BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dunia politik saat ini
sudah tidak lagi menjadi bahan pembicaraan bagi kalangan elit saja, namun juga
sudah mulai dirasakan oleh masyarakat. Masyarakat saat ini sudah semakin konsen
pada hal-hal yang bersinggungan dengan politik. Perubahan tersebut tentunya
merupakan perubahan yang baik dalam sistem politik Indonesia, karena sebelumnya
sistem politik Indonesia hanya dikuasai oleh para penguasa saja, namun saat ini
masyarakat sudah menunjukkan apresiasi dan partisipasinya.
Negara Indonesia adalah negara
demokrasi yang berdasarkan pada pancasila. Partisipasi pada seluruh golongan
sangat dibutuhkan untuk membangun negeri demokrasi yang sebenarnya, terlebih
partisipasi dari masyarakat. Kehendak dan aspirasi rakyat seharusnya
diperhatikan dan didengarkan, kemudian dirumuskan oleh wakil-wakil mereka yang
telah terpilih. Partisipasi politik merupakan
keikutsertaan rakyat dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut dan
memengaruhi kehidupannya di bidang politik. Oleh karena itu, partisipasi
rakyat sangat menentukan keputusan politik dan akan mempengaruhi kehidupan
bernegara.
Partisipasi
politik pun berbeda-beda tergantung pada beberapa situasi dan peranannya. Hal
yang sering kali kita lihat dalam kehidupan politik adalah partisipasi politik
masyarakat pada PEMILU di Indonesia. Di dalam PEMILU masyarakat dapat
menyalurkan aspirasinnya dan memilih wakil-wakil yang dikehendaki. Namun, jika
membicarakan mengenai partisipasi masyarakat akan sistem politik di Indonesia,
tak sedikit pula yang masih bersikap antipati terhadap politik Indonesia. Hal
tersebut dapat disebabkan akan beberapa faktor, tergantung faktor dalam diri
ataupun lingkungannya. Maka dari itu, makalah ini bertujuan untuk menguraikan
mengenai peranan masyarakat dalam sistem politik Indonesia. Bagaimana
macam-macam dari partisipasi politik yang ada dan bagaimana keikutsertaan
masyarakat.
1.2
Rumusan Masalah
1. Bagaimana peran
masyarakat kewarganegaraan dalam sistem politik Indonesia?
2. Faktor apa yang
mendasari keikutsertaan masyarakat dalam sistem politik Indonesia?
1.3
Tujuan
1. Mengetahui bagaimana
peran masyarakat kewarganegaraan dalam sistem politik Indonesia?
2. Mengetahui faktor apa
yang mendasari keikutsertaan masyarakat dalam sistem politik Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Masyarakat Politik
Menurut
Robert M. Mclver dalam Budiardjo (2009:46) masyarakat adalah suatu sistem
hubungan-hubungan yang ditata. Sementara itu Koentjaraningrat mengatakan “Masyarakat adalah kesatuan hidup
manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang
terikat oleh suatu rasa identitas bersama”. Sementara itu Harold J.Laski mengemukakan bahwa “Masyarakat
adalah kelompok manusia yang hidup bersama dan bekerja sama untuk mencapai
terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama”.
Sedangkan
Masyarakat politik adalah masyarakat yang sadar akan politik atau
masyarakat yang keikut sertaan terhadap hidup berpolitik menjadi penting dalam
kehidupannya sebagai warga Negara. Perlu diingat bahwa tugas-tugas Negara
bersifat menyeluruh dan kompleks, sehingga tanpa dukungan positif dari seluruh
warga Negara atau masyarakat, tugas-tugas Negara akan banyak yang terbengkalai.
Masyarakat
politik yang terdiri dari elite politik dan massa politik serta menjadi peserta
rutin dalam kompetisi politik harus dibangun sebagai komponen masyarakat yang
memmpunyai etika politik dalam demokrasi. Mereka harus disadarkan bahwa
demokrasi bukan hanya kompetisi bebas dengan menggunakan
partai-partai untuk merebut jabatan pemerintahan, tetapi demokrasi juga adalah
menghormati harkat martabat hidup manusia dan membangun system politik,
ekonomi, dan sosial yang berdikari. Masyarakat dalam ilmu politik sendiri
terbentuk dalam tiga karakter, yaitu masyarakakat yang Kritis,
Konservatif, dan Idealis. Di antaralain sebagai berikut:
1. Masyarakat Kritis adalah masyarakat
yang berani menantang apa yang dikatakan atau dikemukakan oleh pihak-pihak
yang lebih berkuasa, pemerintah dan lembaga untuk menantang perilaku atau
praktek yang dilakukan seseorang atau menganalisis pekerjaan sebuah serikat,
atau gerakan sosial, atau untuk menantang dan melawan (oppose)
kekuatan-kekuatan dominan di dalam komunitas.
2. Masyarakat Konservatif adalah masyarakat yang selalu
mendukung dengan kebijakan-kebijakan Pemerintah karena mereka merasa
diuntungkan dengan kebijakan tersebut.
3. Masyarakat Idealis adalah masyarakat yang mempunyai
pengetahuan politik yang selalu merasa kurang puas dengan kinerja pemerintah
karena tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan.
Suatu
masyarakat politik harus memiliki ciri-ciri sebagaimana diungkapkan oleh Robert
E. Ward, yaitu sebagai berikut:
1. Organisasi pemerintahan yang
beranekaragam dan sistem fungsional yang
spesifik.
2. Kadar integrasi yang tinggi dalam
struktur pemerintahan.
3. Besarnya peranan prosedur-prosedur
rasional dan sekuler dalam proses pengambilan keputusan politik.
4. Deras, luas serta tingginya efektivitas
keputusan-keputuan politik dan administrasi.
5. Meluas serta efektifnya rasa
identifikasi rakyat terhadap sejarah, tanah air, dan kepribadia nasional
negaranya.
6. Luasnya minat dan partisipasi masyarakat
pada sistem politik.
7. Alokasi peranan-peranan politik yang
didasrkan pada prestasi daripada kedudukan sosial.
8. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan juridis
dan peraturan umum yang didasrkan pada sistem hukum yang berlaku bagi semua
orang (Abdulkarim, 2011: 02).
2.2 Partisipasi
Masyarakat dalam Politik
Peran serta
atau partisipasi masyarakat dalam politik adalah kegiatan seseorang atau
sekelompok orang untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan
jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi kebijakan pemerintah, ‘public
policy’. Secara konvensional kegiatan ini mencakup tindakan seperti:
memberikan suara dalam pemilihan umum, ‘voting’;
menghadiri rapat umum, ‘campaign’;
menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan; mengadakan
pendekatan atau hubungan, ‘contacting’
dengan pejabat pemerintah, atau anggota parlemen dan sebagainya (Budiardjo,
2009).
Dalam hal partisipasi politik
Rousseau menyatakan bahwa hanya melalui partisipasi seluruh warga negara dalam
kehidupan politik secara langsung dan berkelanjutan, Negara dapat terikat
kedalam tujuan kebaikan sebagai kehendak bersama. Berbagai bentuk partisipasi
politik
1)
Terbentuknya
organisasi-organisasi politik maupun organisasi masyarakat sebagai bagian dari
kegiatan social, sekaligus sebagai penyalur aspirasi rakyat yang ikut menetukan
kebijakan Negara
2)
Lahirnya
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai kontrol social maupun pemberi input
terhadap kebijakan pemerintah.
3)
Pelaksanaan
pemilu yang memberi kesempatan kepada warga Negara untruk dipilih atau memilih,
misalnya: berkampanyr, menjadi pemilih aktif, menjadi anggota perwakilan
rakyat, menjadi calon presiden yang dipilih lansung, dan sebagainya.
4)
Munculnya
kelompok-kelompok kontemporer yang memberi warna pada system input dan output kepada pemerintah, misalnya:
melalui unjuk rasa, petisi, protes, demonstrasi dan sebagainya.
Di tingkat individu, secara lebih
spesifik Milbrath M.L. Goel mengidentifikasikan tujuh bentuk partisipasi
politik individual:
No
|
Bentuk partisipasi
|
Uraian/Keterangan
|
1
|
Aphatetic
Inactives
|
Tidak
beraktifitas dan parsitipatif, tidak pernah memilih.
|
2
|
Passive
Supporters
|
Memilih
secara regular/teratur, menghadiri parade patriotic, membayar seluruh pajak,
“mencintai Negara”
|
3
|
Contact
Specialist
|
Penjabat
penghubung lokal(daerah), profinsi dan nasional dalam masalah-masalah
tertentu
|
4
|
Communicators
|
Mengikuti
infomasi-informasi politik, terlibat dengan diskusi-diskusi, meuli surat pada
editor surat kabar, mengirim pesan dukungan dan protes terhadap
pemimpin-pemimpin partai polotik
|
5
|
Party and
Campaign Workers
|
Bekerja
untuk partai politik atau kandidat, meyakinkan orang lain tentang memilih,
menhadiri pertemuan-pertemuan, menyumbang uang pada partai politik atau
kandidat, bergabung dan mendukung partai politik, dipilih menjadi kandidat
partai politik
|
6
|
Community
Activist
|
Bekerja
dengan orang lain berkaitan dengan masalah-masalah local, membentuk kelompok
untuk menangani proble-problem local, keanggotaan aktif dalam
organisasi-organisasi kemasyarakatan, melakukan kontak terhadap
penjabat-penjabat berkenaan dengan isu-isu social
|
7
|
protesters
|
Bergabung
dengan demonstrasi-demonstrasi public di jalanan, melakukan kerusuhan bila
perlu, melakukan protes keras apabila pemerintah melakukan kesalahan,
menghadapi pertemuan-pertemuan protes, menolak mematuhi aturan
|
Sedangkan Almond membagi
Bentuk-Bentuk Partisipasi politik sebagai berikut:
KONVENSIONAL
|
NON-KONVENSIONAL
|
Pemberian suara (voting)
Diskusi politik
Kegiatan kampanye
Membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan
Komunikasi individu dengan penjabat politik
administratif.
|
Pengajuan pestisi
Berdemonstrasi
Konfrontasi
Mogok
Tindak kekerasan politik terhadap harta benda;
perisakan, pemboman, pembakaran
Tindak keketrasan politik terhadap manusia;
penculikan, pembunuhan, perang gerilyarevolusi
|
2.3 Tingkatan Partisipasi Politik
Menurut
Hungtingtion dan Nelson, ada dua tingkat-tingkat partisipasi politik. Pertama,
dilihat dari ruang lingkup atau proporsi dari suatu kategori warga Negara yang
melibatkan diri dalam kegiatan partisipasi politik. Kedua, intensitas atau
ukuran, lamanya, dan dan arti penting kegiatan khusus itu bagi partai politik.
-
Tingkat
Pengamat: Pada tingkat pengamat, seperti menghadiri rapat umum, memberikan
suara dalam pemilu, menjadi anggota kelompok kepentingan, mendiskusikan masalah
politik, perhatian pada perkembangan politik, dan usaha meyakinkan orang lain,
merupakan contoh-contoh yang banyak dilakukan warga Negara, artinya proporsi
atau lingkup orang yang terlibat di dalamnya tinggi.
-
Tingkat
Aktifitas : Tingkatan partisipasi politik ini disampaikan sebagai berikut:
a) Menduduki jabatan politik atau
administratif
b) Mencari jabatan politik atau
administratif
c) Keanggotaan aktif suatu organisasi
politik
d) Keanggotaan pasif suatu organisasi
politik
e) Keanggotaan aktif suatu organisasi semu
politik (quasi-political)
f) Keanggotaan pasif suatu organisasi semu
politik (quasi-political)
g) Partisipasi dalam rapat umum,
demonstrasi, dan sebagainya
h) Partisipasi dalam diskusi politik
informal minat dalam bidang politik
i) Voting (pemberian suara)
2.4 Faktor-Faktor Pendukung Partisipasi Politik
Berikut
adalah faktor-faktor pendukung dari partisipasi politik masyarakat adalah :
a)
Pendidikan
politik: Menurut Ramdlon Naning pendidikan politik adalah usaha untuk
memasyarakatkan politik, dalam arti mencerdaskan kehidupan politik rakyat,
meningkatkan kesadaran setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
b)
Kesadaran
Politik: Menurut Drs.M. Taopan kesadaran politik adalah suatu proses batin yang
menampakkan keinsafan setiap warga Negara akan urgensi urusan kewarganegaraan
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.Kebalikan dari partisipasi politik adalah
sikap apatis. Seseorang dinamakan apatis jika dia tidak mau ikut serta dalam
berbagai kegiatan politik kenegaraan diberbagai bidang kehidupan.
c)
Dalam
sosialisasi politik terdapat dua alasan yang menjadi latar belakang, sehingga
sosialisasi politik menjadi kajian tersendiri dalam politik kenegaraan.
Pertama: Sosialisasi politik dapat berfungsi untuk memelihara suatu system,
yaitu agar stabilitas berjalan dengan baik dan positif. Kedua: Sosialisasi
politik ingin menunjukkan relevansinya dengan sistem politik dan data mengenai
orientasi anak-anak terhadap kultur poilitik orang dewasa, dan pelaksanaannya
di masa mendatang mengenai sistem politik.
Jika menyinggung
sosialisasi politik, maka seharusnya kita mengetahui apa arti dari sosialisasi
politik itu sendiri. Sosialisasi politik adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan proses dengan jalan mana orang belajar tentang politik dan
mengembangkan orientasi pada politik.
Alat yang dapat dijadikan sebagai
perantara dalam sosialisasi politik, antara lain:
1)
Keluarga:
wadah penanaman (sosialisasi) nilai-nilai politik yang paling efisien dan
efektif
2)
Sekolah:
Melalui pelajaran civies education (pendidikan
Kewarganegaraan), siswa dan guru saling bertukar informasi dan berinteraksi
dalam membahas topik-topik tertentu.
3)
Partai
Politik: Salah satu fungsi dari partai politik adalah dapat memainkan peran
sebagai agen sosialisai politik.
2.5
Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu
Dalam analisis
politik modern partisipasi politik merupakan suatu masalah yang penting dan
akhir-akhir ini banyak dipelajari terutama hubungannya dengan negara
berkembang. Sebagai definisi umum dapat dikatakan bahwa partisipasi politik
adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif
dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara
secara langsung atau tidak langsung, memengaruhi kehidupan kebijakan (public
policy).
Setiap
perhelatan demokrasi atau pemilihan umum yang diselenggarakan oleh Negara
Republik Indonesia memiliki dampak terhadap perkembangan kemajuan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Para elit politik sejatinya memberikan pendidikan
politik yang cerdas kepada masyarakat agar kesadaran berdemokrasi semakin
tinggi dari berbagai kalangan. Kesadaran berdemokrasi tersebut akan tinggi jika
partisipasi masyarakat dalam memberikan haknya juga tinggi.
Karena itu,
kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi secara positif dalam sistem politik
yang ada, jika seseorang tersebut merasa dirinya sesuai dengan suasana
lingkungan dimana dia berada. Apabila kondisi yang terjadi adalah sebaliknya,
maka akan lahir sikap dan tingkah laku politik yang tampak janggal atau
negatif, misalnya jika seseorang sudah terbiasa berada dalam lingkungan
berpolitik yang demokratis, tetapi dia ditempatkan dalam sebuah lingkungan
masyarakat yang feodal atau tidak demokratis maka dia akan mengalami kesulitan
dalam proses beradaptasi.
Meningkatnya
keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu),
menunjukan semakin kuatnya tatanan demokrasi dalam sebuah negara. Demokrasi
menghendaki adanya keterlibatan rakyat dalam setiap penyelenggaraan yang
dilakukan negara. Rakyat diposisikan sebagai aktor penting dalam tatanan
demokrasi, karena pada hakekatnya demokrasi mendasarkan pada logika persamaan
dan gagasan bahwa pemerintah memerlukan persetujuan dari yang diperintah.
Keterlibatan masyarakat menjadi unsur dasar dalam demokrasi. Untuk itu,
penyelenggaraan pemilu sebagai sarana dalam melaksanakan demokrasi, tentu saja
tidak boleh dilepaskan dari adanya keterlibatan masyarakat.
Partisipasi
politik akan berjalan selaras manakala proses politik berjalan secara stabil.
Seringkali ada hambatan partisipasi politik ketika stabilitas politik belum
bisa diwujudkan, karena itu penting untuk dilakukan oleh para pemegang kekuasaan
untuk melakukan proses stabilisasi politik. Disamping itu pula proses
berikutnya melakukan upaya pelembagaan politik sebagai bentuk dari upaya untuk
memberikan kasempatan kepada masyarakat untuk mengaktualisasikan cita-citanya.
Partisipasi
politik tidak lebih dari keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam
tingkatan, atau juga dijelaskan secara subtantif bisa berarti upaya atau usaha
terorganisir oleh konstituen atau warga Negara yang baik untuk memilih para
pemimpin yang mereka nilai baik juga. Partispasi ini mereka melakukannya dengan
penuh tanggung jawab terhadap kehidupan bersama dalam lingkup suatu bangsa dan
negara. Partisipasi politik ditekankan pada aspek untuk mendukung
kepentingan-kepentingan atau visi dan misi elit politik tetentu.
Sebagai
masyarakat yang bijak kita harus turut serta dalam proses prmilihan umum dalam
rangka menentukan pemimpin yang akan memimpin kita. Dengan demikian, secara
tidak langsung kita akan menentukan pembuat kebijakan yang akan berusaha
mensejahterakan masyarakat secara umum. Dalam turut berpartisipasi dalam proses
pemilihan umum sebagai masyarakat yang cerdas kita harus mampu menilai calon
yang terbaik yang sekiranya mampu dan mau mendengarkan aspirasi masyarakat agar
pembangunan yang akan dilakukan sesuai dengan keinginan masyarakat dan tidak
memilih calon yang hanya mementingkan diri sendiri atau kelompoknya saja
sehingga melupakan janji-janji yang sudah diucapkan dalam masa kampanye.
Sebagai pemilik hak pemilih dalam pemilu kita jangan sampai menyia-nyiakan hak
suara hanya untuk iming-iming sementara yang dalam artian kita harus memberikan
suara kita kepada calon yang tepat. Ketidakikutsertaan kita sebenarnya justru
akan membuat kita susah sendiri karena kita tidak turut memilih tetapi harus
mengikuti pemimpin yang tidak kita pilih. Partisipasi pemilih dalam pelaksanaan
Pemilu mutlak diperlukan, tanpa adanya partisipasi pemilih, Pemilu hanyalah
menjadikan sebagai objek semata dan salah satu kritiknya adalah ketika
masyarakat tidak merasa memiliki dan acuh tak acuh terhadap pemilihan umum.
2.6
Perbandingan Pemilu Eksekutif dan Pemilu Legislatif
Pada dasarnya
kesuksesan sebuah pemilu ditentukan oleh beberapa hal yang diantaranya
menyangkut pemilih/konstituen yang merupakan salah satu karakteristik
pemerintah demokrasi yaitu pemerintahan didasarkan atas partisipasi masyarakat
sebagai sarana kedaulatan rakyat yang memilih dan menentukan pejabat politik
ditingkat nasional hingga tingkat daerah lewat pemilihan umum. Partisipasi
politik di negara-negara yang menerapkan sistem politik demokrasi merupakan hak
warga negara, tapi tidak semua warga negara berperan serta dalam proses
politik.
Jika melihat
data pada Pemilu 2014 lalu, terlihat perbedaan angka presentase partisipasi
mayarakat pada Pilpres (Pemilihan Presiden) dan Pileg (Pemilihan Legislatif).
Didapatkan dari rumahpemilu.org bahwa, jumlah pengguna hak pilih di Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014 adalah 69,58% dari 193.944.150 nama
yang terdata dalam daftar pemilih total. Persentase ini menurun dibandingkan
Pilpres 2009 (72%) dan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD (Pileg) 2014 (75,11%).
Meskipun terlihat kuantitas dari Pilpres menurun, namun sejatinya kualitas dari
Pilpres meningkat. Kualitas tersebut dapat dilihat bagaimana masyarakat
antusias untuk ikut serta bertanggungjawab dalam menciptakan pemilu yang
berkualitas, model-model keikutsertaannya, juga variasinya.
Eep Saefulloh
Fatah, mengklasifikasikan golput atas empat golongan. Pertama, golput teknis,
yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu (seperti keluarga
meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke tempat pemungutan
suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak
sah. Kedua, golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai
pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik,
penyelenggara pemilu). Ketiga, golput politis, yakni mereka yang merasa tak
punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada
akan membawa perubahan dan perbaikan. Keempat, golput ideologis, yakni mereka
yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat di
dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi
lain.
Banyak faktor
yang menyebabkan seseorang tidak menyalurkan aspirasi politiknya dalam
pemilihan umum, namun kesemuanya tersebut lebih disederhanakan lagi kedalam dua
kelompk besar yakni faktor internal dan eksternal.
a. Faktor Internal
Ada dua faktor
yang menjadi alasan yang datang dari individu pemilih yang mengakibatkan mereka
tidak menggunakan hak pilih. Pertama faktor teknis; ialah adanya kendala teknis
yang dialami oleh pemilih sehingga menghalanginnya untuk menggunakan hak
pilihnya. Seperti pada hari pencoblosan pemilih sedang sakit, ada kegiatan yang
lain, ada diluar daerah, serta berbagai hal lainnya yang sifatnya menyangkut
pribadi pemilih. Kondisi itulah yang secara teknis membuat pemilih tidak datang
ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya. Kedua faktor pekerjaan; maksudnya adalah
pekerjaan sehari – hari. Seperti misalkan warga Kabupaten Subang sudah menjadi
mafhum bersama jika banyak penduduknya yang mencari nafkah/bekerja diluar
negeri sehingga ketika ada pemilu tidak sempat ikut berpartisipasi. Sebagian
besar faktor pekerjaan ini dilihat dari sektor pekerjaan informal seperti
pertanian, sektor perdagangan, Industri, serta jasa kemasyarakatan.
b.
Faktor Eksternal
Faktor
eksterrnal yang berasal dari luar yang mengakibatkan pemilih tidak menggunakan
hak pilihnya. Ada tiga faktor yang termasuk dalam kategori ini. Pertama faktor
administrasi; Faktor adminisistratif adalah faktor yang berkaitan dengan aspek
adminstrasi yang mengakibatkan pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya.
Diantaranya tidak terdata sebagai pemilih, tidak mendapatkan kartu pemilihan
tidak memiliki identitas kependudukan (KTP). Hal-hal administratif seperti
inilah yang membuat pemilih tidak bisa ikut dalam pemilihan. Pemilih tidak akan
bisa menggunakan hak pilih jika tidak terdaftar sebagai pemilih. Kasus pemilu
legislatif 2009 adalah buktinya banyaknya masyarakat Indonesia yang tidak bisa
ikut dalam pemilu karena tidak terdaftar sebagai pemilih. Jika kondisi yang
seperti ini terjadi maka secara otomatis masyarakat akan tergabung kedalam
kategori golput.
Kedua faktor
sosialisasi; Sosialisasi atau menyebarluaskan pelaksanaan pemilu di Indonesia
sangat penting dilakukan dalam rangka memenimalisir golput. Hal ini di sebabkan
intensitas pemilu di Indonesia cukup tinggi mulai dari memilih kepala desa,
bupati/walikota, gubernur pemilu legislatif dan pemilu presiden hal ini belum
dimasukkan pemilihan yang lebih kecil RT/RW. Kondisi lain yang mendorong
sosialisi sangat penting dalam upaya meningkatkan partisipasi politik
masyarakat adalah dalam setiap pemilu terutama pemilu di era reformasi selalu
diikuti oleh sebagian peserta pemilu yang berbeda. Sehingga menuntut
penyelenggara pemilu, peserta pemilu, serta seluruh stakehoolder baik Ormas,
LSM, OKP serta masyarakat untuk terus selalu menyebarluaskan informasi tersebut
secara massif.
Ketiga faktor
politik; faktor ini adalah alasan atau penyebab yang ditimbulkan oleh aspek
politik masyarakat tidak mau memilih. Seperti ketidak percaya dengan partai,
tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa
pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Kondisi inilah yang
mendorong masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Stigma politik itu
kotor, jahat, menghalalkan segala cara dan lain sebagainya memperburuk
kepercayaan masyarakat terhadap politik sehingga membuat masyarakat enggan
untuk menggunakan hak pilih. Stigma ini terbentuk karena tabiat sebagian
politisi yang masuk pada kategori politik instan. Politik dimana baru mendekati
masyarakat ketika akan ada agenda politik seperti pemilu. Maka kondisi ini
meruntuhkan kepercayaan masyarakat pada politisi.
Faktor lain
adalah para politisi yang tidak mengakar, politisi yang dekat dan
memperjuangkan aspirasi rakyat. Sebagian politisi lebih dekat dengan para
petinggi partai, dengan pemegang kekuasaan. Mereka lebih menngantungkan diri
pada pemimpinnya dibandingkan mendekatkan diri dengan konstituen atau
pemilihnya. Kondisi lain adalah tingkah laku politisi yang banyak berkonflik
mulai konflik internal partai dalam mendapatkan jabatan strategis di partai,
kemudian konflik dengan politisi lain yang berbeda partai. Konflik seperti ini
menimbulkan anti pati masyarakat terhadap partai politik. Idealnya konflik yang
di tampilkan para politisi seharusnya tetap mengedepankan etika politik
(fatsoen).
Politik
pragamatis yang semakin menguat, baik dikalangan politisi maupun di sebagian
masyarakat. Para politisi hanya mencari keuntungan sesaat dengan cara
mendapatkan suara rakyat. Sedangan sebagian masyarakat kita, politik dengan
melakukan transaksi semakin menjadi-jadi. Baru mau mendukung, memilih jika ada
mendapatkan keutungan materi, maka muncul ungkapan kalau tidak sekarang kapan
lagi, kalau sudah jadi/terpilih mereka akan lupa janji. Kondisi-kondisi yang
seperti penulis uraikan ini yang secara politik memengaruhi masyarakat untuk
menggunakan hak pilihnya. Sebagian Masyarakat semakin tidak yakin dengan
politisi. Harus diakui tidak semua politisi seperti ini, masih banyak politisi
yang baik, namun mereka yang baik tenggelam dikalahkan politisi yang tidak
baik.
2.7 Strategi Meningkatkan Partisipasi
Masyarakat Dalam Pemilu
Peningkatan
partisipasi masyarakat sangat penting dalam pelaksanaan pemilihan umum dalam
proses memilih anggota legislatif dan eksekutif. Karena bagaimanapun masyarakat
memiliki andil yang cukup besar dalam proses pemilihan umum dimana masyarakat
sebagai pemilih yang menentukan dalam pemenangan dalam proses pemilihan umum
tersbut. Akan tetapi beberapa tahun terakhir partisipasi masyarakat akhir-akhir
ini menurun karena disebabkan banyak faktor. Sudah menjadi tanggungjawab bersama
bagaimana upaya untuk meningkatkan peran masyarakat dalam pemilu sebagai proses
demokratisasi yang sudah berjalan di Indonesia.
a. Pendidikan Politik Rakyat
Salah satu hal
mendasar menyebabkan besarnya jumlah Golput adalah adanya motivasi yang beragam
dari para peserta pemilu. Motivasi tersebut lebih cenderung pada kepentingan
politik semata dengan mengabaikan hal-hal ini seprti pendidikan politik rakyat.
Istilah pendidikan politik sering disamakan dengan istilah political
socialization. Istilah political sosialization jika diartikan secara harfiah
bermakna sosialisasi politik. Oleh karena itu, dengan menggunakan istilah
political sosialization banyak yang mensinonimkan istilah pendidikan politik
dengan istilah Sosialisasi Politik, karena keduanya memiliki makna yang hampir
sama. Dengan kata lain, sosialisasi politik adalah pendidikan politik dalam
arti sempit. Sosialisasi politik dibagi dua yaitu pendidikan politik dan
indoktrinasi politik. Pendidikan politik merupakan suatu proses dialogik
diantara pemberi dan penerima pesan. Melalui proses ini para anggota masyarakat
mengenal dan mempelajari nilai-nilai, norma-norma, dan simbol-simbol politik
negaranya dari berbagai pihak dalam sistem politik seperti sekolah, pemerintah,
dan partai politik.
Dalam kampanyenya
para Caleg akan lebih cenderung mengajak rakyat untuk memilih dirinya atau
tidak memilih. Ini yang saya maksud kampanye yang hanya di motivasi oleh
kepentingan politik. Kondisi akan berbeda jika ada muatan untuk memberikan
pendidikan politik bagi rakyat. Bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan yang
memiliki tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis paling
kurang dalam dua hal yaitu memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan
guna mengurus dan melayani seluruh komponen masyarakat, ke dua untuk memilih
wakil rakyat yang akan di tugasi mengawal dan mengawasi jalannya pemerintah.
Secara lebih tegas lagi mengenai pendidikan politik dapat dilihat dalam Pasal
31 UU Nomor 2 tahun 2008, yang menyatakan bahwa Partai politik melakukan pendidikan
politik bagi masyarakat sesuai ruang lingkup tanggung jawabnya dengan
memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender dan tujuannya antara lain:
Meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan
bermasyarakat, meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat,
meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam
rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Atas dasar ini pendidikan
politik rakyat adalah hal yang strategis untuk menimbulkan efek Pemilu yang
lebih berkualitas. Melihat penyebab munculnya Golput di Indonesia karena
kurangnya sosialisasi dan pemahaman politik yang benar, maka pendidikan politik
ini juga berpotensi untuk meningkatkan tingkat partisipasi politik rakyat.
b. Memaksimalkan Fungsi Partai Politik
Tujuan parpol adalah untuk mencari
dan mempertahankan kekuasaan guna melaksanakan /mewujudkan program-program yang
telah mereka susun sesuai dengan ideologi tertentu. Oleh karena itu maka untuk
mencapai tujuannya tersebut maka partai politik memiliki fungsi:
a)
Sarana
komunikasi politik; Komunikai politik adalah proses penyampaian informasi
politikdari pemerintah kepada masayarakat dan sebaliknya dari masyarakat kepada
pemerintah. Parpol disini berfungsi untuk menyerap, menghimpun (mengolah, dan
menyalurkan aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan an menetapakan suatu
kebijakan). Begitu juga dalam upaya meningkatkan partisipasi dalam pemilu maka
partai politik bisa menggunakan garis intruksi dalam mensisialisasikan
pemilihan umum tersebut dari tingkat pusat sampai tingkat desa secara
struktural dan menyebraluaskannya kemasyarakat.
b)
Sosialisasi
politik (political socialization); adalah proses pembentukan sikap dan
orientasi politik mengenai suatu fenomena politik yang sedang dialami suatu negara.
Proses ini disampaikan melalui pendidikan politik. Sosialisai yang dilakukan
oleh parpol kepada masyarakat berupa pengenalan program-program dari partai
tersebut. Dengan demikian, diharapkan
pada masyarakat dapat memilih parpol tersebut pada pemilihan umum. Ide, visi
dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik dimasyarakatkan
kepada konstituen untuk mendapatkan ‘feedback’ berupa dukungan dari masyarakat
luas. Terkait dengan sosialisasi politik ini, partai juga berperan sangat penting
dalam rangka pendidikan politik. Partai lah yang menjadi struktur-antara atau
‘intermediate structure’ yang harus memainkan peran dalam membumikan cita-cita
kenegaraan dalam kesadaran kolektif masyarakat warga negara.
c)
Sarana
rekruitmen politik (political recruitment); adalah proses seleksi dan
pengangkatan seseorang atau kelompok untuk melaksanakan sejumlah peran dalam
sistem politik ataupun pemerintahan. Atau dapat dikatakan proses seleksi dan
pengangkatan seseorang atau kelompok untuk menduduki suatu jabatan ataupun beberapa jabatan politik
ataupun mewakili parpol itu dalam suatu bidang.
Rekrutmen politik gunanya untuk mencari otang yang berbakat aatupun
berkompeten untuk aktif dalam kegiatan politik. Partai dibentuk memang
dimaksudkan untuk menjadi kendaraan yang sah untuk menyeleksi kader-kader
pemimpin negara pada jenjang-jenjang dan posisi-posisi tertentu. Kader-kader
itu ada yang dipilih secara langsung oleh rakyat, ada pula yang dipilih melalui
cara yang tidak langsung, seperti oleh Dewan Perwakilan Rakyat, ataupun melalui
cara-cara yang tidak langsung lainnya. Oleh karena itu partai politik dalam
penetapan kader yang diusung dalam penempatan jabatan ataupun mencalonkan
kandidatnya baik dalam Pileg, Pilbup, Pilgub ataupun Pilpres harus memperhatikan
aspirasi yang berkembang dimasyarakat agar sosiallisasi secara individu
mendorong pula terhadap meningkatnya partisipasi masyarakat dalam memilih baik
secara individu maupun secara kelompok.
d)
Pengatur
konflik (conflict management); adalah mengendalikan suatu konflik (dalam hal
ini adanya perbedaan pendapat atau pertikaian fisik) mengenai suatu kebijakan
yang dilakukan pemerintah. Pengendalian konflik ini dilakuakan dengan cara
dialog, menampung dan selanjutnya membawa permasalahan tersebut kepada badan perwakilan
rakyat(DPR/DPRD/Camat) untuk mendapatkan keputusan politik mengenai
permasalahan tersebut. Nilai-nilai (values) dan kepentingan-kepentingan
(interests) yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat sangat beraneka ragam,
rumit, dan cenderung saling bersaing dan bertabrakan satu sama lain. Jika
partai politiknya banyak, berbagai kepentingan yang beraneka ragam itu dapat
disalurkan melalui polarisasi partai-partai politik yang menawarkan ideologi,
program, dan altrernatif kebijakan yang berbeda-beda satu sama lain.
2.8 Peran Wanita dalam Sistem Politik Indonesia
Keberhasilan
program pemerintah dan pembangunan yang dicita-citakan tergantung pada
partisipasi seluruh masyarakat, sehingga semakin tinggi partisipasi masyarakat,
maka akan semakin berhasil pencapaian tujuan pembangunan yang ingin dicapai.
Karena itu, dalam program pemerintah sebagai bagian dari pembangunan sangat
dipengaruhi oleh unsur-unsur masyarakat, yang pada hakekatnya bahwa pembangunan
dilaksanakan dan ditujukan dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk
masyarakat. Dengan demikian, bahwa setiap masyarakat sebagai subyek pembangunan
tidak lepas dari peranan wanita yang terlibat di dalamnya, sehingga partisipasi
wanita perlu untuk diperhitungkan jika tidak ingin disebut bahwa wanita
Indonesia ketinggalan dibandingkan dengan wanita di negara-negara lain.
Wanita Indonesia
memiliki peranan dalam pembangunan di bidang politik, baik terlibat dalam
kepartaian, legislatif, maupun dalam pemerintahan. Partisipasi dalam bidang
politik ini tidaklah semata-mata hanya sekedar pelengkap saja melainkan harus
berperan aktif di dalam pengambilan keputusan politik yang menyangkut
kepentingan kesinambungan negara dan bangsa.
Hak suara wanita
memiliki kesejajaran dengan laki-laki dalam hal mengambil dan menentukan keputusan,
begitupula apabila wanita terlibat dalam pemilihan umum untuk memilih salah
satu partai politik yang menjadi pilihannya, apalagi jika menempati sebagai
pengurus dari salah satu partai.
Dengan demikian,
jelaslah bahwa kedudukan wanita di dalam politik tidak dapat dikesampingkan,
karena memiliki kemampuan dan kecerdasan yang sama dengan laki-laki.Walaupun
demikian, bahwa hak-hak politik yang dimiliki wanita pada kenyataannya tidaklah
sesuai yang diinginkan, sebagaimana Suwondo (1981:141) mengemukakan,
1) Kenyataan bahwa jumlah wanita yang duduk
dalam badan-badan legislatif belum memadai, disebabkan oleh sistem pencalonan
melalui daftar calon, dimana wanita dicantumkan di bagian bawah dari daftar.
2) Kenyataan yang menunjukkan bahwa
jabatan/kdudukan penentuankebijaksanaan (policy making) belum banyak diisi oleh
kaum wanita. Maka dalam rencana Kegiatan Nasional Wanita Indonesia antara lain
disarankan mengenai bidang ini :
a)
Menggiatkan
pendidikan di kalangan wanita tentang pengetahuan kewarganegaraan dan perundang-undangan;
b)
Meningkatkan
partisipasi wanita dibidang pembuatan perundang-undangan yang perlu segera
dikeluarkan mengenai : catatan sipil; adopsi;hukum waris atas dasar persamaan
hak antara pria dan wanita; hukumacara untuk pengadilan agama; pemberantasan
pelacuran; pengadilan anak dan kesejahteraan anak;
c)
Mengusahakan
perbaikan dalam bidang pencalonan anggota-anggota wanita dalam badan eksekutif,
legislatif, dan yudikatif;
d)
Mengadakan
kegiatan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang,terutama yang menyangkut
kedudukan dan kesempatan bagi wanita
e)
Mengenai
peranan wanita dalam kerjasama international :
· Dalam pelaksanaan kerjasama
international, regional, dan sub regional hendaknya wanita diikutsertakan dalam
penentuan kebijaksanaan(policy making).
· Pemerintah menjamin bahwa wanita
terwakili secara seimbang diantara utusan-utusan inti ke semua badan
international, koperensi,termasuk yang menangani masalah-masalah politik,
hukum,pembangunan ekonomi dan sosial, perencanaan, administrasi dankeuangan, ilmu
dan teknologi, lingkungan dan kependudukan.
· Dalam kerjasama di lingkungan ASEAN,
hendaknya segera disertakanpembentukan Permanent Committee on Women dalam
strukturASEAN.
Partisipasi
wanita dalam bidang politik, walaupun masih kurang, nampaknya wanita telah
berusaha ke arah yang lebih baik dengan mengeluarkan peraturan yang mewajibkan
setiap partai peserta pemilu yang dimulai dari tahun 2004 untuk memasukkan
anggota legislatif yang terpilih sebanyak 30%, begitu pula di badan legislatif
seperti halnya DPR/DPRD Tk.I dan Tk. II anggotanya minimal 30 % harus wanita.
Keadaan ini
merupakan hal yang menggembirakan walaupun tidak sebagian atau 50 %wanita,
tetapi ke arah proporsi yang seimbang telah dan akan dilaksanakan, yang berarti
mengalami perbaikan dari sebelumnya.
Nampaknya
partisipasi wanita dalam bidang politik ini perlu dikaji kembali
mengingat jumlahnya tidak sebanding
dengan jumlah wanita yang seharusnya berperan.Karena itu, perlu dikaji kembali
bentuk partisipasi yang nyata dalam kehidupan politik bagi kaum wanita.
Partisipasi politik bagi kaum wanita perlu mendapatkan penjelasan, sehingga
pengertian partisipasi menjadi jelas.
Di negara-negara
demokratis pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politikialah bahwa
kedaulatan ada di tangan rakyat, yang melaksanakannya melaluikegiatan bersama
untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakatitu dan untuk
menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinanuntuk masa berikutnya.
Jadi partisipasi politik merupakan suatu pengejawantahandari penyelenggaraan
kekuasaan politik yang absah oleh rakyat.
Partisipasi
politik seperti di atas tentu saja akan berarti apabila wanita turut
terlibat di dalamnya. Di dalam
negara yang sedang belajar menuju demokratis yangsesungguhnya seperti
Indonesia, adanya partisipasi wanita yang lebih besar makadianggap menjadi
lebih baik. Tingginya tingkat partisipasi wanita dapat ditunjukkandalam
mengikuti dan memahami masalah politik dan keterlibatannya dalam
kegiatan-kegiatan politik tersebut. Sebaliknya apabila tingkat partisipasi
politik bagi wanita iturendah maka dianggap kurang baik, dicirikan dengan
banyak kaum wanita yang tidakmenaruh perhatian pada masalah politik atau
kenegaraan. Akibatnya dikhawatirkanapabila terjadi kurangnya pendapat mengenai
kebutuhan politik wanita yangdikemukakan, maka kepala negara menjadi kurang
tanggap terhadap kebutuhan danaspirasi kaum wanita dan menjadi terabaikan,
sehingga cenderung akan melayanikepentingan beberapa kelompok saja.
Dengan demikian,
bahwa partisipasi politik yang dapat dilakukan oleh wanita dapat melalui
beberapa jalur, yang meliputi :
a)
Bagi
ibu rumah tangga yang tidak bekerja secara formal dapat berperan aktif di
lingkungannya sendiri melalui berbagai kegiatan yang mendukung program
pemerintah, seperti PKK, Posyandu, KB, dan lain-lain kegiatan yang menggerakan
ibu-ibu ke arah kepentingan bersama. Begitu pula turut memberi penjelasan akan
pentingnya menjadi pemilih dalam pemilu yang berlangsung lima tahun sekali guna
melangsungkan kegiatan demokrasi dan kenegaraan.
b)
Wanita
yang menginginkan karier di bidang politik dapat menjadi anggota salah
satupartai politik yang sesuai dengan ideologinya, terutama dalam
memperjuangkan kaum wanita, dan yang bersangkutan dapat mencalonkan diri
sebagai anggota legislatif untuk dipilih oleh masyarakat pada saat
dilaksanakannya pemilu.
c)
Wanita
yang memilih karier di eksekutif atau pemerintahan dapat menjalankan fungsi
sesuai dengan kemampuan, latar belakang pendidikan dan beban tugas yang
diberikan kepadanya dengan penuh rasa tanggung jawab, apalagi yang bersangkutan
dituntut untuk memiliki keterampilan dan kemampuan memimpin, sehingga tidak
tergantung pada laki-laki. Kegiatan di pemerintahan ini diharapkan menjadi
seorang pengambilan keputusan, seeprti menjadi lurah/kepala desa, camat, kepala
daerah, atau menjadi kepala bidang/bagian bahkan kepala instansi di tempat
kerjanya.
d)
Wanita
yang bekerja di bidang yudikatif atau berhubungan dengan hukum sebagai
pengacara, jaksa, hakim, atau sebagai polisi penyidik perkara, dapat bekerja
dengan jujur dan adil demi tegaknya hukum itu sendiri, tanpa membedakan latar
belakang agama, suku, budaya, daerah, pendidikan, golongan, dan lain-lain.
Dengan demikian, bahwa partisipasi
yang dilakukan wanita tidak saja sebagai partisipasi pasif, juga sebaiknya
partisipasi aktif sebagai penentu kebijakan di tempat yang bersangkutan
berusaha, agar benar-benar wanita keberadaannya dapat diperhitungkan.
2.9
Peran Mahasiswa dalam Sistem Politik Indonesia
Mahasiswa adalah orang yang belajar
di perguruan tinggi, baik di universitas, institut atau akademi. Mereka yang
terdaftar sebagai murid di perguruan tinggi dapat disebut sebagai
mahasiswa.Tetapi pada dasarnya makna mahasiswa tidak sesempit itu.Terdaftar
sebagai mahasiswa di sebuah Perguruan Tinggi hanyalah syarat administratif
menjadi mahasiswa, tetapi menjadi mahasiswa mengandung pengertian yang lebih
luas dari sekedar masalah administratif itu sendiri.
Menyandang gelar mahasiswa merupakan suatu kebanggaan
sekaligus tantangan. Betapa tidak, ekspektasi dan tanggung jawab yang diemban
oleh mahasiswa begitu besar.Pengertian mahasiswa tidak bisa diartikan kata per
kata, Mahasiswa adalah Seorang agen pembawa perubahan.Menjadi seorang yang
dapat memberikan solusi bagi permasalahan yang dihadapi oleh suatu masyarakat
bangsa di berbagai belahan dunia.
Sebagai mahasiswa berbagai macam lebel pun disandang, ada
beberapa macam label yang melekat pada diri mahasiswa, misalnya:
1.
Direct Of Change, mahasiswa bisa melakukan perubahan langsung karena SDMnya yg
banyak.
2.
Agent Of Change, mahasiswa agent perbahan, maksudnya sumber daya manusia untuk
melakukan perubahan.
3.
Iron Stock, sumber daya manusia dari mahasiswa itu tidak akan pernah habis.
4.
Moral Force, mahasiswa itu kumpulan orang yg memiliki moral yg baik.
5.
Social Control, mahasiswa itu pengontrol kehidupan sosial,contoh mengontrol
kehidupan sosial yg dilakukan masyarakat.
Namun secara garis besar, setidaknya ada 3 peran dan fungsi
yang sangat penting bagi mahasiswa, yaitu :
Pertama, peranan moral, dunia kampus merupakan dunia di mana
setiap mahasiswa dengan bebas memilih kehidupan yang mereka mau. Disinilah
dituntut suatu tanggung jawab moral terhadap diri masing-masing sebagai indidu
untuk dapat menjalankan kehidupan yang bertanggung jawab dan sesuai dengan
moral yang hidup dalam masyarakat.
Kedua, adalah peranan sosial.Selain tanggung jawab individu,
mahasiswa juga memiliki peranan sosial, yaitu bahwa keberadaan dan segala
perbuatannya tidak hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri tetapi juga harus
membawa manfaat bagi lingkungan sekitarnya.
Ketiga, adalah peranan intelektual.Mahasiswa sebagai orang
yang disebut-sebut sebagai insan intelek haruslah dapat mewujudkan status
tersebut dalam ranah kehidupan nyata. Dalam arti menyadari betul bahwa fungsi
dasar mahasiswa adalah bergelut dengan ilmu pengetahuan dan memberikan
perubahan yang lebih baik dengan intelektualitas yang ia miliki selama
menjalani pendidikan.
Masih minimnya keterlibatan secara menyeluruh kaum muda
dalam dunia perpolitikan di Indonesia sangat kompleks. Hal tersebut setidaknya
dapat dianalisis dengan teori tiga elemen sistem hukum yang dikemukakan oleh
Friedman, teori yang dikemukakan Friedman mengungkapkan bahwa ada tiga aspek
dalam sebuah sistem hukum yang berpengaruh dalam penegakan hukum, ketiga aspek
tersebut adalah struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum. Analisa
terhadap persoalan tersebut dengan pisau analisis Friedman akan menunjukan
beberapa permasalahan kompleks yang berimplikasi terhadap belum munculnya sosok
pemuda secara utuh dalam dunia politik yang mampu memecahkan tirani yang selama
ini menjadi penguasa tataran politis di Indonesia.
Isu kemunculan pemimpin muda sebagai pemimpin alternatif
secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh genderang suksesi kepemimpinan
negara maju yang mulai memunculkan pemimpin-pemimpin muda seperti Medvedev yang
berusia 44 tahun di Rusia, dan yang cukup mendunia, Barrack Obama di Amerika
Serikat. Namun sangatlah tidak beralasan ketika fenomena tersebut diartikan
kemunculan pemuda sebatas regenerasi usia, karena jauh dari hal tersebut,
kemunculan pemuda sebagai sosok pemimpin haruslah dibekali ideologi dan gagasan
segar ala pemuda yang mampu merubah peradaban politik konvensional yang telah
mendarah daging di Indonesia.
Serangai sepak terjang pemuda dan sentralnya peran pemuda
dalam kehidupan politik di Indonesia dapat pula kita analisis dari hasil
rekapitulasi perhitungan suara pemilu legislatif Tahun 2009, di mana dalam hal
ini, coba dilihat sejauh mana pemuda berperan sebagai faktor yang berpengaruh.
Apabila coba dibandingkan dengan hasil pemilu legislatif pada periode Tahun
2004, pada pemilu legislatif tahun 2009 terdapat hasil yang cukup signifikan.
Partai-partai politik besar yang biasa menguasai perolehan suara seperti Partai
Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) harus mengakui
keunggulan geliat Partai Demokrat, yang nota bene merupakan partai politik baru
dalam peta politik nasional. Perubahan peta kekuatan politik dalam pemilu
lagislatif tahun 2009 sangat bermakna bagi beberapa partai politik.
BAB III
KESIMPULAN
Peran masyarakat
kewarganegaraan dalam sistem politik Indonesia didapatkan pada partisipasi
politiknya. Partisipasi politik tersebut dapat dibagi kembali menjadi
bentuk-bentuk partisipasi, yang di antaranya adalah Aphatetic Inactives, Passive Supporters,
Contact
Specialist, Communicators, Party and Campaign
Workers, Community Activist dan Protesters.
Selain itu terdapat pembagian kembali mengenai bentuk-bentuk partisipasi
politik yaitu partisipasi konvensional dalam bentuk pemberian suara (voting), diskusi politik, kegiatan kampanye,
membentuk dan bergabung dalam kelompok, kepentingan, dan komunikasi individu
dengan penjabat politik administratif juga partisipasi non konvensional dalam
bentuk pengajuan pestisi, berdemonstrasi, konfrontasi, mogok dan kegiatan
lainnya.
Sedangkan terdapat
dua faktor yang mendasari
keikutsertaan masyarakat dalam sistem politik Indonesia yaitu faktor internal
dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor teknis dan
faktor pekerjaan, dan faktor eksternal yaitu faktor administrasi, faktor
sosialisasi politik, dan faktor politik. Faktor-faktor tersebut sangat
berpengaruh pada tingkat ataupun bentuk-bentuk partisipasi politik dari
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkarim, Aim. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan, Membangun Karakter. Bangsa. Bandung:
Grafindo Media Pratama
Budiardjo, Miriam. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Politik.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Sultoni, Fikri. 2013. Peranan Pemuda Dan Mahasiswa Dalam Politik Indonesia. Universitas
Airlangga.
Suwondo,
Nani. 1981. Kedudukan Wanita Indonesia
dalam Hukum dan Masyarakat. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Tan,
Melly G (ed). 1991. Perempuan Indonesia
Pemimpin Masa Depan?. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
No comments:
Post a Comment
Silahkan baca dan share