Bab 8
JENIS KELAMIN
DAN GENDER
8.1. Pengertian
8.2. Sosialisasi
Gender
8.2.1. Keluarga dan Sosialisasi Gender
8.2.2. Kelompok Bermain dan Sosialisasi
Gender
8.2.3. Sekolah dan Sosialisasi Gender
8.2.4. Media Massa dan Sosialisasi
Gender
8.3.
Stratifikasi Gender
8.3.1. Stratifikasi di Bidang Pendidikan
8.3.2. Stratifikasi di Bidang Pekerjaan
8.3.3. Stratifikasi dalam Pengupahan
8.3.4. Stratifikasi dalam Politik
8.4. Gerakan
Feminisme
8.5. Kekerasan
Terhadap Perempuan
8.5.1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga
8.5.2. Perkosaan
8.5.3. Pelecehan Seksual
8.1. Pengertian
Seks, menurut Giddens (1989) adalah
perbedaan biologis dan anatomis antara perempuan dan laki-laki. Menurut Moore dan
Sinclair (1995) seks atau jenis kelamin mengacu pada perbedaan biologis antara
laki-laki dan perempuan sebagai akibat dari perbedaan dalam kromosom-kromosom
dalam embrio. Perbedaan jenis kelamin adalah perbedaan biologis yang umumnya
terdapat pada laki-laki dan perempuan seperti perbedaan bentuk, tinggi dan
berat badan, struktur dan fungsi organ reproduksi, suara, bulu badan dan
sebagainya. Jenis kelamin bersifat biologis dan dibawa sejak lahir sehingga tak
dapat diubah (Kerstan 1995). Misalnya hanya perempuan yang melahirkan, hanya
laki-laki yang menjadikan perempuan hamil.
Gender adalah perbedaan psikologis, sosial
dan kultural antara laki-laki dan perempuan (Giddens 1989). Pengertian lain: the significance a society attaches to
biological categories of female and male (arti penting yang diberikan
masyarakat pada kategori biologis perempuan dan laki-laki); the knowledge and awareness, whether
conscious or unconscious, that one belongs to one sex and not to the other (pengetahuan
dan kesadaran bahwa seseorang masuk dalam salah satu jenis kelamin dan bukan
dalam jenis kelamin lain, Lasswell dan Lasswell 1987). Jadi konsep gender tidak
mengacu pada perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki, melainkan
perbedaan psikologis, sosial dan budaya antara laki-laki dan perempuan.
Contoh, hasil penelitian Margaret Mead
pada suku Chambuli di Papua Nugini menunjukkan perbedaan psikologis antara
laki-laki dan perempuan berbeda dengan perbedaan pada masyarakat Barat.
Laki-laki Chimbuli bersifat pemalu bila berhadapan dengan laki-laki lebih tua
dalam keluarga; sangat peka; bila tersinggung mereka cenderung mengundurkan
diri dan klan dan pindah ke tempat kerabat dari klan lain. Kaum laki-laki
adalah seniman yang mengusai berbagai cabang kesenian seperti seni tari, seni
rupa, seni rias, seni musik, dan pertunjukan.
Dari penelitian Margaret Mead di PNG
tentang tidak adanya hubungan antara kepribadian dan jenis kelamin, disimpulkan
bahwa kepribadian laki-laki dan perempuan tidak bergantung pada jenis kelamin
melainkan dibentuk oleh faktor budaya. Perbedaan kepribadian antarmasyarakat
maupun antarindividu merupakan hasil proses sosialisasi, terutama pola asuhan
dini yang dituntun oleh kebudayaan (Kamanto 2004).
Seberapa jauh perbedaan perilaku
perempuan dan laki-laki ditentukan secara biologis dan bukan gender? Tentang
ini ada perdebatan karena ada perbedaan pandangan. Ada yang mengatakan
perbedaan perilaku disebabkan faktor biologis, seperti terlihat dari temuan-temuan
dalam sosiobiologi. Misalnya, hampir di semua kebudayaan laki-laki (dan bukan
perempuan) yang melakukan perburuan dan perang. Berarti secara biologis
laki-laki cenderung kepada agresivitas. Pandangan ini ditolak orang lain yang
mengatakan bahwa di berbagai kebudayaan perbedaan ini bervariasi: wanita lebih
pasif dan lembut di kebudayaan tertentu, tapi di kebudayaan lain tidak. Maka menurut
mereka perbedaan perilaku disebabkan faktor kultural. Perempuan menggunakan
hampir seluruh waktu hidupnya untuk melahirkan dan mengasuh anak, sehingga
tidak bisa ikut berburu dan berperang. Maka perbedaan perilaku laki-laki dan
perempuan terjadi melalui social learning
terhadap identitas perempuan dan laki-laki.
8.2. Sosialisasi
Gender
Gender tidak dibawa sejak lahir, tetapi
dipelajari melalui sosialisasi. Proses sosialisasi yang mebentuk persepsi diri
dan aspirasi tertentu dinamakan sosialisasi gender. Agen penting dalam
sosialisasi gender adalah keluarga, kelompok bermain, sekolah, dan media massa.
8.2.1. Keluarga
dan sosialisasi gender
Keluargalah yang mula-mula mengajarkan
anak laki-laki untuk bersifat maskulin dan anak perempuan untuk bersifat
feminin. Proses ini disebut proses pembelajaran gender (gender learning), yakni proses pembelajaran feminitas atau maskulinitas.
Dengan proses itu anak mempelajari peran gender (gender role) yang sesudai dengan jenis kelamin.
Pembelajaran gender oleh bayi tentu saja
tidak disadari, sebelum anak menyebut diri cowok atau cewek. Orang dewasa
biasanya menghandel bayi laki dan perempuan secara berbeda. Julukan yang
diberikan berbeda: manis dan cantik untuk anak perempuan, sedangkan gagah dan
tampan untuk anak laki-laki. Kosmetik yang digunakan menyebar aroma berbeda
dengan bau khas laki-laki. Perbedaan dalam cara pakaian, gaya rambut dll juga
menjadi tanda visual bagi bayi untuk mempelajari gender. Pada usia dua tahun,
anak-anak sudah punya sedikit pemahaman tentang gender. Mereka tahu mereka itu
cowok atau cewek, dan memanggil anak lain dengan cewek atau cowok. Pada masyarakat
Barat, demikian temuan Korner (dalam Kamanto 2004) bayi perempuan cenderung
ditimang dengan lebih hati-hati dan lebih cepat ditolong kalau menangis.
Sampai usia 5 atau 6 tahun anak tahu
bahwa gender tidak berubah, bahwa tiap orang punya gender, atau bahwa perbedaan
antara cowok dan cewek didasarkan secara anatomis. Mainan, gambar dari buku dan
program televisi yang dilihat anak semuanya menggarisbawahi perbedaan sifat
laki-laki dan perempuan. Toko mainan biasanya mengkategorikan produk menurut
gender. Bahkan mainan yang dikira netral pun sebetulnya berwarna gender. Mainan
kelinci dipilih untuk anak perempuan, sedangkan singa dan serigala untuk anak laki-laki.
Semakin bertambah umur, mainan pun diseusaikan: anak perempuan diberi mainan
berbentuk peralatan rumah tangga (perlengkapan memasak, menjahit) sedangkan
anak laki-laki berbentuk kendaraan bermotor, pertukangan atau senjata.
Buku cerita anak-anak pun diseusaikan
untuk anak perempuan dan laki-laki. Untuk anak perempuan dipilih cerita yang
dengan peran gadis, istri atau ibu yang lembut dan pasif, sedangkan untuk anak
laki-laki dipilih peran yang penuh ambisi.
8.2.2. Kelompok
Bermain dan Sosialisasi Gender
Kelompok bermain (peer group) sangat penting dalam sosialisasi gender. Misalnya
pemisahan menurut jenis kelamin dalam kelompok bermain – anak perempuan bermain
dengan anak perempuan, anak laki-laki dengan anak laki-laki lain – memperkuat
identitas gender. Pola segregasi menurut seks di masa prasekolah cenderung
dipertahankan ketika usia sekolah, bahkan ke jenjang lebih tinggi.
Sosialisasi gender lewat kelompok
bermain memainkan peranan penting dalam mengukuhkan identitas gender selama
anak di jenjang sekolah. Persahabatan di lingkungan anak-anak, di sekolah
maupun di luar sekolah, juga biasanya antara sesama laki-laki atau perempuan.
Dalam kelompok bermain laki-laki, sang anak cenderung memainkan jenis permainan
yang menekankan persaingan, kekuatan fisik, dan keberanian. Dalam kelompok
perempuan anak cenderung memainkan permainan yang berciri kerjasama.
Ketika remaja, anak laki-laki mulai
mempelajari berbagai teknik untuk menghadapi lawan jenis. Dari teman laki-laki
mereka belajar untuk dapat berani dan agresif dan menguasai berbagai teknik
untuk merebut dan menaklukkan anak perempuan. Sedangkan anak perempuan belajar
untuk cenderung pasif, bertahan, mempertahankan kehormatan dan menyadari hak
untuk memilih teman laki-laki yang berusaha mendekatinya.
Kelompok bermain juga berfungsi sebagai kontrol
sosial bagi anggotanya yang tidak menaati aturan. Anak laki-laki yang memilih
bermain dengan mainan anak perempuan, misalnya, dicap banci. Sebaliknya anak
perempuan yang suka permainan laki-laki dan bermain bersama mereka dicap
tomboy.
8.2.3. Sekolah
dan Sosialisasi Gender
Ketika anak mulai sekolah, dia sudah
mulai sadar akan perbedaan gender. Sosialisasi gender di sekolah dilakukan
melalui kurikulum formal. Misalnya anak perempuan mengikuti mata pelajaran
ekonomi rumah tangga, sedangkan siswa laki-laki mengikuti pelajaran yang
berkaitan dengan pertukangan. Di bidang olahraga juga ada pembedaan: siswa
laki-laki ke olahraga keras dan membutuhkan kekuatan fisik, sedangkan siswa
perempuan ke jenis olahraga lebih ringan.
Pembelajaran gender juga bisa lewat buku
teks. Sikap guru terhadap siswa laki-laki dan perempuan berbeda. Mereka lebih
terbuka terhadap perempuan dibanding laki-laki. Guru juga bisa lebih mentolerir
keributan di kalangan siswa laki-laki (Giddens 1989). Bentuk pembelajaran lain
dapat melalui kurikulum terselubung (Moore dan Sinclair 1995), yakni guru
memperlakukan siswi secara berbeda dengan siswa. Ada perilaku dan sikap yang
ditolerir bila dilakukan siswa, dan tidak ditolerir bila dilakukan siswi.
8.2.4. Media
Massa dan Sosialisasi Gender
Media massa adalah sarana sosialisasi
gender yang penting melalui pemberitaan, features,
maupun iklan. Media cetak dan elektronik sering memuat iklan yang menunjang
stereotip gender (gender-stereotyped
advertising). Iklan yang mempromosikan produk keperluan rumah tangga
(pembersih lantai, sabun mandi, parfum, tapal gigi, bumbu masak, minyak goreng,
cenderung menampilkan perempuan. Sedangkan iklan produk yang merupakan simbol
status dan kesuksesan di bidang pekerjaan cendrung menampilkan model laki-laki.
Perjuangan persamaan gender yang dilakukan
kaum perempuan telah berdampak di dunia periklanan. Banyak iklan di media massa
mlai menampilkan kepekaan dengan menghindari stereotip gender dan
memperlihatkan persamaan peran gender.
8.3. Stratifikasi
Gender
Stratifikasi gender adalah ketimpangan
dalam pembagian kekayaan, kekuasaan, dan privilese antara laki-laki dan
perempuan (Macionis 1996). Ketimpangan ini terdapat di berbagai bidang: dunia
kerja, pelaksanaan pekerjaan rumah tangga, pendidikan, politik dan sebagainya,
termasuk dalam keluarga. Stratifikasi gender mendorong munculnya gerakan sosial
di kalangan perempuan yang dinamakan feminisme. Tujuannya, memperjuangkan dan
membela hak-hak perempuan.
8.3.1.
Stratifikasi di Bidang Pendidikan
Adalah kenyataan bahwa masih ada
ketimpangan gender di bidang pendidikan. Pada banyak masyarakat terdapat nilai
dan adat, ataupun aturan agama, yang kurang mendukung kesetaraan gender di
bidang pendidikan. Ada nilai tradisional yang mengatakan bahwa kodrat perempuan
adalah melahirkan anak, mengasuh dan membesarkan anak, dan mengurus rumah
tangga. Oleh sebab itu perempuan tidak perlu sekolah ke jenjang tinggi.
Sejalan dengan ini ada pula pandangan
bahwa perempuan harus cepat menikah agar jangan menjadi perawan tua. Kalau pun
bersekolah, tidak perlu sekolah tinggi. Perempuan hanya sekolah sampai jenjang
tertentu saja, atau masuk sekolah jenis tertentu saja. Dapat dipahami angka
partisipasi perempuan dalam pendidikan formal tidak besar dibanding laki-laki.
Anak perempuan yang berotak encer pun hanya disekolahkan ke tingkat tertentu
saja.
Keadaan sekarang sudah berbeda dengan,
katakanlah, sepuluh tahun lalu. Kini wanita mengikuti pendidikan di berbagai
jenjang sesuai bakat. Reformasi meningkatkan partisipasi perempuan di bidang pendidikan.
Meskipun demikian masih ada ketimpangan. Dibanding laki-laki, jumlah perempuan
masih kurang.
8.3.2.
Stratifikasi di Bidang Pekerjaan
Di bidang pekerjaan masih terdapat
dominasi laki-laki. Fenomena ini terdapat di hampir semua kebudayaan dan masyarakat.
Seperti dikatakan Giddens (1989) tidak ada tempat di dunia di mana tugas utama
laki-laki adalah mengasuh anak dan menjaga rumah tangga, sedangkan kegiatan
politik dan militer diserahkan kepada perempuan. Juga jarang sekali ditemukan
kebudayaan di mana pekerjaan menggembalakan ternak-ternak besar, berburu hewan
besar, menangkap ikan di laut dalam, atau mencangkul kebun diserahkan kepada
perempuan. Jadi patriarki di bidang pekerjaan sudah merupakan gejala universal.
Menurut Giddens, ini mudah dijelaskan:
karena perempuan melahirkan dan mengasuh anak. Ketakberdayaan anak sejak bayi
menuntut waktu lama dan sepenuhnya dari perempuan. Inilah yang disebut Chodorow
sebagai pengalaman perempuan sebagai “ibu” yang berlangsung sangat lama.
Permpuan lalu menjadi apa yang dinamakan novelis Prancis Simone de Beauvoir the second sex karena mereka seakan
dikucilkan dari kegiatan-kegiatan publik yang dilakoni kaum laki-laki dengan
bebas. Laki-laki juga menjadi dominan atas perempuan bukan karena kekuatan
fisik atau intelektual, tapi karena, sebelum berlakunya pembatasan kelahiran,
kaum perempuan memang takluk pada konstitusi biologis. Seringnya menjadi hamil
dan melahirkan dan mengasuh anak sejak masa bayi mengakibatkan perempuan
bergantung pada laki-laki dalam hal kebutuhan material (Giddens 1989).
Temuan berbagai penelitian menunjukkan
bahwa di ranah publik masih terdapat ketimpangan kuantitatif dan kualitatif
dalam pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Menurut Moore dan
Sinclair (1995) ada segregasi vertikal dan segregasi horizontal. Secara vertikal
pekerja perempuan terkonsentrasi pada jenjang rendah dalam organisasi seperti
jabatan pramuniaga, pramusaji, tenaga kerbersihan, pramugari, sekretaris,
pengasuh anak, guru TK, perawat, kasir dan sebagainya. Secara horizontal
pekerja perempuan sering terkonsentrasi pada jenis pekerjaan yang berbeda
dengan jenis pekerjaan yang dilakukan laki-laki.
Secara vertikal nampak seakan-akan ada
langit-langit kaca (glass ceiling)
yang menghalangi mobilitas perempuan ke jenjang lebih tinggi. Secara horizontal
terkesan bahwa ada jenis-jenis pekerjaan tertentu yang relatif tertutup bagi
perempuan.
Diskriminasi seks di bidang perempuan
memang masih menjadi masalah yang dihadapi perempuan. Terkesan masih ada
diskriminasi misalnya dalam hal-hal mulai dari rekrutmen, pelatihan, magang,
sampai ke pemutusan hubungan kerja. Salah satu bentuk diskriminasi yang terasa
tidak adil bagi perempuan adalah yang dinamakan pregnancy discrimination. Perempuan hamil menghadapi diskriminasi
di tempat kerja.
Berkat pendidikan dan berkembangnya
demokrasi, ketimpangan gender di bidang pekerjaan mulai berkurang. Bahkan
banyak perusahaan besar dipimpin perempuan. Tetapi jika diamati secara teliti
masih ada ketimpangan gender di bidang pekerjaan.
8.3.3. Stratifikasi
dalam Pengupahan
Di tempat kerja mestinya berlaku hukum
“upah sama untuk pekerjaan sama (equal
pay for equal work). Tetapi kenyataannya, upah pekerja laki-laki lebih
tinggi dari upah yang diterima pekerja perempuan walupun pekerjaannya sama. Inilah
yang disebut diskriminasi upah berdasarkan jenis kelamin (sex-based wage discrimination).
Macionis mencatat bahwa menurut data
Kementerian Tenaga Kerja AS 80% pekerjaan yang digolongkan sebagai “kerah merah
jambu” (pink-collar jobs) seperti
sekretaris, juru tik, stenograf dikerjakan oleh perempuan dengan imbalan upah
yang dinilai terlalu rendah. Akibatnya para pekerja perempuan terjerat dalam
perangkap kemiskinan (poverty trap).
8.3.4.
Stratifikasi dalam Politik
Hak memilih dan dipilih untuk suatu jangka
waktu lama di masa lalu tidak dinikmati kaum perempuan. Kini kaum perempuan di
sebagian besar negara di dunia sudah menikmati hak-hak politik, kecuali
beberapa negara. Di Arab Saudi, misalnya, kaum perempuan belum menikmati hak
itu. Atas dorongan gerakan kaum perempuan, direncanakan baru dalam pemilihan
umum 2014 kaum perempuan menikmati hak itu.
Perjuangan untuk memperoleh hak politik
dimulai paling kurang sejak pertengahan abad 19. Baru sejak 1893 perempuan di negara-negara
Barat menikmati hak politik. Menurut Giddens (1989) antara tahun 1893 sampai
1928 perempuan di 18 negara Eropa, Amerika Utara, Australia dan Selandia Baru
menikmati hak-hak politiknya. Kawasan Asia, Amerika Latin dan Afrika baru
menyusul sesudahnya. Di Prancis, Yugoslavia dan Yunani hak-hak itu baru
dinikmati setelah Perang Dunia II. Di Indonesia hak-hak perempuan dalam politik
dicapai secara sangat maksimal setelah terjadi reformasi tahun 1998. Kini kaum
perempuan menduduk berbagai jabatan di eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Dalam kaitan ini (kekuasaan) masih ada
ketimpangan pembagian kekuasaan dalam keluarga, khususnya antara suami dan
istri. Banyak masyarakat masih menganggap bahwa tempat perempuan ialah di rumah
dan di belakang suami. Kajian tentang pembagian kekuasaan antar suami dan istri
melahirkan konsep keluarga simetris dan keluarga asimetris dari Willmott dan
Young.
Para ahli menggunakan berbagai indikator
untuk mengukur pembagian kerja dan kekuasaan antara suami dan istri. Moore dan
Sinclair (1995) menggunakan beberapa kegiatan sebagai ukuran, yakni berbelanja,
menyiapkan makan malam, cuci piring, bersihkan rumah, menyeterika, memperbaiki
peralatan rumah tangga, dan mendidik anak untuk disiplin.
Cara lain ialah melihat siapa yang
berwewenang mengambil keputusan dalam berbagai masalah yang dihadapi dalam
rumah tangga. Menurut Moore dan Sinclair, di banyak keluarga peran pria masih
dominan.
8.4. Gerakan
Feminisme
Menurut Giddens (1989) para sosiolog
patut dipersalahkan terkait dengan diskriminasi di tempat kerja karena mereka
mendefiniskan kerja (work) sebagai
“pekerjaan di luar rumah yang dibayar” (paid
work outside the home). Para tokoh feminis menolak definisi seperti itu dan
menggarisbawahi pentingnya pekerjaan di rumah. Mereka mendorong studi tentang
kegiatan dan sikap perempuan di banyak bidang kehidupan sosial di mana
sebelumnya mereka tidak dilibatkan.
Feminisme adalah gerakan atau perjuangan
untuk membela dan memperluas hak-hak perempuan. Gerakan ini sebetulnya sudah
lama muncul. Di AS sendiri paling tidak sejak akhir abad 18. Salah satu karya
yang memperjuangkan ideal feminism adalah buku A Vindication of the Rights of Women (1792) karya Mary
Wollstonecraft. Dalam buku itu Wollstonecraft mengatakan bahwa kaum perempuan
telah memperoleh segala kebodohan dan kejahatan peradaban, dan tidak menikmati
buah yang bermanfaat.
Tujuh belas tahun sebelumnya di AS,
Abigail Adams meminta suaminya, John Adams (yang kemudian menjadi presiden
kedua AS): “saya ingin agar Anda mengingat kaum perempuan, dan bersikap lebih
memihak dan ramah terhadap mereka dibanding nenek moyangmu.. Ingat bahwa semua
laki-laki akan menjadi tiran kalau mereka mau” (Giddens 1989).
Kelompok pertama yang aktif
berorganisasi untuk memperjuangkan hak-hak perempuan muncul segera setelah
Revolusi Prancis 1789. Terinspirasi oleh ideal kebebasan dan kesetaraan yang
meledakkan revolusi, beberapa klub perempuan dibentuk di Paris dan kota-kota
provinsi lain di negeri itu. Mereka menyediakan tempat berkumpul bagi
perempuan, dan melancarkan program politik yang memperjuangkan kesamaan hak di
bidang pendidikan, pekerjaan dan pemerintahan.
Tokohnya, Marie Gouze, menggagas apa
yang disebut Declaration of the Rights of
Women. Dalam deklarasi itu dikatakan bahwa hak kewarganegaraan yang bebas
dan setara jangan hanya dibatasi pada laki-laki. Bagaimana mungkin
kewarganegaraan yang sederajat dapat diperoleh jika setengah penduduk
dikucilkan dari privelese yang dimiliki laki-laki?
Respons terhadap perjuangannya sangat
keras: Marie Gouze dieksekusi tahun 1793. Berbagai klub perempuan yang memperjuangkan kesederajatan
laki-laki dan perempuan kemudian dibentuk di negara-negara Barat. Pada umumnya
perjuangan mereka mendapat penolakan pada awalnya. Eksekusi Marie Gouze dapat
disebut sebagai contoh. Dia adalah feminis satu-satunya yang memberikan nyawa
bagi perjuangan hak perempuan.
Pada abad 19 gerakan feminisme marak di
mana-mana termasuk AS. Banyak negara menjadikan gerakan di AS sebagai model.
Para feminis di AS para periode 1830-1850 aktif memperjuangkan dihapusnya
perbudakan. Kaum perempuan kulit hitam memainkan peranan penting dalam
pergerakan feminisme di AS.
Di Inggris pada tahun 1866 feminis
perempuan mengumpulkan 1500 tandatangan untuk mengajukan petisi ke parlemen
dengan tuntutan agar diadakan reformasi dalam pemilihan umum dimana perempuan
mempunyai hak penuh. Pada awal abad 20 gerakan feminisme sudah kuat di berbagai
negara Eropa. Beberapa dekade setelah tahun 1920 gerakan feminis di AS dan negara
lain sedikit mengendur, sebagian disebabkan dikabulkannya tuntutan hak
pemilihan bagi semua orang di negara-negara Barat.
Sejak tahun 1960-an gerakan feminisme
mendengung kembali. Sejak waktu itu gerakan feminisme memberikan pengaruh kuat
di seluruh dunia, termasuk negara-negara berkembang. Kebangkitan feminisme
dimulai di AS, dipengaruhi oleh gerakan hak-hak sipil dan aktivisme para
mahasiswa. Tahun-tahun terakhir perjuangan gerakan feminisme tidak lagi
terbatas pada perjuangan hak-hak perempuan, tapi meluas ke bidang lain, seperti
kesetaraan di bidang ekonomi, dimasukkannya masalah aborsi dan alterasi dalam
undang-undang perceraian.
Dewasa ini selain keberhasilan di bidang
praktis, kaum feminis juga memberikan dampak intelektual yang tidak
terbayangkan sebelumnya. Di semua cabang ilmu sosial dan bidang lain para
pengarang feminis mendesak perumusan ulang berbagai konsep dan teori yang telah
mapan. Banyak riset di tahun-tahun belakangan tentang faktor-faktor historis
dan kultural yang mempengaruhi kedudukan perempuan didorong oleh feminisme
modern.
8.5. Kekerasan
Terhadap Perempuan
Karena superioritas sosial dan fisik
kaum laki-laki, maka tidak jarang terjadi bahwa superioritas itu digunakan
untuk menyerang perempuan. Itulah yang dinamakan kekerasan terhadap perempuan.
Sekurang-kurangnya ada tiga bentuk kekerasan terhadap perempuan yakni kekerasan
domestik, pelecehan seksual, dan pemerkosaan. Memang ada kasus di mana
perempuanlah yang menjadi agressor, tetapi mayoritas yang terjadi ialah kaum
laki-laki sebagai agressor dan perempuan menjadi korban.
8.5.1. Kekerasan
dalam Rumah Tangga
Rumah tidak selamanya menjadi tempat
yang aman dan bahagia. Banyak perempuan mengalami kekerasan yang dilakukan
suami. Ini bukan hal baru. Kekerasan terhadap istri merupakan aspek umum dari
perkawinan di abad pertengahan dan masa awal industrialisasi. Sampai akhir abad
19 di Inggris belum ada UU yang melarang suami secara fisik mencederai atau
membunuh istrinya.
Kini meskipun kaum wanita dimana-mana
sudah mendapat perlindungan hukum, tapi kekerasan masih saja terjadi. Di
Indonesia sudah berlaku UU tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang
memihak perempuan. Tetapi, seperti diberitakan media massa, kekerasan terhadap
perempuan masih saja terjadi di tanah air.
Kekerasan dalam rumah tangga (domestik)
juga bukan saja dilakukan suami terhadap istri (atau sebaliknya), tapi juga
orangtua terhadap anak (atau sebaliknya), saudara terhadap saudara. Kekerasan
domestik adalah “tindakan atau ancaman tindakan pelecehan fisik, seks,
psikologis atau ekonomis oleh seseorang terhadap orang lain yang menjadi atau
pernah menjadi mitra intimnya” (definisi dari The Family Violence Prevention Fund dan The Trauma Foundation (1994).
Center for Disease Control memperkenalkan
jenis kekerasan yang dinamakan dating
violence, yakni kekerasan yang terjadi antara dua orang yang berkencan tapi
belum memiliki hubungan pernikahan yang sah. Jadi kekerasan domestik dan
kekerasan terhadap mitra intim dilakukan antara anggota keluarga, sedangkan
kekerasan kencan berlangsung antara dua orang yang belum menikah.
Kekerasan domestik menghadapi kendala
untuk diberantas. Ada banyak alasan, seperti pihak berwajib merasa tidak perlu
mencampuri urusan rumah tangga orang. Juga korban (para istri) tidak berani
mengadu ke pihak berwajib karena misalnya takut kehilangan jaminan ekonomi yang
diberikan suami atau tak tega meninggalkan anak-anak. Bahkan ada yang merasa
kekerasan yang dialaminya merupakan hukuman atas kesalahan yang dilakukannya.
8.5.2. Perkosaan
Perkosaan adalah fenomena yang biasa
terjadi, seperti yang kita ikuti dari media massa. Di Indonesia kasus perkosaan
banyak terjadi, dan biasanya diangkat sebagai berita utama. Tetapi biasanya
perkosaan itu sendiri sulit ditentukan. Itulah sebabnya hanya sebagian kecil
kasus yang dapat ditangani polisi. Menurut Giddens (1989) jumlah perkosaan
sebenarnya bisa lima kali lipat dari yang dilaporkan. Sebuah studi terhadap
1.236 perempuan di London menyimpulkan bahwa satu di antara enam perempuan
telah diperkosa, satu di antara lima perempuan sisanya lolos dari percobaan
perkosaan, dan setengah dari serangan perkosaan terjadi di rumah korban sendiri
atau di rumah si pemerkosa (Hall dalam Giddens 1989).
Perkosaan selalu terkait dengan anggapan
yang menghubungkan maskulinitas dengan kekuasaan, dominasi, dan kekuatan.
Perkosaan pada umumnya bukan disebabkan oleh dorongan seksual yang berlebihan,
tetapi keterkaitan antara seksualitas dan perasaan akan kekuasaan dan
superioritas. Menurut Giddens (1989) hanya terdapat hubungan kecil antara nafsu
dan perkosaan. Sebagian besar pemerkosa pada kenyataannya baru menjadi
terangsang secara seksual setelah mereka meneror dan memandang rendah korban. Tindakan
seksual itu sendiri kurang penting dibanding penghinaan terhadap perempuan.
Dalam beberapa tahun terakhir
kelompok-kelompok perempuan mendesak adanya perubahan dalam pemikiran publik
dan legal tentang perkosaan. Mereka menggarisbawahi bahwa perkosaan tidak cukup
dianggap sebagai serangan seksual (sexual
offence), tetapi serangan terhadap integritas dan kehormatan seseorang.
Seorang penulis mengatakan perkosaan adalah ‘tindakan agresi di mana korban
kehilangan integritas diri”. Perkosaan adalah tindakan kekerasan yang, jika
tidak diikuti pemukulan atau pembunuhan, juga ancaman kematian. Dewasa ini di
berbagai legislasi perkosaan dianggap sebagai jenis kekerasan kriminal.
Kenyataan menunjukkan bahwa banyak
korban malu untuk melaporkan kasusnya kepada polisi dengan berbagai
pertimbangan. Mayoritas perempuan korban perkosaan lebih suka melupakan saja
peristiwa itu, atau tidak mau mengikuti proses test medis, interogasi polisi
dan pemeriksaan silang di pengadilan. Semua proses itu justru dirasakan
menambah beban batin dan mendatangkan rasa malu. Oleh sebab itu mereka
cenderung mendiamkannya.
Pengadilan sendiri ternyata penuh dengan
intimidasi. Proses pengadilan biasanya dilakukan terbuka sehingga dihadiri
publik, apalagi korban harus dipertemukan dengan pemerkosa. Biasanya pemerkosa
tidak dihukum atas dasar testimoni dari korban sendiri, tapi harus ada saksi
atau bukti lain. Hal-hal seperti bukti adanya penetrasi, identitas pemerkosa
dan kenyataan bahwa tindakan itu terjadi tanpa keinginan korban. Bukti
identitas pemerkosa biasanya sulit diperoleh jika peristiwa itu terjadi di
jalanan gelap. Perempuan yang berjalan sendiri waktu malam bahkan dianggap
dengan sengaja menarik perhatian laki-laki. Korban juga akan diinterogasi tentang
hal-hal seperti sejarah hubungan seksualnya, sedangkan itu biasanya tidak
ditanyakan kepada laki-laki. Penetapan perkosaan atau serangan oleh pelaku
memang tidak boleh disebutkan dalam kasus ini.
Masalah lain ialah sulitnya menentukan
kapan serangan itu suatu perkosaan, kapan tidak. Banyak riset menunjukkan bahwa
banyak anggapan tentang perkosaan selama ini ternyata salah. Misalnya, tidak
benar bahwa perkosaan tidak dapat terjadi jika korban melawan; bahwa hanya
perempuan muda dan atraktif yang diperkosa; bahwa ada perempuan menikmati
pengalaman diperkosa; bahwa kebanyakan pemerkosa menderita gangguan psikologis.
Riset juga menunjukkan bahwa kebanyakan perkosaan tidak terjadi secara spontan
tapi paling kurang direncanakan sebelumnya (Hall 1985; Amir 1971; Clark and
Lewis 1977 dalam Giddens 1989).
8.5.3. Pelecehan
Seksual
Macionis mendefinisikan pelecehan
seksual (sexual harassment) sebagai
komentar, isyarat atau kontak fisik yang bersifat seks, diulang-ulang, dan
tidak dikehendaki (Macionis dalam Giddens 1989). Pelecehan seksual bisa
dilakukan di tempat umum, seperti di kendaraan umum (bus, kereta api dll) atau
tempat terbuka lain. Bentuk yang umum adalah bahwa laki-laki menggoda perempuan
dengan mengucapkan kata-kata tidak senonoh atau memperlihatkan gerakan tubuh
yang menyimbolkan hubungan seks. Semua ini merupakan tindakan yang tidak
menyenangkan perempuan.
Salah satu bentuk pelecehan seksual
adalah pelecehan di tempat kerja (workplace
sexual harassment). Pada kasus ini seseorang memanfaatkan otoritas atau
kekuasaan karena jabatannya untuk menggoda karyawati. Misalnya, seorang manager
melakukannya terhadap karyawatinya dengan ancaman dipecat. Atau juga karyawati
dijanjikan akan diberi kenaikan pangkat. Atau kalau karyawati menolak maka
promosinya akan ditunda bahkan ditiadakan.
Menurut Giddens pelecehan seksual
melanggar suatu hal yang lebih prinsipil, yakni pilihan. Tiap orang membuat
pilihan tentang dengan siapa dan dimana melakukan hubungan seks. Ini, kata
Giddens, merupakan bagian penting dari tindakan mengontrol kehidupan pribadi,
tapi inilah yang dilanggar dalam pelecehan seksual. Meskipun pihak laki-laki
menganggap pelecehan seksual bukan suatu kesalahan besar, peremnpuan sering
mengalami hal itu sebagai suatu yang sangat memalukan.
Tapi sebetulnya tidak mudah menarik
garis antara pelecehan seksual dan pendekatan resmi dari seorang laki-laki
terhadap perempuan. Di Inggris diperkirakan tujuh dari sepuluh perempuan
mengalami dampak pelecehan seksual dalam jangka waktu panjang dalam
kehidupannya. Jika terjadi berulang-ulang, korban biasanya semakin sering tidak
masuk kerja, mengambil cuti, bahkan pindah kerja.
Sumber:
1.
Berger, Peter L. 1978. Invitation to Sociology: A Humanistic
Perspective. Harmonswoth, Penguin Books.
2.
Giddens, Anthony. Sociology. London, Polity Press.
3.
Macionis, John. J. 2000. Sociological Perspective.
4.
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi, Jakarta, FE
Universitas Indonesia
No comments:
Post a Comment
Silahkan baca dan share