Bab
7
PENDIDIKAN,
KOMUNIKASI, DAN MEDIA
7.1.
Pendidikan
7.1.1. Beberapa Hasil Riset
7.1.2. Teori Pendidikan
7.1.2.1. Bernstein: Kode Bahasa
7.1.2.2. Bowles dan Gintis:
Sekolah dan kapitalisme industri
7.1.2.3. Ivan Illich: Bebas dari sekolah
7.1.2.4. Bourdeau: Reproduksi cultural
7.1.2.5.Paul Willis: Analisis Reproduksi
Kultural
7.2.
Komunikasi
7.3.
Media Massa
7.3.1. Surat Kabar
7.3.2. Televisi
7.3.2.1. Televisi sebagai
purveyor sikap social
7.3.2.2. Pengaruh TV terhadap
perilaku
7.1.
Pendidikan
Pendidikan adalah
sarana bagi individu untuk mengembangkan kemampuan dan bakat. Selain itu pendidikan
adalah sarana untuk mencapai penyetaraan (equalization).
Suatu yang sebelumnya tidak sama (timpang) dibuat menjadi sama lewat
pendidikan. Maka pendidikan diharapkan mengurangi disparitas kekayaan dan
kekuasaan dengan memberikan kepada individu (khususnya kaum muda) keterampilan
yang memungkinkan mereka menemukan tempat yang bernilai di masyarakat. Tetapi
penelitian-penelitian sosiologis menyimpulkan bahwa pendidikan justru melanggengkan
dan meneguhkan ketidaksetaraan (inequalities).
7.1.1.
Beberapa Hasil Riset
Studi/riset tentang
pendidikan di berbagai negara menyimpulkan bahwa latar belakang sosial dan
keluarga mempunyai pengaruh besar terhadap kinerja pendidikan, dan tercermin
dari tingkat pendapatan sesudahnya. Salah satu penelitian sosiologis paling
luas terhadap pendidikan di AS dipimpin oleh sosiolog James Coleman dan
dipublikasikan tahun 1966.
Informasi dikumpulkan
dari lebih dari setengah juta siswa, sedangkan 60 ribu guru mengisi form data
tentang empat ribu sekolah. Hasil yang diperoleh ada yang sangat mengejutkan.
Misalnya diketahui bahwa mayoritas anak bersekolah di sekolah-sekolah yang
memisahkan penduduk kulit putih dari kulit hitam. Hampir 80 persen sekolah yang
diikuti oleh siswa kulit putih terdiri dari 10 persen atau kurang siswa kulit
hitam. Siswa kulit putih dan siswa yang berasal dari Asia mendapat nilai lebih
tinggi dibanding kulit hitam dan minoritas etnis lain. Coleman pada mulanya
mengira bahwa sekolah yang muridnya mayoritas kulit hitam mempunyai fasilitas
lebih buruk, muridnya lebih banyak dan gedungnyalebih jelek dibanding sekolah dengan
mayoritas siswa kulit putih. Tapi hasil studi memperlihatkan perbedaan yang
lebih kecil dari yang diduga.
Studi menyimpulkan
bahwa sumber-sumber material di sekolah memberikan perbedaan kecil terhadap
kinerja pendidikan. Pengaruh yang paling menentukan ialah latar belakang siswa.
“Ketimpangan yang disebabkan pada anak oleh keluarga, tetangga, dan lingkungan bermain
dibawa serta menjadi ketimpangan yang dihadapi kehidupan dewasa setelah tamat
sekolah” kata Coleman. Tapi kenyataan juga menunjukkan bahwa siswa dari latar
belakang yang terbuang yang membangun persahabatan akrab dengan orang lain yang
lebih baik lebih berhasil di sekolah. Hasil studi Coleman menimbulkan
perdebatan publik tentang integrasi sekolah di Inggris dan AS karena hasil itu
menunjukkan bahwa anak-anak dari kelompok minoritas akan berkinerja lebih baik
di sekolah jika bercampur dengan siswa dari keluarga kaya.
Penelitian lain
dilakukan Michael Rutter di London secara longitudinal tahun 1970 dan diulang
lagi tahun 1974. Penelitian Rutter
menyempurnakan apa yang dilakukan Coleman sebelumnya. Hasil studi menunjukkan
bahwa sekolah memang punya pengaruh terhadap perkembangan akademik anak. Faktor
yang penting dalam studi Rutter ternyata sebagian besarnya tidak dianalisis
dalam studi Coleman, termasuk antara lain kualitas interaksi guru-murid,
atmosfir kerjasama dan kepedulian antara guru dan murid, serta persiapan
sekolah yang diatur baik. Sekolah yang memberikan lingkungan belajar baik tidak
selalu dilengkapi dengan sumber material atau gedung yang bagus.
Hasil studi Rutter
tidak menolak temuan bahwa pengaruh di luar sekolah adalah yang paling menentukan dalam melestarikan ketimpangan
sosial. Hasil studi Rutter membantu kita untuk mengerti mengapa sekolah
cenderung mempertahankan ketidaksetaraan. Ada siklus yang terus berulang dimana
siswa dari keluarga yang relatif berstatus tinggi mengikuti sekolah tertentu,
dan dengan demikian melanggengkan kualitasnya; Guru-guru yang baik tertarik
sehingga motivasi dipertahankan. Sekolah yang pada umumnya diikuti oleh
anak-anak deprivasi akan bekerja lebih keras untuk memperoleh hasil yang sama.
Tapi kesimpulan studi
Rutter menunjukkan bahwa perbedaan dalam organisasi dan atmosfir sekolah dapat
bercounteract di luar pengaruh atas hasil akademis. Perbaikan kualitas
mengajar, iklim sosial dari sekolah dan pola kerja sekolahdapat membantu
anak-anak deprivasi untuk meningkatkan kinerja akademis.
Studi lain oleh
Christopher Jenck (1972) meneguhkan kembali temuan bahwa keberhasilan
pendidikan dan kerja ditentukan terutama oleh latar belakang keluarga dan faktor-faktor
nonsekoleh, dan bahwa reformasi pendidikan dapat memberi efek kecil terhadap
ketimpangan yang ada.
7.1.2.
Teori Pendidikan
Ada beberapa pandangan
tentang hakikat pendidikan modern dan implikasinya bagi ketaksetaraan. Berikut
diberikan pandangan dari Bernstein, Bowles dan Gintis, Ivan Illich, Bourdieu,
dan Willis.
7.1.2.1.
Bernstein: kode bahasa
Bernstein menekankan
keterampilan linguistik. Menurut Bernstein anak-anak dari berbagai latar belakang
mengembangkan kode-kode (bentuk-bentuk ujaran) yang berbeda pada tahun-tahun
awal kehidupannya yang mempengaruhi pengalaman sekolah selanjutnya. Dia tidak
mempersoalkan perbedaan dalam kosa kata atau keterampilan verbal seperti
dianggap selama ini. Perhatiannya tertuju pada perbedaan sistematik dalam cara
menggunakan bahasa, yang memang sangat berbeda antara antara anak orang-orang
kaya dan miskin.
Bahasa/ujaran pada anak
kelas rendah dinamakan kode terbatas (restricted
code), yakni cara menggunakan bahasa yang berisi banyak asumsi yang tidak
diucapkan yang diharapkan anak itu untuk diketahui orang lain. Ujaran RC adalah sejenis bahasa yang terikat
dengan setting kultural dari komunitas atau distrik kelas bawah. Masyarakat
kelas bawah hidup dalam kultur keluarga atau lingkungan yang kuat di mana nilai
dan norma diterima begitu saja dan tidak dinyatakan dalam bahasa. Orangtua
kelas ini mensosialisakan anak-anak secara langsung dengan menggunakan gajaran
atau hukuman untuk meluruskan perilaku anak. Bahasa RC lebih cocok untuk
komunikasi tentang pengalaman praktis dari pada diskusi tentang konsep abstrak,
proses atau relasi. Maka RC adalah ciri khas anak-anak yang dibesarkan di
keluarga-keluarga kelas bawah dan peer-group
mereka. Bahasa berorientasi kepada norma kelompok tanpa seorangpun dengan mudah
menjelaskan mengapa mereka mengikuti pola-pola perilaku seperti itu.
Sebaliknya perkembangan
bahasa dari anak-anak kelas menengah mencakup kode yang dielaborasi (elaborated code), yakni gaya bicara di mana
arti kata-kata dapat di-individualisir sesuai tuntutan situasi tertentu.
Anak-anak kelas menengah menggunakan bahasa kurang terikat dengan konteks
khusus. Anak mampu lebih mudah menggeneralisasi dan mengekspresikan konsep-konsep
abstrak. Dalam mengajar anak-anak para ibu menjelaskan sebab dan prinsip
mengapa mereka bereaksi begitu terhadap perilaku anak. Seorang ibu dari kelas
bawah akan berkata kepada anaknya: “Saya tidak akan beri lagi permen”, tapi
seorang ibu dari kelas menengah mungkin akan menjelaskan bahwa makan terlalu
banyak permen tidak baik bagi kesehatan, khususnya gigi.
Menurut Bernstein,
anak-anak yang menggunakan EC lebih mampu menghadapi tuntutan-tuntutan
pendidikan akademik formal disbanding anak-anak RC. Bukan berarti bahwa
anak-anak kelas bawah punya jenis bahasa yang inferior, atau bahwa kode bahasa
mereka rendah, tapi cara menggunakan bahasa mereka tak sesuai dengan kultur
akademik di sekolah. Mereka yang menguasai EC paling cocok dalam lingkungan
sekolah.
Beberapa penelitian
sesudahnya mendukung tesis Bernstein, misalnya Joan Tough (1976), Barbara
Tizard dan Martin Hughes (1984). Mereka menemukan bahwa anak-anak kelas bawah
punya kurang pengalaman akan pertanyaan-pertanyaan mereka dijawab, atau diberi
penjelasan tentang alasan orang lain.
Tapi studi lain, seperti yang dilakukan Labov, menolak pandangan bahwa bahasa anak-anak
kelas bawah adalah RC (Labov 1978). Menurut Labov, bahasa anak-anak kelas bawah
sudah elaborate dan abstrak seperti
anak-anak kelas menengah, hanya saja karakter gramatikalnya berbeda.
Dengan demikian
pandangan Bernstein membantu kita untuk memahami mengapa anak-anak dari latar
belakang sosio ekonomi rendah cenderung menjadi under-achiever di sekolah. Ciri-ciri berikut diasosiasikan dengan
bahasa RC: (1) di rumah anak mungkin mendapat jawaban terbatas untuk pertanyaan
yang dia ajukan, sehingga membuat mereka kurang mendapat informasi dan kurang memiliki
rasa ingin tahu dunia yang lebih luas dibanding
EC; (2) Anak merasa sulit menanggapi bahasa yang tidak emosional dan
abstrak yang digunakan dalam pelajaran, dan terhadap prinsip-prinsip disiplin
sekolah; (3) Banyak hal yang dikatakan guru tidak dipahami, tergantung pada perbedaan
bentuk-bentuk lingustik yang digunakan mereka yang sudah dikenal anak. Anak
mungkin coba menerjemahkan bahasa guru ke dalam bahasa yang dia tidak terlalu
kenal, tapi kemudian gagal menangkap prinsip-prinsip yang dimaksudkan guru; (4)
anak tidak kesulitan dengan drill
learning, tapi mendapat kesulitan dalam memahami perbedaan konseptual
termasuk generalisasi atau abstraksi.
7.1.2.2.
Bowles dan Gintis: sekolah dan kapitalisme industrial
Samuel Bowles dan
Herbert Gintis mengamati, berdasarkan hasil-hasil studi sebelumnya, bahwa
pendidikan tidak berpengaruh besar terhadap kesetaraan ekonomi. Mereka
berpendapat pendidikan modern seharusnya dipahami sebagai respons terhadap
kebutuhan ekonomi dari kapitalisme
industri. Sekolah membantu menyiapkan keterampilan teknis dan sosial
yang dibutuhkan perusahaan. Sekolah
menanamkan kesadaran akan pentingnya otoritas dan disiplin ke dalam tempat
kerja.
Hubungan antara
otoritas dan kontrol di sekolah yang bersifat hirarkis dan menekankan
kepatuhan, secara langsung paralel dengan yang terdapat di tempat kerja.
Ganjaran dan hukuman yang berlaku di sekolah juga berlaku di tempat kerja.
Sekolah membantu memberikan motivasi orang kepada achievement dan sukses, sementara pada saat yang sama menghalangi
orang lain yang terpaksa masuk ke kerja yang berupah rendah.
Bowles dan Gintis
mengakui bahwa perkembangan pendidikan massa mendatangkan hasil yang
bermanfaat. Buta huruf diberantas, dan sekolah memberikan akses untuk
mempelajari pengalaman-pengalaman yang secara intrinsik self-fulfilling. Tapi karena pendidikan sebagian besar merupakan
respons bagi kebutuhan ekonomi, sistem sekolah tidak memberikan apa yang
dicita-citakan para pembaru zaman pencerahan.
Menurut Bowles dan
Gintis sekolah-sekolah modern mereproduksi perasaan ketakberdayaan (feeling of powerlessness) yang dialami
banyak orang dimana-mana. Ideal perkembangan personal yang sangat sentral dalam
pendidikan hanya dapat dicapai jika orang mampu mengontrol kondisi-kondisi
kehidupannya sendiri, dan mengembangkan bakat dan kemampuan ekspresi diri.
Dalam sistem sekarang sekolah hanya melegitimasi ketaksetaraan, membatasi
perkembangan personal kepada bentuk yang kompatibel dengan menyerah pada
otoritas arbitrer, dan bantuan dalam proses dimana kaum muda menyerah pada
nasib. Seandainya ada demokrasi lebih besar di tempat kerja, dan kesetaraan
lebih besar di masyarakat luas, kata mereka, suatu sistem pendidikan dapat
dikembangkan sehingga memungkinkan pemenuhan individual yang lebih maksimal.
7.1.2.3.
Ivan Illich: De-schooling society
Pandangan Illich di
bidang pendidikan sangat kontroversial. Dia mengecam keras perkembangan ekonomi
modern sebagai proses dimana orang-orang yang sebelumnya mandiri terpangkas
dari keterampilan tradisional mereka dan dipaksa menggantungkan kesehatan pada
dokter, pendidikan pada guru, hiburan pada televisi, dan pemenuhan kebutuhan
hidup pada para majikan. Illich bersama Everett Reimer (1973) berpendapat bahwa
wajib sekolah (compulsory schooling)
yang dipraktikkan di seluruh dunia harus digugat.
Seperti Bowles dan
Gintis, Illich menekankan hubungan antara perkembangan pendidikan dan tuntutan
ekonomi bagi disiplin dan hirarki. Menurut dia, sekolah menjalankan empat
tugas, yakni menyediakan custodial care,
distribusi orang-orang pada peran okupasional, belajar nilai-nilai yang
dominan, serta memperoleh keterampilan dan pengetahuan yang disepakati umum.
Sekolah, kata Illich, telah menjadi organisasi kustodial karena peraturan
tentang wajib hadir, sehingga anak-anak “diasingkan dari jalan-jalan” antar awal
masa anak-anak dan masuknya ke dunia kerja.
Dia menggarisbawahi apa
yang disebut kurikulum tersembunyi (hidden
curriculum) di sekolah. Banyak yang dipelajari di sana yang tidak punya
kaitan dengan isi formal pelajaran. Sekolah cenderung menanamkan konsumsi pasif
(passive consumption), yakni sikap
menerima secara tidak kritis terhadap tatanan sosial yang ada (oleh disiplin
dan regimentasi). Pelajaran-pelajaran ini tidak diajarkan secara sadar, tapi
implisit dalam prosedur dan organisasi sekolah. Kurikulum tersembunyi
mengajarkan anak-anak bahwa peran mereka dalam kehidupan adalah “tahu tempat
mereka dan tetap disitu”.
Maka Illich menyerukan pembebasan
masyarakat dari sekolah (de-schooling of
society). Wajib sekolah, katanya, adalah penemuan baru, dan tak ada alasan
kuat untuk menerimanya sebagai suatu yang tak terelakkan. Karena sekolah tidak
mendorong kesetaraan atau pengembangan kemampuan-kemampuan kreatif indivivu,
mengapa tidak dihilangkan saja?
Dia tidak maksudkan
segala bentuk organisasi pendidikan harus diberangus. Illich mengingatkan bahwa
tugas pendidikan adalah memberikan akses bagi setiap orang yang ingin belajar
kepada sumber-sumber yang ada, kapan saja dalam kehidupan mereka, bukan saja di
masa kecil atau remaja. Sistem inilah yang mampu menyebarkan pengetahuan secara
meluas, tidak saja terbatas pada kalangan spesialis. Orang yang belajar tak
boleh tunduk pada suatu kurikulum standar, tapi harus mempunyai pilihan
personal tentang apa yang ingin dipelajari.
Di luar bentuk sekolah,
Illich mengusulkan beberapa tipe bentuk pendidikan (educational framework). Materi untuk pelajaran formal disediakan
saja di perpustakaan-perpustakaan, agen-agen rental, laboratorium dan bank-bank
penyimpan informasi, sehingga dapat digunakan oleh siapa saja. Dianjurkan untuk
dibentuk jaringan komunikasi yang menyiapkan data tentang keterampilan yang
dimiliki oleh berbagai individu dan apakah mereka bersedia mengajarkannya
kepada orang lain, atau melibatkan diri dalam aktivitas-aktivitas belajar
mengajar. Para murid dilengkapi dengan voucher yang memungkinkan mereka
menggunakan jasa pendidikan kapan saja.
Banyak orang menilai
gagasan Illich sangat utopis. Tapi bila dikaji lebih teliti maka pendidikan
hendaknya jangan hanya jadi bentuk training
awal yang terbatas pada institusi khusus, tapi harusnya tersedia bagi siapa
saja yang ingin memanfaatkannya.
7.1.2.4.
Bourdieu: Reproduksi kultural
Reproduksi kultural
adalah cara dimana sekolah, dalam kerjasma dengan institusi sosial lain,
membantu melanggengkan ketaksetaraan sosial dan ekonomi dari generasi ke
generasi. Konsep ini mengingatkan sarana di mana, via kurikulum tersembunyi,
sekolah-sekolah mempengaruhi pembelajaran nilai-nilai, sikap, dan
kebiasaan-kebiasaan. Sekolah memperkuat variasi dalam nilai-nilai dan pandangan
kultural yang diterima pada masa anak-anak. Ketika anak meninggalkan sekolah,
semua ini menyebabkan terbatasnya kesempatan bagi sebagian orang, sekaligus
memfasilitasi orang lain.
Model penggunaan bahasa
yang diidentifikasi oleh Bernstein tentu saja berkaitan dengan
perbedaan-perbedaan kultural seluas itu, yang menggarisbawahi variasi dalam
minat dan cita rasa. Anak dari latar belakang kelas bawah, khususnya dari
kelompok minoritas, mengembangkan cara bicara dan bertindak yang berbenturan
dengan cita rasa yang dominan di sekolah. Seperti ditunjukkan Bowles dan
Gintis, sekolah memberlakukan aturan disiplin terhadap murid, otoritas guru
diorientasikan pada pembelajaran akademis. Anak-anak dari kelas bawah mengalami
benturan kultural yang lebih dasyat ketika masuk sekolah dibanding anak-anak
dari keluarga mampu. Anak-anak kelas bawah menemukan diri berada di lingkungan kultural
asing. Mereka kurang dimotivasi ke arah kinerja akademis yang tinggi. Model
bicara dan tindakan habitual mereka tidak bisa cocok dengan gaya yang dipakai guru,
meskipun kedua pihak berusaha untuk berkomunikasi.
Anak-anak menggunakan
banyak waktu di sekolah. Seperti dikatakan Illich, mereka belajar lebih banyak
di situ daripada yang termuat dalam pelajaran yang mereka ikuti. Anak-anak
merasakan lebih awal apa itu dunia kerja, dan menemukan bahwa mereka diharapkan
tepat waktu dan melaksanakan tugas-tugas dengan rajin seperti diminta atasan
mereka.
7.1.2.5.
Paul Willis: Analisis Reproduksi kultural
Willis melakukan
penelitian di Birmingham (1977) dengan pertanyaan penelitian: “bagaimana
anak-anak kelas buruh memperoleh pekerjaan kelas buruh?” Seringkali orang
mengira bahwa selama berlangsungnya proses sekolah, anak-anak dari kelas bawah
atau minoritas hanya datang untuk memastikan apakah mereka memang bodoh
sehingga tidak mungkin memperoleh kerja yang dibayar tinggi atau mencapai
status tinggi apabila mereka nanti masuk dunia kerja. Dengan kata lain,
pengalaman tentang kegagalan akademik mengajarkan mereka untuk mengakui
keterbatasan-keterbatasan intelektual mereka. Nah, dengan inferioritas yang
diterima seperti ini mereka memasuki dunia kerja dengan prosek karir yang
terbatas.
Menurut Willis,
interpretasi ini tidak sesuai dengan realitas kehidupan dan pengalaman orang. Kebijakan
jalanan kaum miskin mungkin kurang relevan bagi sukses akademis, tapi
menyangkut seperangkat kemampuan subtil, terampil dan kompleks sebagaimana
keterampilan intelektual yang diajarkan di sekolah. Jika ada anak yang tamat
sekolah dan berpikir: saya begitu dungu sehingga pantas kalau saya mengerjakan pekerjaan
kasar di pabrik sepanjang hari. Jika anak-anak dari latarbelakang kurang tinggi
menerima pekerjaan-pekerjaan kasar, tanpa merasa sepanjang hidup sebagai
kegagalan, maka pasti ada faktor yang terdorongnya.
Willis fokus pada dua kelompok siswa di
sekolah, dan meluangkan waktu bersama mereka. Kedua kelompok itu adalah the lads dan the ear-‘oles. Kelompok the
lads adalah siswa kulit putih, sedangkan the ear-‘oles adalah siswa kulit hitam. Willis menemukan bahwa the lads memiliki daya intelektual yang
tajam dan perseptif tentang sistem otoritas sekolah, tapi menggunakan ini untuk
memerangi sistem dan bukan bekerjasama dengan sistem. Mereka melihat sekolah
sebagai lingkungan asing, yang dapat mereka manipulasi untuk kepentingan mereka
sendiri. Mereka menikmati kesenangan positif dari konflik berkepenjangan antara mereka dan guru.
Di kelas, misalnya,
anak-anak disuruh untuk tenang dan melanjutkan pekerjaan. Tapi para anggota the lads justru suka keluyuran, dan baru
tenang kalau guru memelototi mereka. Mereka akan mengeluarkan pernyataan
terbuka yang sangat berani. Kalau diminta untuk menjelaskan apa arti pernyataan
itu, mereka akan menjelaskannya.
Sebaliknya kelompok EO
betul-betul mendengarkan guru dan melakukan apa yang diminta. EO akan lebih
sukses dalam hal mendapatkan pekerjaan yang bergaji tinggi dan menyenangkan
ketika meninggalkan sekolah dibanding the
lads. Tapi kesadaran mereka akan kompleksitas lingkungan sekolah, menurut
Willis, dalam banyak hal kurang mendalam dibanding the lads. Mereka menerima segalanya tanpa bersungut-sungut.
Menurut Willis, kebanyakan
murid berada di antara EO dan the lads.
Mereka itu kurang konfrontasional secara terbuka dibanding kelompok pertama, tapi
juga kurang konformis secara konsisten dibanding yang kedua. Gaya dan bentuk
oposisi sangat dipengaruhi oleh divisi etnis. Kebanyakan guru adalah kulit
putih. Meski tidak terlalu suka sekolah, the
lads lebih menyerupai guru dibanding anak-anak kulit hitam. Mereka adalah
anak-anak dari keluarga West Indian, yang sebagiannya lebih memusuhi sekolah
secara terbuka dan keras dibanding the
lads. The lads sendiri sangat rasis,
dan membedakan diri mereka dengan tegas dari gang-gang hitam.
The
lads
tahu bahwa kerja akan mirip dengan sekolah, tapi mereka betul-betul menginginkannya. Mereka berpikir
tidak bakal mendapat kepuasan langsung dari lingkungan kerja, tapi seakan tidak
sabar untuk terima upah. Mereka bersikap superior terhadap kerja seperti halnya
terhadap sekolah. Mereka menikmati status orang dewasa di tempat kerja, tapi
tidak berminat menciptakan karir untuk diri sendiri. Seperti dikatakan Willis,
kerja di lingkungan blue-collar
sering mencakup bentuk kultural yang serupa dengan yang diciptakan the lads di budaya counter-school – olok-olok, kecerdikan, dan keterampilan untuk mementahkan
tuntutan dari tokoh otoritas bila perlu. Dalam kehidupannya di kemudian hari mereka
mungkin menyadari diri dijerat dalam kerja keras dan yang tidak dibayar. Ketika
sudah berkeluarga mereka mungkin melihat kembali pendidikan sebagai
satu-satunya jalan keluar. Jika mereka meneruskan pandangan ini kepada
anak-anaknya sendiri, mungkin mereka tidak akan berhasil seperti orangtuanya
sendiri sebelumnya.
7.2.
Komunikasi
Dunia modern bergantung
pada komunikasi atau interaksi terus-menerus antara manusia yang saling jauh
terpisah. Jika tidak ada komunikasi jarak jauh, maka sekolah dengan basis massa
juga tidak perlu dan tidak mungkin. Dalam kebudayaan-kebudayaan tradisional,
sebagian besar pengetahuan adalah pengetahuan lokal seperti yang dikatakan
Geertz. Tradisi diwariskan ke seluruh komunitas lokal, dan meskipun ide-ide kultural
perlahan-lahan menyebar di kawasan yang luas, proses difusi kultural lambat dan
tidak konsisten.
Dewasa ini dunia sudah
betul-betul menjadi satu, suatu yang tak dapat dibayangkan oleh orang-orang
yang hidup sebelum tahun 1800. Kita dapat mengikuti perkembangan di sebuah
tempat yang jaraknya ribuan mil dari tempat kita berada. Komunikasi elektronik
membuat kesadaran seperti itu hampir bersamaan waktunya. Perubahan dalam
penyebaraluasan informasi dan dalam teknologi informasi adalah bagian dari
perkembangan masyarakat modern sebagai bagian dari produksi industrial.
Transportasi yang cepat dan komunikasi elektronik sudah sangat mengintensifkan
difusi informasi global.
7.3.
Media Massa
Koran, majalah, bioskop
dan televisi sering diasosiasikan dengan hiburan, dan sebab itu dianggap
sebagai agak asing terhadap hidup kebanyakan orang. Pandangan ini tidak benar.
Komunikasi sudah menjadi bagian dari kebutuhanhidup modern. Komunikasi massa
terlibat dalam banyak aspek kegiatan sosial. Misalnya, transaksi moneter
sebagian besar dibangun dari pertukaran informasi yang disimpan di komputer.
Orang yang menggunakan kartu kredit terhubung dengan sistem informasi yang
dipasok dan ditransmisi secara elektronik yang sangat kompleks. Bahkan media
rekreasi seperti surat kabar atau televisi punya pengaruh sangat luas terhadap
pengalaman kita.
Ini bukan saja karena
mereka mempengaruhi sikap kita secara khusus, tapi karena merupakan sarana
akses bagi pengetahuan yang memungkinkan berbagai aktivitas sosial. Pemilu
misalnya tidak mungkin dilakukan jika tak ada informasi tentang
peristiwa-peristiwa politik terbaru, para calon dan partai. Bahkan mereka yang
tidak berminat dalam politik sekalipun dan hanya kenal sedikit dengan
tokoh-tokoh terkait, toh ingin mengetahui peristiwa-peristiwa nasional dan
internasional. Jadi, media massa sangat penting bagi aktivitas sosial dalam
kehidupan modern.
7.3.1.
Surat Kabar
Surat kabar modern berevolusi
dari pamflet dan lembaran informasi yang dicetak dan diedarkan. Di AS gejala ini
sudah ada tahun 1700-an. Penjelmaan surat kabar menjadi harian, dengan jutaan
pembaca, baru terjadi sejak akhir abad 19. Surat kabar adalah perkembangan yang
sangat penting dalam sejarah media modern karena di dalamnya terdapat berbagai
macam informasi.
Isi surat kabar
mencakup berbagai hal seperti peristiwa-peristiwa terbaru, hiburan, dan iklan.
Berita dan iklan berkembang bersamaan. Kini perbedaan antara berita, iklan, dan
hiburan telah bergeser, sulit sekali didefinisikan. Misalnya, pengumuman bahwa
sebuah kapal sudah meninggalkan pelabuhan atau akan tiba bisa saja dalam satu
konteks merupakan berita, tapi dalam konteks lain merupakan iklan, atau jika
tentang penumpang tertentu dan ditulis sebagai bagian dari sebuah kolom gossip,
menjadi entertainment.
Harian murah dikenal
pertama-tama di AS. Di New York harganya satu sen, lalu dikopi di kota-kota
besar lain di bagian timur AS. Pada awal 1900-an mulai terbit surat kabar kota
atau regional. Dua surat kabar terbesar dan prestisius di awal abad 20 adalah New York Times dan The Times of London. Banyak surat kabar di berbagai negara kemudian
mengacu kepada model kedua surat kabar ini.
Selama sekitar setengah
abad atau lebih, surat kabar menjadi saluran utama penyebaran informasi secara
cepat dan komprehensif kepada publik. Peranan surat kabar sesudahnya mulai
digeser radio, bioskop, dan terlebih-lebih televisi dan internet. Sejak 1960-an
lebih dari satu surat kabar per rumah tangga terjual tiap hari di Inggris.
Surat kabar sering
diasosiasikan dengan pengusaha besar. Tidak selamanya begitu. Di banyak negara
surat kabar justru dikelola beberapa perusahaan besar yang sering merupakan
milik perorangan atau keluarga. Banyak yang sudah merambah ke televisi dan
industri hiburan. Di Inggris ada press
baron seperti Lords Northcliffe, Beaverbrook and Kemsley. Di Prancis ada
kelompok Hersant. Di Jerman ada Springer dan Gruner. Di AS semua surat kabar
bersifat lokal. Di sana terdapat perusahaan surat kabar di sejumlah kota yang
jumlahnya semakin menciut. Dari 500 di awal abad 20 menjadi hanya 30 di tahun
1984. Semua surat kabar di AS bersifat lokal.
Di Eropa terdapat surat
kabar yang mengklaim diri sebagai surat kabar nasional. Meskipun surat kabar di
AS bersifat lokal, kepemilikannya lebih dari 70 persen dimiliki oleh jaringan
penerbitan. Dalam hal ini pemilik menentukan kebijakan editorial yang harus
dipatuhi para editor dan wartawan. Di jaringan Hearst yang menulis editorial
ialah pemilik perusahaan, bukan wartawan atau pengelola.
Surat kabar cetak dalam
sepuluh tahun terakhir berkurang di negara-negara maju, karena munculnya
teknologi informasi baru dan cepat seperti komputer. Saingan terberat pada awalnya adalah tele-text yang selalu meng-up-to-date berita-berita lalu disiarkan
di layar televisi. Saingan berikutnya ialah televisi dan, paling baru, ialah
internet bahkan kini telepon seluler yang sudah dapat menyajikan berita secara
cepat dan tanpa henti.
Seiring dengan
perkembangan ini surat kabar dan majalah menyesuaikan diri dengan menambah
versi elektroniknya. Ini juga cara yang jitu untuk bertahan. Sementara di
negara-negara berkembang surat kabar masih berperan penting sebagai media
penyebaran informasi dan hiburan, di negara-negara maju banyak surat kabar
besar sudah bangkrut. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, televisi
dan internet memang menjadi pesaing kuat surat kabar cetak, tapi melihat
beragamnya strata masyarakat pembaca, surat kabar versi cetak nampaknya masih
akan bertahan dengan penyesuaian-penyesuaian seperlunya.
7.3.2.
Televisi
Televisi adalah saingan
baru dan terkuat surat kabar cetak saat ini, di samping internet. Kebiasaan
menonton televisi pun terus meningkat. Di AS diperkirakan pada usia 18 tahun
anak-anak/remaja menggunakan sebagian besar waktu untuk nonton televisi
dibanding kegiatan lain (kecuali tidur). Di negara-negara maju tiap keluarga
punya perangkat televisi.
Munculnya televisi
sangat mempengaruhi pola kehidupan dari hari ke hari. Sebuah studi di 17 negara
mencoba menganalisis pengaruh nonton televisi terhadap kehidupan sehari-hari,
dan membandingkan kegiatan para pemilik televisi dan yang bukan pemilik. Para
responden diminta untuk membuat daftar kegiatan mereka dalam periode 24 jam. Hasilnya
diketahui bahwa di semua Negara yang diteliti itu, mereka yang memiliki televisi
menggunakan lebih sedikit waktu untuk kegiatan leisure lain, bertemu teman, ngobrol, tugas rumah tangga dan tidur.
Jadi, waktu lebih banyak digunakan untuk nonton televisi.
Riset-riset menunjukkan
bahwa televisi mempunyai dampak lebih besar bagi kehidupan sehari-hari
dibandingkan inovasi teknologi lain di luar bidang kerja yang dibayar. Mereka
yang memiliki mobil, misalnya, menggunakan rata-rata hanya 6 persen waktunya
untuk travelling dibanding yang tidak punya televisi, dan waktu yang digunakan
untuk pekerjaan rumah cendrung tidak berubah bila membeli perlengkapan rumah
tangga seperti kulkas, mesin cuci dan dryers.
Televisi adalah bisnis
besar. Terkenal di Inggris adalah British Broadcasting Corporation (BBC) yang
pertama kali memproduksi program televisi. Itu adalah perusahaan umum yang
didirikan dengan licence fee yang
dibayarkan oleh setiap keluarga yang memiliki pesawat televisi. Untuk beberapa
waktu lamanya BBC pernah mendominasi siaran di Inggris. Di AS ada American
Broadcasting Corporation (ABC), Columbia Broadcasting System (CBS), dan
National Broadcasting Company (NBC). UU negara itu membatasi jaringan untuk
memiliki paling banyak lima stasiun berlisensi.
7.3.2.1.
Televisi sebagai Pengendali Sikap Sosial
Pengaruh televisi
sebagai medium kultural tak setepatnya dilihat dari segi konten program yang
ditawarkan. Televisi membantu memberikan frames
of experience, dan outlook mengorganisasi informasi. Televisi penting
seperti halnya buku, majalah dan surat kabar dalam ekspansi bentuk-bentuk
komunikasi tidak langsung. Televisi membentuk cara di mana individu mengintepretasi
dan merespons dunia sosial dengan membantu “menata pengalaman kita tentang
dunia”. Asumsi yang dibangun terhadap
karakter produksi dan distribusi televisi mungkin lebih penting dibanding
program yang ditayangkan.
Misalnya, televisi
sejauh ini membantu mengubah hakikat pemilu modern karena memberikan platform
bagi presentasi isu-isu dan para calon. Contoh lain. Simbol-simbol dalam iklan
mungkin mempunyai pengaruh jauh lebih besar terhadap perilaku sosial dibanding
pesan-pesan yang disampaikan oleh pengiklan. Jadi, pembagian gender sering
tersimbol dalam apa yang terjadi dalam setting atau latar belakang sebuah iklan
daripada apa yang dijual.
7.3.2.2.
Pengaruh TV terhadap Perilaku
Siaran TV berpengaruh
besar terhadap pola perilaku. Sejauh ini sudah banyak penelitian tentang topik
ini, khususnya pengaruh terhadap anak-anak. Ini terutama dalam kaitan dengan implikasi
TV bagi sosialisasi. Di Amerika, topik utama penelitian selama ini mencakup
tiga bidang yakni pengaruh TV bagi kecendrungan melakukan tindak kriminal dan
kekerasan, pengaruhnya penyiaran berita, dan peran televisi dalam kehidupan
politik.
Menurut hasil
penelitian oleh Gerbner terhadap acara-acara yang ditampilkan televisi di AS,
drama merupakan acara yang paling banyak mengandung unsur kekerasan. Sekitar
80% program drama TV mengandung kekerasan, dengan rate 7,5 episode kekerasan
per jam. Program anak-anak bahkan mengandung persentase unsur kekerasan lebih
tinggi dari itu, meskipun pembunuhan tidak terlalu ditonjolkan. Gambar kartun
mengandung jumlah tertinggi tindakan kekerasan (Giddens 1989).
Bagaimana kekerasan di
TV mempengaruhi pemirsa? F.S. Anderson mengumpulkan penemuan dari 67 studi yang
dilakukan antara 1956-1976 tentang pengaruh kekerasan di TV terhadap
kecendeurngan agresi di kalangan anak-anak. Hasilnya, tiga perempat dari studi
itu menemukan adanya pengaruh kekerasan di TV terhadap agresivitas anak. Pada
20 persen kasus tidak ada hasil yang jelas, sementara pada 3 persen studi para
peneliti menyimpulkan bahwa nonton kekerasan di TV sebetulnya mengurangi
agresi.
Tapi studi-studi yang
disurvei oleh Anderson sangat berbeda dalam metode yang digunakan, kekuatan
asosiasi yang terungkap, dan definisi perilaku agresif. Pada drama-drama kriminal
yang memperlihatkan kekerasan (dan di banyak kartun anak-anak) ada tema
keadilan dan penebusan di baliknya. Proporsi pelaku kriminal yang dituntut di
pengadilan dalam drama-drama kriminal lebih tinggi dari yang terjadi dengan
investigsi polisi dalam kehidupan nyata, dan dalam kartun karakter yang
berbahaya atau mengancam biasanya cenderung memperoleh balasan yang setimpal
dari sudut keadilan.
Tidak harus berarti
bahwa tingginya tingkat penayangan kekerasan menciptakan langsung pola meniru
di kalangan pemirsa yang mungkin lebih terpengaruh oleh pesan moral di
baliknya. Pada umumnya riset tentang dampak televisi terhadap pemirsa cenderung
memperlakukan pemirsa – anak dan dewasa – sebagai bersifat pasif dan tidak
diskriminatif dalam reaksinya terhadap apa yang mereka tonton.
Menurut Robert Hodge
dan David Tripp, respons anak terhadap TV mencakup interpretasi atau “membaca”
apa yang mereka lihat, bukan hanya sekedar meregister konten program. Mereka
berpendapat kebanyakan riset yang dilakukan tidak memperhitungkan kompleksitas
proses mental anak. Nonton TV, kata mereka, secara inheren bukan merupakan
aktivitas intelektual tingkat rendah. Anak-anak “membaca” program dengan
menghubung-hubungkannya dengan sistem makna lain dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya, anak kecil pun mengetahui bahwa kekerasan di media tidak real. Jadi
bukan kekerasan seperti itu di program TV yang berpengaruh pada perilaku, tapi
kerangka perilaku umum di mana keduanya dipresentasi dan “dibaca”.
Meskipun demikian sulit
dibantah bahwa penayangan kekerasan yang terus-menerus di TV mempunyai dampak
bagi sikap dan perilaku anak yang menontonnya. Sebuah investigasi pemerintah AS
tentang pengaruh TV terhadap perilaku kekerasan di kalangan anak dan remaja,
yang digagas oleh the Surgeon General, mencakup banyak studi yang berbeda.
Investigasi itu menghasilkan laporan final yang ambigu dan tidak tuntas yang
berisi perbedaan pendapat di antara berbagai peneliti.
Laporan itu mendorong
upaya-upaya untuk menggunakan TV secara konstuktif dan positif dalam
perkembangan anak, khususnya melalui televisi umum yang lebih mementingkan
program pendidikan. Sesame Street
disebut sebagai contoh program yang secara khusus didisain untuk menghibur
sekaligus mendorong perkembangan intelektual dan kultural anak.
Menurut Giddens (1989)
dalam kasus pendidikan, televisi dan industri kebudayaan dibutuhkan
keseimbangan antara kekuasaan, tanggungjawab dan kebebasan. Sekolah menyediakan
banyak pengalaman belajar – di dalam dan di luar kurikulum formal – yang
memuaskan dan berguna bagi perkembangan individual. Pelajaran baca tulis misalnya:
jika anak tidak menguasai baca tulis dia akan termiskinkan. Tapi sebaliknya sistem
sekolah juga melestarikan ketaksetaraan sosial ekonomi.
Komunikasi media modern
juga sangat penting bagi kehidupan karena menyediakan banyak informasi yang
dibutuhkan dan memungkinkan tercapainya pencerahan diri dan hiburan bagi
anggota masyarakat. Hanya saja secara
umum media cenderung merefleksikan pandangan kelompok dominan dalam masyarakat.
Ini tidak terutama karena sensor politik langsung, tapi akibat dari kenyataan bahwa
kepemilikan televisi, surat kabar, bank data dsb dipegang oleh kelompok
tertentu. Lalu siapa yang mengontrol media? Bagaimana suara mereka yang lemah
bisa didengarkan?
No comments:
Post a Comment
Silahkan baca dan share