BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latarbelakang
Sistem pemerintahan
dalam suatu Negara sangat diperlukan, karena untuk mengatur dan mengelola
masyarakat dan sumber daya yang ada di dalamnya. Disetiap Negara memiiki sistem
pemerintahan yang berbeda-beda, sehingga mekanisme untuk menjalankan sistem
pemerintahan Negara masing-masing berbeda pula.
Sistem pemerintahan
juga akan mempengaruhi struktur pemerintah di dalamnya. Tidak jarang pula
sistem pemerintahan dalam suatu Negara sering diubah karena berbagai alasan
atau mekanisme yang digunakan dalam mengatur Negara pun diubah karena tidak
cocok dengan situasi dan kondisi dalam Negara, tidak terkecuali indonesia.
Negara indonesia pun pernah mengganti mekanisme sistem pemerintahan.
Pendekatan sistem
berusaha menimbulkan pemahaman terhadap politik bukan hanya dari perspektif
kelembagaan atau institusi yang ada saja.
Akan tetapi, sistem politik selalu bergerak dinamis, melibatkan fungsi
dan lingkungan internal dan eksternal.
Akibatnya, sistem politik di suatu Negara akan bersinggungan dengan
sistem politik di negara lain, begitu pula sebaliknya.
Semua
sistem politik, baik yang modern maupun primitif, menjalankan fungsi yang sama
walaupun frekuensinya berbeda yang disebabkan oleh perbedaan struktur. Kemudian
sistem politik ini strukturnya dapat diperbandingkan, bagaimana fungsi - fungsi
dari sistem-sistem politik itu dijalankan dan bagaimana pula cara/gaya
melaksanakannya.
Dalam teori Hukum
Tata Negara dikenal dua
bentuk sistem pemerintahan yaitu sistem pemerintahan
parlementer dan sistem
pemerintahan pres idensiil
(presidensial). Tetapi dalam praktek
ada juga dikenal sistem
pemerintahan campuran yang disebut sistem parlementer
tidak murni atau
presidensiil tidak murni .
Menurut Sri
Soemantri pengertian sistem
pemerintahan adalah sistem hubungan antara organ
eksekutif dan org an
legislatif (organ kekuasaan legislatif). Dua puluh delapan
tahun kemudian, beliau
mengatakan lagi bahwa sistem
pemerintahan adalah suatu sistem
hubungan kekuasaan antar lembaga negara. Sistem pemerintahan dalam arti
sempit ialah sistem
hubungan kekuasaan antara eksekutif (pemerintah)
dan legislatif. Dalam pada itu, sistem pemerintahan dalam arti luas adalah sistem hubungan kekuasaan
antara lembaga-lembaga negara
yang terdapat dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Sistem pemerintahan
dalam arti luas
inilah yang dimaksud dengan
sistem ketatanegaraan Indonesia (Dellarnoor, 2008: 1-2).
Kemudian Rukmana
Amanwinata menyatakan bahwa sistem
pemerintahan adalah hubungan antara kekuasaan eksekutif di satu pihak
dengan kekuasaan legislatif dilain
pihak. Eksekutif dalam
konteks di atas adalah
eksekutif dalam arti sempit
yaitu menunjuk kepada kepala
cabang kekuasaan eksekutif atau
the supreme head of the
executive departement. Senada
dengan pendapat Rukmana
Amanwinata di atas,
Bagir Manan mengungkapkan pula
bahwa sistem pemerintahan adalah suatu
pengertian (begrip) yang berkaitan
dengan tata cara pertanggungjawaban
penyelenggara pemerintahan (eksekutif)
dalam suatu tatanan negara demokrasi (Dellarnoor, 2008: 2).
1.2
Rumusan Masalah
Bagaimana Mekanisme Sistem Politik
Menurut Para Ahli?
1.3
Tujuan
Untuk Mengetahui Dan Mendeskripsikan
Mekanisme Sistem Politik Menurut Para Ahli?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Tentang Sistem
Menurut
"Webster's New Collegiate Dictionary" seperti dikutip oleh Sukarna dalam bukunya yang berjudul Sistem
Politik (1990) kata 'system' berasal dari kata syn' dan 'histanai'
yang artinya "to place together" (menempatkan
bersama-sama). Sistem diartikan sebagai "a complex of ideas,
principles, etc., forming a coherent whole, as the American system of government"
(suatu kompleks gagasan, prinsip dan lain sebagainya, yang membentuk suatu
keseluruhan yang berhubung-hubungan, seperti misalnya sistem pemerintahan
Amerika) (Sukarna, 1990: 13).
"Advanced Learners Dictionary," seperti
dikutip oleh Sukarna, mengartikan sistem sebagai "a group of facts,
ideas, beliefs, etc. arranged in an orderly way, as a system of philosophy"
(sekelompok fakta, gagasan, kepercayaan dan lain
sebagainya yang ditata dengan secara rapi, seperti suatu sistem filsafat)
(Sukarna, 13).
Dari dua pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa
sistem adalah merupakan sesuatu yang berhubung-hubungan satu sama lain sehingga
membentuk suatu kesatuan. Suatu sistem, dengan demikian, pasti mempunyai
struktur yang di dalamnya terdapat elemen-elemen yang satu sama lain saling
berjalinan, dan tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain sehingga membentuk
suatu kesatuan yang bulat. Dalam kaitannya dengan pengertian ini maka Almond
dan Powell, sebagaimana dikutip oleh Rusadi Kantaprawira dalam bukunya Sistem
Politik Indonesia: Suatu Model Pengantar (1988), mengatakan bahwa: "system
implies the interdependence of parts, and a boundary between it and its
environment. By 'interdependence' we mean that when the characteristics
of one part in a system change, all the other parts and the system as a whole
are affected" (sistem menunjukkan saling ketergantungan dari
bagian-bagian, dan perbatasan antara sistem dengan lingkungannya. Yang dimaksud
dengan 'saling ketergantungan' adalah bahwa bila ciri-ciri dari salah satu
bagian dalam suatu sistem itu berubah, maka semua bagian yang lain dan sistem
itu secara keseluruhan akan terpengaruh) (Rusadi Kantaprawira, 1988: 4).
Konsep
“sistem” oleh sarjana politik, seperti halnya organisme dalam ilmu biologi,
terdiri dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang saling bergantung kepada
orang lain dan saling mengadakan interaksi.
Keseluruhan dari interaksi ini perlu diteliti jika seluruh organisme
ingin dimengerti. Dua ciri perlu diperhatikan. Pertama, bahwa setiap perubahan dalam satu bagian dari
sistem itu mempengaruhi seluruh sistem. Kedua, bahwa sistem itu bekerja dalam
suatu lingkungan (environment) yang
lebih luas dan bahwa ada perbatasan antara sistem dengan lingkungannya. Juga
perlu diperhatikan bahwa sistem mengadakan interaksi dengan lingkungan dan
dipengaruhi oleh lingkungan itu.
2.2 Pengertian Tentang Politik
Menurut Alan C. Isaak di
dalam bukunya yang berjudul Scope and Methods of Political Science (1975),
politik sering diartikan sama dengan pemerintahan (government), pemerintahan
atas dasar hukum (legal government), atau negara (state). Selain
itu politik juga sering diartikan sama dengan kekuasaan power), kewenangan
(authority) dan atau perselisihan (conflict) (Isaak, 1975:
15)
Bagi
mereka yang mengartikan politik sama dengan pemerintahan akan melihat politik
sebagai apa yang terjadi di dalam badan pembuat undang-undang negara, atau
kantor Walikota. Alfred de Grazia menyatakan bahwa politik (politics atau
political) "meliputi peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar
pusat-pusat pembuatan keputusan pemerintah" (Isaak, 16). Charles Hyneman
sebagaimana dikutip oleh Alan C. Isaak mengartikan politik sebagai
"pemerintahan atas dasar hukum" (Isaak, 16). "Titik pusat
perhatian ilmu politik Amerika adalah bagian dari masalah-masalah kenegaraan
yang berpusat di pemerintahan, dan macam atau bagian pemerintahan yang
berbicara melalui undang-undang". Dengan demikian ada dua versi yang
mendefinisikan politik sama dengan pemerintahan: versi pertama hanya
membicarakan tentang pemerintahan, sedangkan versi kedua yang dibicarakan tidak
hanya pemerintahan akan tetapi juga undang-undang.
Sekarang
apa yang dimaksud dengan pemerintahan (government) itu? Alan C. Isaak
mengartikan pemerintahan sebagai "lembaga dari suatu masyarakat yang
didasarkan pada hukum atau undang-undang yang bertugas untuk membuat keputusan
yang mengikat secara hukum" (the legally based institutions of a
society which make legally binding decisions) (Isaak, 16). Apakah
politik diartikan sebagai “pemerintahan” atau “pemerintahan yang berdasar
hukum” yang jelas keduanya memusatkan perhatiannya pada lembaga-lembaga formal.
Definisi
yang mempersamakan politik dengan pemerintahan menurut banyak ilmuwan politik
dikatakan sebagai memiliki keterbatasan dalam penerapannya atau secara tidak
realistik bersifat terbatas. Sebagai contoh apakah keputusan yang mengikat
masyarakat yang dibuat oleh pemimpin-pemimpin atau ketua-ketua suku
diklasifikasikan sebagai bersifat non-politik dan oleh karena itu berada di
luar ruang lingkup ilmuwan politik?
Ilmuwan
politik yang mengritik definisi politik sebagai sama dengan pemerintahan
memformulasikan suatu definisi alternatif yang mempersamakan politik dengan
"kekuasaan" (power), "kewenangan" (authority) atau
"perselisihan/pertikaian" (conflict). William Bluhm
sebagaimana dikutip oleh Alan C. Isaak menyatakan bahwa "politik merupakan
proses sosial yang diikuti oleh kegiatan yang melibatkan permusuhan dan
kerjasama dalam menjalankan kekuasaan, dan mencapai puncaknya pada pembuatan
keputusan bagi suatu kelompok" (Isaak, 18). Politik dijumpai di manapun
hubungan kekuasaan ataupun situasi konflik terjadi, ini artinya ilmuwan politik
dapat juga dengan secara sah mempelajari politik dari serikat buruh, perusahaan
atau suku-suku di Afrika, dan juga apa saja yang terjadi di dalam badan pembuat
undang-undang atau administrasi. Definisi ini lebih menekankan pada jenis
kegiatan (action) atau perilaku (behaviour) daripada pada jenis
kelembagaan (institution) tertentu.
Definisi
politik yang didasarkan pada pemerintahan pada sesungguhnya merupakan versi
definisi yang didasarkan pada kekuasaan (power), yaitu kekuasaan atau power
yang dijalankan didalam dan oleh lembaga pemerintahan. Dengan demikian
sesungguhnya semua definisi tentang politik didasarkan pada gagasan tentang
proses atau konflik. Max Weber mengartikan politik sebagai "usaha untuk
membagi kekuasaan atau usaha untuk mempengaruhi distribusi kekuasaan, baik di
antara negara-negara ataupun di antara kelompok-kelompok yang ada di dalam
negara" (Isaak, 18).
Definisi
berikutnya mempersamakan politik atau sistem politik sebagai "penjatahan
nilai-nilai bagi suatu masyarakat dengan secara sah" (the authoritative
allocation of societal values). Definisi ini dikemukakan oleh David
Easton dan lebih menekankan pada aktifitas atau kegiatan daripada pada lembaga.
Menurut Easton "penjatahan nilai-nilai secara sah" merupakan jenis
kegiatan yang menarik bagi kita dengan alasan karena setiap nilai masyarakat
dibutuhkan oleh setiap orang, bahwa orang-orang memiliki kepentingan atau
tujuan yang berbeda-beda dan kepentingan atau tujuan yang berbeda-beda ini
harus dialokasikan, dibagi-bagikan oleh seseorang atau oleh sesuatu, dan inilah
yang disebut situasi power atau konflik" (Isaak, 20). Setiap masyarakat,
kata Easton, memiliki sistem politik yang didefinisikan sebagai suatu sistem yang
secara sah menjatahkan atau mengalokasikan nilai-nilai, tetapi sistem-sistem
ini memiliki bentuk yang berbeda-beda.
Dengan
demikian, definisi ini tidaklah membatasi kita hanya pada mempelajari
pemerintahan yang sah (atau atas dasar hukum), akan tetapi kita juga dapat
mempelajari sistem politik atau kebudayaan lainnya secara obyektif tanpa
pandangan-pandangan tentang struktur dan perilaku politik yang dipertimbangkan
sebelumnya. Selain itu ketika kita mempelajari sistem politik pada lembaga formal
pemerintahan, seperti kongres atau parlemen, kita dapat memasukkan juga
kelompok-kelompok kepentingan, partai politik, dan pengaruh-pengaruh lainnya
yang kurang begitu jelas terhadap keputusan-keputusan yang sah.
Meskipun
demikian definisi Easton tidaklah meliputi semua situasi kekuasaan atau
pemilihan keputusan, akan tetapi hanya keputusan-keputusan yang mengikat
masyarakat saja yang relevan bagi ilmuwan politik. Menurut Easton "suatu
kebijakan itu sah (authoritative) apabila rakyat yang dikenai kebijakan
itu atau mereka yang dipengaruhi oleh kebijakan itu menganggap bahwa mereka
harus atau seharusnya mematuhinya" atau dengan kata lain kebijakan itu
dianggap mengikat mereka. Perbedaan
antara Harold Laswell yang mendefinisikan politik sebagai "Who Gets
What When How?" dengan Easton adalah bahwa apabila Laswell
menekankan pada peranan power dalam proses distribusi, maka Easton menekankan
pada hubungan antara apa yang masih ada di dalam sistem (tumbuhan) dan apa yang
keluar dari sistem (keputusan). Atau dengan kata lain Easton memusatkan
perhatiannya pada keseluruhan sistem politik, sementara Laswell memusatkan
perhatiannya hanya pada individu yang memiliki pengaruh paling besar pada
proses distribusi, yaitu mereka yang memiliki power.
Pada umumnya, dapat dikatakan
bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem
politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari
sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.
Pengambilan keputusan (decision making)
mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi
antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan
yang telah dipilih. Politik ini menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh
masyarakat (public goals), dan bukan
tujuan pribadi seseorang (private goals).
Lagipula politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai politik
dan kegiatan orang seorang (individu) (Budiardjo, 1998 : 8).
2.3
Sistem Politik
Pada dasarnya konsep
sistem politik dipakai untuk keperluan analisa, dimana suatu sistem bersifat
abstrak pula. Dalam konteks ini sistem
terdiri dari beberapa variabel. Disamping itu konsep sistem politik dapat
diterapkan pada suatu situasi yang konkrit, misalnya negara atau kesatuan yang
lebih kecil seperti kota, atau suku-bangsa ataupun kesatuan yang lebih besar
seperti di bidang internasional, dimana sistem politik terdiri dari beberapa
negara.
Konsep sistem politik
di dalam penerapan pada situasi yang konkrit seperti negara, mencoba
mendasarkan studi tentang gejala-gejala politik dalam konteks tingkah-laku di
dalam masyarakat. Tingkah laku politik dianggap sebagai bagian dari keseluruhan
tingkah laku sosial. Menurut pemikiran ini masyarakat merupakan suatu sistem
sosial yang pada hakekatnya terdiri dari bermacam-macam proses. Diantara
bermacam-macam proses ini dapat dilihat gejala-gejala politik sebagai suatu
kumpulan proses tersendiri yang berbeda dengan proses-proses lainnya. Inilah
yang dinamakan sistem politik.
Sistem politik ini hanya merupakan salah satu dari
bermacam-macam sistem yang terdapat dalam suatu masyarakat, seperti misalnya
sistem ekonomi, sistem teknik dan sebagainya. Oleh karena itu, sistem ini
berada dalam masyarakat atau sistem sosial, maka sering sistem ekonomi, sistem
politik, sistem teknik, sistem komunikasi, dan sebagainya dinamakan sub-sistem
yaitu sub-sistem ekonomi dan sub-sistem politik dan sebagainya
Setiap sistem
masing-masing mempunyai fungsi tertentu yang dimaksudkan untuk menjaga
kelangsungan hidup dan mencapai tujuan dari masyarakat tersebut. Sistem- sistem
ini merupakan lingkungan dari sistem politik. sistem-sistem mempengaruhi
jalannya sistem politik serta pelaku-pelaku politik.
Dalam konsep
sistem politik ini kita temukan istilah-istilah seperti proses, struktur dan
fungsi. Proses adalah pola-pola (sosial dan politik)yang dibuat manusia dalam
mengatur hubungan antara satu sama lain. Pola-pola ini ada yang jelas
kelihatan, ada pula yang kurang jelas tampak. Dalam suatu negara, lembaga –
lembaga seperti parlemen, partai, birokrasi, sekalipun sudah mempunyai
kehidupan sendiri, sebenarnya tak lain dari proses-proses yang pola-pola
ulangannya sudah mantap. Mereka mencerminkan struktur tingkah-laku (structure of behavior). Struktur
mencakup lembaga-lembaga formil dan informil seperti parlemen, kelompok
kepentingan, kepala negara, jaringan komunikasi dan sebagainya.
Seperti telah diterangkan di atas,
sistem politik menyelengarakan fungsi-fungsi tertentu untuk masyarakat.
fungsi-fungsi itu adalah membuat keputusan - keputusan kebijaksanaan yang mengikat menganai alokasi dari
nilai-nilai (baik yang bersifat materiil maupun yang non-materiil).
Keputusan-keputusan kebijaksanaan ini diarahkan kepada tercapainya
tujuan-tujuan masyarakat. Sistem politik menghasilkan “output” yaitu keputusan
– keputusan kebijaksanaan - kebijaksanaan yang mengikat. Dengan kata lain,
melalui sistem politik tujuan-tujuan masyarakat dirumuskan dan selanjutnya
dilaksanakan oleh keputusan-keputusan kebijaksanaan.
Sistem politik disebut sebagai
“sistem terbuka” (open system), oleh
karena terbuka untuk pengaruh dari luar sebagai akibat dari interaksi dengan
sistem-sistem lain. Maka dari itu seorang sarjana ilmu politik harus mampu
untuk melibatkan aspek-aspek non-politik dari kehidupan sosial dalam
penelitiannya.
2.3.1 Sistem Politik Menurut David
Easton (Sumber: Web Unair.ac.id)
David Easton
(1953), seorang ilmuwan politik dari Harvard University, memperkenalkan
pendekatan analisa sistem sebagai metode terbaik dalam memahami politik.
Di kalangan ilmuwan politik yang menganut tradisi pluralis, teori Easton yang
bersifat abstrak berpengaruh sampai akhir tahun 1960-an (lihat Harold Laswell
dan Robert Dahl). Kaum pluralis
mengingkari berbicara dengan konteks spesifik.
Sedangkan ilmuwan politik kontemporer berkeinginan untuk menciptakan
teori umum dengan melihat masalah lebih konstekstual.
Sistem
politik menurut David
Easton: “seperangkat interaksi yang diabstraksi dari totalitas prilaku sosial,
melalui mana nilai-nilai disebarkan untuk suatu masyarakat”.
Ciri-Ciri Sistem Politik Menurut David Easton:
ü Unit-unit dan
batasan-batasan suatu sistem politik
¡ Batasan, yaitu peran yang dijalankan mereka sebagai
unit sistem politik.
¡ Unit-unit sistem politik, seperti eksekutif,
legislatif, yudikatif.
Di dalam
kerangka kerja suatu sistem politik, terdapat unit-unit yang satu sama lain
saling berkaitan dan saling bekerja sama untuk mengerakkan roda kerja sistem
politik. Unit-unit ini adalah lembaga-lembaga yang sifatnya otoritatif untuk
menjalankan sistem politik seperti legislatif, eksekutif, yudikatif, partai
politik, lembaga masyarakat sipil, dan sejenisnya.
ü Input dan Output.
Input
merupakan masukan dari masyarakat ke dalam sistem politik. Input yang masuk
dari masyarakat ke dalam sistem politik berupa tuntutan dan dukungan. Output
adalah hasil kerja sistem politik yang berasal baik dari tuntutan maupun
dukungan masyarakat. Output terbagi dua yaitu keputusan dan tindakan yang
biasanya dilakukan oleh pemerintah.
Proses
dalam setiap sistem dapat dijelaskan sebagai input dan output. Begitu
pula dalam suatu sistem politik yang konkrit, seperti negara, terjadi semacam
itu. Dapat dilihat suatu pola tertentu dalam hubungan dan interaksi antara
sistem politik dan lingkungan. Yang dinamakan input (yang datang dari
lingkungan) ialah tuntutan serta aspirasi masyarakat dan juga dukungan
masyarakat. Dalam sistem politik input ini
diolah dan diubah (conversion)
menjadi output, keputusan-keputusan
dan kebijaksanaan-kebijaksaaan yang mengikat dari pemerintah.
Keputusan-keputusan ini mempunyai pengaruh, dan pada gilirannya dipengaruhi
oleh lingkungan sistem-sistem lain, seperti sistem ekonomi, sistem teknik, dan
sebagainya. Dengan demikian feedback (umpan-balik)
dari output yang kembali menjadi input baru mengalami pengaruh-pengaruh
dari luar ini. Dan demikian seterusnya (Budiardjo, 1998 : 46 – 49)
ü Differensiasi dalam suatu sistem.
Sistem yang
baik harus memiliki diferensiasi kerja. Di masa modern tidak mungkin satu
lembaga dapat menyelesaikan seluruh masalah. Misalkan saja dalam pembuatan
undang-undang pemilihan umum di Indonesia, tidak bisa cukup Komisi Pemilihan
Umum saja yang merancang kemudian mengesahkan. DPR, KPU, lembaga kepresidenan,
partai politik dan masyarakat umum dilibatkan dalam pembuatan undang-undangnya.
Meskipun bertujuan sama yaitu memproduksi undang-undang partai politik,
lembaga-lembaga tersebut memiliki perbedaan di dalam fungsi pekerjaannya.
ü Integrasi suatu sistem
Integrasi
adalah keterpaduan kerja antar unit yang berbeda untuk mencapai tujuan bersama.
Undang-undang Pemilihan Umum tidak akan diputuskan serta ditindaklanjuti jika
tidak ada kerja yang terintegrasi antara DPR, Kepresidenan, KPU, Partai Politik
dan elemen-elemen masyarakat.
Easton memandang sistem politik sebagai tahapan pembuatan keputusan
yang memiliki batasan (misal, semua sistem politik
mempunyai batas yang jelas) dan sangat luwes (berubah sesuai kebutuhan). Model sistem politik
terdiri dari fungsi input, berupa tuntutan dan dukungan; fungsi pengolahan (conversion); dan fungsi output sebagai
hasil dari proses sistem politik, lebih jelasnya seperti berikut ini:
Tahap
1: di dalam sistem politik akan terdapat “tuntutan” untuk “output” tertentu
(misal: kebijakan), dan adanya orang atau kelompok mendukung tuntutan tersebut.
Tahap
2: Tuntutan-tuntutan dan kelompok akan berkompetisi (“diproses dalam sistem”),
memberikan jalan untuk pengambilan keputusan itu sendiri.
Tahap
3: Setiap keputusan yang dibuat (misal: kebijakan tertentu), akan berinteraksi
dengan lingkungannya.
Tahap
4: ketika kebijakan baru berinteraksi dengan lingkungannya, akan menghasilkan
tuntutan baru dan kelompok dalam mendukung atau menolak kebijakan tersebut
(“feedback”).
Tahap
5, kembali ke tahap 1.
Apabila sistem berfungsi seperti tahapan yang digambarkan, kita akan
mendapatkan “sistem politik stabil.”
Sedangkan apabila sistem tidak berjalan sesuai tahapan, maka kita akan
mendapatkan “sistem politik disfungsional.” Easton
menetapkan batasan lingkungan pada sistem politik dimana input dan output
senantiasa berada dalam keadaan tetap, seperti tergambar dalam ilustrasi di
bawah ini.
Menurut
Easton, politik harus dilihat secara keseluruhan, bukan hanya berdasarkan
kumpulan dari beberapa masalah yang harus dipecahkan. Easton menganggap politik
sebagai organisme, memperlakukannya sebagai mahluk hidup. Teori Easton berisi
pernyataan tentang apa yang membuat sistem politik beradaptasi, bertahan dan
bereproduksi, dan terutama, berubah.
Easton menggambarkan politik dalam keadaan selalu bergejolak, menolak
ide “equilibrium,” yang mempengaruhi teori politik masa kini. Lebih jauh,
Easton menolak ide bahwa politik dapat dipelajari dengan melihat berbagai
tingkatan analisis. Oleh karena itu,
abstraksi Easton dapat diterapkan untuk kelompok apapun pada waktu kapanpun.
Hasil
karya pemikiran Easton mengenai model sistem politik dapat ditemukan di tiga
volume buku yaitu: “The Political System” (1964); “A Framework for Political
Analysis” (1965); dan yang paling penting adalah “A Systems Analysis of
Political Life” (1979). A Framework for Political Analysis (1965) dan A
System Analysis of Political Life (1965) Chilcote menyebutkan bahwa Easton
mulai mengembangkan serta merinci konsep-konsep yang mendukung karya sebelumnya
– penjelasan-penjelasannya yang abstrak – dengan coba mengaplikasikannya pada
kegiatan politik konkrit dengan menegaskan hal-hal sebagai berikut:
·
Masyarakat
terdiri atas seluruh sistem yang terdapat di dalamnya serta bersifat terbuka;
·
Sistem
politik adalah seperangkat interaksi yang diabstraksikan dari totalitas
perilaku sosial, dengan mana nilai-nilai dialokasikan ke dalam masyarakat
secara otoritatif. Kalimat ini sekaligus merupakan definisi politik dari
Easton; dan
·
Lingkungan
terdiri atas intrasocietal dan extrasocietal.
Lingkungan intrasocietal
terdiri atas lingkungan fisik serta sosial yang terletak di luar batasan
sistem politik tetapi masih di dalam masyarakat yang sama. Lingkungan intrasocietal
terdiri atas:
-
Lingkungan
ekologis (fisik, nonmanusia). Misal dari lingkungan ini adalah
kondisi geografis wilayah yagng didominasi misalnya oleh pegunungan, maritim,
padang pasir, iklim tropis ataupun dingin;
-
Lingkungan biologis (berhubungan
dengan keturunan ras). Misal dari lingkungan ini adalah semitic, teutonic,
arianic, mongoloid, skandinavia, anglo-saxon, melayu, austronesia, caucassoid
dan sejenisnya;
-
Lingkungan
psikologis. Misal dari lingkungan ini adalah postcolonial,
bekas penjajah, maju, berkembang, terbelakang, ataupun superpower;
dan
-
Lingkungan
sosial. Misal dari lingkungan ini adalah budaya, struktur
sosial, kondisi ekonomi, dan demografis.
Lingkungan extrasocietal
adalah bagian dari lingkungan fisik serta sosial yang terletak di luar
batasan sistem politik dan masyarakat tempat sistem politik berada. Lingkungan extrasocietal
terdiri atas:
-
Sistem
Sosial Internasional. Misal dari sistem sosial internasional
adalah kondisi pergaulan masyarakat dunia, sistem ekonomi dunia, gerakan
feminisme, gerakan revivalisme Islam, dan sejenisnya, atau mudahnya apa yang
kini dikenal dalam terminologi International Regime (rezim
internasional) yang sangat banyak variannya.
-
Sistem
ekologi internasional. Misal dari sistem ekologi
internasional adalah keterpisahan negara berdasar benua (amerika, eropa, asia,
australia, afrika), kelangkaan sumber daya alam, geografi wilayah berdasar
lautan (asia pasifik, atlantik), isu lingkungan seperti global warming
atau berkurangnya hutan atau paru-paru dunia.
-
Sistem
politik internasional. Misal dari sistem politik
internasional adalah PBB, NATO, ASEAN, ANZUS, Europa Union, kelompok
negara-negara Asia Afrika, blok-blok perdaganan dan poros-poros politik khas
dan menjadi fenomena di aneka belahan dunia. Termasuk ke dalam sistem politik
internasional adalah pola-pola hubungan politik antar negara seperti hegemoni,
polarisasi kekuatan, dan tata hubungan dalam lembaga-lembaga internasional.
Seluruh pikiran Easton mengenai
pengaruh lingkungan ini dapat dilihat di dalam bagan model arus sistem politik
berikut:
Model Arus Sistem Politik Easton
Model arus sistem politik di atas hendak menunjukkan bagaimana lingkungan,
baik intrasocietal maupun extrasocietal, mampu mempengaruhi
tuntutan dan dukungan yang masuk ke dalam sistem politik. Terlihat dengan jelas
bahwa skema ini merupakan kembangan lebih rumit dan rinci dari skema yang
dibuat Easton dalam karyanya tahun 1953. Keunggulan dari model arus sistem
politik ini adalah Easton lebih merinci pada sistem politik pada hakikatnya
bersifat terbutka. Dua jenis lingkungan, intrasocietal dan extrasocietal
mampu mempengaruhi mekanisme input (tuntutan dan dukungan) sehingga
struktur proses dan output harus lincah dalam mengadaptasinya.
Tuntutan dan dukungan dikonversi
di dalam sistem politik yang bermuara pada output yang dikeluarkan oleh Otoritas.
Otoritas di sini berarti lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan
keputusan maupun tindakan dalam bentuk policy (kebijakan), bukan
sembarang lembaga, melainkan menurut Easton diposisikan oleh negara (state).
Output ini kemudian kembali dipersepsi oleh lingkungan dan proses siklis
kembali berlangsung.
Perbedaan
satu sistem politik dengan sistem politik lainnya dapat dipisahkan melalui tiga
dimensi: polity, politik, dan policy
(kebijakan). Polity diambil dari dimensi formal politik, yaitu, struktur
dari norma, bagaimana prosedur mengatur institusi mana yang semestinya ada
dalam politik. Politik dari dimensi prosedural lebih mengarah pada proses
membuat keputusan, mengatasi konflik, dan mewujudkan tujuan dan kepentingan.
Dimensi ini melingkupi beberapa isu klasik yang berkaitan dengan ilmu politik,
seperti siapa yang dapat memaksakan kepentingannya? mekanisme seperti apa yang
berlangsung dalam menangani konflik? dsbnya. Dan terakhir adalah policy
sebagai dimensi politik, melihat substansi dan cara pemecahan masalah berikut
pemenuhan tugas yang dicapai melalui sistem administratif, menghasilkan
keputusan yang mengikat bagi semua. Easton berpendapat bahwa definisi politik
dari ketiga dimensi ini terbukti lebih efektif, terutama untuk memahami
realitas politik dalam upaya memberikan pendidikan politik.
Teori
Easton memiliki beberapa kelemahan, antara lain karena:
(1)
sifatnya
yang mutlak;
(2) Teori menjunjung tinggi kestabilan,
kemudian gagal menjelaskan mengapa sistem dapat hancur atau konflik;
(3) Teori menolak setiap kejadian atau
masukan dari luar yang akan mendistorsi sistem.
Dengan kata lain, pandangan Easton menyarankan bahwa setiap sistem
politik dapat diisolasi dari yang lainnya (lihat otonomi, kedaulatan);
(4) Teori ini mengingkari keberadaan suatu
negara;
(5)
Teori
bersifat mekanistik, dengan demikian melupakan diferensiasi sistem yang timbul
akibat variasi.
Berangkat
dari kelemahan tersebut, lahirlah kemudian turunan teori sistem politik Almond
dengan pendekatan struktural-fungsional, meninjau sistem politik suatu negara
dari struktur dan fungsi institusi yang ada sebagai suatu bagian integral dari
sistem politik dunia.
Oleh
karena itu, pendekatan struktural-fungsional sistem politik akan melengkapi
pemahaman terhadap sistem politik yang sudah terlebih dulu dirumuskan oleh
Easton.
2.3.2 Sistem Politik Menurut Gabriel
A. Almond
Gabriel Abraham Almond adalah salah satu pengguna
teori sistem politik Easton. Namun, Almond kurang sreg dengan pendekatan
Easton yang terlampau abstrak. Almond juga menyayangkan kurangnya perhatian
Easton pada kajian-kajian politik dalam skala mikro.
Menurut Chilcote, pada tahun 1956 – jadi sekitar tiga tahun setelah David
Easton meluncurkan karyanya The Political System tahun 1953 -
Gabriel Abraham Almond menerapkan teori sistem tersebut atas sistem
politik suatu bangsa sebagai bentuk metode trial and error layaknya
sebuah teori. Namun, Almond melakukan sejumlah modifikasi atas teori
Easton. Jika Easton membangun suatu grand theory, maka Almond membangun
suatu middle-range theory. Secara umum, teori sistem yang dibangun
Almond terdiri atas tiga tahap. Pentahapan pemikiran
Easton ini mengikuti pendapat Ronald H. Chilcote yang mengacu pada karya-karya
penelitian Almond.
Di dalam
tulisannya Comparative Polititical System tahun 1956 Almond mengajukan
tiga asumsi yang harus dipertimbangkan dalam kajian sistem politik yang terdiri
atas:
- Sistem menandai totalitas interaksi di antara
unit-unitnya dan keseimbangan di dalam sistem selalu berubah;
- Hal penting dalam sistem
politik bukan semata-mata lembaga formal, melainkan juga struktur informal
serta peran yang dijalankannya; dan
- Budaya politik adalah
kecenderungan utama dalam sistem politik, di mana budaya inilah yang
membedakan satu sistem politik dengan sistem politik lain.
Bagi Almond,
sistem politik adalah totalitas interaksi antar unit-unit yang ada di dalamnya.
Interaksi tersebut tidak hanya sebatas pada lembaga-lembaga (aktor-aktor)
politik formal melainkan pula informal. Dapat dibayangkan pengaruh politik
struktur-struktur non formal yang dipimpin oleh Kardinal Sin sewaktu perubahan
politik Filipina, Uskup Bello saat Timor Timur masih berada di wilayah
Indonesia, M. Amien Rais dan K. H. Abdurrachman Wahid yang mewakili Muhammadiyah
dan Nahdlatul Ulama dalam pentas politik Indonesia, ataupun pengaruh
Pakubuwana secara spiritual bagi politik di tanah Jawa. Easton menghindari
kajian atas struktur-struktur seperti ini sementara Almond justru mengapresiasi
signifikansinya.
Keseimbangan
di dalam sistem politik menurut Almond selalu berubah sehingga sistem politik
lebih bersifat dinamis ketimbang statis. Perubahan keseimbangan ini tentu saja
tidak lepas dari pengaruh lingkungan intrasocietal dan extrasocietal.
Pengaruh tersebut membuat perimbangan kekuatan antar struktur formal
berubah dan contoh paling mudah adalah dominannya kekuatan lembaga kepresidenan
atas legislatif dan yudikatif di masa pra transisi politik 1998 berganti dengan
persamaan dan penyetaraan kekuatan di antara ketiga lembaga tersebut pasca
transisi.
Kecenderungan
orientasi politik individu atas sistem politik – atau biasa disebut budaya
politik – juga berbeda baik antar negara atau bahkan di dalam negara itu
sendiri. Almond bersama Sidney Verba secara khusus menyelidiki budaya
politik ini yang tersusun di dalam buku The Civic Culture: Political
Attitudes and Democracy in Five Nations yang terbit tahun 1963. Pada
perkembangannya, konsep budaya politik ini semakin populer dan luas
digunakan para peneliti di dunia termasuk Indonesia. Khusus mengenai budaya
politik, Almond menyatakan bahwa yang ia maksud dengannya adalah:
- Seperangkat orientasi politik yang bersifat
subyektif dan berlaku di suatu bangsa, atau sub-sub masyarakat yang ada di
dalam bangsa tersebut;
- Budaya politik terdiri atas komponen-komponen
kognitif (pengetahuan dan kepercayaan tentang realitas politik), afektif
(rasa penghargaan atas politik), dan evaluatif (komitmen atas nilai-nilai
politik);
- Budaya politik adalah hasil sosialisasi politik
di masa kanak-kanak, pendidikan, terpaan media, dan akibat sentuhan pengalaman
di masa dewasa sehubungan kinerja sosial dan ekonomi yang ditunjukkan
pemerintah; dan
- Budaya politik berdampak atas struktur dan
kinerja pemerintah, di mana dampak ini sifatnya lebih cenderung memaksa
ketimbang otomatis menentukan struktur dan kinerja pemerintah.
Budaya
politik di masing-masing individu sifatnya subyektif. Subyektivitas ini
mendorong terdapatnya lebih dari satu macam budaya politik di dalam masyarakat
suatu bangsa. Layaknya budaya yang bersifat sosial (budaya daerah atau lokal),
budaya politik masyarakat dalam satu negara sangat mungkin berbeda. Sebagian
warganegara Indonesia di propinsi Papua tidak seluruhnya memiliki afeksi atas
Negara Kesatuan Republik Indonesia, melainkan hanya pada sistem politik lokal
yaitu suku-suku atau klan di mana mereka menjadi anggota (komunitas politik
lokal), pendukung Organisasi Papua Merdeka ataupun pro-integrasi.
Kembali pada
masalah perkembangan pemikiran Gabriel Abraham Almond, bahwa dalam tahap
selanjutnya, Almond – kini bersama James Coleman di dalam bukunya The
Political of the Developing Areas yang terbit tahun 1963 – berusaha
menghindari terjebaknya analisa sistem politik hanya pada kajian kontitusi
ataupun lembaga politik formal. Almond (dan Coleman) kemudian mengarahkannya
pada struktur serta fungsi yang dijalankan masing-masing unit politik dalam
sistem politik. Dengan demikian, Almond memperkenalkan konsep fungsi guna menggantikan konsep power,
sementara konsep struktur digunakannya untuk mengganti konsep lembaga
politik formal.
Almond menegaskan bahwa sistem politik memiliki empat
karakteristik yang bersifat universal. Keempat karakteristik
ini berlaku di negara manapun dan terdiri atas premis-premis:
- Setiap sistem politik memiliki struktur-struktur
politik;
- Fungsi-fungsi (dari setiap struktur) yang sama
dapat ditemui di setiap sistem politik;
- Setiap struktur politik … bersifat multifungsi;
dan
- Setiap sistem politik telah bercampur dengan
budaya politik (yang dianut warganegara masing-masing).
Setelah
mengajukan keempat premis tersebut, Almond memodifikasi struktur input
serta output David Easton dan hasilnya adalah Almond berhasil
memperjelas abstraknya Easton dalam menjelaskan masalah fungsi input dan output sistem politik sebagai berikut:
Fungsi Input terdiri atas:
- Sosialisasi dan rekrutmen
politik. Fungsi sosialisasi dan rekrutmen politik
selanjutnya ditempatkan Almond sebagai fungsi pemeliharaan sistem
politik.
- Artikulasi kepentingan.
Struktur yang menjalankan fungsi artikulasi kepentingan adalah
kelompok-kelompok kepentingan yang terorganisir yang meliputi tipe: (a) Institutional;
(b) Non-Associational; (c) Anomic; dan (d) Associational.
- Agregasi (pengelompokan)
kepentingan. Jalannya fungsi ini
dipengaruhi oleh dua hal yaitu sistem kepartaian yang berlaku di suatu
negara dan penampilan fungsi-fungsi agregatif. Sistem kepartaian (menurut
Almond) misalnya Authoritarian, Dominant-Authoritarian, Competitif, dan
Competitive Multi-party. Penampilan fungsi-fungsi agregatif
misalnya tawar-menawar yang sifatnya pragmatis atau sekular, cenderung
berorientasi nilai absolut, dan bersifat tradisi ataupun partikularistik.
- Komunikasi politik. Guna
membanding pola komunitasi politik antar sistem politik, Almond mengajukan
empat parameter yaitu: (1) Homogenitas informasi politik yang tersedia;
(2) Mobilitas informasi (vertikal atau horisontal; (3) Nilai informasi;
dan (4) Arah dari arus informasi yang berkembang (komunikator atau
komunikan).
Fungsi output terdiri atas :
- Pembuatan peraturan.
Berdasarkan tuntutan dan dukungan serta aneka pengaruh lingkungan
intrasocietal dan extrasocietal, input berusaha diterjemahkan menjadi
kebijaksanaan umum (policy).
- Penerapan peraturan.
Ketika policy sudah terbentuk, hal yang harus dilakukan adalah melakukan
tindak administrasi guna mengimplementasikannya pada ranah publik.
- Pengawasan peraturan. Ada
lembaga khusus yang melakukan pengawasan dan menyelesaikan persengketaan
dalam hal pembuatan dan pelaksanaan peraturan.
Menurut Chilcote, setelah merevisi
teori sistem politik dari David Easton, Almond meringkas pola pikir sistem
politiknya ke dalam skema berikut:
Diagram
Sistem Politik Almond dan Level-level Fungsi
Di level fungsi input, sosialisasi dan rekrutmen politik meliputi
rekrutmen individu dari aneka kelas masyarakat, etnik, kelompok, dan sejenisnya
untuk masuk ke dalam partai politik, birokrasi, lembaga yudisial, dan
sebagainya. Dalam perkembangan pemikirannya kemudian, Almond memasukkan
sosialisasi dan rekrutmen politik ke dalam fungsi konversi. Artikulasi
kepentingan merupakan ekspresi kepentingan dan tuntutan politik untuk melakukan
tindakan.
Melalui
skema di atas – masih menurut Chilcote – Almond membagi sistem politik ke dalam
tiga level. Level pertama terdiri atas enam fungsi konversi
yaitu: (1) artikulasi kepentingan (penyampaian tuntutan dan dukungan);
(2) agregasi kepentingan (pengelompokan ataupun pengkombinasian aneka
kepentingan ke dalam wujud rancangan undang-undang); (3) komunikasi politik;
(4) pembuatan peraturan (pengkonversian rancangan undang-undang menjadi
undang-undang atau peraturan lain yang sifatnya mengikat); (5) pelaksanaan
peraturan (penerapan aturan umum undang-undang dan peraturan lain ke
tingkat warganegara), dan; (6) pengawasan peraturan (pengawasan jalannya
penerapan undang-undang di kalangan warganegara).
Fungsi nomor
satu hingga tiga berhubungan dengan tuntutan dan dukungan yang
masuk melalui mekanisme input sementara fungsi nomor emapt hingga enam
berada di sisi keluaran berupa keputusan serta tindakan. Mengenai penjelasan
atas tuntutan (demands) dan dukungan (support) yang dimaksud
Almond, Jagdish Chandra Johari memetakannya ke dalam tiga aras penjelasan yaitu
input, konversi, dan output.
Tuntutan dan Dukungan
Tuntutan
adalah raw material atau bahan mentah yang kemudian diolah sistem
politik menjadi keputusan. Tuntutan diciptakan oleh individu maupun kelompok
yang memainkan peran tertentu di dalam sistem politik (baca: struktur input).
Tuntutan sifatnya beragam dan setiap tuntutan punya dampak yang berbeda atas
sistem politik. Tuntutan berasal dari lingkungan intrasocietal maupun extrasocietal,
yang variannya sebagai:
1.
Tuntutan
atas komoditas dan pelayanan, misalnya jaminan sosial, kelancaran
bertransportasi, kesempatan menikmati pendidikan, peningkatan pelayanan
kesehatan, pembangunan saluran irigasi, ataupun pelayanan birokrasi negara yang
tidak berbelit. Konversi atas tuntutan ini berupa artikulasi
kepentingan (atau tuntutan). Output berlingkup pada kemampuan ekstraktif
semisal pengenaan pajak untuk membiayai jaminan sosial, peningkatan
retribusi kendaraan untuk membangun jalan-jalan layang, penaikan pajak
perusahaan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, pengundangan investor asing
untuk membangun saluran irigasi, dan peningkatan hutang negara untuk menaikkan
gaji Pegawai Negeri Sipil.
2.
Tuntutan
untuk mengatur sejumlah perilaku warganegara seperti penertiban ormas-ormas
parayudisial, pembersihan tindak korupsi pejabat negara, atau kompilasi hukum
Islam ke dalam hukum publik. Konversi atas tuntutan ini berupa integrasi
atau kombinasi kepentingan ke dalam rancangan undang-undang (agregasi). Output
berupa kemampuan regulatif yang mengatur perilaku individu,
kelompok, ataupun warganegara secara keseluruhan.
3.
Tuntutan
untuk berpartisipasi dalam sistem politik seperti hak pilih, hak dipilih,
mendirikan organisasi politik, melakukan lobby, atau menjalin kontak dengan
pejabat-pejabat publik. Konversi atas tuntutan ini adalah mengubah
rancangan undang-undang menjadi peraturan yang lebih otoritatif. Output konversi
misalnya kemampuan regulatif misalnya penetapan kuota caleg 30% perempuan dalam
undang-undang pemilihan umum.
4.
Tuntutan
yang sifatnya simbolik meliputi penjelasan pejabat pemerintah atas suatu
kebijakan, keberhasilan sistem politik mengatasi masalah, upaya menghargai
simbol-simbol negara (lagu kebangsaan, lambang), ataupun upacara-upacara hari
besar nasional. Konversi atas tuntutan jenis ini misalnya dibuatnya
ketentuan umum yang mengatur implementasi setiap tuntutan yang sifatnya
simbolik. Output yang sifatnya simbolik termasuk penegasan sistem
politik atas simbol-simbol negara, penegasan nilai-nilai yang dianut (di
Indonesia adalah Pancasila), serta penjelasan rutin dari pejabat negara atas
isu-isu yang kontroversial dan menyita perhatian publik.
Jika
tuntutan adalah bahan mentah untuk memproduksi keputusan-keputusan
politik, maka dukungan berkisar pada upaya mempertahankan atau menolak
keberlakuan sebuah sistem politik. Tanpa dukungan sistem politik
kehilangan legitimasi dan otoritasnya. Dukungan terdiri atas:
1.
Dukungan
material warganegara bisa berupa kemauan membayar pajak atau peran aktif mereka
dalam program-program yang dicanangkan pemerintah (misalnya program kebersihan
lingkungan, penanaman sejuta pohon). Konversi dukungan ini adalah ajudikasi
peraturan di tingkat individu yaitu upaya penerapan sanksi bagi yang tidak
menurut pada program pemerintah serta kemampuan simbolik pemerintah untuk
melakukan himbauan agar publik tertarik memberi dukungan pada pemerintah.
2.
Dukungan
untuk taat pada hukum serta peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Konversi
dukungan ini berupa pentransmisian informasi yang berkaitan dengan ketaatan
warganegara pada hukum di sekujur struktur sistem politik, antar sistem
politik, serta lingkungan extrasocietal-nya.
3.
Dukungan
untuk berpartisipasi dalam pemilu, ikut serta dalam organisasi politik, ataupun
mengadakan diskusi tentang politik.
4.
Dukungan
dalam bentuk tindakan untuk mempertahankan otoritas publik, upacara, serta
simbol-simbol negara. Misalnya mengamalkan Pancasila, menyayangi sarana-sarana
publik (alat transportasi umum, telepon umum, gedung-gedung pemerintah),
menentang penggantian ideologi Pancasila dengan ideologi lain, mencuci bendera
merah putih yang terkotori debu dan hujan asam, mensosialisasikan peran vital
Pancasila dalam mengikat integrasi nasional Indonesia.
Kapabilitas Sistem Politik
Level kedua dari
aktivitas sistem politik terletak pada fungsi-fungsi kemampuan.
Kemampuan suatu sistem politik menurut Almond terdiri atas kemampuan regulatif,
ekstraktif, distributif, simbolis, dan responsif.
Kemampuan ekstraktif
adalah kemampuan sistem politik dalam mendayagunakan sumber-sumber daya
material ataupun manusia baik yang berasal dari lingkungan domestik (dalam
negeri) maupun internasional.[19] Dalam hal kemampuan ekstraktif ini Indonsia
lebih besar ketimbang Timor Leste, karena faktor sumber daya manusia maupun
hasil-hasil alam yang dimilikinya. Namun, kemampuan Indonesia dalam konteks ini
lebih kecil ketimbang Cina.
Kemampuan
regulatif adalah kemampuan sistem politik dalam mengendalikan
perilaku serta hubungan antar individu ataupun kelompok yang ada di dalam
sistem politik. Dalam konteks kemampuan ini sistem politik dilihat dari sisi
banyaknya regulasi (undang-undang dan peraturan) yang dibuat serta intensitas
penggunaannya karena undang-undang dan peraturan dibuat untuk dilaksanakan bukan
disimpan di dalam laci pejabat dan warganegara. Selain itu, kemampuan regulatif
berkaitan dengan kemampuan ekstraktif di mana proses ekstraksi membutuhkan
regulasi.
Kemampuan
distributif adalah kemampuan sistem politik dalam mengalokasikan
barang, jasa, penghargaan, status, serta nilai-nilai (misalnya seperti nilai
yang dimaksud Lasswell) ke seluruh warganegaranya. Kemampuan distributif ini
berkaitan dengan kemampuan regulatif karena untuk melakukan proses
distribusi diperlukan rincian, perlindungan, dan jaminan yang harus disediakan
sistem politik lewat kemampuan regulatif-nya.
Kemampuan
simbolik adalah kemampuan sistem politik untuk secara efektif
memanfaatkan simbol-simbol yang dimilikinya untuk dipenetrasi ke dalam
masyarakat maupun lingkungan internasional. Misalnya adalah lagu-lagu nasional,
upacara-upacara, penegasan nilai-nilai yang dimiliki, ataupun
pernyataan-pernyataan khas sistem politik. Simbol adalah representasi kenyataan
dalam bahasa ataupun wujud sederhana dan dapat dipahami oleh setiap warga negara.
Simbol dapat menjadi basis kohesi sistem politik karena mencirikan identitas
bersama. Salah satu tokoh politik Indonesia yang paling mahir dalam mengelola
kemampuan simbolik ini adalah Sukarno dan pemerintah Indonesia di masa Orde
Baru.
Kemampuan
responsif adalah kemampuan sistem politik untuk menyinkronisasi
tuntutan yang masuk melalui input dengan keputusan dan tindakan yang diambil
otoritas politik di lini output. Sinkronisasi ini terjadi tatkala pemerintahan
SBY mampu melakukan sinkronisasi antara tuntutan pihak Gerakan Aceh Merdeka
dengan keputusan untuk melakukan perundingan dengan mereka serta melaksanakan
kesepakatan Helsinki hasil mediasi. Sinkronisasi ini membuat tuntutan dari Aceh
tidak lagi meninggi kalau bukan sama sekali lenyap.
Almond menyebutkan
bahwa pada negara-negara demokratis, output dari kemampuan regulatif,
ekstraktif, dan distributif lebih dipengaruhi oleh tuntutan dari
kelompok-kelompok kepentingan sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat
demokratis memiliki kemampuan responsif yang lebih tinggi ketimbang masyarakat
non demokratis. Sementara pada sistem totaliter, output yang dihasilkan kurang
responsif pada tuntuan, perilaku regulatif bercorak paksaan, serta lebih
menonjolkan kegiatan ekstraktif dan simbolik maksimal atas sumber daya
masyarakatnya.
Pemeliharaan Sistem Politik
Level ketiga ditempati
oleh fungsi maintenance (pemeliharaan) dan adaptasi. Kedua fungsi ini
ditempati oleh sosialisasi dan rekrutmen politik. Teori sistem politik Gabriel
A. Almond ini kiranya lebih memperjelas maksud dari David Easton dalam
menjelaskan kinerja suatu sistem politik. Melalui Gabriel A. Almond, pendekatan
struktural fungsional mulai mendapat tempat di dalam analisis kehidupan politik
suatu negara.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan
dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan
tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Sistem
politik menyelenggarakan fungsi-fungsi tertentu untuk masyarakat. fungsi-fungsi
itu adalah membuat keputusan - keputusan kebijaksanaan yang mengikat mengenai alokasi dari
nilai-nilai (baik yang bersifat materiil maupun yang non-materiil).
Keputusan-keputusan kebijaksanaan ini diarahkan kepada tercapainya
tujuan-tujuan masyarakat. Sistem politik menghasilkan “output” yaitu keputusan
– keputusan kebijaksanaan - kebijaksanaan yang mengikat. Dengan kata lain,
melalui sistem politik tujuan-tujuan masyarakat dirumuskan dan selanjutnya
dilaksanakan oleh keputusan-keputusan kebijaksanaan.
Mekanisme dalam sistem politik terdapat dua teori yaitu Sistem Politik
Menurut David Easton dan Sistem Politik Menurut Gabriel A. Almond. Menurut
David Easton, sistem politik adalah seperangkat interaksi yang diabstraksi dari totalitas perilaku sosial, melalui mana nilai-nilai disebarkan untuk suatu masyarakat. Sedangkan Gabriel Abraham Almond adalah salah satu pengguna
teori sistem politik Easton. Namun, Almond kurang
sependapat dengan pendekatan Easton yang terlampau abstrak. Gabriel Abraham Almond menerapkan teori sistem
tersebut atas sistem politik suatu bangsa sebagai bentuk metode trial and
error layaknya sebuah teori. Namun, Almond melakukan
sejumlah modifikasi atas teori Easton. Jika Easton membangun suatu grand
theory, maka Almond membangun suatu middle-range theory.
No comments:
Post a Comment
Silahkan baca dan share