Home About
JIKA ADA YANG DITANYAKAN ATAU DATA YANG KALIAN BUTUHKAN, SILAHKAN BERKOMENTAR PADA MATERI TERSEBUT...TERIMAKASIH

Wednesday, 11 December 2019

Pendidikan Komunikasi Dan Media


Bab 7
PENDIDIKAN, KOMUNIKASI, DAN MEDIA


7.1. Pendidikan
      7.1.1. Beberapa Hasil Riset
      7.1.2. Teori Pendidikan
                7.1.2.1. Bernstein: Kode Bahasa
                7.1.2.2. Bowles dan Gintis: Sekolah dan kapitalisme industri
                7.1.2.3. Ivan Illich: Bebas dari sekolah
                7.1.2.4. Bourdeau: Reproduksi cultural
                7.1.2.5.Paul Willis: Analisis Reproduksi Kultural
7.2. Komunikasi
7.3. Media Massa
      7.3.1. Surat Kabar
      7.3.2. Televisi
                7.3.2.1. Televisi sebagai purveyor sikap social
                7.3.2.2. Pengaruh TV terhadap perilaku

7.1. Pendidikan
Pendidikan adalah sarana bagi individu untuk mengembangkan kemampuan dan bakat. Selain itu pendidikan adalah sarana untuk mencapai penyetaraan (equalization). Suatu yang sebelumnya tidak sama (timpang) dibuat menjadi sama lewat pendidikan. Maka pendidikan diharapkan mengurangi disparitas kekayaan dan kekuasaan dengan memberikan kepada individu (khususnya kaum muda) keterampilan yang memungkinkan mereka menemukan tempat yang bernilai di masyarakat. Tetapi penelitian-penelitian sosiologis menyimpulkan bahwa pendidikan justru melanggengkan dan meneguhkan ketidaksetaraan (inequalities).

7.1.1. Beberapa Hasil Riset
Studi/riset tentang pendidikan di berbagai negara menyimpulkan bahwa latar belakang sosial dan keluarga mempunyai pengaruh besar terhadap kinerja pendidikan, dan tercermin dari tingkat pendapatan sesudahnya. Salah satu penelitian sosiologis paling luas terhadap pendidikan di AS dipimpin oleh sosiolog James Coleman dan dipublikasikan tahun 1966.
Informasi dikumpulkan dari lebih dari setengah juta siswa, sedangkan 60 ribu guru mengisi form data tentang empat ribu sekolah. Hasil yang diperoleh ada yang sangat mengejutkan. Misalnya diketahui bahwa mayoritas anak bersekolah di sekolah-sekolah yang memisahkan penduduk kulit putih dari kulit hitam. Hampir 80 persen sekolah yang diikuti oleh siswa kulit putih terdiri dari 10 persen atau kurang siswa kulit hitam. Siswa kulit putih dan siswa yang berasal dari Asia mendapat nilai lebih tinggi dibanding kulit hitam dan minoritas etnis lain. Coleman pada mulanya mengira bahwa sekolah yang muridnya mayoritas kulit hitam mempunyai fasilitas lebih buruk, muridnya lebih banyak dan gedungnyalebih jelek dibanding sekolah dengan mayoritas siswa kulit putih. Tapi hasil studi memperlihatkan perbedaan yang lebih kecil dari yang diduga.
Studi menyimpulkan bahwa sumber-sumber material di sekolah memberikan perbedaan kecil terhadap kinerja pendidikan. Pengaruh yang paling menentukan ialah latar belakang siswa. “Ketimpangan yang disebabkan pada anak oleh keluarga, tetangga, dan lingkungan bermain dibawa serta menjadi ketimpangan yang dihadapi kehidupan dewasa setelah tamat sekolah” kata Coleman. Tapi kenyataan juga menunjukkan bahwa siswa dari latar belakang yang terbuang yang membangun persahabatan akrab dengan orang lain yang lebih baik lebih berhasil di sekolah. Hasil studi Coleman menimbulkan perdebatan publik tentang integrasi sekolah di Inggris dan AS karena hasil itu menunjukkan bahwa anak-anak dari kelompok minoritas akan berkinerja lebih baik di sekolah jika bercampur dengan siswa dari keluarga kaya.
Penelitian lain dilakukan Michael Rutter di London secara longitudinal tahun 1970 dan diulang lagi tahun 1974.  Penelitian Rutter menyempurnakan apa yang dilakukan Coleman sebelumnya. Hasil studi menunjukkan bahwa sekolah memang punya pengaruh terhadap perkembangan akademik anak. Faktor yang penting dalam studi Rutter ternyata sebagian besarnya tidak dianalisis dalam studi Coleman, termasuk antara lain kualitas interaksi guru-murid, atmosfir kerjasama dan kepedulian antara guru dan murid, serta persiapan sekolah yang diatur baik. Sekolah yang memberikan lingkungan belajar baik tidak selalu dilengkapi dengan sumber material atau gedung yang bagus.
Hasil studi Rutter tidak menolak temuan bahwa pengaruh di luar sekolah adalah yang paling  menentukan dalam melestarikan ketimpangan sosial. Hasil studi Rutter membantu kita untuk mengerti mengapa sekolah cenderung mempertahankan ketidaksetaraan. Ada siklus yang terus berulang dimana siswa dari keluarga yang relatif berstatus tinggi mengikuti sekolah tertentu, dan dengan demikian melanggengkan kualitasnya; Guru-guru yang baik tertarik sehingga motivasi dipertahankan. Sekolah yang pada umumnya diikuti oleh anak-anak deprivasi akan bekerja lebih keras untuk memperoleh hasil yang sama.
Tapi kesimpulan studi Rutter menunjukkan bahwa perbedaan dalam organisasi dan atmosfir sekolah dapat bercounteract di luar pengaruh atas hasil akademis. Perbaikan kualitas mengajar, iklim sosial dari sekolah dan pola kerja sekolahdapat membantu anak-anak deprivasi untuk meningkatkan kinerja akademis.
Studi lain oleh Christopher Jenck (1972) meneguhkan kembali temuan bahwa keberhasilan pendidikan dan kerja ditentukan terutama oleh latar belakang keluarga dan faktor-faktor nonsekoleh, dan bahwa reformasi pendidikan dapat memberi efek kecil terhadap ketimpangan yang ada.

7.1.2. Teori Pendidikan
Ada beberapa pandangan tentang hakikat pendidikan modern dan implikasinya bagi ketaksetaraan. Berikut diberikan pandangan dari Bernstein, Bowles dan Gintis, Ivan Illich, Bourdieu, dan Willis.

7.1.2.1. Bernstein: kode bahasa
Bernstein menekankan keterampilan linguistik. Menurut Bernstein anak-anak dari berbagai latar belakang mengembangkan kode-kode (bentuk-bentuk ujaran) yang berbeda pada tahun-tahun awal kehidupannya yang mempengaruhi pengalaman sekolah selanjutnya. Dia tidak mempersoalkan perbedaan dalam kosa kata atau keterampilan verbal seperti dianggap selama ini. Perhatiannya tertuju pada perbedaan sistematik dalam cara menggunakan bahasa, yang memang sangat berbeda antara antara anak orang-orang kaya dan miskin.
Bahasa/ujaran pada anak kelas rendah dinamakan kode terbatas (restricted code), yakni cara menggunakan bahasa yang berisi banyak asumsi yang tidak diucapkan yang diharapkan anak itu untuk diketahui orang lain.  Ujaran RC adalah sejenis bahasa yang terikat dengan setting kultural dari komunitas atau distrik kelas bawah. Masyarakat kelas bawah hidup dalam kultur keluarga atau lingkungan yang kuat di mana nilai dan norma diterima begitu saja dan tidak dinyatakan dalam bahasa. Orangtua kelas ini mensosialisakan anak-anak secara langsung dengan menggunakan gajaran atau hukuman untuk meluruskan perilaku anak. Bahasa RC lebih cocok untuk komunikasi tentang pengalaman praktis dari pada diskusi tentang konsep abstrak, proses atau relasi. Maka RC adalah ciri khas anak-anak yang dibesarkan di keluarga-keluarga kelas bawah dan peer-group mereka. Bahasa berorientasi kepada norma kelompok tanpa seorangpun dengan mudah menjelaskan mengapa mereka mengikuti pola-pola perilaku seperti itu.
Sebaliknya perkembangan bahasa dari anak-anak kelas menengah mencakup kode yang dielaborasi (elaborated code), yakni gaya bicara di mana arti kata-kata dapat di-individualisir sesuai tuntutan situasi tertentu. Anak-anak kelas menengah menggunakan bahasa kurang terikat dengan konteks khusus. Anak mampu lebih mudah menggeneralisasi dan mengekspresikan konsep-konsep abstrak. Dalam mengajar anak-anak para ibu menjelaskan sebab dan prinsip mengapa mereka bereaksi begitu terhadap perilaku anak. Seorang ibu dari kelas bawah akan berkata kepada anaknya: “Saya tidak akan beri lagi permen”, tapi seorang ibu dari kelas menengah mungkin akan menjelaskan bahwa makan terlalu banyak permen tidak baik bagi kesehatan, khususnya gigi.
Menurut Bernstein, anak-anak yang menggunakan EC lebih mampu menghadapi tuntutan-tuntutan pendidikan akademik formal disbanding anak-anak RC. Bukan berarti bahwa anak-anak kelas bawah punya jenis bahasa yang inferior, atau bahwa kode bahasa mereka rendah, tapi cara menggunakan bahasa mereka tak sesuai dengan kultur akademik di sekolah. Mereka yang menguasai EC paling cocok dalam lingkungan sekolah.
Beberapa penelitian sesudahnya mendukung tesis Bernstein, misalnya Joan Tough (1976), Barbara Tizard dan Martin Hughes (1984). Mereka menemukan bahwa anak-anak kelas bawah punya kurang pengalaman akan pertanyaan-pertanyaan mereka dijawab, atau diberi penjelasan tentang alasan orang  lain. Tapi studi lain, seperti yang dilakukan Labov, menolak pandangan bahwa bahasa anak-anak kelas bawah adalah RC (Labov 1978). Menurut Labov, bahasa anak-anak kelas bawah sudah elaborate dan abstrak seperti anak-anak kelas menengah, hanya saja karakter gramatikalnya berbeda.
Dengan demikian pandangan Bernstein membantu kita untuk memahami mengapa anak-anak dari latar belakang sosio ekonomi rendah cenderung menjadi under-achiever di sekolah. Ciri-ciri berikut diasosiasikan dengan bahasa RC: (1) di rumah anak mungkin mendapat jawaban terbatas untuk pertanyaan yang dia ajukan, sehingga membuat mereka kurang mendapat informasi dan kurang memiliki rasa ingin tahu dunia yang lebih luas dibanding  EC; (2) Anak merasa sulit menanggapi bahasa yang tidak emosional dan abstrak yang digunakan dalam pelajaran, dan terhadap prinsip-prinsip disiplin sekolah; (3) Banyak hal yang dikatakan guru tidak dipahami, tergantung pada perbedaan bentuk-bentuk lingustik yang digunakan mereka yang sudah dikenal anak. Anak mungkin coba menerjemahkan bahasa guru ke dalam bahasa yang dia tidak terlalu kenal, tapi kemudian gagal menangkap prinsip-prinsip yang dimaksudkan guru; (4) anak tidak kesulitan dengan drill learning, tapi mendapat kesulitan dalam memahami perbedaan konseptual termasuk generalisasi atau abstraksi.

7.1.2.2. Bowles dan Gintis: sekolah dan kapitalisme industrial
Samuel Bowles dan Herbert Gintis mengamati, berdasarkan hasil-hasil studi sebelumnya, bahwa pendidikan tidak berpengaruh besar terhadap kesetaraan ekonomi. Mereka berpendapat pendidikan modern seharusnya dipahami sebagai respons terhadap kebutuhan ekonomi dari kapitalisme  industri. Sekolah membantu menyiapkan keterampilan teknis dan sosial yang dibutuhkan perusahaan.  Sekolah menanamkan kesadaran akan pentingnya otoritas dan disiplin ke dalam tempat kerja.
Hubungan antara otoritas dan kontrol di sekolah yang bersifat hirarkis dan menekankan kepatuhan, secara langsung paralel dengan yang terdapat di tempat kerja. Ganjaran dan hukuman yang berlaku di sekolah juga berlaku di tempat kerja. Sekolah membantu memberikan motivasi orang kepada achievement dan sukses, sementara pada saat yang sama menghalangi orang lain yang terpaksa masuk ke kerja yang berupah rendah.
Bowles dan Gintis mengakui bahwa perkembangan pendidikan massa mendatangkan hasil yang bermanfaat. Buta huruf diberantas, dan sekolah memberikan akses untuk mempelajari pengalaman-pengalaman yang secara intrinsik self-fulfilling. Tapi karena pendidikan sebagian besar merupakan respons bagi kebutuhan ekonomi, sistem sekolah tidak memberikan apa yang dicita-citakan para pembaru zaman pencerahan.
Menurut Bowles dan Gintis sekolah-sekolah modern mereproduksi perasaan ketakberdayaan (feeling of powerlessness) yang dialami banyak orang dimana-mana. Ideal perkembangan personal yang sangat sentral dalam pendidikan hanya dapat dicapai jika orang mampu mengontrol kondisi-kondisi kehidupannya sendiri, dan mengembangkan bakat dan kemampuan ekspresi diri. Dalam sistem sekarang sekolah hanya melegitimasi ketaksetaraan, membatasi perkembangan personal kepada bentuk yang kompatibel dengan menyerah pada otoritas arbitrer, dan bantuan dalam proses dimana kaum muda menyerah pada nasib. Seandainya ada demokrasi lebih besar di tempat kerja, dan kesetaraan lebih besar di masyarakat luas, kata mereka, suatu sistem pendidikan dapat dikembangkan sehingga memungkinkan pemenuhan individual yang lebih maksimal.

7.1.2.3. Ivan Illich: De-schooling society
Pandangan Illich di bidang pendidikan sangat kontroversial. Dia mengecam keras perkembangan ekonomi modern sebagai proses dimana orang-orang yang sebelumnya mandiri terpangkas dari keterampilan tradisional mereka dan dipaksa menggantungkan kesehatan pada dokter, pendidikan pada guru, hiburan pada televisi, dan pemenuhan kebutuhan hidup pada para majikan. Illich bersama Everett Reimer (1973) berpendapat bahwa wajib sekolah (compulsory schooling) yang dipraktikkan di seluruh dunia harus digugat.
Seperti Bowles dan Gintis, Illich menekankan hubungan antara perkembangan pendidikan dan tuntutan ekonomi bagi disiplin dan hirarki. Menurut dia, sekolah menjalankan empat tugas, yakni menyediakan custodial care, distribusi orang-orang pada peran okupasional, belajar nilai-nilai yang dominan, serta memperoleh keterampilan dan pengetahuan yang disepakati umum. Sekolah, kata Illich, telah menjadi organisasi kustodial karena peraturan tentang wajib hadir, sehingga anak-anak “diasingkan dari jalan-jalan” antar awal masa anak-anak dan masuknya ke dunia kerja.
Dia menggarisbawahi apa yang disebut kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) di sekolah. Banyak yang dipelajari di sana yang tidak punya kaitan dengan isi formal pelajaran. Sekolah cenderung menanamkan konsumsi pasif (passive consumption), yakni sikap menerima secara tidak kritis terhadap tatanan sosial yang ada (oleh disiplin dan regimentasi). Pelajaran-pelajaran ini tidak diajarkan secara sadar, tapi implisit dalam prosedur dan organisasi sekolah. Kurikulum tersembunyi mengajarkan anak-anak bahwa peran mereka dalam kehidupan adalah “tahu tempat mereka dan tetap disitu”.
Maka Illich menyerukan pembebasan masyarakat dari sekolah (de-schooling of society). Wajib sekolah, katanya, adalah penemuan baru, dan tak ada alasan kuat untuk menerimanya sebagai suatu yang tak terelakkan. Karena sekolah tidak mendorong kesetaraan atau pengembangan kemampuan-kemampuan kreatif indivivu, mengapa tidak dihilangkan saja?
Dia tidak maksudkan segala bentuk organisasi pendidikan harus diberangus. Illich mengingatkan bahwa tugas pendidikan adalah memberikan akses bagi setiap orang yang ingin belajar kepada sumber-sumber yang ada, kapan saja dalam kehidupan mereka, bukan saja di masa kecil atau remaja. Sistem inilah yang mampu menyebarkan pengetahuan secara meluas, tidak saja terbatas pada kalangan spesialis. Orang yang belajar tak boleh tunduk pada suatu kurikulum standar, tapi harus mempunyai pilihan personal tentang apa yang ingin dipelajari.
Di luar bentuk sekolah, Illich mengusulkan beberapa tipe bentuk pendidikan (educational framework). Materi untuk pelajaran formal disediakan saja di perpustakaan-perpustakaan, agen-agen rental, laboratorium dan bank-bank penyimpan informasi, sehingga dapat digunakan oleh siapa saja. Dianjurkan untuk dibentuk jaringan komunikasi yang menyiapkan data tentang keterampilan yang dimiliki oleh berbagai individu dan apakah mereka bersedia mengajarkannya kepada orang lain, atau melibatkan diri dalam aktivitas-aktivitas belajar mengajar. Para murid dilengkapi dengan voucher yang memungkinkan mereka menggunakan jasa pendidikan kapan saja.
Banyak orang menilai gagasan Illich sangat utopis. Tapi bila dikaji lebih teliti maka pendidikan hendaknya jangan hanya jadi bentuk training awal yang terbatas pada institusi khusus, tapi harusnya tersedia bagi siapa saja yang ingin memanfaatkannya.

7.1.2.4. Bourdieu: Reproduksi kultural
Reproduksi kultural adalah cara dimana sekolah, dalam kerjasma dengan institusi sosial lain, membantu melanggengkan ketaksetaraan sosial dan ekonomi dari generasi ke generasi. Konsep ini mengingatkan sarana di mana, via kurikulum tersembunyi, sekolah-sekolah mempengaruhi pembelajaran nilai-nilai, sikap, dan kebiasaan-kebiasaan. Sekolah memperkuat variasi dalam nilai-nilai dan pandangan kultural yang diterima pada masa anak-anak. Ketika anak meninggalkan sekolah, semua ini menyebabkan terbatasnya kesempatan bagi sebagian orang, sekaligus memfasilitasi orang lain.
Model penggunaan bahasa yang diidentifikasi oleh Bernstein tentu saja berkaitan dengan perbedaan-perbedaan kultural seluas itu, yang menggarisbawahi variasi dalam minat dan cita rasa. Anak dari latar belakang kelas bawah, khususnya dari kelompok minoritas, mengembangkan cara bicara dan bertindak yang berbenturan dengan cita rasa yang dominan di sekolah. Seperti ditunjukkan Bowles dan Gintis, sekolah memberlakukan aturan disiplin terhadap murid, otoritas guru diorientasikan pada pembelajaran akademis. Anak-anak dari kelas bawah mengalami benturan kultural yang lebih dasyat ketika masuk sekolah dibanding anak-anak dari keluarga mampu. Anak-anak kelas bawah menemukan diri berada di lingkungan kultural asing. Mereka kurang dimotivasi ke arah kinerja akademis yang tinggi. Model bicara dan tindakan habitual mereka tidak bisa cocok dengan gaya yang dipakai guru, meskipun kedua pihak berusaha untuk berkomunikasi.
Anak-anak menggunakan banyak waktu di sekolah. Seperti dikatakan Illich, mereka belajar lebih banyak di situ daripada yang termuat dalam pelajaran yang mereka ikuti. Anak-anak merasakan lebih awal apa itu dunia kerja, dan menemukan bahwa mereka diharapkan tepat waktu dan melaksanakan tugas-tugas dengan rajin seperti diminta atasan mereka.

7.1.2.5. Paul Willis: Analisis Reproduksi kultural
Willis melakukan penelitian di Birmingham (1977) dengan pertanyaan penelitian: “bagaimana anak-anak kelas buruh memperoleh pekerjaan kelas buruh?” Seringkali orang mengira bahwa selama berlangsungnya proses sekolah, anak-anak dari kelas bawah atau minoritas hanya datang untuk memastikan apakah mereka memang bodoh sehingga tidak mungkin memperoleh kerja yang dibayar tinggi atau mencapai status tinggi apabila mereka nanti masuk dunia kerja. Dengan kata lain, pengalaman tentang kegagalan akademik mengajarkan mereka untuk mengakui keterbatasan-keterbatasan intelektual mereka. Nah, dengan inferioritas yang diterima seperti ini mereka memasuki dunia kerja dengan prosek karir yang terbatas.
Menurut Willis, interpretasi ini tidak sesuai dengan realitas kehidupan dan pengalaman orang. Kebijakan jalanan kaum miskin mungkin kurang relevan bagi sukses akademis, tapi menyangkut seperangkat kemampuan subtil, terampil dan kompleks sebagaimana keterampilan intelektual yang diajarkan di sekolah. Jika ada anak yang tamat sekolah dan berpikir: saya begitu dungu sehingga pantas kalau saya mengerjakan pekerjaan kasar di pabrik sepanjang hari. Jika anak-anak dari latarbelakang kurang tinggi menerima pekerjaan-pekerjaan kasar, tanpa merasa sepanjang hidup sebagai kegagalan, maka pasti ada faktor yang terdorongnya.
 Willis fokus pada dua kelompok siswa di sekolah, dan meluangkan waktu bersama mereka. Kedua kelompok itu adalah the lads dan the ear-‘oles. Kelompok the lads adalah siswa kulit putih, sedangkan the ear-‘oles adalah siswa kulit hitam. Willis menemukan bahwa the lads memiliki daya intelektual yang tajam dan perseptif tentang sistem otoritas sekolah, tapi menggunakan ini untuk memerangi sistem dan bukan bekerjasama dengan sistem. Mereka melihat sekolah sebagai lingkungan asing, yang dapat mereka manipulasi untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka menikmati kesenangan positif dari konflik berkepenjangan  antara mereka dan guru.
Di kelas, misalnya, anak-anak disuruh untuk tenang dan melanjutkan pekerjaan. Tapi para anggota the lads justru suka keluyuran, dan baru tenang kalau guru memelototi mereka. Mereka akan mengeluarkan pernyataan terbuka yang sangat berani. Kalau diminta untuk menjelaskan apa arti pernyataan itu, mereka akan menjelaskannya.
Sebaliknya kelompok EO betul-betul mendengarkan guru dan melakukan apa yang diminta. EO akan lebih sukses dalam hal mendapatkan pekerjaan yang bergaji tinggi dan menyenangkan ketika meninggalkan sekolah dibanding the lads. Tapi kesadaran mereka akan kompleksitas lingkungan sekolah, menurut Willis, dalam banyak hal kurang mendalam dibanding the lads. Mereka menerima segalanya tanpa bersungut-sungut.
Menurut Willis, kebanyakan murid berada di antara EO dan the lads. Mereka itu kurang konfrontasional secara terbuka dibanding kelompok pertama, tapi juga kurang konformis secara konsisten dibanding yang kedua. Gaya dan bentuk oposisi sangat dipengaruhi oleh divisi etnis. Kebanyakan guru adalah kulit putih. Meski tidak terlalu suka sekolah, the lads lebih menyerupai guru dibanding anak-anak kulit hitam. Mereka adalah anak-anak dari keluarga West Indian, yang sebagiannya lebih memusuhi sekolah secara terbuka dan keras dibanding the lads. The lads sendiri sangat rasis, dan membedakan diri mereka dengan tegas dari gang-gang hitam.
The lads tahu bahwa kerja akan mirip dengan sekolah, tapi mereka  betul-betul menginginkannya. Mereka berpikir tidak bakal mendapat kepuasan langsung dari lingkungan kerja, tapi seakan tidak sabar untuk terima upah. Mereka bersikap superior terhadap kerja seperti halnya terhadap sekolah. Mereka menikmati status orang dewasa di tempat kerja, tapi tidak berminat menciptakan karir untuk diri sendiri. Seperti dikatakan Willis, kerja di lingkungan blue-collar sering mencakup bentuk kultural yang serupa dengan yang diciptakan the lads di budaya counter-school – olok-olok, kecerdikan, dan keterampilan untuk mementahkan tuntutan dari tokoh otoritas bila perlu. Dalam kehidupannya di kemudian hari mereka mungkin menyadari diri dijerat dalam kerja keras dan yang tidak dibayar. Ketika sudah berkeluarga mereka mungkin melihat kembali pendidikan sebagai satu-satunya jalan keluar. Jika mereka meneruskan pandangan ini kepada anak-anaknya sendiri, mungkin mereka tidak akan berhasil seperti orangtuanya sendiri sebelumnya.

7.2. Komunikasi
Dunia modern bergantung pada komunikasi atau interaksi terus-menerus antara manusia yang saling jauh terpisah. Jika tidak ada komunikasi jarak jauh, maka sekolah dengan basis massa juga tidak perlu dan tidak mungkin. Dalam kebudayaan-kebudayaan tradisional, sebagian besar pengetahuan adalah pengetahuan lokal seperti yang dikatakan Geertz. Tradisi diwariskan ke seluruh komunitas lokal, dan meskipun ide-ide kultural perlahan-lahan menyebar di kawasan yang luas, proses difusi kultural lambat dan tidak konsisten.
Dewasa ini dunia sudah betul-betul menjadi satu, suatu yang tak dapat dibayangkan oleh orang-orang yang hidup sebelum tahun 1800. Kita dapat mengikuti perkembangan di sebuah tempat yang jaraknya ribuan mil dari tempat kita berada. Komunikasi elektronik membuat kesadaran seperti itu hampir bersamaan waktunya. Perubahan dalam penyebaraluasan informasi dan dalam teknologi informasi adalah bagian dari perkembangan masyarakat modern sebagai bagian dari produksi industrial. Transportasi yang cepat dan komunikasi elektronik sudah sangat mengintensifkan difusi informasi global.

7.3. Media Massa
Koran, majalah, bioskop dan televisi sering diasosiasikan dengan hiburan, dan sebab itu dianggap sebagai agak asing terhadap hidup kebanyakan orang. Pandangan ini tidak benar. Komunikasi sudah menjadi bagian dari kebutuhanhidup modern. Komunikasi massa terlibat dalam banyak aspek kegiatan sosial. Misalnya, transaksi moneter sebagian besar dibangun dari pertukaran informasi yang disimpan di komputer. Orang yang menggunakan kartu kredit terhubung dengan sistem informasi yang dipasok dan ditransmisi secara elektronik yang sangat kompleks. Bahkan media rekreasi seperti surat kabar atau televisi punya pengaruh sangat luas terhadap pengalaman kita.
Ini bukan saja karena mereka mempengaruhi sikap kita secara khusus, tapi karena merupakan sarana akses bagi pengetahuan yang memungkinkan berbagai aktivitas sosial. Pemilu misalnya tidak mungkin dilakukan jika tak ada informasi tentang peristiwa-peristiwa politik terbaru, para calon dan partai. Bahkan mereka yang tidak berminat dalam politik sekalipun dan hanya kenal sedikit dengan tokoh-tokoh terkait, toh ingin mengetahui peristiwa-peristiwa nasional dan internasional. Jadi, media massa sangat penting bagi aktivitas sosial dalam kehidupan modern.

7.3.1. Surat Kabar
Surat kabar modern berevolusi dari pamflet dan lembaran informasi yang dicetak dan diedarkan. Di AS gejala ini sudah ada tahun 1700-an. Penjelmaan surat kabar menjadi harian, dengan jutaan pembaca, baru terjadi sejak akhir abad 19. Surat kabar adalah perkembangan yang sangat penting dalam sejarah media modern karena di dalamnya terdapat berbagai macam informasi.
Isi surat kabar mencakup berbagai hal seperti peristiwa-peristiwa terbaru, hiburan, dan iklan. Berita dan iklan berkembang bersamaan. Kini perbedaan antara berita, iklan, dan hiburan telah bergeser, sulit sekali didefinisikan. Misalnya, pengumuman bahwa sebuah kapal sudah meninggalkan pelabuhan atau akan tiba bisa saja dalam satu konteks merupakan berita, tapi dalam konteks lain merupakan iklan, atau jika tentang penumpang tertentu dan ditulis sebagai bagian dari sebuah kolom gossip, menjadi entertainment.
Harian murah dikenal pertama-tama di AS. Di New York harganya satu sen, lalu dikopi di kota-kota besar lain di bagian timur AS. Pada awal 1900-an mulai terbit surat kabar kota atau regional. Dua surat kabar terbesar dan prestisius di awal abad 20 adalah New York Times dan The Times of London. Banyak surat kabar di berbagai negara kemudian mengacu kepada model kedua surat kabar ini.
Selama sekitar setengah abad atau lebih, surat kabar menjadi saluran utama penyebaran informasi secara cepat dan komprehensif kepada publik. Peranan surat kabar sesudahnya mulai digeser radio, bioskop, dan terlebih-lebih televisi dan internet. Sejak 1960-an lebih dari satu surat kabar per rumah tangga terjual tiap hari di Inggris.
Surat kabar sering diasosiasikan dengan pengusaha besar. Tidak selamanya begitu. Di banyak negara surat kabar justru dikelola beberapa perusahaan besar yang sering merupakan milik perorangan atau keluarga. Banyak yang sudah merambah ke televisi dan industri hiburan. Di Inggris ada press baron seperti Lords Northcliffe, Beaverbrook and Kemsley. Di Prancis ada kelompok Hersant. Di Jerman ada Springer dan Gruner. Di AS semua surat kabar bersifat lokal. Di sana terdapat perusahaan surat kabar di sejumlah kota yang jumlahnya semakin menciut. Dari 500 di awal abad 20 menjadi hanya 30 di tahun 1984. Semua surat kabar di AS bersifat lokal.
Di Eropa terdapat surat kabar yang mengklaim diri sebagai surat kabar nasional. Meskipun surat kabar di AS bersifat lokal, kepemilikannya lebih dari 70 persen dimiliki oleh jaringan penerbitan. Dalam hal ini pemilik menentukan kebijakan editorial yang harus dipatuhi para editor dan wartawan. Di jaringan Hearst yang menulis editorial ialah pemilik perusahaan, bukan wartawan atau pengelola.
Surat kabar cetak dalam sepuluh tahun terakhir berkurang di negara-negara maju, karena munculnya teknologi informasi baru dan cepat seperti komputer.  Saingan terberat pada awalnya adalah tele-text yang selalu meng-up-to-date berita-berita lalu disiarkan di layar televisi. Saingan berikutnya ialah televisi dan, paling baru, ialah internet bahkan kini telepon seluler yang sudah dapat menyajikan berita secara cepat dan tanpa henti.
Seiring dengan perkembangan ini surat kabar dan majalah menyesuaikan diri dengan menambah versi elektroniknya. Ini juga cara yang jitu untuk bertahan. Sementara di negara-negara berkembang surat kabar masih berperan penting sebagai media penyebaran informasi dan hiburan, di negara-negara maju banyak surat kabar besar sudah bangkrut. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, televisi dan internet memang menjadi pesaing kuat surat kabar cetak, tapi melihat beragamnya strata masyarakat pembaca, surat kabar versi cetak nampaknya masih akan bertahan dengan penyesuaian-penyesuaian seperlunya.

7.3.2. Televisi
Televisi adalah saingan baru dan terkuat surat kabar cetak saat ini, di samping internet. Kebiasaan menonton televisi pun terus meningkat. Di AS diperkirakan pada usia 18 tahun anak-anak/remaja menggunakan sebagian besar waktu untuk nonton televisi dibanding kegiatan lain (kecuali tidur). Di negara-negara maju tiap keluarga punya perangkat televisi.
Munculnya televisi sangat mempengaruhi pola kehidupan dari hari ke hari. Sebuah studi di 17 negara mencoba menganalisis pengaruh nonton televisi terhadap kehidupan sehari-hari, dan membandingkan kegiatan para pemilik televisi dan yang bukan pemilik. Para responden diminta untuk membuat daftar kegiatan mereka dalam periode 24 jam. Hasilnya diketahui bahwa di semua Negara yang diteliti itu, mereka yang memiliki televisi menggunakan lebih sedikit waktu untuk kegiatan leisure lain, bertemu teman, ngobrol, tugas rumah tangga dan tidur. Jadi, waktu lebih banyak digunakan untuk nonton televisi.
Riset-riset menunjukkan bahwa televisi mempunyai dampak lebih besar bagi kehidupan sehari-hari dibandingkan inovasi teknologi lain di luar bidang kerja yang dibayar. Mereka yang memiliki mobil, misalnya, menggunakan rata-rata hanya 6 persen waktunya untuk travelling dibanding yang tidak punya televisi, dan waktu yang digunakan untuk pekerjaan rumah cendrung tidak berubah bila membeli perlengkapan rumah tangga seperti kulkas, mesin cuci dan dryers.
Televisi adalah bisnis besar. Terkenal di Inggris adalah British Broadcasting Corporation (BBC) yang pertama kali memproduksi program televisi. Itu adalah perusahaan umum yang didirikan dengan licence fee yang dibayarkan oleh setiap keluarga yang memiliki pesawat televisi. Untuk beberapa waktu lamanya BBC pernah mendominasi siaran di Inggris. Di AS ada American Broadcasting Corporation (ABC), Columbia Broadcasting System (CBS), dan National Broadcasting Company (NBC). UU negara itu membatasi jaringan untuk memiliki paling banyak lima stasiun berlisensi.

7.3.2.1. Televisi sebagai Pengendali Sikap Sosial
Pengaruh televisi sebagai medium kultural tak setepatnya dilihat dari segi konten program yang ditawarkan. Televisi membantu memberikan frames of experience, dan outlook mengorganisasi informasi. Televisi penting seperti halnya buku, majalah dan surat kabar dalam ekspansi bentuk-bentuk komunikasi tidak langsung. Televisi membentuk cara di mana individu mengintepretasi dan merespons dunia sosial dengan membantu “menata pengalaman kita tentang dunia”.  Asumsi yang dibangun terhadap karakter produksi dan distribusi televisi mungkin lebih penting dibanding program yang ditayangkan.
Misalnya, televisi sejauh ini membantu mengubah hakikat pemilu modern karena memberikan platform bagi presentasi isu-isu dan para calon. Contoh lain. Simbol-simbol dalam iklan mungkin mempunyai pengaruh jauh lebih besar terhadap perilaku sosial dibanding pesan-pesan yang disampaikan oleh pengiklan. Jadi, pembagian gender sering tersimbol dalam apa yang terjadi dalam setting atau latar belakang sebuah iklan daripada apa yang dijual.

7.3.2.2. Pengaruh TV terhadap Perilaku
Siaran TV berpengaruh besar terhadap pola perilaku. Sejauh ini sudah banyak penelitian tentang topik ini, khususnya pengaruh terhadap anak-anak. Ini terutama dalam kaitan dengan implikasi TV bagi sosialisasi. Di Amerika, topik utama penelitian selama ini mencakup tiga bidang yakni pengaruh TV bagi kecendrungan melakukan tindak kriminal dan kekerasan, pengaruhnya penyiaran berita, dan peran televisi dalam kehidupan politik.
Menurut hasil penelitian oleh Gerbner terhadap acara-acara yang ditampilkan televisi di AS, drama merupakan acara yang paling banyak mengandung unsur kekerasan. Sekitar 80% program drama TV mengandung kekerasan, dengan rate 7,5 episode kekerasan per jam. Program anak-anak bahkan mengandung persentase unsur kekerasan lebih tinggi dari itu, meskipun pembunuhan tidak terlalu ditonjolkan. Gambar kartun mengandung jumlah tertinggi tindakan kekerasan (Giddens 1989).
Bagaimana kekerasan di TV mempengaruhi pemirsa? F.S. Anderson mengumpulkan penemuan dari 67 studi yang dilakukan antara 1956-1976 tentang pengaruh kekerasan di TV terhadap kecendeurngan agresi di kalangan anak-anak. Hasilnya, tiga perempat dari studi itu menemukan adanya pengaruh kekerasan di TV terhadap agresivitas anak. Pada 20 persen kasus tidak ada hasil yang jelas, sementara pada 3 persen studi para peneliti menyimpulkan bahwa nonton kekerasan di TV sebetulnya mengurangi agresi.
Tapi studi-studi yang disurvei oleh Anderson sangat berbeda dalam metode yang digunakan, kekuatan asosiasi yang terungkap, dan definisi perilaku agresif. Pada drama-drama kriminal yang memperlihatkan kekerasan (dan di banyak kartun anak-anak) ada tema keadilan dan penebusan di baliknya. Proporsi pelaku kriminal yang dituntut di pengadilan dalam drama-drama kriminal lebih tinggi dari yang terjadi dengan investigsi polisi dalam kehidupan nyata, dan dalam kartun karakter yang berbahaya atau mengancam biasanya cenderung memperoleh balasan yang setimpal dari sudut keadilan.
Tidak harus berarti bahwa tingginya tingkat penayangan kekerasan menciptakan langsung pola meniru di kalangan pemirsa yang mungkin lebih terpengaruh oleh pesan moral di baliknya. Pada umumnya riset tentang dampak televisi terhadap pemirsa cenderung memperlakukan pemirsa – anak dan dewasa – sebagai bersifat pasif dan tidak diskriminatif dalam reaksinya terhadap apa yang mereka tonton.
Menurut Robert Hodge dan David Tripp, respons anak terhadap TV mencakup interpretasi atau “membaca” apa yang mereka lihat, bukan hanya sekedar meregister konten program. Mereka berpendapat kebanyakan riset yang dilakukan tidak memperhitungkan kompleksitas proses mental anak. Nonton TV, kata mereka, secara inheren bukan merupakan aktivitas intelektual tingkat rendah. Anak-anak “membaca” program dengan menghubung-hubungkannya dengan sistem makna lain dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, anak kecil pun mengetahui bahwa kekerasan di media tidak real. Jadi bukan kekerasan seperti itu di program TV yang berpengaruh pada perilaku, tapi kerangka perilaku umum di mana keduanya dipresentasi dan “dibaca”.
Meskipun demikian sulit dibantah bahwa penayangan kekerasan yang terus-menerus di TV mempunyai dampak bagi sikap dan perilaku anak yang menontonnya. Sebuah investigasi pemerintah AS tentang pengaruh TV terhadap perilaku kekerasan di kalangan anak dan remaja, yang digagas oleh the Surgeon General, mencakup banyak studi yang berbeda. Investigasi itu menghasilkan laporan final yang ambigu dan tidak tuntas yang berisi perbedaan pendapat di antara berbagai peneliti.
Laporan itu mendorong upaya-upaya untuk menggunakan TV secara konstuktif dan positif dalam perkembangan anak, khususnya melalui televisi umum yang lebih mementingkan program pendidikan. Sesame Street disebut sebagai contoh program yang secara khusus didisain untuk menghibur sekaligus mendorong perkembangan intelektual dan kultural anak.
Menurut Giddens (1989) dalam kasus pendidikan, televisi dan industri kebudayaan dibutuhkan keseimbangan antara kekuasaan, tanggungjawab dan kebebasan. Sekolah menyediakan banyak pengalaman belajar – di dalam dan di luar kurikulum formal – yang memuaskan dan berguna bagi perkembangan individual. Pelajaran baca tulis misalnya: jika anak tidak menguasai baca tulis dia akan termiskinkan. Tapi sebaliknya sistem sekolah juga melestarikan ketaksetaraan sosial ekonomi.
Komunikasi media modern juga sangat penting bagi kehidupan karena menyediakan banyak informasi yang dibutuhkan dan memungkinkan tercapainya pencerahan diri dan hiburan bagi anggota masyarakat.  Hanya saja secara umum media cenderung merefleksikan pandangan kelompok dominan dalam masyarakat. Ini tidak terutama karena sensor politik langsung, tapi akibat dari kenyataan bahwa kepemilikan televisi, surat kabar, bank data dsb dipegang oleh kelompok tertentu. Lalu siapa yang mengontrol media? Bagaimana suara mereka yang lemah bisa didengarkan?


No comments:

Post a Comment

Silahkan baca dan share