Home About
JIKA ADA YANG DITANYAKAN ATAU DATA YANG KALIAN BUTUHKAN, SILAHKAN BERKOMENTAR PADA MATERI TERSEBUT...TERIMAKASIH

Tuesday, 17 December 2019

Sistem Politik Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
            Dunia politik saat ini sudah tidak lagi menjadi bahan pembicaraan bagi kalangan elit saja, namun juga sudah mulai dirasakan oleh masyarakat. Masyarakat saat ini sudah semakin konsen pada hal-hal yang bersinggungan dengan politik. Perubahan tersebut tentunya merupakan perubahan yang baik dalam sistem politik Indonesia, karena sebelumnya sistem politik Indonesia hanya dikuasai oleh para penguasa saja, namun saat ini masyarakat sudah menunjukkan apresiasi dan partisipasinya.
            Negara Indonesia adalah negara demokrasi yang berdasarkan pada pancasila. Partisipasi pada seluruh golongan sangat dibutuhkan untuk membangun negeri demokrasi yang sebenarnya, terlebih partisipasi dari masyarakat. Kehendak dan aspirasi rakyat seharusnya diperhatikan dan didengarkan, kemudian dirumuskan oleh wakil-wakil mereka yang telah terpilih. Partisipasi politik merupakan keikutsertaan rakyat dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut dan memengaruhi kehidupannya di bidang politik. Oleh karena itu, partisipasi rakyat sangat menentukan keputusan politik dan akan mempengaruhi kehidupan bernegara.
            Partisipasi politik pun berbeda-beda tergantung pada beberapa situasi dan peranannya. Hal yang sering kali kita lihat dalam kehidupan politik adalah partisipasi politik masyarakat pada PEMILU di Indonesia. Di dalam PEMILU masyarakat dapat menyalurkan aspirasinnya dan memilih wakil-wakil yang dikehendaki. Namun, jika membicarakan mengenai partisipasi masyarakat akan sistem politik di Indonesia, tak sedikit pula yang masih bersikap antipati terhadap politik Indonesia. Hal tersebut dapat disebabkan akan beberapa faktor, tergantung faktor dalam diri ataupun lingkungannya. Maka dari itu, makalah ini bertujuan untuk menguraikan mengenai peranan masyarakat dalam sistem politik Indonesia. Bagaimana macam-macam dari partisipasi politik yang ada dan bagaimana keikutsertaan masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
1.     Bagaimana peran masyarakat kewarganegaraan dalam sistem politik Indonesia?
2.     Faktor apa yang mendasari keikutsertaan masyarakat dalam sistem politik Indonesia?
1.3 Tujuan
1.     Mengetahui bagaimana peran masyarakat kewarganegaraan dalam sistem politik Indonesia?
2.     Mengetahui faktor apa yang mendasari keikutsertaan masyarakat dalam sistem politik Indonesia?

           










BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Masyarakat Politik
Menurut Robert M. Mclver dalam Budiardjo (2009:46) masyarakat adalah suatu sistem hubungan-hubungan yang ditata. Sementara itu Koentjaraningrat mengatakan “Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama”. Sementara itu Harold J.Laski mengemukakan bahwa “Masyarakat adalah kelompok manusia yang hidup bersama dan bekerja sama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama”.
Sedangkan Masyarakat politik adalah masyarakat yang sadar akan  politik atau masyarakat yang keikut sertaan terhadap hidup berpolitik menjadi penting dalam kehidupannya sebagai warga Negara. Perlu diingat bahwa tugas-tugas Negara bersifat menyeluruh dan kompleks, sehingga tanpa dukungan positif dari seluruh warga Negara atau masyarakat, tugas-tugas Negara akan banyak yang terbengkalai.
Masyarakat politik yang terdiri dari elite politik dan massa politik serta menjadi peserta rutin dalam kompetisi politik harus dibangun sebagai komponen masyarakat yang memmpunyai etika politik dalam demokrasi. Mereka harus disadarkan bahwa demokrasi bukan hanya kompetisi bebas dengan menggunakan    partai-partai untuk merebut jabatan pemerintahan, tetapi demokrasi juga adalah menghormati harkat martabat hidup manusia dan membangun system politik, ekonomi, dan sosial yang berdikari. Masyarakat  dalam ilmu politik sendiri terbentuk dalam tiga karakter, yaitu masyarakakat yang  Kritis, Konservatif, dan Idealis. Di antaralain sebagai berikut:
1.     Masyarakat Kritis  adalah masyarakat yang berani menantang apa yang dikatakan atau dikemukakan oleh pihak-pihak yang lebih berkuasa, pemerintah dan lembaga untuk menantang perilaku atau praktek yang dilakukan seseorang atau menganalisis pekerjaan sebuah serikat, atau gerakan sosial, atau untuk menantang dan melawan (oppose) kekuatan-kekuatan dominan di dalam komunitas.
2.     Masyarakat Konservatif adalah masyarakat yang selalu mendukung dengan kebijakan-kebijakan Pemerintah karena mereka merasa diuntungkan dengan kebijakan tersebut.
3.     Masyarakat Idealis adalah masyarakat yang mempunyai pengetahuan politik yang selalu merasa kurang puas dengan kinerja pemerintah karena tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan.
Suatu masyarakat politik harus memiliki ciri-ciri sebagaimana diungkapkan oleh Robert E. Ward, yaitu sebagai berikut:
1.     Organisasi pemerintahan yang beranekaragam  dan sistem fungsional yang spesifik.
2.     Kadar integrasi yang tinggi dalam struktur pemerintahan.
3.     Besarnya peranan prosedur-prosedur rasional dan sekuler dalam proses pengambilan keputusan politik.
4.     Deras, luas serta tingginya efektivitas keputusan-keputuan politik dan administrasi.
5.     Meluas serta efektifnya rasa identifikasi rakyat terhadap sejarah, tanah air, dan kepribadia nasional negaranya.
6.     Luasnya minat dan partisipasi masyarakat pada sistem politik.
7.     Alokasi peranan-peranan politik yang didasrkan pada prestasi daripada kedudukan sosial.
8.     Pelaksanaan ketentuan-ketentuan juridis dan peraturan umum yang didasrkan pada sistem hukum yang berlaku bagi semua orang (Abdulkarim, 2011: 02).


2.2 Partisipasi Masyarakat dalam Politik
Peran serta atau partisipasi masyarakat dalam politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah, ‘public policy’. Secara konvensional kegiatan ini mencakup tindakan seperti: memberikan suara dalam pemilihan umum, ‘voting’; menghadiri rapat umum, ‘campaign’; menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan; mengadakan pendekatan  atau hubungan, ‘contacting’ dengan pejabat pemerintah, atau anggota parlemen dan sebagainya (Budiardjo, 2009).
            Dalam hal partisipasi politik Rousseau menyatakan bahwa hanya melalui partisipasi seluruh warga negara dalam kehidupan politik secara langsung dan berkelanjutan, Negara dapat terikat kedalam tujuan kebaikan sebagai kehendak bersama. Berbagai bentuk partisipasi politik
1)          Terbentuknya organisasi-organisasi politik maupun organisasi masyarakat sebagai bagian dari kegiatan social, sekaligus sebagai penyalur aspirasi rakyat yang ikut menetukan kebijakan Negara
2)          Lahirnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai kontrol social maupun pemberi input terhadap kebijakan pemerintah.
3)          Pelaksanaan pemilu yang memberi kesempatan kepada warga Negara untruk dipilih atau memilih, misalnya: berkampanyr, menjadi pemilih aktif, menjadi anggota perwakilan rakyat, menjadi calon presiden yang dipilih lansung, dan sebagainya.
4)          Munculnya kelompok-kelompok kontemporer yang memberi warna pada system input  dan output kepada pemerintah, misalnya: melalui unjuk rasa, petisi, protes, demonstrasi dan sebagainya.



Di tingkat individu, secara lebih spesifik Milbrath M.L. Goel mengidentifikasikan tujuh bentuk partisipasi politik individual:
No
Bentuk partisipasi
Uraian/Keterangan
1
Aphatetic Inactives
Tidak beraktifitas dan parsitipatif, tidak pernah memilih.
2
Passive Supporters
Memilih secara regular/teratur, menghadiri parade patriotic, membayar seluruh pajak, “mencintai Negara”
3
Contact Specialist
Penjabat penghubung lokal(daerah), profinsi dan nasional dalam masalah-masalah tertentu
4
Communicators
Mengikuti infomasi-informasi politik, terlibat dengan diskusi-diskusi, meuli surat pada editor surat kabar, mengirim pesan dukungan dan protes terhadap pemimpin-pemimpin partai polotik
5
Party and Campaign Workers
Bekerja untuk partai politik atau kandidat, meyakinkan orang lain tentang memilih, menhadiri pertemuan-pertemuan, menyumbang uang pada partai politik atau kandidat, bergabung dan mendukung partai politik, dipilih menjadi kandidat partai politik
6
Community Activist
Bekerja dengan orang lain berkaitan dengan masalah-masalah local, membentuk kelompok untuk menangani proble-problem local, keanggotaan aktif dalam organisasi-organisasi kemasyarakatan, melakukan kontak terhadap penjabat-penjabat berkenaan dengan isu-isu social
7
protesters
Bergabung dengan demonstrasi-demonstrasi public di jalanan, melakukan kerusuhan bila perlu, melakukan protes keras apabila pemerintah melakukan kesalahan, menghadapi pertemuan-pertemuan protes, menolak mematuhi aturan



Sedangkan Almond membagi Bentuk-Bentuk Partisipasi politik sebagai berikut:
KONVENSIONAL
NON-KONVENSIONAL
Pemberian suara (voting)
Diskusi politik
Kegiatan kampanye
Membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan
Komunikasi individu dengan penjabat politik administratif.
Pengajuan pestisi
Berdemonstrasi
Konfrontasi
Mogok
Tindak kekerasan politik terhadap harta benda; perisakan, pemboman, pembakaran
Tindak keketrasan politik terhadap manusia; penculikan, pembunuhan, perang gerilyarevolusi













2.3 Tingkatan Partisipasi Politik
Menurut Hungtingtion dan Nelson, ada dua tingkat-tingkat partisipasi politik. Pertama, dilihat dari ruang lingkup atau proporsi dari suatu kategori warga Negara yang melibatkan diri dalam kegiatan partisipasi politik. Kedua, intensitas atau ukuran, lamanya, dan dan arti penting kegiatan khusus itu bagi partai politik.
-              Tingkat Pengamat: Pada tingkat pengamat, seperti menghadiri rapat umum, memberikan suara dalam pemilu, menjadi anggota kelompok kepentingan, mendiskusikan masalah politik, perhatian pada perkembangan politik, dan usaha meyakinkan orang lain, merupakan contoh-contoh yang banyak dilakukan warga Negara, artinya proporsi atau lingkup orang yang terlibat di dalamnya tinggi.
-              Tingkat Aktifitas : Tingkatan partisipasi politik ini disampaikan sebagai berikut:
a)   Menduduki jabatan politik atau administratif
b)   Mencari jabatan politik atau administratif
c)   Keanggotaan aktif suatu organisasi politik
d)   Keanggotaan pasif suatu organisasi politik
e)   Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik (quasi-political)
f)    Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik (quasi-political)
g)   Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dan sebagainya
h)   Partisipasi dalam diskusi politik informal minat dalam bidang politik
i)    Voting (pemberian suara)

2.4 Faktor-Faktor Pendukung Partisipasi Politik
            Berikut adalah faktor-faktor pendukung dari partisipasi politik masyarakat adalah :
a)           Pendidikan politik: Menurut Ramdlon Naning pendidikan politik adalah usaha untuk memasyarakatkan politik, dalam arti mencerdaskan kehidupan politik rakyat, meningkatkan kesadaran setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
b)          Kesadaran Politik: Menurut Drs.M. Taopan kesadaran politik adalah suatu proses batin yang menampakkan keinsafan setiap warga Negara akan urgensi urusan kewarganegaraan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.Kebalikan dari partisipasi politik adalah sikap apatis. Seseorang dinamakan apatis jika dia tidak mau ikut serta dalam berbagai kegiatan politik kenegaraan diberbagai bidang kehidupan.
c)           Dalam sosialisasi politik terdapat dua alasan yang menjadi latar belakang, sehingga sosialisasi politik menjadi kajian tersendiri dalam politik kenegaraan. Pertama: Sosialisasi politik dapat berfungsi untuk memelihara suatu system, yaitu agar stabilitas berjalan dengan baik dan positif. Kedua: Sosialisasi politik ingin menunjukkan relevansinya dengan sistem politik dan data mengenai orientasi anak-anak terhadap kultur poilitik orang dewasa, dan pelaksanaannya di masa mendatang mengenai sistem politik.

Jika menyinggung sosialisasi politik, maka seharusnya kita mengetahui apa arti dari sosialisasi politik itu sendiri. Sosialisasi politik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses dengan jalan mana orang belajar tentang politik dan mengembangkan orientasi pada politik.

Alat yang dapat dijadikan sebagai perantara dalam sosialisasi politik, antara lain:
1)          Keluarga: wadah penanaman (sosialisasi) nilai-nilai politik yang paling efisien dan efektif
2)          Sekolah: Melalui pelajaran civies education (pendidikan Kewarganegaraan), siswa dan guru saling bertukar informasi dan berinteraksi dalam membahas topik-topik tertentu.
3)          Partai Politik: Salah satu fungsi dari partai politik adalah dapat memainkan peran sebagai agen sosialisai politik.

2.5 Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu
Dalam analisis politik modern partisipasi politik merupakan suatu masalah yang penting dan akhir-akhir ini banyak dipelajari terutama hubungannya dengan negara berkembang. Sebagai definisi umum dapat dikatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara secara langsung atau tidak langsung, memengaruhi kehidupan kebijakan (public policy).
Setiap perhelatan demokrasi atau pemilihan umum yang diselenggarakan oleh Negara Republik Indonesia memiliki dampak terhadap perkembangan kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Para elit politik sejatinya memberikan pendidikan politik yang cerdas kepada masyarakat agar kesadaran berdemokrasi semakin tinggi dari berbagai kalangan. Kesadaran berdemokrasi tersebut akan tinggi jika partisipasi masyarakat dalam memberikan haknya juga tinggi.
Karena itu, kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi secara positif dalam sistem politik yang ada, jika seseorang tersebut merasa dirinya sesuai dengan suasana lingkungan dimana dia berada. Apabila kondisi yang terjadi adalah sebaliknya, maka akan lahir sikap dan tingkah laku politik yang tampak janggal atau negatif, misalnya jika seseorang sudah terbiasa berada dalam lingkungan berpolitik yang demokratis, tetapi dia ditempatkan dalam sebuah lingkungan masyarakat yang feodal atau tidak demokratis maka dia akan mengalami kesulitan dalam proses beradaptasi.
Meningkatnya keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu), menunjukan semakin kuatnya tatanan demokrasi dalam sebuah negara. Demokrasi menghendaki adanya keterlibatan rakyat dalam setiap penyelenggaraan yang dilakukan negara. Rakyat diposisikan sebagai aktor penting dalam tatanan demokrasi, karena pada hakekatnya demokrasi mendasarkan pada logika persamaan dan gagasan bahwa pemerintah memerlukan persetujuan dari yang diperintah. Keterlibatan masyarakat menjadi unsur dasar dalam demokrasi. Untuk itu, penyelenggaraan pemilu sebagai sarana dalam melaksanakan demokrasi, tentu saja tidak boleh dilepaskan dari adanya keterlibatan masyarakat.
Partisipasi politik akan berjalan selaras manakala proses politik berjalan secara stabil. Seringkali ada hambatan partisipasi politik ketika stabilitas politik belum bisa diwujudkan, karena itu penting untuk dilakukan oleh para pemegang kekuasaan untuk melakukan proses stabilisasi politik. Disamping itu pula proses berikutnya melakukan upaya pelembagaan politik sebagai bentuk dari upaya untuk memberikan kasempatan kepada masyarakat untuk mengaktualisasikan cita-citanya.
Partisipasi politik tidak lebih dari keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan, atau juga dijelaskan secara subtantif bisa berarti upaya atau usaha terorganisir oleh konstituen atau warga Negara yang baik untuk memilih para pemimpin yang mereka nilai baik juga. Partispasi ini mereka melakukannya dengan penuh tanggung jawab terhadap kehidupan bersama dalam lingkup suatu bangsa dan negara. Partisipasi politik ditekankan pada aspek untuk mendukung kepentingan-kepentingan atau visi dan misi elit politik tetentu.
Sebagai masyarakat yang bijak kita harus turut serta dalam proses prmilihan umum dalam rangka menentukan pemimpin yang akan memimpin kita. Dengan demikian, secara tidak langsung kita akan menentukan pembuat kebijakan yang akan berusaha mensejahterakan masyarakat secara umum. Dalam turut berpartisipasi dalam proses pemilihan umum sebagai masyarakat yang cerdas kita harus mampu menilai calon yang terbaik yang sekiranya mampu dan mau mendengarkan aspirasi masyarakat agar pembangunan yang akan dilakukan sesuai dengan keinginan masyarakat dan tidak memilih calon yang hanya mementingkan diri sendiri atau kelompoknya saja sehingga melupakan janji-janji yang sudah diucapkan dalam masa kampanye. Sebagai pemilik hak pemilih dalam pemilu kita jangan sampai menyia-nyiakan hak suara hanya untuk iming-iming sementara yang dalam artian kita harus memberikan suara kita kepada calon yang tepat. Ketidakikutsertaan kita sebenarnya justru akan membuat kita susah sendiri karena kita tidak turut memilih tetapi harus mengikuti pemimpin yang tidak kita pilih. Partisipasi pemilih dalam pelaksanaan Pemilu mutlak diperlukan, tanpa adanya partisipasi pemilih, Pemilu hanyalah menjadikan sebagai objek semata dan salah satu kritiknya adalah ketika masyarakat tidak merasa memiliki dan acuh tak acuh terhadap pemilihan umum.

2.6 Perbandingan Pemilu Eksekutif dan Pemilu Legislatif
Pada dasarnya kesuksesan sebuah pemilu ditentukan oleh beberapa hal yang diantaranya menyangkut pemilih/konstituen yang merupakan salah satu karakteristik pemerintah demokrasi yaitu pemerintahan didasarkan atas partisipasi masyarakat sebagai sarana kedaulatan rakyat yang memilih dan menentukan pejabat politik ditingkat nasional hingga tingkat daerah lewat pemilihan umum. Partisipasi politik di negara-negara yang menerapkan sistem politik demokrasi merupakan hak warga negara, tapi tidak semua warga negara berperan serta dalam proses politik.
Jika melihat data pada Pemilu 2014 lalu, terlihat perbedaan angka presentase partisipasi mayarakat pada Pilpres (Pemilihan Presiden) dan Pileg (Pemilihan Legislatif). Didapatkan dari rumahpemilu.org bahwa, jumlah pengguna hak pilih di Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014 adalah 69,58% dari 193.944.150 nama yang terdata dalam daftar pemilih total. Persentase ini menurun dibandingkan Pilpres 2009 (72%) dan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD (Pileg) 2014 (75,11%). Meskipun terlihat kuantitas dari Pilpres menurun, namun sejatinya kualitas dari Pilpres meningkat. Kualitas tersebut dapat dilihat bagaimana masyarakat antusias untuk ikut serta bertanggungjawab dalam menciptakan pemilu yang berkualitas, model-model keikutsertaannya, juga variasinya.
Eep Saefulloh Fatah, mengklasifikasikan golput atas empat golongan. Pertama, golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu (seperti keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah. Kedua, golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu). Ketiga, golput politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Keempat, golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain.
Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak menyalurkan aspirasi politiknya dalam pemilihan umum, namun kesemuanya tersebut lebih disederhanakan lagi kedalam dua kelompk besar yakni faktor internal dan eksternal.
a.    Faktor Internal
Ada dua faktor yang menjadi alasan yang datang dari individu pemilih yang mengakibatkan mereka tidak menggunakan hak pilih. Pertama faktor teknis; ialah adanya kendala teknis yang dialami oleh pemilih sehingga menghalanginnya untuk menggunakan hak pilihnya. Seperti pada hari pencoblosan pemilih sedang sakit, ada kegiatan yang lain, ada diluar daerah, serta berbagai hal lainnya yang sifatnya menyangkut pribadi pemilih. Kondisi itulah yang secara teknis membuat pemilih tidak datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya. Kedua faktor pekerjaan; maksudnya adalah pekerjaan sehari – hari. Seperti misalkan warga Kabupaten Subang sudah menjadi mafhum bersama jika banyak penduduknya yang mencari nafkah/bekerja diluar negeri sehingga ketika ada pemilu tidak sempat ikut berpartisipasi. Sebagian besar faktor pekerjaan ini dilihat dari sektor pekerjaan informal seperti pertanian, sektor perdagangan, Industri, serta jasa kemasyarakatan.
b.   Faktor Eksternal
Faktor eksterrnal yang berasal dari luar yang mengakibatkan pemilih tidak menggunakan hak pilihnya. Ada tiga faktor yang termasuk dalam kategori ini. Pertama faktor administrasi; Faktor adminisistratif adalah faktor yang berkaitan dengan aspek adminstrasi yang mengakibatkan pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Diantaranya tidak terdata sebagai pemilih, tidak mendapatkan kartu pemilihan tidak memiliki identitas kependudukan (KTP). Hal-hal administratif seperti inilah yang membuat pemilih tidak bisa ikut dalam pemilihan. Pemilih tidak akan bisa menggunakan hak pilih jika tidak terdaftar sebagai pemilih. Kasus pemilu legislatif 2009 adalah buktinya banyaknya masyarakat Indonesia yang tidak bisa ikut dalam pemilu karena tidak terdaftar sebagai pemilih. Jika kondisi yang seperti ini terjadi maka secara otomatis masyarakat akan tergabung kedalam kategori golput.
Kedua faktor sosialisasi; Sosialisasi atau menyebarluaskan pelaksanaan pemilu di Indonesia sangat penting dilakukan dalam rangka memenimalisir golput. Hal ini di sebabkan intensitas pemilu di Indonesia cukup tinggi mulai dari memilih kepala desa, bupati/walikota, gubernur pemilu legislatif dan pemilu presiden hal ini belum dimasukkan pemilihan yang lebih kecil RT/RW. Kondisi lain yang mendorong sosialisi sangat penting dalam upaya meningkatkan partisipasi politik masyarakat adalah dalam setiap pemilu terutama pemilu di era reformasi selalu diikuti oleh sebagian peserta pemilu yang berbeda. Sehingga menuntut penyelenggara pemilu, peserta pemilu, serta seluruh stakehoolder baik Ormas, LSM, OKP serta masyarakat untuk terus selalu menyebarluaskan informasi tersebut secara massif.
Ketiga faktor politik; faktor ini adalah alasan atau penyebab yang ditimbulkan oleh aspek politik masyarakat tidak mau memilih. Seperti ketidak percaya dengan partai, tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Kondisi inilah yang mendorong masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Stigma politik itu kotor, jahat, menghalalkan segala cara dan lain sebagainya memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap politik sehingga membuat masyarakat enggan untuk menggunakan hak pilih. Stigma ini terbentuk karena tabiat sebagian politisi yang masuk pada kategori politik instan. Politik dimana baru mendekati masyarakat ketika akan ada agenda politik seperti pemilu. Maka kondisi ini meruntuhkan kepercayaan masyarakat pada politisi.
Faktor lain adalah para politisi yang tidak mengakar, politisi yang dekat dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Sebagian politisi lebih dekat dengan para petinggi partai, dengan pemegang kekuasaan. Mereka lebih menngantungkan diri pada pemimpinnya dibandingkan mendekatkan diri dengan konstituen atau pemilihnya. Kondisi lain adalah tingkah laku politisi yang banyak berkonflik mulai konflik internal partai dalam mendapatkan jabatan strategis di partai, kemudian konflik dengan politisi lain yang berbeda partai. Konflik seperti ini menimbulkan anti pati masyarakat terhadap partai politik. Idealnya konflik yang di tampilkan para politisi seharusnya tetap mengedepankan etika politik (fatsoen).
Politik pragamatis yang semakin menguat, baik dikalangan politisi maupun di sebagian masyarakat. Para politisi hanya mencari keuntungan sesaat dengan cara mendapatkan suara rakyat. Sedangan sebagian masyarakat kita, politik dengan melakukan transaksi semakin menjadi-jadi. Baru mau mendukung, memilih jika ada mendapatkan keutungan materi, maka muncul ungkapan kalau tidak sekarang kapan lagi, kalau sudah jadi/terpilih mereka akan lupa janji. Kondisi-kondisi yang seperti penulis uraikan ini yang secara politik memengaruhi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Sebagian Masyarakat semakin tidak yakin dengan politisi. Harus diakui tidak semua politisi seperti ini, masih banyak politisi yang baik, namun mereka yang baik tenggelam dikalahkan politisi yang tidak baik.

2.7 Strategi Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Dalam Pemilu
Peningkatan partisipasi masyarakat sangat penting dalam pelaksanaan pemilihan umum dalam proses memilih anggota legislatif dan eksekutif. Karena bagaimanapun masyarakat memiliki andil yang cukup besar dalam proses pemilihan umum dimana masyarakat sebagai pemilih yang menentukan dalam pemenangan dalam proses pemilihan umum tersbut. Akan tetapi beberapa tahun terakhir partisipasi masyarakat akhir-akhir ini menurun karena disebabkan banyak faktor. Sudah menjadi tanggungjawab bersama bagaimana upaya untuk meningkatkan peran masyarakat dalam pemilu sebagai proses demokratisasi yang sudah berjalan di Indonesia.
a.    Pendidikan Politik Rakyat
Salah satu hal mendasar menyebabkan besarnya jumlah Golput adalah adanya motivasi yang beragam dari para peserta pemilu. Motivasi tersebut lebih cenderung pada kepentingan politik semata dengan mengabaikan hal-hal ini seprti pendidikan politik rakyat. Istilah pendidikan politik sering disamakan dengan istilah political socialization. Istilah political sosialization jika diartikan secara harfiah bermakna sosialisasi politik. Oleh karena itu, dengan menggunakan istilah political sosialization banyak yang mensinonimkan istilah pendidikan politik dengan istilah Sosialisasi Politik, karena keduanya memiliki makna yang hampir sama. Dengan kata lain, sosialisasi politik adalah pendidikan politik dalam arti sempit. Sosialisasi politik dibagi dua yaitu pendidikan politik dan indoktrinasi politik. Pendidikan politik merupakan suatu proses dialogik diantara pemberi dan penerima pesan. Melalui proses ini para anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-nilai, norma-norma, dan simbol-simbol politik negaranya dari berbagai pihak dalam sistem politik seperti sekolah, pemerintah, dan partai politik.
Dalam kampanyenya para Caleg akan lebih cenderung mengajak rakyat untuk memilih dirinya atau tidak memilih. Ini yang saya maksud kampanye yang hanya di motivasi oleh kepentingan politik. Kondisi akan berbeda jika ada muatan untuk memberikan pendidikan politik bagi rakyat. Bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan yang memiliki tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis paling kurang dalam dua hal yaitu memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh komponen masyarakat, ke dua untuk memilih wakil rakyat yang akan di tugasi mengawal dan mengawasi jalannya pemerintah. Secara lebih tegas lagi mengenai pendidikan politik dapat dilihat dalam Pasal 31 UU Nomor 2 tahun 2008, yang menyatakan bahwa Partai politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai ruang lingkup tanggung jawabnya dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender dan tujuannya antara lain: Meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat, meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Atas dasar ini pendidikan politik rakyat adalah hal yang strategis untuk menimbulkan efek Pemilu yang lebih berkualitas. Melihat penyebab munculnya Golput di Indonesia karena kurangnya sosialisasi dan pemahaman politik yang benar, maka pendidikan politik ini juga berpotensi untuk meningkatkan tingkat partisipasi politik rakyat.
b.      Memaksimalkan Fungsi Partai Politik
Tujuan parpol adalah untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan guna melaksanakan /mewujudkan program-program yang telah mereka susun sesuai dengan ideologi tertentu. Oleh karena itu maka untuk mencapai tujuannya tersebut maka partai politik memiliki fungsi:
a)           Sarana komunikasi politik; Komunikai politik adalah proses penyampaian informasi politikdari pemerintah kepada masayarakat dan sebaliknya dari masyarakat kepada pemerintah. Parpol disini berfungsi untuk menyerap, menghimpun (mengolah, dan menyalurkan aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan an menetapakan suatu kebijakan). Begitu juga dalam upaya meningkatkan partisipasi dalam pemilu maka partai politik bisa menggunakan garis intruksi dalam mensisialisasikan pemilihan umum tersebut dari tingkat pusat sampai tingkat desa secara struktural dan menyebraluaskannya kemasyarakat.
b)          Sosialisasi politik (political socialization); adalah proses pembentukan sikap dan orientasi politik mengenai suatu fenomena politik yang sedang dialami suatu negara. Proses ini disampaikan melalui pendidikan politik. Sosialisai yang dilakukan oleh parpol kepada masyarakat berupa pengenalan program-program dari partai tersebut. Dengan demikian,  diharapkan pada masyarakat dapat memilih parpol tersebut pada pemilihan umum. Ide, visi dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik dimasyarakatkan kepada konstituen untuk mendapatkan ‘feedback’ berupa dukungan dari masyarakat luas. Terkait dengan sosialisasi politik ini, partai juga berperan sangat penting dalam rangka pendidikan politik. Partai lah yang menjadi struktur-antara atau ‘intermediate structure’ yang harus memainkan peran dalam membumikan cita-cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif masyarakat warga negara.
c)           Sarana rekruitmen politik (political recruitment); adalah proses seleksi dan pengangkatan seseorang atau kelompok untuk melaksanakan sejumlah peran dalam sistem politik ataupun pemerintahan. Atau dapat dikatakan proses seleksi dan pengangkatan seseorang atau kelompok untuk menduduki suatu  jabatan ataupun beberapa jabatan politik ataupun mewakili parpol itu dalam suatu bidang.  Rekrutmen politik gunanya untuk mencari otang yang berbakat aatupun berkompeten untuk aktif dalam kegiatan politik. Partai dibentuk memang dimaksudkan untuk menjadi kendaraan yang sah untuk menyeleksi kader-kader pemimpin negara pada jenjang-jenjang dan posisi-posisi tertentu. Kader-kader itu ada yang dipilih secara langsung oleh rakyat, ada pula yang dipilih melalui cara yang tidak langsung, seperti oleh Dewan Perwakilan Rakyat, ataupun melalui cara-cara yang tidak langsung lainnya. Oleh karena itu partai politik dalam penetapan kader yang diusung dalam penempatan jabatan ataupun mencalonkan kandidatnya baik dalam Pileg, Pilbup, Pilgub ataupun Pilpres harus memperhatikan aspirasi yang berkembang dimasyarakat agar sosiallisasi secara individu mendorong pula terhadap meningkatnya partisipasi masyarakat dalam memilih baik secara individu maupun secara kelompok.
d)          Pengatur konflik (conflict management); adalah mengendalikan suatu konflik (dalam hal ini adanya perbedaan pendapat atau pertikaian fisik) mengenai suatu kebijakan yang dilakukan pemerintah. Pengendalian konflik ini dilakuakan dengan cara dialog, menampung dan selanjutnya membawa permasalahan tersebut kepada badan perwakilan rakyat(DPR/DPRD/Camat) untuk mendapatkan keputusan politik mengenai permasalahan tersebut. Nilai-nilai (values) dan kepentingan-kepentingan (interests) yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat sangat beraneka ragam, rumit, dan cenderung saling bersaing dan bertabrakan satu sama lain. Jika partai politiknya banyak, berbagai kepentingan yang beraneka ragam itu dapat disalurkan melalui polarisasi partai-partai politik yang menawarkan ideologi, program, dan altrernatif kebijakan yang berbeda-beda satu sama lain.

2.8 Peran Wanita dalam Sistem Politik Indonesia
Keberhasilan program pemerintah dan pembangunan yang dicita-citakan tergantung pada partisipasi seluruh masyarakat, sehingga semakin tinggi partisipasi masyarakat, maka akan semakin berhasil pencapaian tujuan pembangunan yang ingin dicapai. Karena itu, dalam program pemerintah sebagai bagian dari pembangunan sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur masyarakat, yang pada hakekatnya bahwa pembangunan dilaksanakan dan ditujukan dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Dengan demikian, bahwa setiap masyarakat sebagai subyek pembangunan tidak lepas dari peranan wanita yang terlibat di dalamnya, sehingga partisipasi wanita perlu untuk diperhitungkan jika tidak ingin disebut bahwa wanita Indonesia ketinggalan dibandingkan dengan wanita di negara-negara lain.
Wanita Indonesia memiliki peranan dalam pembangunan di bidang politik, baik terlibat dalam kepartaian, legislatif, maupun dalam pemerintahan. Partisipasi dalam bidang politik ini tidaklah semata-mata hanya sekedar pelengkap saja melainkan harus berperan aktif di dalam pengambilan keputusan politik yang menyangkut kepentingan kesinambungan negara dan bangsa.
Hak suara wanita memiliki kesejajaran dengan laki-laki dalam hal mengambil dan menentukan keputusan, begitupula apabila wanita terlibat dalam pemilihan umum untuk memilih salah satu partai politik yang menjadi pilihannya, apalagi jika menempati sebagai pengurus dari salah satu partai.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kedudukan wanita di dalam politik tidak dapat dikesampingkan, karena memiliki kemampuan dan kecerdasan yang sama dengan laki-laki.Walaupun demikian, bahwa hak-hak politik yang dimiliki wanita pada kenyataannya tidaklah sesuai yang diinginkan, sebagaimana Suwondo (1981:141) mengemukakan,
1)  Kenyataan bahwa jumlah wanita yang duduk dalam badan-badan legislatif belum memadai, disebabkan oleh sistem pencalonan melalui daftar calon, dimana wanita dicantumkan di bagian bawah dari daftar.
2)  Kenyataan yang menunjukkan bahwa jabatan/kdudukan penentuankebijaksanaan (policy making) belum banyak diisi oleh kaum wanita. Maka dalam rencana Kegiatan Nasional Wanita Indonesia antara lain disarankan mengenai bidang ini :
a)           Menggiatkan pendidikan di kalangan wanita tentang pengetahuan kewarganegaraan dan perundang-undangan;
b)          Meningkatkan partisipasi wanita dibidang pembuatan perundang-undangan yang perlu segera dikeluarkan mengenai : catatan sipil; adopsi;hukum waris atas dasar persamaan hak antara pria dan wanita; hukumacara untuk pengadilan agama; pemberantasan pelacuran; pengadilan anak dan kesejahteraan anak;
c)           Mengusahakan perbaikan dalam bidang pencalonan anggota-anggota wanita dalam badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif;
d)          Mengadakan kegiatan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang,terutama yang menyangkut kedudukan dan kesempatan bagi wanita
e)           Mengenai peranan wanita dalam kerjasama international :
·       Dalam pelaksanaan kerjasama international, regional, dan sub regional hendaknya wanita diikutsertakan dalam penentuan kebijaksanaan(policy making).
·       Pemerintah menjamin bahwa wanita terwakili secara seimbang diantara utusan-utusan inti ke semua badan international, koperensi,termasuk yang menangani masalah-masalah politik, hukum,pembangunan ekonomi dan sosial, perencanaan, administrasi dankeuangan, ilmu dan teknologi, lingkungan dan kependudukan.
·       Dalam kerjasama di lingkungan ASEAN, hendaknya segera disertakanpembentukan Permanent Committee on Women dalam strukturASEAN.
Partisipasi wanita dalam bidang politik, walaupun masih kurang, nampaknya wanita telah berusaha ke arah yang lebih baik dengan mengeluarkan peraturan yang mewajibkan setiap partai peserta pemilu yang dimulai dari tahun 2004 untuk memasukkan anggota legislatif yang terpilih sebanyak 30%, begitu pula di badan legislatif seperti halnya DPR/DPRD Tk.I dan Tk. II anggotanya minimal 30 % harus wanita.
Keadaan ini merupakan hal yang menggembirakan walaupun tidak sebagian atau 50 %wanita, tetapi ke arah proporsi yang seimbang telah dan akan dilaksanakan, yang berarti mengalami perbaikan dari sebelumnya.
Nampaknya partisipasi wanita dalam bidang politik ini perlu dikaji kembali
mengingat jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah wanita yang seharusnya berperan.Karena itu, perlu dikaji kembali bentuk partisipasi yang nyata dalam kehidupan politik bagi kaum wanita. Partisipasi politik bagi kaum wanita perlu mendapatkan penjelasan, sehingga pengertian partisipasi menjadi jelas.
Di negara-negara demokratis pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politikialah bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang melaksanakannya melaluikegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakatitu dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinanuntuk masa berikutnya. Jadi partisipasi politik merupakan suatu pengejawantahandari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat.
Partisipasi politik seperti di atas tentu saja akan berarti apabila wanita turut
terlibat di dalamnya. Di dalam negara yang sedang belajar menuju demokratis yangsesungguhnya seperti Indonesia, adanya partisipasi wanita yang lebih besar makadianggap menjadi lebih baik. Tingginya tingkat partisipasi wanita dapat ditunjukkandalam mengikuti dan memahami masalah politik dan keterlibatannya dalam kegiatan-kegiatan politik tersebut. Sebaliknya apabila tingkat partisipasi politik bagi wanita iturendah maka dianggap kurang baik, dicirikan dengan banyak kaum wanita yang tidakmenaruh perhatian pada masalah politik atau kenegaraan. Akibatnya dikhawatirkanapabila terjadi kurangnya pendapat mengenai kebutuhan politik wanita yangdikemukakan, maka kepala negara menjadi kurang tanggap terhadap kebutuhan danaspirasi kaum wanita dan menjadi terabaikan, sehingga cenderung akan melayanikepentingan beberapa kelompok saja.
Dengan demikian, bahwa partisipasi politik yang dapat dilakukan oleh wanita dapat melalui beberapa jalur, yang meliputi :
a)           Bagi ibu rumah tangga yang tidak bekerja secara formal dapat berperan aktif di lingkungannya sendiri melalui berbagai kegiatan yang mendukung program pemerintah, seperti PKK, Posyandu, KB, dan lain-lain kegiatan yang menggerakan ibu-ibu ke arah kepentingan bersama. Begitu pula turut memberi penjelasan akan pentingnya menjadi pemilih dalam pemilu yang berlangsung lima tahun sekali guna melangsungkan kegiatan demokrasi dan kenegaraan.
b)          Wanita yang menginginkan karier di bidang politik dapat menjadi anggota salah satupartai politik yang sesuai dengan ideologinya, terutama dalam memperjuangkan kaum wanita, dan yang bersangkutan dapat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif untuk dipilih oleh masyarakat pada saat dilaksanakannya pemilu.
c)           Wanita yang memilih karier di eksekutif atau pemerintahan dapat menjalankan fungsi sesuai dengan kemampuan, latar belakang pendidikan dan beban tugas yang diberikan kepadanya dengan penuh rasa tanggung jawab, apalagi yang bersangkutan dituntut untuk memiliki keterampilan dan kemampuan memimpin, sehingga tidak tergantung pada laki-laki. Kegiatan di pemerintahan ini diharapkan menjadi seorang pengambilan keputusan, seeprti menjadi lurah/kepala desa, camat, kepala daerah, atau menjadi kepala bidang/bagian bahkan kepala instansi di tempat kerjanya.
d)          Wanita yang bekerja di bidang yudikatif atau berhubungan dengan hukum sebagai pengacara, jaksa, hakim, atau sebagai polisi penyidik perkara, dapat bekerja dengan jujur dan adil demi tegaknya hukum itu sendiri, tanpa membedakan latar belakang agama, suku, budaya, daerah, pendidikan, golongan, dan lain-lain.
Dengan demikian, bahwa partisipasi yang dilakukan wanita tidak saja sebagai partisipasi pasif, juga sebaiknya partisipasi aktif sebagai penentu kebijakan di tempat yang bersangkutan berusaha, agar benar-benar wanita keberadaannya dapat diperhitungkan.
2.9 Peran Mahasiswa dalam Sistem Politik Indonesia
 Mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi, baik di universitas, institut atau akademi. Mereka yang terdaftar sebagai murid di perguruan tinggi dapat disebut sebagai mahasiswa.Tetapi pada dasarnya makna mahasiswa tidak sesempit itu.Terdaftar sebagai mahasiswa di sebuah Perguruan Tinggi hanyalah syarat administratif menjadi mahasiswa, tetapi menjadi mahasiswa mengandung pengertian yang lebih luas dari sekedar masalah administratif itu sendiri.
Menyandang gelar mahasiswa merupakan suatu kebanggaan sekaligus tantangan. Betapa tidak, ekspektasi dan tanggung jawab yang diemban oleh mahasiswa begitu besar.Pengertian mahasiswa tidak bisa diartikan kata per kata, Mahasiswa adalah Seorang agen pembawa perubahan.Menjadi seorang yang dapat memberikan solusi bagi permasalahan yang dihadapi oleh suatu masyarakat bangsa di berbagai belahan dunia.
Sebagai mahasiswa berbagai macam lebel pun disandang, ada beberapa macam label yang melekat pada diri mahasiswa, misalnya:
1. Direct Of Change, mahasiswa bisa melakukan perubahan langsung karena SDMnya yg banyak.
2. Agent Of Change, mahasiswa agent perbahan, maksudnya sumber daya manusia untuk melakukan perubahan.
3. Iron Stock, sumber daya manusia dari mahasiswa itu tidak akan pernah habis.
4. Moral Force, mahasiswa itu kumpulan orang yg memiliki moral yg baik.
5. Social Control, mahasiswa itu pengontrol kehidupan sosial,contoh mengontrol kehidupan sosial yg dilakukan masyarakat.
Namun secara garis besar, setidaknya ada 3 peran dan fungsi yang sangat penting bagi mahasiswa, yaitu :
Pertama, peranan moral, dunia kampus merupakan dunia di mana setiap mahasiswa dengan bebas memilih kehidupan yang mereka mau. Disinilah dituntut suatu tanggung jawab moral terhadap diri masing-masing sebagai indidu untuk dapat menjalankan kehidupan yang bertanggung jawab dan sesuai dengan moral yang hidup dalam masyarakat.
Kedua, adalah peranan sosial.Selain tanggung jawab individu, mahasiswa juga memiliki peranan sosial, yaitu bahwa keberadaan dan segala perbuatannya tidak hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri tetapi juga harus membawa manfaat bagi lingkungan sekitarnya.
Ketiga, adalah peranan intelektual.Mahasiswa sebagai orang yang disebut-sebut sebagai insan intelek haruslah dapat mewujudkan status tersebut dalam ranah kehidupan nyata. Dalam arti menyadari betul bahwa fungsi dasar mahasiswa adalah bergelut dengan ilmu pengetahuan dan memberikan perubahan yang lebih baik dengan intelektualitas yang ia miliki selama menjalani pendidikan.
Masih minimnya keterlibatan secara menyeluruh kaum muda dalam dunia perpolitikan di Indonesia sangat kompleks. Hal tersebut setidaknya dapat dianalisis dengan teori tiga elemen sistem hukum yang dikemukakan oleh Friedman, teori yang dikemukakan Friedman mengungkapkan bahwa ada tiga aspek dalam sebuah sistem hukum yang berpengaruh dalam penegakan hukum, ketiga aspek tersebut adalah struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum. Analisa terhadap persoalan tersebut dengan pisau analisis Friedman akan menunjukan beberapa permasalahan kompleks yang berimplikasi terhadap belum munculnya sosok pemuda secara utuh dalam dunia politik yang mampu memecahkan tirani yang selama ini menjadi penguasa tataran politis di Indonesia.
Isu kemunculan pemimpin muda sebagai pemimpin alternatif secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh genderang suksesi kepemimpinan negara maju yang mulai memunculkan pemimpin-pemimpin muda seperti Medvedev yang berusia 44 tahun di Rusia, dan yang cukup mendunia, Barrack Obama di Amerika Serikat. Namun sangatlah tidak beralasan ketika fenomena tersebut diartikan kemunculan pemuda sebatas regenerasi usia, karena jauh dari hal tersebut, kemunculan pemuda sebagai sosok pemimpin haruslah dibekali ideologi dan gagasan segar ala pemuda yang mampu merubah peradaban politik konvensional yang telah mendarah daging di Indonesia.
Serangai sepak terjang pemuda dan sentralnya peran pemuda dalam kehidupan politik di Indonesia dapat pula kita analisis dari hasil rekapitulasi perhitungan suara pemilu legislatif Tahun 2009, di mana dalam hal ini, coba dilihat sejauh mana pemuda berperan sebagai faktor yang berpengaruh. Apabila coba dibandingkan dengan hasil pemilu legislatif pada periode Tahun 2004, pada pemilu legislatif tahun 2009 terdapat hasil yang cukup signifikan. Partai-partai politik besar yang biasa menguasai perolehan suara seperti Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) harus mengakui keunggulan geliat Partai Demokrat, yang nota bene merupakan partai politik baru dalam peta politik nasional. Perubahan peta kekuatan politik dalam pemilu lagislatif tahun 2009 sangat bermakna bagi beberapa partai politik.







BAB III
KESIMPULAN
            Peran masyarakat kewarganegaraan dalam sistem politik Indonesia didapatkan pada partisipasi politiknya. Partisipasi politik tersebut dapat dibagi kembali menjadi bentuk-bentuk partisipasi, yang di antaranya adalah Aphatetic Inactives, Passive Supporters, Contact Specialist, Communicators, Party and Campaign Workers, Community Activist dan Protesters. Selain itu terdapat pembagian kembali mengenai bentuk-bentuk partisipasi politik yaitu partisipasi konvensional dalam bentuk pemberian suara (voting), diskusi politik, kegiatan kampanye, membentuk dan bergabung dalam kelompok, kepentingan, dan komunikasi individu dengan penjabat politik administratif juga partisipasi non konvensional dalam bentuk pengajuan pestisi, berdemonstrasi, konfrontasi, mogok dan kegiatan lainnya.
            Sedangkan terdapat dua faktor yang mendasari keikutsertaan masyarakat dalam sistem politik Indonesia yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah            faktor teknis dan faktor pekerjaan, dan faktor eksternal yaitu faktor administrasi, faktor sosialisasi politik, dan faktor politik. Faktor-faktor tersebut sangat berpengaruh pada tingkat ataupun bentuk-bentuk partisipasi politik dari masyarakat.







DAFTAR PUSTAKA
Abdulkarim, Aim. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan, Membangun Karakter. Bangsa. Bandung: Grafindo Media Pratama
Budiardjo, Miriam. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Sultoni, Fikri. 2013. Peranan Pemuda Dan Mahasiswa Dalam Politik Indonesia. Universitas Airlangga.
Suwondo, Nani. 1981. Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Tan, Melly G (ed). 1991. Perempuan Indonesia Pemimpin Masa Depan?. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.









           




No comments:

Post a Comment

Silahkan baca dan share