Home About
JIKA ADA YANG DITANYAKAN ATAU DATA YANG KALIAN BUTUHKAN, SILAHKAN BERKOMENTAR PADA MATERI TERSEBUT...TERIMAKASIH

Wednesday, 11 December 2019

Interaksi Sosial


Bab 3
INTERAKSI SOSIAL


3.1. Pendahuluan
3.2. Interaksionisme Simbolik
3.3. Definisi Situasi
3.4. Aturan yang mengatur Interaksi
3.5. Komunikasi nonverbal
3.6. Interaksi dan Informasi
       3.6.1. Warna Kulit
       3.6.2. Usia
       3.6.3.Jenis Kelamin
       3.6.4. Penampilan Fisik
       3.6.5. Bentuk Tubuh
       3.6.6. Pakaian
       3.6.7. Wacana
3.7. Goffman dan Prinsip Dramaturgi


3.1. Pendahuluan
Kekhasan sosiologi dari ilmu-ilmu sosial lain ialah bahwa ia menyelidiki interaksi sosial. Interaksi sosial adalah bidang pembahasan sosiologi (obyek formal). Max Weber mengatakan bahwa pokok pembahasan sosiologi ialah tindakan sosial (social action). Suatu tindakan dinamakan tindakan sosial jika dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi kepada perilaku orang lain. Misalnya, bersenandung di kamar mandi saat mandi untuk menghibur diri bukan tindakan sosial. Tapi menyanyi di kamar mandi untuk menarik perhatian orang lain adalah tindakan sosial. Bakar diri karena tak kuat menahan penderitaan bukan tindakan sosial, tapi Sondang Hutagalung yang membakar diri karena protes kepada pemerintahanan SBY dalam hal penegakan HAM dan pemberantasan korupsi adalah tindakan sosial.
 Tindakan adalah perilaku manusia yang mempunyai makna subyektif bagi pelakunya. Karena sosiologi bertujuan memahami (verstehen) mengapa tindakan sosial mempunyai arah dan akibat tertentu, sedangkan tiap tindakan mempunyai makna subyektif bagi pelakunya, maka ahli sosiologi yang hendak melakukan penafsiran bermakna, yang hendak memahami makna subyektif suatu tindakan sosial harus dapat menempatkan diri di tempat pelaku agar dapat menghayati pengalamannya. Dengan menempatkan diri di tempat pekerja seks atau pelaku bunuh diri, ahli sosiologi dapat memahami makna subyektif tindakan sosial mereka, memahami mengapa tindakan itu dilakukan dan apa dampaknya.
Dalam sosiologi telah berkembang cabang yang mengkhususkan diri pada kehidupan sehari-hari, seperti the sociology of everyday life situations, the sociology of the familiar, down to earth sociology.  SELS membahas misalnya interaksi antara dokter ahli kandungan, pasien dan jururawat di kamar praktik dokter; interaksi antara peñata rambut di salon kecantikan dengan sesama peñata rambut dan dengan para pelanggan; interaksi antara laki-laki homoseks dengan sesama laki-laki homoseks dan orang lain. SOF membahas misalnya perilaku para pejalan kaki tatkala berpapasan, interaksi antara penumpang keretaapi, interaksi antara pelayan restoran, jurumasak dan pelanggan restoran. DTES membahas misalnya hubungan antara dokter dan jururawat, hubungan antara supir taksi dan penumpangnya, hubungan antara penolong dan korban yang dibantu, hubungan antara petugas penjara dan para tahanan.

3.2. Interaksionisme Simbolik
Pendekatan untuk mempelajari interaksi sosial ialah interaksionisme simbolik (symbolic interactionism) dari George Herbert Mead. Simbol adalah sesuatu yang nilai/maknanya diberikan oleh mereka yang menggunakannya (Leslie White). Makna tidak ada secara intrinsik dalam sesuatu itu, tapi ditangkap secara simbolis (non-sensoris).
Contoh, makna warna merah tidak tergantung pada warna merah itu, tapi orang yang menggunakannya. Merah bagi A berarti berani, bagi B berarti komunis (kaum merah), bagi C berarti tempat pelacuran (rumah merah). Putih bagi A berarti suci, bagi B berarti berkabung, bagi C kemuliaan, bagi D berarti menyerah. Hewan suci (sapi di India), patung suci, air suci, tergantung pada orang yang menggunakannya. Kesucian hewan atau air tak dapat ditangkap dengan pancaindra, tidak secara intrinsik terdapat dalam benda itu.
Menurut Herbert Blumer, ada tiga unsur dalam interaksionisme simbolis, yakni tindakan (act) terhadap sesuatu (thing) berdasarkan makna (meaning) sesuatu itu baginya. Tindakan seorang penganut Hindu di India terhadap sapi berbeda dengan tindakan seorang Islam di Pakistan, karena makna sapi bagi kedua orang itu berbeda. Jadi, makna dari sesuatu muncul dari interaksi sosial. Makna merah, putih, suci, kiri muncul dari interaksi sosial.
Makna dapat diubah melalui proses interpretasi. Makna yang muncul dari interaksi sosial itu tidak begitu saja diterima tapi ditafsirkan terlebih dulu. Makna “apa kabar?” atau “selamat pagi” akan ditanggapi berbeda tergantung pada penafsiran terhadap sapaan itu.

3.3. Definisi Situasi
Definsi situasi (definition of the situation) dikemukakan oleh W.I. Thomas (1968). Thomas menolak pandangan bahwa interaksi manusia merupakan tanggapan (response) terhadap rangsangan (stimulus). Menurut dia orang tidak segera memberikan reaksi manakala mendapat rangsangan dari luar. Orang terlebih dulu melakukan penilaian dan pertimbangan. Rangsangan diseleksi lewat penafsiran situasi atau definisi situasi, yakni memberi makna pada rangsangan. “Apa kabar?” dan “Selamat Pagi” dari seorang laki-laki diseleksi dan diberi makna terlebih dulu oleh sang gadis. Bila dia menafsirkan bahwa sapaan itu tidak didasarkan itikad baik, gadis itu akan mengabaikan saja sapaan itu.
Definisi situasi akan membawa konsekuensi yang nyata (when men difine situations as real, they are real in their consequences). Misalnya, beberapa pemuda masuk hotel dan tersesat. Mereka kemudian ditangkap satpam karena mereka didefinisikan sebagai penjahat. Konsekuensinya nyata: para pemuda itu dianiaya.
Ada definisi situasi yang dibuat oleh individu secara spontan, dan ada yang dibuat oleh masyarakat (keluarga, teman, komunitas). Ada persaingan keduanya. Moralitas yang berwujud aturan atau hukum muncul untuk mengatur kepentingan pribadi agar tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat.

3.4. Aturan yang Mengatur Interaksi
Interaksi sosial diatur oleh aturan yang dibuat oleh masyarakat. David A. Karp dan W.C. Yoels (1979), berdasarkan konsep Edward T. Hall (1982) menyebut tiga jenis aturan yang mengatur interaksi sosial, yakni aturan tentang ruang, waktu, dan gerak/sikap tubuh. Dalam kaitan dengan ruang, menurut Hall, dalam situasi sosial orang cenderung menggunakan empat macam jarak, yakni intimate distance, personal distance, social distance, dan public distance; setiapnya dibagi dalam tahap dekat dan tahap jauh.
ID (0-45 cm): ada keterlibatan dengan tubuh orang lain dan keterlibatan intensif dari pancaindra (penglihatan, bau badan, suhu badan, suara, sentuhan kulit, nafas). Misal, pada orang yang bercinta atau olahraga jarak dekat (gulat). Kalau seorang perempuan bergerak menjauhi seorang laki-laki yang berdiri terlalu dekat, itu berarti dia tidak mau orang tersebut berada di ruang intimnya. Kalau keadaan terpaksa (dalam bis atau tempat umum) orang berusaha sebisanya membatasi kontak tubuh dan kontak pandang.
PD (45 cm – 1,22 cm): seperti pada orang yang hubungannya dekat, misalnya suami dan istri. Pada tahap jauh, ini terjadi antara orang yang saling menyentuh bila merentangkan tangan (misal waktu bersenam bersama).
SD (1,22 cm – 3,66 m): orang yang berinteraksi bisa berbicara secara normal dan tidak saling menyentuh. Tahap dekat misalnya pada orang yang berinteraksi dalam pertemuan santai atau urusan informal. Tahap jauh, misalnya pada orang yang terlibat hubungan kerja secara formal.
PD (3,66 m – lebih): orang yang tampil di depan umum seperti aktor atau politikus. Semakin besar jarak, semakin keras suara, kata-kata dipilih dengan seksama.
Menurut Hall, pada masyarakat yang berbeda terdapat penggunaan waktu yang berbeda pula karena perbedaan persepsi tentang waktu. Pada masyarakat kita, ada fenomena “jam karet”: dimulainya pertunjukan, seminar, pertemuan, sidang-sidang, rapat-rapat resmi, keberangkatan kereta/pesawat. Kita dengar alasan yang sering dikemukakan: masalah tehnis, lalulintas macet dll. Bagi orang yang kebudayaannya menekankan pentingnya ketepatan waktu, datang terlambat pada suatu pertemuan atau rapat dianggap sebagai penghinaan atau indikasi bahwa orang terlambat itu tidak bertanggungjawab.

3.5. Komunikasi Non-verbal
Dalam interaksi sosial kita tidak hanya memperhatikan apa yang dikatakan orang lain, tetapi juga apa yang dilakukannya. Dalam hal ini komunikasi non-verbal menjadi penting. Komunikasi nonverbal atau bahasa tubuh (body language) digunakan secara sadar atau tidak sadar dalam interaksi sosial untuk menyampaikan perasaan kita kepada orang lain.
Dalam kehidupan sehari-hari, orang dapat berkomunikasi tanpa kata, tapi dengan menggunakan gerakan/sikap tubuh: memicingkan mata, menjulurkan lidah, angkat bahu, bungkukkan badan, acungkan tinju, acungkan ibu jari, kerutkan dahi, mengangguk, menggeleng. Kita tak dapat menggerakkan tangan atau mengambil sikap tubuh sekehendak hati karena semua itu telah diberi makna tertentu oleh masyarakat dan dijadikan petunjuk untuk mendefinisikan situasi.

3.6. Interaksi dan Informasi
Menurut Karp dan Yoels (1979) untuk berinteraksi (mengambil peran orang lain) seseorang perlu mempunyai informasi tentang orang yang dihadapinya. Kalau dia seorang biographical stranger atau cultural stranger, interaksi sulit dilakukan. Ketiadaan informasi tentang seseorang dapat diatasi dengan mencari informasi, berdasarkan ciri fisik yang diwariskan seperti jenis kelamin, usia, ras, serta penampilan (daya tarik fisik, bentuk tubuh, penampilan busana, dan percakapan).

3.6.1. Warna Kulit
Ciri sejak lahir seperti jenis kelamin, usia dan ras sangat menentukan interaksi. Pada masyarakat yang masih mengenal diskriminasi, warna kulit sangat menentukan dalam berinteraksi. Contoh, kisah yang dikemukakan oleh Michael Banton (1967) tentang seorang dosen kulit hitam yang mobilnya mogok dan berhadapan dengan seorang petugas polisi kulit putih di wilayah selatan AS. Dia memanggil dosen dengan boy, dan meminta dosen memanggilnya sir. Bagaimana anda memahami fenomena ini: sering terdengar keluhan wisatawan domestik bahwa para petugas di sektor pelayanan seperti pramuniaga toko atau hotel cenderung memberikan pelayanan lebih baik kepada wisatawan asing daripada wisman.

3.6.2. Usia
Usia menentukan pola interaksi. Pada kebanyakan masyarakat interaksi dengan orang lebih tua berbeda dengan orang sebaya, berbeda pula dengan yang lebih muda seperti adik, anak, keponakan, cucu dsb.

3.6.3. Jenis Kelamin
Jenis kelamin sangat mempengaruhi interaksi sosial. Dalam pembicaraan di antara laki-laki sering terdengar ungkapan-ungkapan tak pantas (seperti makian) atau kata yang dianggap kasar, yang tidak akan diucapkan kalau dihadiri oleh kaum perempuan. Masalah muncul, kata Karp, kalau jenis kelamin tidak jelas, misalnya waria. Bagaimana berinteraksi dengan seorang berpakaian laki-laki yang sebetulnya adalah perempuan tetapi di  masa kecilnya disosialisasi sebagai laki-laki oleh orang tuanya? Jadi ketidakjelasan jenis kelamin mempersulit interaksi.

3.6.4. Penampilan Fisik
Menurut hasil penelitian Karp dan Yoels orang yang berpenampilan fisik menarik lebih mudah memperoleh pasangan; orang yang merasa dirinya tidak menarik mengeluh karena mengalami kesukaran dalam pergaulan.

3.6.5. Bentuk Tubuh
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang cenderung menganggap adanya keterkaitan antara bentuk tubuh dan watak manusia. Orang berbentuk tubuh endomorf (bulat, gemuk) dianggap memiliki ciri watak tertentu seperti tenang, santai, pemaaf. Orang berbentuk tubuh mesomorf (atletis, berotot) berwatak dominan, yakin, aktif. Dan orang berbentuk tubuh ectomorf (tinggi, kurus) biasanya tegang, pemalu.

3.6.6. Pakaian
Pakaian juga menentukan interaksi sosial. Seorang berpakaian seperti eksekutif muda pasti mendapat perlakuan lain dengan orang yang berpakaian lusuh. Penelitian Karp dan Yoels menunjukkan bahwa perintah oleh seorang berpakaian seragam petugas keamanan dengan mudah diikuti oleh orang yang disuruh, sedangkan kalau perintah yang sama diberikan oleh seorang berpakaian tukang susu atau berpakaian jas dan dasi, orang kurang mematuhi perintah itu.

3.6.7. Wacana
Apa yang diucapkan mempengaruhi interaksi sosial. “Kemarin saya tak dapat rapat karena mendadak dipanggil Pak Menteri”; “Besok saya harus menghadap ke istana”; “tas ini saya beli waktu saya ke Roma; “Jangan datang hari Sabtu pagi, karena itu jadwal saya main golf”. Perkataan seperti itu menyatakan status pembicara (berkuasa, punya prestise, kaya, terpandang, sibuk). Pertanyaan tentang tempat tinggal, jumlah anak, profesi dapat berfungsi sebagai pencarian informasi tentang status lawan bicara kita.
Menurut Karp dan Yoels interaksi merupakan keahlian yang menuntut kemampuan yang tinggi. Agar terjadi interaksi orang harus memperhitungkan usia, kelamin, ras, penampilan (fisik, busana, bentuk tubuh, kata-kata). Tapi sering semua itu tidak jelas, membingungkan. Maka orang harus memilah-milah berbagai informasi yang diterima untuk kemudian menafsirkan maknanya yang sesungguhnya.

3.7. Goffman dan Prinsip Dramaturgi
Erving Goffman menggunakan prinsip dramaturgi (pendekatan yang menggunakan bahasa dan khayalan teater untuk menggambarkan fakta subyektif dan obyektif dari interaksi sosial: Margaret Poloma). Ini diilhami Shakespeare yang mengatakan bahwa dunia merupakan suatu pentas dan semua laki-laki dan perempuan merupakan pemain. Goffman menguraikan pembahasannya dalam buku The Presentation of Self in Everyday Life (1959).
Menurut Goffman individu yang berjumpa dengan orang  lain akan mencari informasi orang itu, atau menggunakan informasi yang sudah ada, untuk mendefinisikan situasi. Dalam setiap perjumpaan, A dan B membuat pernyataan (expression) dan pihak lain memperoleh kesan (impression). Ada dua macam pernyataan, yaitu pernyataan yang diberikan, dan pernyataan yang dilepaskan. Pernyataan yang diberikan dimaksudkan untuk memberikan informasi sesuai dengan apa yang lazimnya berlaku. Pernyataan yang dilepaskan mengandung informasi yang menurut orang lain memperlihatkan ciri si pembuat pernyataan.
Misalnya, orang mengucapkan “terima kasih” dengan wajah cemberut. Wajah cemberut adalah pernyataan yang dilepaskan yang memberi informasi tentang perasaan sebenarnya dari orang yang bicara. Kedua jenis pernyataan itu dapat saling mendukung, misalnya orang ucapkan berbelasungkawa sambil menitikkan air mata atau berwajah murung.
Menurut Goffman, dalam suatu perjumpaan masing-masing pihak mendefinisikan situasi. Dalam proses ini setiapnya berusaha mengendalikan perilaku orang lain dengan memberikan pernyataan yang dapat menghasilkan kesan yang diinginkannya. Usaha mempengaruhi kesan orang lain ini dinamakan pengaturan kesan (impression management). Si pembuat pernyataan dapat memanipulasi pernyataan yang diberikan maupun pernyataan yang dilepaskan. Misalnya, dalam contoh belasungkawa, pernyataan belasungkawa dan air mata mungkin bukan merupakan pernyataan ikhlas tapi dibuat-buat untuk menghasilkan kesan yang dikehendaki.
Kegiatan seorang peserta untuk mempengaruhi peserta lain dalam suatu interaksi atau perjumpaan (encounter) dinamakannya penampilan (performance). Tempat berlangsungnya suatu kegiatan secara teratur yang dikelilingi hambatan terhadap persepsi dinamakan social establishment. Tempat penyajian penampilan dinamakan kawasan depan (front region). Ada pula kawasan belakang (back region) atau panggung belakang (backstage). Tempat penampilan di kawasan depan dipersiapkan dan kesan yang disajikan melalui penampilan dibantah secara sadar melalui tindakan yang tidak sepadan dengan penampilan di kawasan depan.
Penampilan (individu maupun team) disaksikan olah khalayak (audience). Orang yang berada di luar ruang merupakan orang luar (outsiders). Ketika penampilan dipentaskan di kawasan depan tim berusaha menjaga solidaritas dan menutupi kesalahan anggota tim. Dalam interaksi para pelaku berusaha menonjolkan kesepakatan dan membatasi pertentangan.
Social establishment diangkat dari dunia kampus dan terdiri atas ruang sidang ujian skripsi. Peserta dalam perjumpaan ini ialah mahasiswa yang diuji, dan tim terdiri atas panitia ujian skripsi-pimpinan fakultas, ketua jurusan, para pembimbing, dan penguji. Khalayak terdiri dari sesama mahasiswa yang diizinkan menghadiri sidang ujian. Masing-masing pihak peserta menyajikan penampilan untuk menanamkan kesan yang mereka kehendaki pada peserta lain dan khalayak. Mahasiswa berusaha menyajikan kesan bahwa ia siap diuji dan menguasai bidangnya. Masing-masing anggota tim penguji berusaha menyajikan kesan bahwa mereka ahli dalam bidang mereka, mampu memberikan bimbingan dengan baik, dan mampu menilai skripsi mahasiswa secara kritis.
Para anggota panitia ujian berusaha membatasi perbedaan di antara mereka dan menjaga solidaritas tim (kesetiaan pada tim, dramaturgical loyalty). Dalam sidang ujian terbuka yang merupakan kawasan depan ini, perbedaan pendapat di antara anggota tim (misal perbedaan tentang teori atau kualitas data) atau kelemahan salah seorang anggota tim diusahakan untuk ditutup-tutupi.
Tapi terkadang terjadi insiden yang mengganggu penampilan tim: ada perbedaan pendapat di antara penguji, misalnya. Dalam kasus ekstrim mungkin saja anggota panitia penguji ada yang memboikot sidang ujian dan meninggalkan ruang sidang karena perbedaan penafsiran tentang peraturan atau prosedur.
Setelah sidang usai, khalayak dan mahasiswa yang diuji diminta meninggalkan ruangan karena panitia ujian bersidang untuk menilai isi skripsi dan kemampuan mahasiswa menjawab pertanyaan penguji. Dengan kepergian khalayak maka ruang sidang ujian berubah menjadi panggung belakang. Dalam perjumpaan yang terjadi dalam ruang tertutup ini,disiplin, tanggang rasa dan kesetiaan para anggota tim mungkin diabaikan atau dikurangi dan perbedaan dapat dikemukakan secara lebih bebas dan terbuka. Proses penentuan nilai akhir dapat berlangsung secara musyawarah, bisa juga terdapat perbedaan dan konflik, ultimatum, tawar-menawar, kompromi. Ini tidak diketahui oleh mahasiswa yang diuji maupun khalayak.
Pada saat sidang ujian dinyatakan terbuka lagi untuk pengumuman hasil ujian di hadapan khalayak, unsur kesetiaan, disiplin dan tenggang rasa di antara anggota tim ditampilkan kembali. Di kawasan depan ini tim menyajikan penampilan yang telah disepakati di panggung belakang (misal, siapa yang akan membacakan hasil ujian, nasihat apa akan diberikan dsb).
Pendekatan Goffman banyak dikritik karena disini para pelaku interaksi dilihat sebagai penipu (con-artist), sebagai manipulator yang berusaha menipu atau memanipulasi peserta lain. Pertanyaannya: apakah manusia selalu bermain sandiwara? Apakah tindakan manusia tidak pernah ikhlas?

No comments:

Post a Comment

Silahkan baca dan share