Bab 3
INTERAKSI SOSIAL
3.1. Pendahuluan
3.2. Interaksionisme Simbolik
3.3. Definisi Situasi
3.4. Aturan yang mengatur Interaksi
3.5. Komunikasi nonverbal
3.6. Interaksi dan Informasi
3.6.1. Warna Kulit
3.6.2. Usia
3.6.3.Jenis Kelamin
3.6.4. Penampilan Fisik
3.6.5. Bentuk Tubuh
3.6.6. Pakaian
3.6.7. Wacana
3.7. Goffman dan Prinsip Dramaturgi
3.1. Pendahuluan
Kekhasan sosiologi dari ilmu-ilmu sosial lain ialah bahwa ia menyelidiki
interaksi sosial. Interaksi sosial adalah bidang pembahasan sosiologi (obyek
formal). Max Weber mengatakan bahwa pokok pembahasan
sosiologi ialah tindakan sosial (social
action). Suatu tindakan dinamakan tindakan sosial jika dilakukan dengan
mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi kepada perilaku orang
lain. Misalnya, bersenandung di kamar mandi saat mandi untuk menghibur diri
bukan tindakan sosial. Tapi menyanyi di kamar mandi untuk menarik perhatian
orang lain adalah tindakan sosial. Bakar diri karena tak kuat menahan
penderitaan bukan tindakan sosial, tapi Sondang Hutagalung yang membakar diri
karena protes kepada pemerintahanan SBY dalam hal penegakan HAM dan
pemberantasan korupsi adalah tindakan sosial.
Tindakan adalah perilaku manusia
yang mempunyai makna subyektif bagi pelakunya. Karena sosiologi bertujuan
memahami (verstehen) mengapa tindakan
sosial mempunyai arah dan akibat tertentu, sedangkan tiap tindakan mempunyai
makna subyektif bagi pelakunya, maka ahli sosiologi yang hendak melakukan
penafsiran bermakna, yang hendak memahami makna subyektif suatu tindakan sosial
harus dapat menempatkan diri di tempat pelaku agar dapat menghayati
pengalamannya. Dengan menempatkan diri di tempat pekerja seks atau pelaku bunuh
diri, ahli sosiologi dapat memahami makna subyektif tindakan sosial mereka,
memahami mengapa tindakan itu dilakukan dan apa dampaknya.
Dalam sosiologi telah berkembang cabang yang mengkhususkan diri pada
kehidupan sehari-hari, seperti the
sociology of everyday life situations, the sociology of the familiar, down to
earth sociology. SELS membahas
misalnya interaksi antara dokter ahli kandungan, pasien dan jururawat di kamar
praktik dokter; interaksi antara peñata rambut di salon kecantikan dengan sesama
peñata rambut dan dengan para pelanggan; interaksi antara laki-laki homoseks
dengan sesama laki-laki homoseks dan orang lain. SOF membahas misalnya perilaku
para pejalan kaki tatkala berpapasan, interaksi antara penumpang keretaapi,
interaksi antara pelayan restoran, jurumasak dan pelanggan restoran. DTES membahas
misalnya hubungan antara dokter dan jururawat, hubungan antara supir taksi dan
penumpangnya, hubungan antara penolong dan korban yang dibantu, hubungan antara
petugas penjara dan para tahanan.
3.2. Interaksionisme Simbolik
Pendekatan untuk mempelajari interaksi sosial ialah interaksionisme
simbolik (symbolic interactionism)
dari George Herbert Mead. Simbol adalah sesuatu yang nilai/maknanya diberikan
oleh mereka yang menggunakannya (Leslie White). Makna tidak ada secara intrinsik
dalam sesuatu itu, tapi ditangkap secara simbolis (non-sensoris).
Contoh, makna warna merah tidak tergantung pada warna merah itu, tapi
orang yang menggunakannya. Merah bagi A berarti berani, bagi B berarti komunis
(kaum merah), bagi C berarti tempat pelacuran (rumah merah). Putih bagi A
berarti suci, bagi B berarti berkabung, bagi C kemuliaan, bagi D berarti
menyerah. Hewan suci (sapi di India), patung suci, air suci, tergantung pada
orang yang menggunakannya. Kesucian hewan atau air tak dapat ditangkap dengan
pancaindra, tidak secara intrinsik terdapat dalam benda itu.
Menurut Herbert Blumer, ada tiga unsur dalam interaksionisme simbolis,
yakni tindakan (act) terhadap sesuatu
(thing) berdasarkan makna (meaning) sesuatu itu baginya. Tindakan
seorang penganut Hindu di India terhadap sapi berbeda dengan tindakan seorang
Islam di Pakistan, karena makna sapi bagi kedua orang itu berbeda. Jadi, makna
dari sesuatu muncul dari interaksi sosial. Makna merah, putih, suci, kiri
muncul dari interaksi sosial.
Makna dapat diubah melalui proses interpretasi. Makna yang muncul dari
interaksi sosial itu tidak begitu saja diterima tapi ditafsirkan terlebih dulu.
Makna “apa kabar?” atau “selamat pagi” akan ditanggapi berbeda tergantung pada
penafsiran terhadap sapaan itu.
3.3. Definisi Situasi
Definsi situasi (definition of the
situation) dikemukakan oleh W.I. Thomas (1968). Thomas menolak pandangan
bahwa interaksi manusia merupakan tanggapan (response)
terhadap rangsangan (stimulus).
Menurut dia orang tidak segera memberikan reaksi manakala mendapat rangsangan
dari luar. Orang terlebih dulu melakukan penilaian dan pertimbangan. Rangsangan
diseleksi lewat penafsiran situasi atau definisi situasi, yakni memberi makna
pada rangsangan. “Apa kabar?” dan “Selamat Pagi” dari seorang laki-laki diseleksi
dan diberi makna terlebih dulu oleh sang gadis. Bila dia menafsirkan bahwa
sapaan itu tidak didasarkan itikad baik, gadis itu akan mengabaikan saja sapaan
itu.
Definisi situasi akan membawa konsekuensi yang nyata (when men difine situations as real, they are real in their
consequences). Misalnya, beberapa pemuda masuk hotel dan tersesat. Mereka
kemudian ditangkap satpam karena mereka didefinisikan sebagai penjahat.
Konsekuensinya nyata: para pemuda itu dianiaya.
Ada definisi situasi yang dibuat oleh individu secara spontan, dan ada
yang dibuat oleh masyarakat (keluarga, teman, komunitas). Ada persaingan
keduanya. Moralitas yang berwujud aturan atau hukum muncul untuk mengatur
kepentingan pribadi agar tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
3.4. Aturan yang Mengatur Interaksi
Interaksi sosial diatur oleh aturan yang dibuat oleh masyarakat. David A.
Karp dan W.C. Yoels (1979), berdasarkan konsep Edward T. Hall (1982) menyebut
tiga jenis aturan yang mengatur interaksi sosial, yakni aturan tentang ruang,
waktu, dan gerak/sikap tubuh. Dalam kaitan dengan ruang, menurut Hall, dalam
situasi sosial orang cenderung menggunakan empat macam jarak, yakni intimate distance, personal distance, social
distance, dan public distance;
setiapnya dibagi dalam tahap dekat dan tahap jauh.
ID (0-45 cm): ada keterlibatan dengan tubuh orang lain dan keterlibatan
intensif dari pancaindra (penglihatan, bau badan, suhu badan, suara, sentuhan
kulit, nafas). Misal, pada orang yang bercinta atau olahraga jarak dekat
(gulat). Kalau seorang perempuan bergerak menjauhi seorang laki-laki yang
berdiri terlalu dekat, itu berarti dia tidak mau orang tersebut berada di ruang
intimnya. Kalau keadaan terpaksa (dalam bis atau tempat umum) orang berusaha
sebisanya membatasi kontak tubuh dan kontak pandang.
PD (45 cm – 1,22 cm): seperti pada orang yang hubungannya dekat, misalnya
suami dan istri. Pada tahap jauh, ini terjadi antara orang yang saling
menyentuh bila merentangkan tangan (misal waktu bersenam bersama).
SD (1,22 cm – 3,66 m): orang yang berinteraksi bisa berbicara secara
normal dan tidak saling menyentuh. Tahap dekat misalnya pada orang yang
berinteraksi dalam pertemuan santai atau urusan informal. Tahap jauh, misalnya
pada orang yang terlibat hubungan kerja secara formal.
PD (3,66 m – lebih): orang yang tampil di depan umum seperti aktor atau
politikus. Semakin besar jarak, semakin keras suara, kata-kata dipilih dengan
seksama.
Menurut Hall, pada masyarakat yang berbeda terdapat penggunaan waktu yang
berbeda pula karena perbedaan persepsi tentang waktu. Pada masyarakat kita, ada
fenomena “jam karet”: dimulainya pertunjukan, seminar, pertemuan, sidang-sidang,
rapat-rapat resmi, keberangkatan kereta/pesawat. Kita dengar alasan yang sering
dikemukakan: masalah tehnis, lalulintas macet dll. Bagi orang yang
kebudayaannya menekankan pentingnya ketepatan waktu, datang terlambat pada
suatu pertemuan atau rapat dianggap sebagai penghinaan atau indikasi bahwa
orang terlambat itu tidak bertanggungjawab.
3.5. Komunikasi Non-verbal
Dalam interaksi sosial kita tidak hanya memperhatikan apa yang dikatakan
orang lain, tetapi juga apa yang dilakukannya. Dalam hal ini komunikasi
non-verbal menjadi penting. Komunikasi nonverbal atau bahasa tubuh (body language) digunakan secara sadar
atau tidak sadar dalam interaksi sosial untuk menyampaikan perasaan kita kepada
orang lain.
Dalam kehidupan sehari-hari, orang dapat berkomunikasi tanpa kata, tapi dengan
menggunakan gerakan/sikap tubuh: memicingkan mata, menjulurkan lidah, angkat
bahu, bungkukkan badan, acungkan tinju, acungkan ibu jari, kerutkan dahi,
mengangguk, menggeleng. Kita tak dapat menggerakkan tangan atau mengambil sikap
tubuh sekehendak hati karena semua itu telah diberi makna tertentu oleh
masyarakat dan dijadikan petunjuk untuk mendefinisikan situasi.
3.6. Interaksi dan Informasi
Menurut Karp dan Yoels (1979) untuk berinteraksi (mengambil peran orang
lain) seseorang perlu mempunyai informasi tentang orang yang dihadapinya. Kalau
dia seorang biographical stranger
atau cultural stranger, interaksi
sulit dilakukan. Ketiadaan informasi tentang seseorang dapat diatasi dengan
mencari informasi, berdasarkan ciri fisik yang diwariskan seperti jenis
kelamin, usia, ras, serta penampilan (daya tarik fisik, bentuk tubuh,
penampilan busana, dan percakapan).
3.6.1. Warna Kulit
Ciri sejak lahir seperti jenis kelamin, usia dan ras sangat menentukan
interaksi. Pada masyarakat yang masih mengenal diskriminasi, warna kulit sangat
menentukan dalam berinteraksi. Contoh, kisah yang dikemukakan oleh Michael
Banton (1967) tentang seorang dosen kulit hitam yang mobilnya mogok dan
berhadapan dengan seorang petugas polisi kulit putih di wilayah selatan AS. Dia
memanggil dosen dengan boy, dan
meminta dosen memanggilnya sir.
Bagaimana anda memahami fenomena ini: sering terdengar keluhan wisatawan
domestik bahwa para petugas di sektor pelayanan seperti pramuniaga toko atau
hotel cenderung memberikan pelayanan lebih baik kepada wisatawan asing daripada
wisman.
3.6.2. Usia
Usia menentukan pola interaksi. Pada kebanyakan masyarakat interaksi
dengan orang lebih tua berbeda dengan orang sebaya, berbeda pula dengan yang
lebih muda seperti adik, anak, keponakan, cucu dsb.
3.6.3. Jenis Kelamin
Jenis kelamin sangat mempengaruhi interaksi sosial. Dalam pembicaraan di
antara laki-laki sering terdengar ungkapan-ungkapan tak pantas (seperti makian)
atau kata yang dianggap kasar, yang tidak akan diucapkan kalau dihadiri oleh
kaum perempuan. Masalah muncul, kata Karp, kalau jenis kelamin tidak jelas,
misalnya waria. Bagaimana berinteraksi dengan seorang berpakaian laki-laki yang
sebetulnya adalah perempuan tetapi di
masa kecilnya disosialisasi sebagai laki-laki oleh orang tuanya? Jadi
ketidakjelasan jenis kelamin mempersulit interaksi.
3.6.4. Penampilan Fisik
Menurut hasil penelitian Karp dan Yoels orang yang berpenampilan fisik
menarik lebih mudah memperoleh pasangan; orang yang merasa dirinya tidak
menarik mengeluh karena mengalami kesukaran dalam pergaulan.
3.6.5. Bentuk Tubuh
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang cenderung menganggap adanya
keterkaitan antara bentuk tubuh dan watak manusia. Orang berbentuk tubuh
endomorf (bulat, gemuk) dianggap memiliki ciri watak tertentu seperti tenang,
santai, pemaaf. Orang berbentuk tubuh mesomorf (atletis, berotot) berwatak
dominan, yakin, aktif. Dan orang berbentuk tubuh ectomorf (tinggi, kurus)
biasanya tegang, pemalu.
3.6.6. Pakaian
Pakaian juga menentukan interaksi sosial. Seorang berpakaian seperti
eksekutif muda pasti mendapat perlakuan lain dengan orang yang berpakaian
lusuh. Penelitian Karp dan Yoels menunjukkan bahwa perintah oleh seorang
berpakaian seragam petugas keamanan dengan mudah diikuti oleh orang yang
disuruh, sedangkan kalau perintah yang sama diberikan oleh seorang berpakaian
tukang susu atau berpakaian jas dan dasi, orang kurang mematuhi perintah itu.
3.6.7. Wacana
Apa yang diucapkan mempengaruhi interaksi sosial. “Kemarin saya tak dapat
rapat karena mendadak dipanggil Pak Menteri”; “Besok saya harus menghadap ke
istana”; “tas ini saya beli waktu saya ke Roma; “Jangan datang hari Sabtu pagi,
karena itu jadwal saya main golf”. Perkataan seperti itu menyatakan status
pembicara (berkuasa, punya prestise, kaya, terpandang, sibuk). Pertanyaan
tentang tempat tinggal, jumlah anak, profesi dapat berfungsi sebagai pencarian
informasi tentang status lawan bicara kita.
Menurut Karp dan Yoels interaksi merupakan keahlian yang menuntut
kemampuan yang tinggi. Agar terjadi interaksi orang harus memperhitungkan usia,
kelamin, ras, penampilan (fisik, busana, bentuk tubuh, kata-kata). Tapi sering
semua itu tidak jelas, membingungkan. Maka orang harus memilah-milah berbagai
informasi yang diterima untuk kemudian menafsirkan maknanya yang sesungguhnya.
3.7. Goffman dan Prinsip Dramaturgi
Erving Goffman menggunakan prinsip dramaturgi (pendekatan yang
menggunakan bahasa dan khayalan teater untuk menggambarkan fakta subyektif dan
obyektif dari interaksi sosial: Margaret Poloma). Ini diilhami Shakespeare yang
mengatakan bahwa dunia merupakan suatu pentas dan semua laki-laki dan perempuan
merupakan pemain. Goffman menguraikan pembahasannya dalam buku The Presentation of Self in Everyday Life (1959).
Menurut Goffman individu yang berjumpa dengan orang lain akan mencari informasi orang itu, atau
menggunakan informasi yang sudah ada, untuk mendefinisikan situasi. Dalam
setiap perjumpaan, A dan B membuat pernyataan (expression) dan pihak lain memperoleh kesan (impression). Ada dua macam pernyataan, yaitu pernyataan yang
diberikan, dan pernyataan yang dilepaskan. Pernyataan yang diberikan
dimaksudkan untuk memberikan informasi sesuai dengan apa yang lazimnya berlaku.
Pernyataan yang dilepaskan mengandung informasi yang menurut orang lain
memperlihatkan ciri si pembuat pernyataan.
Misalnya, orang mengucapkan “terima kasih” dengan wajah cemberut. Wajah
cemberut adalah pernyataan yang dilepaskan yang memberi informasi tentang
perasaan sebenarnya dari orang yang bicara. Kedua jenis pernyataan itu dapat
saling mendukung, misalnya orang ucapkan berbelasungkawa sambil menitikkan air
mata atau berwajah murung.
Menurut Goffman, dalam suatu perjumpaan masing-masing pihak
mendefinisikan situasi. Dalam proses ini setiapnya berusaha mengendalikan
perilaku orang lain dengan memberikan pernyataan yang dapat menghasilkan kesan
yang diinginkannya. Usaha mempengaruhi kesan orang lain ini dinamakan
pengaturan kesan (impression management).
Si pembuat pernyataan dapat memanipulasi pernyataan yang diberikan maupun
pernyataan yang dilepaskan. Misalnya, dalam contoh belasungkawa, pernyataan
belasungkawa dan air mata mungkin bukan merupakan pernyataan ikhlas tapi
dibuat-buat untuk menghasilkan kesan yang dikehendaki.
Kegiatan seorang peserta untuk mempengaruhi peserta lain dalam suatu
interaksi atau perjumpaan (encounter)
dinamakannya penampilan (performance).
Tempat berlangsungnya suatu kegiatan secara teratur yang dikelilingi hambatan
terhadap persepsi dinamakan social
establishment. Tempat penyajian penampilan dinamakan kawasan depan (front region). Ada pula kawasan
belakang (back region) atau panggung
belakang (backstage). Tempat penampilan
di kawasan depan dipersiapkan dan kesan yang disajikan melalui penampilan
dibantah secara sadar melalui tindakan yang tidak sepadan dengan penampilan di
kawasan depan.
Penampilan (individu maupun team) disaksikan olah khalayak (audience). Orang yang berada di luar
ruang merupakan orang luar (outsiders).
Ketika penampilan dipentaskan di kawasan depan tim berusaha menjaga solidaritas
dan menutupi kesalahan anggota tim. Dalam interaksi para pelaku berusaha
menonjolkan kesepakatan dan membatasi pertentangan.
Social establishment diangkat
dari dunia kampus dan terdiri atas ruang sidang ujian skripsi. Peserta dalam
perjumpaan ini ialah mahasiswa yang diuji, dan tim terdiri atas panitia ujian
skripsi-pimpinan fakultas, ketua jurusan, para pembimbing, dan penguji.
Khalayak terdiri dari sesama mahasiswa yang diizinkan menghadiri sidang ujian.
Masing-masing pihak peserta menyajikan penampilan untuk menanamkan kesan yang
mereka kehendaki pada peserta lain dan khalayak. Mahasiswa berusaha menyajikan
kesan bahwa ia siap diuji dan menguasai bidangnya. Masing-masing anggota tim
penguji berusaha menyajikan kesan bahwa mereka ahli dalam bidang mereka, mampu
memberikan bimbingan dengan baik, dan mampu menilai skripsi mahasiswa secara
kritis.
Para anggota panitia ujian berusaha membatasi perbedaan di antara mereka
dan menjaga solidaritas tim (kesetiaan pada tim, dramaturgical loyalty). Dalam sidang ujian terbuka yang merupakan
kawasan depan ini, perbedaan pendapat di antara anggota tim (misal perbedaan
tentang teori atau kualitas data) atau kelemahan salah seorang anggota tim
diusahakan untuk ditutup-tutupi.
Tapi terkadang terjadi insiden yang mengganggu penampilan tim: ada
perbedaan pendapat di antara penguji, misalnya. Dalam kasus ekstrim mungkin
saja anggota panitia penguji ada yang memboikot sidang ujian dan meninggalkan
ruang sidang karena perbedaan penafsiran tentang peraturan atau prosedur.
Setelah sidang usai, khalayak dan mahasiswa yang diuji diminta
meninggalkan ruangan karena panitia ujian bersidang untuk menilai isi skripsi
dan kemampuan mahasiswa menjawab pertanyaan penguji. Dengan kepergian khalayak
maka ruang sidang ujian berubah menjadi panggung belakang. Dalam perjumpaan
yang terjadi dalam ruang tertutup ini,disiplin, tanggang rasa dan kesetiaan
para anggota tim mungkin diabaikan atau dikurangi dan perbedaan dapat
dikemukakan secara lebih bebas dan terbuka. Proses penentuan nilai akhir dapat
berlangsung secara musyawarah, bisa juga terdapat perbedaan dan konflik,
ultimatum, tawar-menawar, kompromi. Ini tidak diketahui oleh mahasiswa yang
diuji maupun khalayak.
Pada saat sidang ujian dinyatakan terbuka lagi untuk pengumuman hasil
ujian di hadapan khalayak, unsur kesetiaan, disiplin dan tenggang rasa di
antara anggota tim ditampilkan kembali. Di kawasan depan ini tim menyajikan
penampilan yang telah disepakati di panggung belakang (misal, siapa yang akan
membacakan hasil ujian, nasihat apa akan diberikan dsb).
Pendekatan Goffman banyak dikritik karena disini para pelaku interaksi
dilihat sebagai penipu (con-artist),
sebagai manipulator yang berusaha menipu atau memanipulasi peserta lain. Pertanyaannya:
apakah manusia selalu bermain sandiwara? Apakah tindakan manusia tidak pernah
ikhlas?
No comments:
Post a Comment
Silahkan baca dan share