh pemerintah.
Ciri-ciri :
1.
Memiliki
pengetahuan dalam bidang politik yang cukup
2.
Partisipasi
politik minim
3.
Kesadaran
berpolitik rendah
4.
Kehidupan
ekonomi warga negara sudah baik
5.
Tingkat
pendidikan relatif maju
6.
Masyarakat
menyadari otoritas pemerintah sepenuhnya
7.
Warga negara
cukup puas untuk menerima apa yang berasal dari pemerintah
8.
Warga negara
menganggap dirinya kurang dapat mempengaruhi sistem politik
9.
Masyarakat
secara pasif patuh pada pejabat, pemerintah, dan undang-undang
Contoh Budaya
Politik Subjek/Kaula yakni masyarakat jawa (keraton) di jogja. Dimana rakyat
sudah ada pemahaman & kesadaran akan pentingnya berpartisipasi dalam
politik, namun mereka tidak berdaya dan tidak kritis (hanya mengikuti perintah,
tidak memberikan aspirasi)
c.
Budaya
politik partisipan
Budaya politik partisipan, yaitu budaya politik yang
ditandai dengan kesadaran politik yang sangat tinggi. Masyarakat mampu
memberikan opininya dan aktif dalam kegiatan politik. Dan juga merupakan suatu
bentuk budaya politik yang anggota masyarakatnya sudah memiliki pemahaman yang
baik mengenai empat dimensi penentu budaya politik. Mereka memiliki pengetahuan
yang memadai mengenai sistem politik secara umum, tentang peran pemerintah
dalam membuat kebijakan beserta penguatan, dan berpartisipasi aktif dalam
proses politik yang berlangsung. Masyarakat cenderung di arahkan pada peran
pribadi yang aktif dalam semua dimensi di atas, meskipun perasaan dan evaluasi
mereka terhadap peran tersebut bisa saja bersifat menerima atau menolak.
Ciri-ciri :
1.
Pengetahuan
tentang politik tinggi
2.
Kesadaran
berpolitik tinggi
3.
Kontrol
politik aktif
4.
Warga negara
memiliki kepekaan terhadap masalah atau isu-isu mengenai kehidupan politik
5.
Warga mampu
menilai terhadap masalah atau isu politik
6.
Warga
menyadari adanya kewenangan atau kekuasaan pemerintah
7.
Warga
memiliki kesadaran akan peran, hak, dan kewajiban, dan tanggung jawabnya
8.
Warga mampu
dan berani memberikan masukan, gagasan, tuntutan, kritik terhadap pemerintah
9.
Warga
memiliki kesadaran untuk taat pada peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan
tanpa perasaan tertekan.
Contoh budaya
politik parokial yakni keaktifan masyarakat terhadap berbagai hal yang
berkaitan dengan politik seperti pemilu, demonstrasi, dan lain-lain
Sekilas Mengenai Budaya Politik
Indonesia
Budaya politik di
Indonesia merupakan perwujudan nilai nilai yang dianut oleh masyarakat
Indonesia yang diyakini sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan kegiatan
polituk kenegaraan.
Setelah era
reformasi memang orang menyebut Indonesia telah menggunakan budaya Politik
partisipan karena telah bebasnya Demokrasi, partisipatifnya masyarakat dan
tidak tunduk akan keputusan atau kinerja pemerintah baru aetika . perlu
diketahui ketika era orde baru Demokrasi dikekang. Segala bentuk media
dikontrol/diawasi oleh pemerintah lewat Departemen Penerangan supaya tidak
mempublikasikan kebobrokan pemerintah.
Budaya politik
Indonesia selalu berubah mengikuti perkembangan zaman. Tetapi berubahnya itu
hanya terjadi pada daerah perkotaan dan pedesaan yang telah maju tetapi pada
daerah-daerah terpencil itu tidak terjadi perubahan karena kurangnya pendidikan
dan informasi
Budaya Politik
Indonesia saat ini adalah Campuran dari Parokial, Kaula, dan Partisipan , dari
segi budaya Politik Partisipan , Semua ciri- cirinya telah terjadi di Indonesia
dan ciri-ciri budaya politik Parokial juga ada yang memenuhi yaitu seperti
berlangsungnya pada masyarakat tradisional dan pada budaya politik kaula ada
yang memenuhi seperti warga menyadari sepenuhnya otoritas pemerintah.
Budaya Politik Yang Berkembang Di Indonesia
1.Hierarki yang
tegar (ketat)
Sistem budaya jawa mengenal
adanya stratifikasi sosial dengan gaya penuturan dan pergaulannya pun berbeda
beda. Contoh: Bangsawan jawa
2.Cenderung
Patronage
Hubungan 2 sumber daya yang
saling berinteraksi. Contoh: Patron = tuan tanah, Client = tenaga, dukungan
3.Neo
Patrimonialistik
Meskipun memiliki pola
pemerintahan yang modern dan rasional seperti
birokrasi, tetapi perilaku
negara masih memperhatikan budaya patrimonial.
3. SOSIALISASI BUDAYA POLITIK
Sosialisasi politik
merupakan proses pembentukan sikap dan orientasi politik pada anggota
masyarakat. Terlaksananya sosialisasi politik sangat ditentukan oleh lingkungan
sosial, ekonomi, dan kebudayaan dimana suatu individu-individu dapat memperoleh
pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap terhadap sistem politik
masyarakatnya.
Menurut Robert Le
Vine, terdapat 3 (tiga) faktor penting dalam sosialisasi politik pada
masyarakat berkembang:
a.
Pertumbuhan
penduduk di negara-negara berkembang dapat melampauikapasitas mereka untuk
“memordenisasi” keluarga tradhisional lewat industrialisasi dan pendidikan.
b.
Seiring
terdapat perbedaan yang besar dalam pendidikan dan nilai-nilai tradisional
antara jenis kelamin, sehingga kaum wanita lebih erat terikat pada nilai
tradisional
c.
Adalah
mungkin pengaruh urbanisasi, yang selalu dianggap sebagai satu kekuatan perkasa
untuk menumbangkan nilai-nilai tradisional.
4. PARTISIPASI POLITIK
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang
atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik,
seperti memilih pimpinan negara-negara atau upaya-upaya mempengaruhi kebijakan
pemerintah.
Huntinghon dan Nelson menemukan lima bentuk
kegiatan utama yang dipraktikkan dalam partisipasi politik yaitu berkenaan
dengan keikutsertaan warga negara untuk mempengaruhi proses-proses politik.
Bentuk-bentuk itu antara lain:
a.
Kegiatan
pemilihan, mencakup memberikan suara, sumbangan-sumbangan untuk kampanye,
bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon, atau setiap
tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemikiran.
b.
Lobbying,
mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat
pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik, dengan maksud mempengaruhi
keputusakeputusan mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut besar
orang.
c.
Kegiatan
organisasi, menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam suatu
organisasi, yang tujuannya yang utama dan eksplisit adalah mempengaruhi
pengambilan keputusan pemerintah.
d.
Mencari koneksi
(contacting), merupakan tindakan perorangan yang ditujukan terhadap
pejabat-pejabat pemerintah, dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi
hanya satu orang
e.
Tindakan
kekerasan (violence), sebagai upaya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah
dengan jalan menimbulkan kerugian fisik terhadap orang-orang atau harta benda.
2.5
Sistem
Politik Indonesia dalam Perspektif Bisnis Politik
Indonesia
sebagai sebuah negara yang telah lama merdeka juga diselimuti oleh banyak
pengalaman mengenai hubungan antara penguasa dan pengusaha. Pengalaman sejak tahun 1960an—era demokrasi
terpimpin—menyisahkan trauma yang mendalam bagi perekonomian negara setidaknya
begitu yang dipersepsikan oleh rezim setelahnya, orde baru. Tingkat inflasi
yang tinggi hingga 650% menjadi salah satu alasan Soeharto mengedepankan
pembangunan ekonomi daripada politik di masa-masa awal pemerintahannya. Orde
baru memang salah satu contoh analisis yang kompleks mengenai hubungan bisnia
dan politik. Bukti awalnya adalah ketika UU pertama yang dibuat justru mengenai
Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Hal ini
mengindikasikan secara kuat bahwa kekuasaan politik saja tidak cukup untuk
membangun negara, tapi perlu adanya sokongan modal yang besar dalam rangka
membiayai pembangunan.
Di era ini juga
pertumbuhan ekonomi Indonesia sempat mengalami kejayaannya ketika berhasil
secara konsisten menyentuh besaran 4,5%.
Dengan mengusung semangat pembangunan ‘kapitalis’, negara orde baru perlahan
membangun jaringan bisnisnya melalui kroni-kroni dan rekan bisnis yang utamanya
berasal dari kelompok pengusaha keturunan China. Meski di dalam negeri lebih sering disebut
dengan istilah pembangunan demokrasi Pancasila—daripada pembangunan kapitalis—,
pada tahun 1980an justru negara orde baru perlahan turut menerapkan
‘penyesuaian struktural’ yang diusung oleh lembaga-lembaga donor internasional
seperti IMF dan World Bank. Orde baru memang sebuah rezim yang unik, meski
Indonesia dijalankan melalui mekanisme otoritarianisme—kontrol yang kuat
terhadap masyarkat dan pembatasan aktifitas politik masyarakatnya—sejak akhir
tahun 1960an, namun negara tidak benar-benar ‘kuat’ dalam segala aspek,
khsususnya ketika berhadapan dengan modal investasi dalam rangka menjalankan
pembangunan. Pembangunan yang rupanya didanai oleh sebagian besar hutang luar
negeri talah membuat Indonesia bergantung dan mudah didikte oleh negara atau
lembaga-lembaga donor tersebut. Di Dalam negeri pun begitu, pengusaha keturunan
memiliki tempat istimewa dalam bisnis-bisnis negara selain bisnis yang
dijalankan secara nepotisme oleh keluarga Cendana sendiri.
Ciri unik
lainnya yang turut memberikan gambaran tentang bisnis dan politik di Indonesia
kala itu adalah bahwa meski roda perekonomian dijalankan melalui industrialiasi
dan modernisasi, faktor-faktor tradisional seperti primordialisme sangat kental
mewarnai jalannya pemerintahan dan aktifitas bisnis di dalam negeri. Seperti
sudah dijelaskan sebelumnya, faktor primordialisme dan nepotisme keluaraga
Cendana menjadi salah satu yang nampak. Anak-anak dari Soeharto menguasai
banyak sektor bisnis dalam negeri dan menjadi sangat berkuasa.
Pengusaha-pengusaha berlomba-lomba untuk mendekat ke Istana, dan hubungan
patron-client menjadi sesuatu yang lumrah dalam rangka mendapatkan sumber daya
ekonomi. Fenomena inilah yang belakangan dinamai sebagai sebuah rezim
otoritarianisme korporatis atau negara korporatisme. Di satu sisi negara
melalui jejaring dan kotrolnya yang kuat berhasil menarik perwakilan
kelompok-kelompok bisnis di masyarakat, namun di sisi yang lain
pengusaha-penguasaha yang ada memang berusaha juga untuk mendekat kepada
negara.
Jaringan dan
hubungan patrimordial rupanya turut mendukung kerapuhan struktur ekonomi yang
ada dan dampaknya mulai terlihat di penghujung tahun 1990an ketika terjadi
krisis ekonomi yang secara bersamaan juga menumbangkan pemerintahan Soeharto
yang telah berkuasa lebih dari 30 tahun. Banyak para pengamat ekonomi menilai
bahwa nepotisme keluarga Cendana dan kroni-kroni Soeharto pada saat itu telah
membuat kesenjangan sosial dan kemiskinan meningkat. Praktik korupsi dan hutang
negara yang kian membengkak membuat rakyat harus menanggung penderitaan yang
akhirnya membuat mereka juga juga turut bersama mahasiswa berusaha menmbangkan
rezim otoriter tersebut pada pristiwa Mei 1998.
Gambaran bisnis
dan politik dalam dominasi dan negara kuat orde baru tidak hanya memberikan
implikasi seperti yang dijelaskan di atas saja. Persoalan lain yang dihasilkan
diantaranya mengenai dikotomi dan kesenjangan pembangunan antara pusat dan
daerah atau lebih dikenal dengan istilah pembangunan yang Jawa-sentris.
Kebangkitan privatisasi tahun 1980an—swasembada pangan dan sebelumnya ada
peristiwa oil boom—rupanya tidak serta membeuat kita berasumsi bahwa fenomena
bisnis dan politik di Indonesia adalah sebuah hubungan yang baik-baik saja.
Negara intervensionis orde baru telah membuat kontrol partisipasi politik dalam
banyak aspek secara sistemik dalam rangka meredam kemungkinan munculnya
aksi-aksi kolektif, hal ini juga dalam rangka melindungi para pengusaha dan
upaya negara menciptakan iklim yang kondusif bagi aktifitas bisnis. Dan hal
yang paling ditakutkan dari penjelasan ini adalah, lahirnya penguasa-penguasa
yang justru melindungi para pengusaha secara hukum dan politik.
Bisnis dan
politik adalah dua kegiatan yang saling berkaitan. Bisnis dapat menunjang
politik, demikian juga sebaliknya. Aktivitas bisnis dapat dimudahkan karena
adanya kegiatan politik pada tingkatan negara. Sebaiknya, politik dapat
dipermudah karena adanya kegiatan bisnis.Tanpa adanya kegiatan bisnis, domestik
dan internasional, politik kenegaraan tidak akan mungkin dapat berjalan.
Sebaliknya, kegiatan bisnis juga berjalan baik jika kondisi politik domestik
dan internasional amat kondusif dan mendukung. Fikirkan saja, jika tidak ada bisnis di bidang transportasi
dan telekomunikasi, bagaimana pemimpin negara dapat mempertahankan keutuhan
negara? Adanya bisnis di kedua bidang itu telah mempermudah pemerintah di
sebuah negara untuk mempertahankan kedaulatan nasional dalam arti yang luas.
Politik dan bisnis dalam arti yang lebih sempit juga saling mendukung.
Para pebisnis
besar, menengah, dan kecil akan berlomba-lomba untuk mendukung aktor dan atau
partai politik yang kira-kira akan menang di dalam pemilu legislatif, pemilu
presiden/wakil presiden langsung, pilkada gubernur, bupati,wali kota, dan
sebagainya. “Bantuan dana kampanye”dari para pengusaha/pebisnis itu tentu tidak
gratis karena dalam aktivitas politik semacam itu memang berlaku slogan “tidak
ada makan siang yang gratis”(no free lunch). Dari sisi teori politik, pendanaan
semacam itu dapat dikategorikan sebagai
bribes and kickback (sogokan dana
agar bisnis mereka dipermudah).Timbal balik ekonomi yang didapat pelaku bisnis
dari para politikus/pejabat negara dapat berupa konsesi bisnis melalui
tender-tender pemerintah, keringanan pajak, kebijakan negara/pemerintah daerah
dan peraturan yang memudahkan bisnis mereka, tetapi tidak terbatas pada
kemudahan untuk memperoleh dana dari institusi perbankan.
Kaitan antara
bisnis dan politik dalam kategori yang sempit itu bagaikan gurita yang sulit
dilepaskan oleh para politikus, khususnya mereka yang membutuhkan bantuan dana
kampanye. Aktivitas tersebut bahkan sudah merambah soal proses politik di
parlemen yang terkait dengan fit and proper test untuk jabatan-jabatan yang
basah atau penuh uang. Tengok misalnya isu skandal suap soal dukung-mendukung
mengenai siapa yang akan menjadi Gubernur, Deputi Gubernur Senior atau Deputi
Gubernur Bank Indonesia (BI).
GERAKAN
TAKTIK POLITIK
a. Mempromosikan informasi dan strategi
beberapa perusahaan mencoba
mengejar strategi politik untuk mempengaruhi pembuat kebijakan pemerintah demi
kepentingan kelancaran usaha mereka. Lobi adalah salah satu alat politik yang
sering dipakai, tetapi beberapa perusahaan kadang juga menggunakan komunikasi
secara langsung dengan pembuat kebijakan di pemerintahan untuk mempengaruhi
peraturan dan undang-undang yang dibuat.
1.
melobi
melobi melibatkan hubungan
langsung dengan pemerintah untuk mempengaruhi pemikiran dan tindakan tentang
suatu masalah publik. Pelobi berkomunikasi untuk membujuk orang lain untuk
mendukung kepentingan organisasi agar mereka mempertimbangkan regulasi, hukum
dan peraturan.
2.
komunikasi
langsung
bisnis juga dapat mempromosikan
langsung strategi informasi melalui komunikasi langsung dengan pembuat
kebijakan. bisnis sering mengundang pejabat pemerintah untuk mengunjungi tempat
usaha untuk memberikan pidato kepada karyawan, menghadiri upacara penghargaan
dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial perusahaan. Selain itu bisnis biasanya
juga diundang dalam forum oleh pemerintah untuk memberikan informasi ekonomi
yang berguna dalam pertimbangan yang di ambil untuk mengambil kebijakan publik,
sehingga itu menjadi kesempatan para pebisnis untuk mengemukakan keinginan dan
tujuannya.
3.
Mengambil
informasi dari pakarnya
Sebuah metode yang umum memberikan
infomasi kepada legislator untuk CEO dan excekutif untuk memberikan informasi
di forum. bisnis mungkin dapat memberikan fakta-fakta dan alasan tertentu yang
dapat mempengaruhi pemimpin pemerintah, salah satunya adalah dengan cara
membantu kampanye atau dukungan politik.
b.
Promosi keuangan dalam strategi imbalan
Bisnis mungkin dapat mempengaruhi
pembuat kebijakan pemerintah dengan menyediakan insentif keuangan, yaitu dengan
memberikan imbalan kepada pembuat peraturan dan undang-undang dengan harapan
bisa membujuk untuk menitipkan kepentingan dalam peraturan yang
dikeluarkan oleh pemerintah.
1.
Komite
aksi politik
Adalah Salah satu alat yang digunakan
bisnis untuk membentuk dan berkontribusi ke komite politik secara hukum, karena
berpidato secara langsung untuk mendukung salah satu calon kandidat penguasa
tidak diperbolehkan. Perusahaan tidak boleh menyumbangkan dananya untuk
kampanye melainkan harus memberikan sumbangan atas nama individu.
2.
Memperluas
pengaruh ekonomi
Memperluas pengaruh ekonomi
terjadi ketika bisnis menggunakan kekuatan ekonomi untuk mengancam pemerintah
dalam mengambil kebijakan yang terkait dengan permasalahan bisnis, ancaman itu
seperti meninggalkan kota atau sebuah Negara apabila kebijakan yang dikeluarkan
sangat memberatkan bisnis dalam menjalankan usahanya. Dan cara-cara ini juga
dapat digunakan untuk membujuk pemerintah untuk mendukung bisnis.
C.
Mempromosikan
Strategi Membangun konstitusi
Strategi terakhir yang digunakan
bisnis dalam mempengaruhi kebijakan politik adalah dengan cara mencari dukungan
kepada orang, masyarakat atau organisasi yang kekuatan di politik. Seperti
dukungan para stakeholder atau dengan cara lain yaitu menggunakan media
periklanan dalam mendukung kampanye
politik sebagai bukti dukungannya bisnis kepada partai tertentu.
1. Hubungan
Masyarakat dan Asosiasi
Bisnis juga dapat mengambil
keuntungan dari hubungan masyarakat dan publik mengenai isu-isu permasalahan
politik, seperti komentar masalah politik untuk mengusulkan undang-undang atau
peraturan yang memihak pada kepentingan bisnis.
2. Tantangan
hukum
Tantangan hukum adalah sebuah
taktik politik bisnis, dalam pendekatan ini bisnis berusaha untuk menentang
peraturan yang dibuat oleh pemerintah.
Politik dan
Bisnis di Indonesia Era Orde Baru
Pada awal
pemerintahan Orde Baru, pemerintah mencanangkan pembangunan ekonomi dan
industri. Pada waktu itu posisi pengusaha dalam negeri masih dalam keadaan yang
tidak kuat untuk berdiri sendiri. Akibatnya, pemerintah (negara) menjadi
dominan dalam perekonomian. Pengusaha menggantungkan diri kepada pemerintah.
Hal ini menimbulkan konsekuensi yaitu pemerintah menjadi mesin pertumbuhan
ekonomi atau dengan kata lain pemerintah menjadi sumber penggerak investasi dan
pengalokasian kekayaan nasional. Dalam hal ini pemerintah tidak hanya
menyediakan proyek, kontrak, konsesi pengeboran minyak dan eksploitasi hutan,
serta lisensi agen tunggal, melainkan juga kredit besar dan subsidi. Pemerintah
juga menunjang dengan kebijakan proteksi serta pemberian hak monopoli impor dan
pasar.
Pada masa
tersebut, pemerintah cenderung menghasilkan dua lapisan ekonomi-politik utama,
yaitu birokrat-politik yang melibatkan lingkup keluarganya dalam bisnis, serta
pengusaha yang dapat berkembang berkat dukungan khusus dari pemerintah (mulai
berkembangnya KKN). Kedua lapisan ini mendominasi perekonomian dan politik.
Dalam perkembangan sistem ekonomi tersebut, pemerintah sebagai sumber penggerak
investasi dan pengalokasian kekayaan nasional hanyalah bersifat jangka pendek.
Kemampuan pemerintah menyediakan segalanya dibatasi oleh gerak sistem ekonomi.
Indonesia menjadi rawan akan krisis. Pola bisnis tersebut memerlukan sebuah
rezim politik yang mampu mengendalikan reaksi kaum buruh dan gerakan
demokratisasi. Untuk keperluan ini rakyat berhasil dijauhkan dari partisipasi
politik. Pembangunan ekonomi dijaga dengan kekuatan militer yang kuat sehingga
terlihat stabil. Pertumbuhan partai politik dan pengekpresian politik dilarang
dalam upaya menciptakan kestabilan untuk pertumbuhan ekonomi. Rakyat seakan
dibungkam untuk menuntut hak-haknya atas nama pembangunan ekonomi. Pada masa
Orde baru, bentuk partisipasi rakyat diatur agar hanya terlibat pada pemilihan umum
anggota DPR dan DPRD. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya kaitan politik dan
birokratik dalam pola bisnis. Pemerintah sudah sejak awal jadi mesin
pertumbuhan ekonomi, yang menyebabkan para birokrat-politik terlibat bisnis
yang bersifat jangka pendek. Pola ini tidak mendorong tumbuhnya kepercayaan
dunia usaha untuk jangka panjang..
Sistem politik
Indonesia pada masa itu mempunyai kelemahan, salah satu diantaranya adalah
sedikitnya sumber-sumber yang dapat menjadi penekan dan penyeimbang atas
kekuatan pemerintah, di tingkat nasional atau daerah. Padahal, kekuatan penekan
sangat diperlukan untuk melakukan kontrol, maupun sumbangan-sumbangan gagasan
dan pemikiran untuk membentuk bangunan sosial politik yang lebih aspiratif.
Pengaruh kalangan
non-pemerintah, termasuk dari pengusaha dan profesional sangat terbatas dan
acap diabaikan. Kecuali para pengusaha tertentu yang mempunyai koneksi langsung
dengan penguasa. Ketergantungan ekonomi swasta pada pemerintah menimbulkan
hubungan yang sangat tidak sehat di antara keduanya, yang jika dipandang dari
sudut politik, bisnis, dan masyarakat luas sangatlah merugikan. Konsekuensi
dari hubungan yang tidak sehat tampak nyata ketika Indonesia diterpa krisis
ekonomi, sosial dan politik sekaligus, yang mengalami kesulitan untuk
diperbaiki.
Kalangan bisnis
dan profesi swasta yang merupakan unsur krusial dalam pembentukan kelas
menengah, selama zaman Orde Baru tidak memiliki kesempatan untuk membentuk
asosiasi maupun organisasi yang mampu berfungsi sebagai sumber kritik,
pengaruh, dan sumbangan ide pada perencanaan politik, ekonomi dan sosial.
Unsur-unsur baru dari kalangan profesional maupun kalangan bisnis cenderung
menghindarkan diri dari politik dan berkonsentrasi pada bidangnya sendiri yang
sempit.
Semua hal tersebut
membuat sistem ekonomi Indonesia menjadi cukup rawan krisis, terutama krisis
fiskal dan krisis keuangan. Terjadinya krisis rupiah dan berbagai dampaknya
membuat pemerintah terpaksa harus mengeluarkan sejumlah kebijakan deregulasi di
bidang ekonomi. Secara politik, kebijakan ini memacu pertumbuhan sektor swasta,
termasuk swastanisasi BUMN. Hal ini menuntut pemerintah untuk melakukan
pembenahan besar-besaran. Pemerintah terpaksa menerima tawaran
IMF untuk menyetujui Nota Kesepakatan menuju reformasi ekonomi. Krisis ekonomi
memang menimbulkan dampak politik yang lebih kuat. pemerintah semakin didesak
untuk melepaskan keterlibatannya dari bisnis dan untuk lebih menjalankan fungsi
sebagai perlengkapan politik supaya dapat bertugas menyehatkan sistem ekonomi.
Sistem peraturan
hukum yang kuat sangat dibutuhkan untuk menopang kinerja reformasi ekonomi.
Kalangan dunia usaha semakin menuntut kepastian hukum. Krisis rupiah yang
semakin parah sampai menggerogoti sistem ekonomi, telah memperlemah posisi
birokrat-politik. Banyak dari mereka yang mulai terbuka terhadap reformasi
politik. Banyak telah menyatakan perlunya reformasi. Hasil kemajuan ekonomi
secara internal telah menghasilkan sebagian lapisan yang menghendaki reformasi
politik. Kalangan bisnis menghendaki tumbuhnya kepercayaan dunia usaha untuk
jangka panjang. Semua ini hanya dapat dicapai dengan program reformasi ekonomi
dan diperkuat dengan reformasi politik.
Politik dan Bisnis di Indonesia pada Era Reformasi
Struktur dan
pandangan rezim Orde Baru telah menjadikan kalangan bisnis dan profesional
merasa lebih mudah dan aman untuk mengikuti keadaan daripada mencoba
mendorongnya ke arah lain yang lebih sehat. Kecenderungan ini dengan sendirinya
memperluaskan korupsi, kolusi, dan penyalahgunaan kekuasaan pada zaman Orde
Baru. Pada era reformasi, gejala-gejala itu sulit dihilangkan karena telah
mengakar di setiap lembaga negara, maupun di kalangan bisnis dan profesional.
Masalahnya bukan hanya korupsi yang sulit diatasi, tetapi juga hilangnya
orientasi terhadap kepentingan masyarakat luas dan lemahnya kemauan untuk
merombak sistem politik, termasuk lembaga-lembaga negara yang amat perlu
diperbaiki, struktur ekonomi, dan hubungan antara warga negara dan negara.
Di dalam negeri,
perubahan di bidang politik dan pemerintahan yang diwarnai dengan adanya
perubahan signifikan dalam sistem politik (terjadi proses demokratisasi)
membuka suatu peluang baru dan juga ancaman baru bagi dunia usaha di Indonesia.
Keputusan-keputusan politik atau hukum perlu juga selalu dicermati. Perubahan-perubahan
kepemimpinan seringkali berakibat terjadinya perubahan dalam keputusan politik
dan yang akhirnya berdampak secara langsung terhadap kondisi bisnis. Sebagai
contoh. Pada saat Orde baru, perdagangan Bahan Pangan Pokok selalu dikendalikan
oleh Pemerintah melalui BULOG, sehingga ada kondisi yang stabil dalam
perdagangan Bahan Pangan Pokok tersebut. Tetapi, setelah reformasi peran BULOG
diredefinisi sehingga tidak menjadi pemain sentral dan akhirnya seringkali
berdampak terhadap terjadinya fluktuasi harga dan kelangkaan barang yang
disebabkan permainan spekulan, sehingga yang terkena dampak/pengaruhnya adalah
rakyat miskin yang semakin menderita untuk mendapakan kebutuhan pangan mereka.
Di tahun 2007 yang
lalu kondisi perpolitikan nasional relatif stabil, walaupun banyak unjuk rasa
diberbagai daerah terutama menyangkut kekisruhan hasil Pilkada dan di tingkat
nasional menyangkut kebijakan pemerintah tentang UU PA, UU PMA, UU Pornografi
dan UU Politik yang banyak menimbulkan kontroversi dari masyarakat. Dari
kondisi politik yang demikian ternyata pengaruh terhadap sektor ekonomi tidak
begitu signifikan. Tercatat kondisi pertumbuhan ekonomi di tahun 2007 merupakan
kondisi terbaik sejak krisis ekonomi 1998. Berbagai sektor ekonomi mengalami
peningkatan, di sektor properti, nilai kredit properti yang dirilis Bank
Indonesia (BI) per Juni 2007 sebesar Rp130,93 Trilyun naik 7-8% dibandingkan
tahun sebelumnya. (1)
Di tahun 2008 ini
perilaku ekonomi menjadi sering kali sulit diprediksi. Bahkan oleh Pemerintah
sekalipun yang memiliki ekonom-ekonom yang sangat pakar di bidangnya. Sebagai
contoh yang nyata adalah dalam penyusunan APBN 2008 prediksi harga minyak 80 US
$ per barel, tapi pada awal tahun perekonomian nasional dikejutkan dengan
kenaikan harga minyak dunia yang menembus batas sampai 100 US $ per barel
bahkan melewati 110 US $ per barel sampai akhir kuartal pertama 2008. Kenaikan
ini tentunya berpengaruh terhadap asumsi APBN tahun 2008 sehingga pemerintah
mau tidak mau dihadapkan pada pilihan sulit antara tetap mempertahankan subsidi
BBM dengan harga yang ada atau menaikkan harga BBM untuk mengurangi defisit
APBN yang terlalu berat. Selain itu dari sektor perbankan, pemerintah telah
mengeluarkan kebijakan menurunkan BI rate menjadi 8% per Januari 2008. (2) Dengan
dikeluarkan kebijakan ini memberikan peluang bagi sektor properti untuk bisa
berkembang. Namun dari bidang politik kemungkinan-kemungkinan negatif bisa
terjadi mengingat kondisi tahun 2008 masih rawan karena semua partai politik
akan bekerja keras untuk meraih dukungan massa, gesekan-gesekan politik
kemungkinan akan mudah terjadi. Tentunya kondisi serupa dihadapi oleh para
pebisnis, sulit sekali untuk secara akurat memprediksi kondisi ekonomi. Hal ini
antara lain juga dampak globalisasi yang menyebabkan kondisi ekonomi di suatu
negara dapat berpengaruh besar terhadap kondisi ekonomi negara lainnya. Bahkan
ketika ramalan tentang kondisi ekonomi akurat, masih belum jelas dampak ekonomi
terhadap industri tertentu. Sebagai contoh nyata, seperti yang telah diketahui
bersama saat ini beberapa sektor industri sedang digoncang krisis akibat
pengaruh krisis global yang tengah melanda dunia. Beberapa perusahaan telah
berencana merumahkan bahkan memPHK karyawan-karyawannya.
Dalam sektor
perbankan, kalangan perbankan mengkhawatirkan gejolak ekonomi global akan
menggerus kinerja perbankan di tengah situasi politik yang mulai menghangat
menjelang pemilihan umum 2009. Di sisi lain, Bank Indonesia meyakini
fundamental industri perbankan dalam negeri cukup kuat, sehingga bank sentral
meminta sejumlah kalangan agar tetap optimistis. Direktur Bank NISP Rudy
Hamdani menyatakan pihaknya mulai 'mencium' gelagat dampak dari gejolak
perekonomian dunia terhadap perekonomian dalam negeri, disusul peningkatan suhu
politik menjelang 2009. Akan tetapi di sisi lain, di tengah indikator ekonomi
akabibat kenaikan harga bahan bakar minyak, yang berpengaruh besar dan
cenderung negatif terhadap perilaku bisnis, kalangan perbankan merasa optimis
dapat meningkatkan pertumbuhan kredit. Suhu politik Pemilu 2009 yang sudah
mulai terasa, diharapkan dapat mendorong gairah perekonomian. Dana-dana politik
dan perputaran uang untuk tujuan politik dan kampanye semakin lancar sehingga
diharapakan terjadi pertumbuhan dana ekonomi pihak ketiga dan pertumbuhan
bisnis yang berkaitan dengan politik, sebagai contoh bisnis percetakan dan
bisnis sablon bendera dan sebagainya.
Proyeksi semua
sektor ekonomi pada tahun 2008 selalu dikaitkan dengan variabel politik. Hal
ini disebabkan suhu politik di tahun 2008 diprediksi akan meningkat karena
persiapan Pemilu 2009. Faktor politik pasti berdampak pada perekonomian,
terutama pada investasi. Situasi politik menjelang pemilu dan Sidang Umum MPR,
melahirkan iklim ketidakpastian bagi investor, terutama investor asing. Adapun
pengaruh politik menjelang Pemilihan Presiden 2009 diyakini akan memengaruhi
uang beredar. Di satu sisi, aktivitas ekonomi akan menurun seiring dengan
keterlibatan pelaku ekonomi dalam pemilu.
Hubungan sektor
bisnis dengan politik lebih mengacu pada konteks ekonomi yang dipengaruhi oleh
kebijakan politik, apabila kondisi politik tidak menentu atau mengalami
kekacauan (chaos) akan berdampak kepada perekonomian terutama menyangkut sektor
industri; permintaan dan penawaran tidak seimbang dan distribusi barang akan
terganggu. Apabila ini berlanjut maka akan terjadi inflasi tinggi yang ditandai
dengan kenaikan harga akibat permintaan yang menurun drastis atau bajhkan tidak
adanya permintaan. Di sisi lain,pengaruh gejolak politik pada kegiatan ekonomi,
tidak dapat diukur dengan eksak dan laporan angka-angka. Para pengamat hanya
dapat menganalisa kualitas dampaknya.
Pengaruh lingkungan internasional atau secara teori disebut
extrasocietal diyakini memiliki dampak yang juga signifikan bagi
keberlangsungan suatu sistem politik. Dampak ini jadi semakin mengemuka di
suatu era yang umum disebut globalisasi. Dalam globalisasi, suatu kejadian di
level internasional secara mudah langsung memberi dampak di tingkat sistem
politik suatu negara.
Lingkungan
extrasocietal terdiri atas sistem politik internasional, sistem ekologi
internasional, dan sistem sosial internasional. Sistem politik internasional
adalah kondisi terbaginya pusat-pusat kekuasaan politik dunia. Sistem ekologi
internasional adalah kondisi geografis persebaran negara yang menciptakan suatu
isu. Sistem sosial international adalah kondisi struktur sosial di tingkat
internasional yang berakibat pada terpengaruhnya kinerja sistem politik suatu
negara.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulannya
adalah, yang pertama
Sistem Politik Indonesia dalam Perspektif Historis dimulai dari masa orde lama. Orde lama adalah sebutan bagi orde pemerintahan
sebelum orde baru yang dianggap tidak melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen yang ditandai dengan diterapkannya Demokrasi
Terpimpin di bawah kepemimpinan Soekarno. Presiden Soekarno sebagai tokoh
sentral orde lama adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, bahkan ia
bertindak sebagai pemimpin besar revolusi.
Selanjutnya Sistem Politik Indonesia dalam Perspektif Struktural
Fungsional menurut Easton, politik sebagai organisme,
memperlakukannya sebagai mahluk hidup. Teori Easton berisi pernyataan tentang
apa yang membuat sistem politik beradaptasi, bertahan dan bereproduksi, dan
terutama berubah. Easton mengungkapkan bahwa memahami sistem politik sama
seperti halnya memahami sistem lain seperti ekonomi, yang kesemuanya merupakan
subsistem dari sistem yang lebih besar. Namun demikian, sistem politik menurut
pandangan Easton bersifat khusus, karena memiliki kekuatan membuat keputusan
yang mengikat semua anggota dalam sistem. Lalu Budaya politik, di Indonesia
merupakan perwujudan nilai nilai yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang
diyakini sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan kegiatan polituk
kenegaraan.
Setelah era
reformasi memang orang menyebut Indonesia telah menggunakan budaya Politik
partisipan karena telah bebasnya Demokrasi, partisipatifnya masyarakat dan
tidak tunduk akan keputusan atau kinerja pemerintah baru aetika . perlu
diketahui ketika era orde baru Demokrasi dikekang. Segala bentuk media
dikontrol/diawasi oleh pemerintah lewat Departemen Penerangan supaya tidak
mempublikasikan kebobrokan pemerintah. Yang terakhir yaitu bisnis politik. Bisnis dan politik adalah dua kegiatan yang saling
berkaitan. Bisnis dapat menunjang politik, demikian juga sebaliknya. Aktivitas
bisnis dapat dimudahkan karena adanya kegiatan politik pada tingkatan negara.
Sebaiknya, politik dapat dipermudah karena adanya kegiatan bisnis.Tanpa adanya
kegiatan bisnis, domestik dan internasional, politik kenegaraan tidak akan
mungkin dapat berjalan. Sebaliknya, kegiatan bisnis juga berjalan baik jika
kondisi politik domestik dan internasional amat kondusif dan mendukung.
3.2 Saran
Saran
dari penulis, yaitu bagi penulis selanjutnya diharapkan untuk mengembangkan
makalah dengan materi serupa dan menambah lebih banyak lagi referensi dari
buku-buku dan jurnal-jurnal, agar materi ini lebih kaya akan informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. 2003. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Cholisin, dkk. 2006. Dasar-dasar Ilmu Politik. Yogyakarta: FISE UNY.
Junaidi. 2008. Pergeseran Peran partai Politik Pasca Putusan MK Nomor:22-24/PUU-VI/2008. Jurnal Ilmu Hukum. Vol.2 No.2.
Lesmana, Andi. 2013. Politik Hukum Era Pemerintah Orde Lama. Universitas Syiah Kuala.
Maf’ul, Arsyad M. 2010. Partai Politik Pada Masa Orde baru dan Orde Lama. Supremasi, Vol. V No. 2.
Muhaimin,Yahya A. 1990. Bisnis dan Politik. Jakarta: LP3ES
Sarsito, Totok. 2011. Sistem Politik Indonesia I. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Thaha, Idris. 2004. Pergulatan Partai Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
http://elearning.stia-naganraya.ac.id/download.php?id_file=SistemPerpec3964b8e0.pdf&id=15, diakses 29 Maret 2015.
https://www.academia.edu/9504611/MAKALAH, diakses 29 Maret 2015.
No comments:
Post a Comment
Silahkan baca dan share