Home About
JIKA ADA YANG DITANYAKAN ATAU DATA YANG KALIAN BUTUHKAN, SILAHKAN BERKOMENTAR PADA MATERI TERSEBUT...TERIMAKASIH

Wednesday, 11 December 2019

Institusi Sosial

Bab 5
INSTITUSI SOSIAL


5.1. Keluarga
       5.1.1. Fungsi Keluarga
                 5.1.1.1. Pengaturan dorongan seks
                 5.1.1.2. Reproduksi
                 5.1.1.3. Sosialisasi
                 5.1.1.4. Memberi afeksi
                 5.1.1.5. Menentukan status
                 5.1.1.6. Memberikan perlindungan
                 5.1.1.7. Menjalankan fungsi-fungsi ekonomi
       5.1.2. Tipe-tipe keluarga
       5.1.3. Aturan tentang Perkawinan
                 5.1.3.1. Bentuk perkawinan
                 5.1.3.2. Incest taboo
                 5.1.3.3. Keturunan
                 5.1.3.4. Tempat tinggal
       5.1.4. Keluarga di zaman modern
       5.1.5. Akhir kehidupan keluarga
5.2. Institusi Pendidikan
       5.2.1. Jenis-jenis Institusi Pendidikan
       5.2.2. Fungsi pendidikan
       5.2.3. Sosiologi pendidikan
5.3. Institusi Agama
       5.3.1. Arti agama
       5.3.2. Fungsi agama
       5.3.3. Agama dan perubahan sosial
       5.3.4. Agama dan institusi sosial lain
5.4. Institusi Ekonomi
       5.4.1. Sosiologi ekonomi
       5.4.2. Ideologi ekonomi
                 5.4.2.1. Merkantilisme
                 5.4.2.2. Kapitalisme
                 5.4.2.3. Sosialisme
       5.4.3. Perusahaan multinasional
5.5. Institusi Politik
       5.5.1. Kekuasaan dan dominasi
       5.5.2. Sosiologi politik

Sebagaimana dikatakan Durkheim, sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari institusi. Institusi utama yang dibahas di sini ialah keluarga, institusi di bidang ekonomi, politik,  pendidikan, dan agama. Studi tentang berbagai institusi itu memunculkan cabang-cabang khusus sosiologi seperti sosiologi keluarga, sosiologi ekonomi, sosiologi politik, sosiologi pendidikan, dan sosiologi agama. Berturut-turut akan dibahas tentang keluarga, institusi pendidikan, institusi agama, institusi ekonomi, dan institusi politik.


5.1. Keluarga
Berikut akan dibahas pokok-pokok yakni fungsi keluarga, tipe-tipe keluarga, aturan tentang perkawinan, keluarga di zaman modern, dan akhir kehidupan keluarga.

5.1.1. Fungsi Keluarga
Para sosiolog mengidentifikasi beberapa fungsi keluarga, yakni pengaturan dorongan seks, reproduksi, sosialiasi, afeksi, definisi status, perlindungan, dan ekonomi.

5.1.1.1. Pengaturan Dorongan Seks
Pada masyarakat mana saja, penyaluran dorongan seks hanya boleh dilakukan dalam keluarga (pernikahan). Tidak ada masyarakat yang memperbolehkan hubungan seks sebebas-bebasnya.

5.1.1.2. Reproduksi
Pengembangan keturunan, pada masyarakat manapun, selalu ditempatkan dalam konteks kehidupan keluarga (perkawinan).

5.1.1.3. Sosialisasi
Keluarga adalah tempat sosialisasi anggota baru masyarakat sehingga dapat memerankan apa yang diharapkan dari dirinya. Peran keluarga dalam pembentukan diri seseorang sangat besar.

5.1.1.4. Memberikan Afeksi
Keluarga memberikan cinta kepada seorang anak. Berbagai studi menunjukkan bahwa anak yang tidak menerima cinta dapat berkembang menjadi seorang yang menyimpang, menderita gangguan kesehatan, bahkan meninggal.

5.1.1.5. Menentukan Status
Keluarga memberikan status kepada seorang anak bukan saja terkait dengan jenis kelamin, urutan kelahiran dan hubungan kekerabatan tapi juga status yang diperoleh orang tua yaitu kelas sosial tertentu.

5.1.1.6. Memberikan Perlindungan
Keluarga memberikan perlindungan kepada anggotanya, baik perlindungan fisik maupun kejiwaan.

5.1.1.7. Fungsi Ekonomi
Keluarga menjalankan berbagai fungsi ekonomi seperti produksi, distribusi, dan konsumsi bagi anggotanya.

5.1.2. Tipe-Tipe Keluarga
Ada beberapa tipe keluarga, yakni keluarga konsanguinal dan konjugal, keluarga orientasi dan prokreasi, keluarga batih dan luas.
Keluarga konsanguinal menekankan pentingnya ikatan darah (misalnya hubungan dengan orangtua). Hubungan dengan orangtua dianggap lebih penting dari ikatan dengan suami atau istri (pada keluarga Jepang dan Tionghoa tradisional). Keluarga konjugal menekankan pentingnya hubungan perkawinan (suami dan istri).
Keluarga orientasi (orientation family) adalah keluarga di mana seorang dilahirkan. Keluarga prokreasi (procreation family) adalah keluarga yang dibentuk dengan jalan menikah dan mempunyai keturunan.
Keluarga batih (nuclear family) adalah keluarga terkecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluarga tipe ini tidak mengandung hubungan fungsional dengan kerabat dari keluarga orientasi salah satu pihak. Bila suatu pasangan serta anak mempunyai hubungan kerabat dengan kerabat dari kelaurga orientasi salah satu atau kedua belah pihak, keluarga seperti ini dinamakan keluarga konjugal.
Keluarga luas (extended family) terdiri dari beberapa keluarga batih. Ada dua bentuk keluarga luas yang dikenal, yakni joint family dan keluarga virilokal. Salah satu bentuk keluarga luas ialah joint family yang terdiri dari beberapa laki-laki kakak beradik serta anak-anak mereka, dan saudara kandung perempuan mereka yang belum menikah. Laki-laki tertua menjadi kepala keluarga bila ayah mereka meninggal. Tipe ini dijumpai di India dan Pakistan (Clayton, 1979). Keluarga virilokal terdiri dari keluarga batih ditambah keluarga batih para putra dalam keluarga batih senior tersebut, seperti di Nias (Danandjaya, 1971).

5.1.3. Aturan Tentang Perkawinan
Ada berbagai aturan tentang perkawinan, mulai dari perjodohan, perkawinan, dan hal-hal terkait dengan kehidupan pasca-pernikahan. Di sini dikemukakan beberapa hal terpenting.

5.1.3.1. Bentuk Perkawinan
Ada dua bentuk perkawinan yang dikenal luas, yakni monogami dan poligami. Monogami adalah perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Sedangkan poligami adalah perkawinan antara seorang laki-laki dan beberapa perempuan pada saat yang sama. Poligami dibedakan atas poligini (perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari satu perempuan pada waktu yang sama), poliandri (perkawinan antara seorang perempuan dengan lebih dari seorang laki-laki pada waktu yang sama), dan perkawinan kelompok atau group marriage (perkawinan dua laki-laki atau lebih dengan dua orang perempuan atau lebih pada waktu yang sama). Ada pula bentuk poligini yang dinamakan sororal polyginy yakni perkawinan antara seorang laki-laki pada waktu yang sama dengan beberapa orang perempuan yang merupakan saudara kandung (Clayton, 1979).
Ada pula perkawinan eksogami dan endogami. Eksogami adalah sistem yang melarang perkawinan dengan anggota kelompok. Endogami adalah sistem yang mewajibkan perkawinan dengan anggota kelompok..

5.1.3.2. Incest Taboo
Ada aturan tentang siapa yang boleh atau tidak boleh menikahi siapa. Larangan hubungan sumbang (inses, sumbang muhrim, incest taboo) melarang perkawinan dengan keluarga yang sangat dekat seperti antara seorang anak dengan ayah atau ibu, atau perkawinan antarsaudara kandung. Larangan ini terdapat pada semua masyarakat. Dulukala, menurut catatan, dijumpai banyak perkawinan jenis ini seperti di Mesir kuno, Yunani kuno, dan Romawi kuno (Clayton, 1979).

5.1.3.3. Keturunan
Terkait dengan penarikan garis keturunan, kita mengenal aturan patrilineal, bilateral, matrilineal, dan keturunan rangkap (double descent). Pada patrilineal, garis keturunan ditarik melalui laki-laki. Pada sistem bilateral,  garis keturunan ditarik melalui pihak laki-laki dan perempuan. Pada sistem matrilineal garis keturunan ditarik melalui perempuan. Pada sistem rangkap garis keturunan ditarik melalui laki-laki secara patrilineal dan melalui perempuan secara matrilineal.

5.1.3.4. Tempat Tinggal
Di mana menetap setelah menikah? Ada berbagai pola, seperti patrilokal, matrilokal, matripatrilokal, patrimatrilokal, bilokal, neolokal, dan avunculokal (Clayton, 1979). Pada patrilokal pasangan tinggal bersama keluarga pihak laki-laki. Pada pola matrilokal pasangan tinggal bersama pihak perempuan. Pada pola matripatrilokal suami mula-mula tinggal bersama keluarga perempuan, lalu kemudian pada pihak laki-laki. Pada pola patrimatrilokal pasangan mula-mula tinggal bersama keluarga laki-laki, lalu kemudian menetap pada keluarga perempuan. Pada pola bilokal pasangan memilih menetap di keluaga laki-laki atau perempuan. Pada pola Avunculokal (bagian pola matrilineal) laki-laki menetap di desa paman dari fihak ibu. Pada pola neolokal pasangan bebas memilih untuk meneap di luar tempat keluarga laki-laki atau perempuan.

5.1.4. Keluarga Di Zaman Modern
Pola keluarga lama di atas sudah bergeser di zaman modern ini sesuai pola gaya hidup yang menyimpang. Giddens mengidentifikasi tiga bentuk, yakni hidup bersama di luar nikah (cohabitation; kumpul kebo), keluarga orangtua homoseks (gay parent family), dan hidup membujang. Pola-pola ini pada umumnya terdapat di masyarakat Barat, dan pengaruhnya mulai terasa di masyarakat perkotaan di dunia ketiga. Menurut Giddens ada peningkatan kehidupan bersama di luar nikah.
Banyak pasangan homoseks (laki atau perempuan/lesbian) yang juga hidup bersama sebagai pasangan tetap. Di antara pasangan lesbian yang hidup berpasangan itu ada yang mengasuh anak kandung dari pasangannya. Kini ada pasangan homoseks yang mengasuh anak.
Pada masyarakat kita, pola hubungan seperti ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena takut akan reaksi masyarakat. Bahkan hidup tanpa menikah pun sudah menjadi gejala yang berkembang. Salah satu faktor penyebabnya ialah penundaan perkawinan bahkan keinginan untuk hidup membujang di kalangan orang muda agar tetap bebas. Pada usia lebih lanjut hidup membujang biasanya disebabkan faktor lain seperti perceraian atau meninggalnya pasangan.

5.1.5. Akhir Kehidupan Keluarga
Perceraian mengakhiri kehidupan keluarga. Suami, istri, dan anak-anak harus menyesuaikan diri dengan situasi baru. Perceraian memunculkan gaya hidup khas keluarga bercerai, seperti hidup sendiri menjanda atau menduda, adanya anak yang harus hidup dengan ayah atau ibu saja, bahkan berpisah dengan saudara kandung.
Ada berbagai penyebab perceraian, tapi salah satunya ialah konflik yang dilatarbelakangi oleh kekerasan dalam keluarga. Dalam hal ini fungsi keluarga sebagai pembentuk cinta dan pemberi perlindungan tidak berjalan. Bentuk-bentuk kekerasan dalam keluarga, antara lain, penganiayaan suami terhadap istri, penganiayaan orangtua terhadap anak, perkosaan, dll.

5.2. Institusi Pendidikan
Berturut-turut akan dibahas secara singkat tentang jenis-jenis institusi pendidikan, fungsi pendidikan, dan sosiologi pendidikan.

5.2.1. Jenis-Jenis Institusi Pendidikan
Institusi pendidikan biasanya dibedakan atas institusi pendidikan formal, non-formal, dan informal. Institusi pendidikan formal ialah sekolah dari berbagai tingkatan baik yang bersifat umum maupun khusus (misalnya sekolah agama, sekolah luar biasa). Institusi pendidikan non-formal misalnya kursus-kursus, sedangkan institusi pendidikan informal misalnya yang terjadi di keluarga atau melalui media massa.

5.2.2. Fungsi Pendidikan
Institusi pendidikan menjalankan berbagai fungsi. Misalnya fungsi manifest dan laten (Horton dan Hunt, 1984). Fungsi manifest tercermin dalam kurikulum. Fungsi manifest institusi pendidikan antara lain mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah, mengembangkan bakat individu, melestarikan kebudayaan, memberikan keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat.
Sedangkan fungsi laten institusi pendidikan antara lain memupuk keremajaan, mengurangi pengendalian orangtua, penyediaan sarana untuk pembangkangan, dan dipertahankannya sistem kelas sosial. Fungsi laten ini terkait dengan apa yang dinamakan kurikulum terselubung (hidden curriculum) yakni kurikulum yang tidak disadari tetapi yang berfungsi menanamkan pengetahuan, keterampilan atau nilai tertentu.
Sekolah memperpanjang/mengulur masa remaja dan menunda masa dewasa. Sekolah menyebabkan diperpanjangnya ketergantungan ekonomi pada orangtua sehingga  masuknya anak ke dalam angkatan kerja diperlambat.
Sekolah juga memperlemah pengendalian orangtua terhadap anak (ada nilai baru yang terkadang bertentangan dengan nilai yang diajarkan di rumah). Dalam proses sosialisasi, sekolah mengajarkan aturan baru seperti keunikan, otonomi, universalisme (yang tidak terlalu dipupuk di rumah).
Sekolah juga berpotensi menanamkan nilai bagi pembangkangan terhadap masyarakat. Tidak heran ada perbedaan pandangan antara orangtua dan sekolah terhadap hal-hal tertentu seperti pendidikan seks (atau teori evolusi).
Pendidikan formal juga melestarikan sistem stratifikasi sosial dengan mengajarkan anak untuk menerima sistem perbedaan prestise, privilese dan status yang ada. Sering diperdebatkan apakah sekolah menjadi tempat untuk mengangkat status sosial murid ataukah mempertahankan status seperti orangtuanya.

5.2.3. Sosiologi Pendidikan
Perhatian sosiologi terhadap institusi pendidikan memperoleh bentuknya dalam cabang sosiologi yang dinamakan sosiologi pendidikan. Pembahasan utama sosiologi pendidikan ialah pendidikan formal yakni sekolah mulai dari jenjang prasekolah hingga pendidikan tinggi (umum dan khusus).
Ada sosiologi pendidikan makro, meso, dan mikro. Sosiologi pendidikan makro mempelajari hubungan antara pendidikan dan institusi lain dalam masyarakat. Misalnya, antara pendidikan dan politik: sejauh mana sekolah berperan dalam proses sosialisasi politik? Sejauh mana sistem pendidikan formal berperan mempersiapkan tenaga kerja di sektor formal yang siap pakai?
Sosiologi pendidikan meso dan mikro mempelajari antara lain sekolah sebagai sistem sosial. Pada jenjang meso dipelajari sekolah sebagai organisasi. Pada jenjang mikro dipelajari misalnya hubungan dan interaksi antara para siswa sekolah (kelompok-kelompok siswa dan status yang terbentuk). Bahkan dipelajari interaksi di ruangan kelas, interaksi antara siswa dan siswa, atau siswa dan guru.

5.3. Institusi Agama
Berturut-turut akan dibahas secara singkat tentang arti agama, fungsi agama, agama dan perubahan sosial, agama dan institusi sosial lain.

5.3.1. Arti Agama
Agama didefinisikan Emile Durkheim sebagai A unified system of beliefs and practices relative to sacred things, that is to say, things set apart and forbidden – beliefs and practices which unite into one single moral community called a church, all those who adhere to them (Durkheim, 1966).
Jadi, agama adalah sistem terpadu yang terdiri atas kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik yang berhubungan dengan hal-hal suci. Kepercayaan dan praktik-praktik itu mempersatukan semua orang beriman menjadi sebuah komunitas moral yang dinamakan umat. Dalam agama ada pembagian tegas antara hal yang bersifat profan (profane) dan suci (sacred). Tetapi dalam sosiologi, agama mempunyai arti lebih luas. Menurut Giddens, arti agama lebih luas dari hanya monoteisme. Agama mencakup pula politeisme.
Robert N. Bellah menyebut tentang civil religion yakni kepercayaan dan ritual di luar agama yang dijumpai pada institusi politik seperti pemujaan pemimpin, penghormatan kepada bendera negara dan lagu kebangsaan dan upacara-upacara yang terkait.
Di negara-negara sosialis ada tradisi pemujaan terhadap Karl Marx, Friedrich Engels, Kim Il Sung, Mao Zedong. Menurut Kornblum (1988) yang termasuk juga dalam agama adalah upacara dinyanyikannya lagu kebangsaan di awal pertandingan olahraga atau pengucapan sumpah setia (pledge of allegiance) di awal pelajaran di AS. Dalam kategori ini dapat dikatakan bahwa didengungkannya lagu Indonesia Raya, pengibaran bendera Merah Putih pada berbagai upacara nasional dapat disebut civil religion (termasuk pula pembacaan teks Pancasila pada tanggal 17 Agustus).
Karena luasnya pengertian agama, Light, Keller, dan Calhoun (1989) memusatkan perhatian pada beberapa unsur dasar setiap kali mereka bicara tentang agama, yakni kepercayaan agama, simbol agama, praktik agama, umatnya, dan pengalaman agama.
Setiap agama pasti memiliki unsur-unsur pokok tersebut. Pada agama-agama monoteis ada kepercayaan kepada Tuhan Yang Esa; pada agama Hindu ada kepercayaan akan reinkarnasi; pada agama Shinto ada kepercayaan akan roh nenek moyang.
Setiap agama juga mengenal simbol. Ada simbol tertentu dalam agama Islam yang menunjukkan bahwa seorang telah menunaikan Ibadah Haji (tutup kepala berwarna putih, ikat pinggang lebar berwarna hijau, selendang bermotif kotak merah-putih). Dalam agama Katolik jubah putih/hitam membedakan umat biasa dan rohaniwan/pastor (juga biarawan/biarawati Katolik mengenakan jubah yang membedakan mereka dari umat biasa). Di India pakaian corak tertentu menunjukkan orang dari kasta tertentu.
Tiap agama juga mengenal praktik keagamaan tertentu seperti berdoa, berpuasa dan pantang dan sebagainya. Ketaatan terhadap agama dilihat pula dari sejauh mana praktik keagamaan dihayati.
Tiap agama juga mengenal berbagai bentuk kelompok, misalnya kelompok pengajian atau persekutuan doa.Tiap agama juga mempunyai pengalaman beragama tertentu. Misalnya dalam agama Katolik seseorang merasa terpanggil untuk menjalani kehidupan sebagai rohaniwan atau rohaniwati. Dalam Islam adanya pengalaman dimana seseorang dipanggil Allah SWT untuk menunaikan Ibadah Haji.

5.3.2. Fungsi Agama
Horton dan Hunt (1984) menyebut fungsi manifest dan laten dari agama. Fungsi manifest terkait dengan doktrin, ritual, dan aturan perilaku dalam agama. Sedangkan fungsi laten agama, menurut Durkheim, ialah integrasi masyarakat.
“The believer who has communicated with his god is not merely a man who sees new truths of which the unbeliever is ignorant; he is a man who is stronger” kata Durkheim (1966). Jadi agama bukan saja memberikan kebenaran yang tidak dikenal mereka yang tidak beriman, tetapi juga memberikan kekuatan untuk menjalani kehidupan.
Secara makro agama memenuhi kebutuhan masyarakat untuk memupuk dan memperkuat perasaan dan ide kolektif sehingga mempersatukan masyarakat. Ini nampak lebih jelas dalam upacara agama yang dilakukan secara berjamaah.
Tapi para sosiolog juga mengakui disfungsi agama yang membahayakan keutuhan masyarakat. Dengan kata lain, adanya aliran-aliran dalam agama terkadang menjadi sumber konflik, misalnya konflik antara orang Katolik dan Protestan di Irlandia Utara, antara orang Sikh dan Hindu di Punjab (India), antara Hindu dan Muslim di Ayodhya (India), antara kaum Shiah dan Sunni di Irak dan Pakistan.

5.3.3. Agama dan Perubahan Sosial
Salah satu cabang sosiologi ialah sosiologi agama. Sosiologi agama mengkaji hubungan antara agama dan perubahan sosial. Ada pandangan bahwa agama menghambat perubahan sosial (Karl Marx: agama adalah candu bagi rakyat). Menurut Marx, agama membuat orang menerima begitu saja nasib buruk dan tidak berinisiatif untuk memperbaiki keadaannya yang kurang baik.
Para sosiolog lain mengatakan justru agama merupakan kekuatan yang mendorong perubahan sosial. Misalnya, dalam sejarah kita kenal berbagai gerakan perlawanan kaum ulama terhadap penjajahan Belanda, perlawanan kaum Katolik dalam menumbangkan para diktator di Amerika Selatan atau rezim komunis di Polandia dan EropaTimur, gerakan para Ayatollah yang menjatuhkan rezim Shah di Iran. Bahkan menurut Max Weber, kemunculan kapitalisme di Eropa Barat terkait erat dengan etika Protestanisme.
Giddens menyebutkan adanya perubahan sosial yang sering diiringi gejala sekularisme. Sekularisme adalah proses dimana agama kehilangan pengaruhnya dalam berbagai segi kehidupan masyarakat. Light, Keller dan Calhoun (1989) mengatakan sekularisme adalah proses di mana perhatian manusia dan institusinya semakin terpusat pada hal-hal duniawi, dan perhatian terhadap hal rohaniah berkurang. Proses ini sering memancing reaksi dari kalangan agama berupa penyesuaian diri bahkan perlawanan.
Revolusi di Iran di bawah pimpinan Ayatollah Khomeini misalnya merupakan reaksi terhadap perubahan cepat dalam masyarakat Iran yang Islam. Jika kita perhatikan dengan saksama, dalam skala kecil hal seperti itu terjadi juga di berbagai masyarakat, termasuk Indonesia.
Perubahan sosial dapat berdampak pada perubahan agama. Menurut Bellah (1964) perubahan sosial bisa menyebabkan terjadinya evolusi bertahap ke arah diferensiasi, kekomprehensifan, dan rasionalitas yang lebih besar.

5.3.4. Agama dan Institusi Sosial Lain
Institusi agama terkait erat dengan institusi lain dalam masyarakat, dan itu menjadi kajian dari para ahli sosiologi agama. Misalnya agama terkait erat dengan keluarga, politik, ekonomi, dan pendidikan.
Di Flores, masuknya agama katolik berpengaruh terhadap institusi keluarga. Agama katolik menghilangkan praktik poligami yang sebelumnya tak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat. Pada masyarakat yang keluarga-keluarganya cendrung mempunyai banyak anak, sering faktor penyebabnya ialah agama yang tidak membenarkan pembatasan kelahiran.
Dalam politik negara kita, sebelum diterimanya Pancasila sebagai asas tunggal, dikenal banyak partai politik berbasis agama, seperti Masjumi, Nahdatul Ulama, PSII, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik. Setelah dalam kurun waktu tertentu partai berbasis agama seakan menghilang, baru di era reformasi muncul lagi partai berbasis agama.
Agama juga berkaitan erat dengan institusi ekonomi. Yang terkenal ialah kajian dari Max Weber tentang pengaruh etika Protestan dan kapitalisme. Di Indonesia Clifford Geertz (1970) pernah mengkaji keterkaitan antara agama dan kewiraswastaan oleh kaum santri di kota Pare dan kaum bangsawan Hindu di kota Tabanan.
Agama juga terkait dengan institusi pendidikan. Dalam sistem pendidikan kita, mata pelajaran agama diberikan mulai dari jenjang TK sampai pendidikan tinggi. Ada institusi-institusi pendidikan yang dikelola oleh organisasi agama, seperti Universitas Muhammadiyah, Universitas Atma Jaya, Universitas Kristen Indonesia. Ada pula sekolah khusus dengan titik berat pengajaran agama seperti pesantren dan seminari.
Agama bahkan terkait pula dengan stratifikasi sosial. Misalnya, dari penelitian diketahui para anggota sekte, gereja atau denominasi berbagai agama di AS tidak tersebar secara acak di berbagai lapisan sosial melainkan cenderung mengelompok di kelas sosial tertentu.

5.4. Institusi Ekonomi
Muncul dan berkembangnya sosiologi disebabkan antara lain oleh institusi ekonomi. Kita lihat bahwa sosiologi muncul karena dipicu oleh perubahan-perubahan penting di abad 18 seperti hancurnya feodalisme, muncul dan berkembangnya kapitalisme, dan industrialisasi.
Menurut Herbert Spencer, masyarakat secara silih berganti mengalami proses integrasi dan diferensiasi sehingga berkembang dari masyarakat homogen menjadi heterogen. Dalam perjalanan seperti ini masyarakat berkembang dari tipe militer yang diintegrasikan secara paksa menjadi masyarakat industri yang diintegrasikan oleh hubungan kerja sama secara sukarela berdasarkan kontrak.
Sejalan dengan itu, Durkheim mengatakan, muncul pembagian kerja dalam masyarakat yang menghasilkan tipe masyarakat yang segmental yang homogen yang didasarkan pada solidaritas mekanik menjadi masyarakat heterogen yang diintegrasikan oleh solidaritas organik. Solidaritas organik didasarkan pasa ikatan kontrak dan kebiasaan.
Weber mengemukakan tesisnya yang sangat terkenal tentang kaitan antara kapitalisme modern dan etika Protestan. Dia juga mengemukakan bahwa birokrasi merupakan organisasi masyarakat yang rasional yang menjamin kelangsungan hidup kapitalisme industri.
Perhatian para ahli sosiologi pada ekonomi melahirkan beberapa spesialisasi dalam sosiologi yang menunjang sosiologi ekonomi, seperti sosiologi industri dan sosiologi progesi.

5.4.1. Sosiologi Ekonomi
Institusi ekonomi ialah “the social institusion that accomplishes the production and distribution of goods and services within a society” (Light, Keller, Calhoun, 1989). Jadi, sosiologi ekonomi mempelajari dan mengkaji kegiatan produksi dan distribusi barang dan jasa dalam masyarakat.
Bidang-bidang utama yang menjadi perhatian sosiologi ekonomi ialah pasar dan pembagian kerja, interaksi antara pemerintah dan institusi ekonomi, dan perubahan pada pekerjaan.

5.4.2. Ideologi Ekonomi
Dalam sejarah terdapat berbagai ideologi ekonomi yang pada gilirannya menghasilkan berbagai sistem ekonomi yang akhirnya mempengaruhi perkembangan masyarakat. Kornblum mengidentifikasi tiga ideologi ekonomi terpenting yakni merkantilisme, kapitalisme, dan sosialisme.

5.4.2.1. Merkantilisme
Merkantilisme berlaku sebelum sebelum revolusi industri (abad 18) dan dberlakukan untuk membangun kekuatan militer. Intervensi negara merupakan bagian penting dari merkantilisme. Pemerintah mendorong industri domestik, meregulasi produksi, mengontrol perusahaan-perusahaan dagang, memberlakukan pembatasan seperti tarif dan kuota impor barang dari negara lain, dan mencari bahan mentah dan pasar melalui kolonialisme. Merkantilisme memusatkan perhatian pada ekspor sebagai kekuatan negara, dan sukses ekonomi diukur dengan aliran emas, perak, dan barang berharga lain dari luar negeri. Emas dan perak berperan besar dalam belanja militer. Salah seorang tokohnya ialah Jean Baptiste Colbert yang mengendalikan kebijakan ekonomi Prancis di bawah Louis XIV. Merkantilisme ditentang oleh Adam Smith dan para ekonom klasik lain di abad 19 yang memperjuangkan perdagangan bebas dan menyebarkan konsep laissez-faire.

5.4.2.2. Kapitalisme
Para perintis sosiologi memusatkan perhatian pada gejala kapitalisme modern. Kapitalisme adalah sistem ekonomi yang didasarkan pada kepemilikan pribadi atas sarana produksi dan distribusi untuk kepentingan pencarian laba pribadi kem arah penumpukan modal melalui persaingan bebas.
Prinsip dasar masyarakat kapitalis menurut Adam Smith adalah milik pribadi (private property), motif mencari laba (profit motive), dan persaingan bebas (free competition). Menurut Light, Keller, dan Calhoun, kapitalisme modern menganut pula asumsi lain yakni penumpukan modal (capital accumulation), penciptaan kekayaan (creation of wealth), dan ekspansionisme.
Giddens membedakan tiga tipe kapitalisme, yakni kapitalisme keluarga (family capitalism), kapitalisme managerial (managerial capitalism), dan kapitalisme institusional (institutional capitalism). Pada kapitalisme keluarga, perusahaan dikelola oleh seorang atau beberapa pengusaha yang mempunyai hubungan keluarga, seringkali secara turun-temurun. Lambat laun ini digeser oleh kapitalisme managerial, di mana keluarga wiraswasta digantikan oleh manajer. Kepentingan perusahaan ditempatkan di atas kepentingan keluarga. Sedangkan kapitalisme institusional berkembang setelah makin berkembangnya perusahaan sehingga jangkauannya meluas ke luar perusahaan dan ke arah  penguasaan saham perusahaan lain dan adanya perkembangan ke arah konglomerasi dan perusahaan transnasional/multinasional dengan pola kepemimpinan yang mengarah kepada sistem jaringan.

5.4.2.3. Sosialisme
Penderitaan dan ketimpangan ekonomi serta ketidakadilan sebagai akibat dari industrialisasi dan kapitalisme melahirkan gerakan sosial di berbagai negara Eropa di abad 19 untuk merombak masyarakat ke arah persamaan hak dan pembatasan terhadap milik pribadi. Inilah awal gerakan sosialisme dengan segala variannya.
Di negara-negara sosialis, asas sosialisme seperti penguasaan alat produksi dan pengaturan distribusi komoditas oleh negara diterapkan. Pengaturan dilakukan secara terpusat. Tapi pasca keruntuhan Uni Soviet (berawal dari gerakan pembaruan Perestroika dan Glasnost yang dilancarkan Gorbachev), sosialisme mulai digeser oleh kapitalisme.

5.4.3. Perusahaan Multinasional
Perusahaan multinasional adalah produk dari sistem kapitalisme. Ini juga menjadi perhatian dari sosiologi ekonomi. Seperti dikatakan Light, Keller, dan Calhoun dalam industri modern dikenal adanya oligopoli, yakni industri yang didominasi oleh beberapa perusahaan raksasa yang otomatis menguasai pasar. Kehadiran mereka mempersulit perusahaan kecil untuk hidup dan berkembang. Dikenal pula apa yang dinamakan konglomerasi yang terdiri dari perusahan-perusahaan besar. Di Indonesia konglomerasi itu sudah ada. Perusahaan-perusahaan ini telah menjadi perusahaan global, yang mempunyai cabang di berbagai negara.
Di pihak lain ada perusahaan menengah dan kecil yang mengalami kendala modal. Tidak heran kritik dilontarkan terhadap perusahaan-perusahaan multinasional yang terlalu mendominasi ekonomi dan keuntungan.

5.5. Institusi Politik
Sosiologi juga mempunyai kaitan yang sangat erat dengan proses dan institusi politik. Salah satu cabang sosiologi ialah sosiologi politik. Institusi politik adalah perangkat aturan dan status yang mengkhususkan diri pada pelaksanaan kekuasaan dan wewenang (Kornblum, 1989). Institusi politik terpenting yang kita kenal ialah eksekutif, legislatif, judikatif, militer, keamanan nasional, dan partai politik. Landasan bagi sosiologi politik telah diletakkan oleh Karl Marx, Tocqueville, Max Weber, dan Michels. Pemikiran mereka menjadi pokok bahasan sosiologi politik modern.

5.5.1. Kekuasaan dan Dominasi
Politik selalu berarti kekuasaan dan dominasi. Menurut Kornblum (1989) politik menentukan siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana. Dasar politik ialah persaingan untuk memiliki kekuasaan. Weber telah mewariskan kepada kita kajiannya tentang kekuasaan dan dominasi.
Kekuasaan, kata Weber, adalah kemungkinan untuk memaksakan kehendak terhadap perilaku orang lain (the possibility of imposing one’s will upon the bahaviour of others). Pemaksaan kehendak itu dilakukan dalam berbagai bidang kehidupan.
Weber membedakan kekuasan dan dominasi. Pada dominasi pihak berkuasa mempunyai wewenang sah untuk berkuasa berdasarkan aturan yang berlaku sehingga pihak yang dikuasai wajib menaati kehendak penguasa. Ini misalnya pada organisasi yang mengenal atasan-bawahan. Dominasi memerlukan staf administrasi untuk melaksanakannya, dan administrasi membutuhkan dominasi. Maka menurut Weber semua administrasi berarti dominasi.
Pada kekuasaan, orang dapat saja memaksakan kehendaknya pada pihak lain tanpa memiliki wewenang. Pihak yang dikuasai terpaksa menaati meskipun tidak ada kewajiban baginya untuk taat. Ini misalnya pada kasus pemerasan dan penodongan.
Dominasi membutuhkan keabsahan (legitimasi), yakni pengakuan atau pembenaran masyarakat terhadap dominasi agar penguasa dapat melaksanakan kekuasaannya secara sah. Weber membedakan tiga jenis dominasi, yakni dominasi karismatik, dominasi tradisional, dan dominasi legal rasional. Ketiganya merupakan tipe ideal sehingga dalam kenyataan empiris akan terjadi penggabungan tipe-tipe itu.
Dominasi karismatik: keabsahannya didasarkan pada kepercayaan bahwa sang pemimpin mempunyai kemampuan luar biasa. Pemimpin karismatik (Rasul, Nabi, pahlawan) melaksanakan kekuasannya atas dasar kepercayaan para pengikut bahwa sang pemimpin telah menerima wahyu dari suatu kekuatan adikodrati, memiliki kekuatan magis, atau sifat kepahlawanan luar biasa. Jadi, dasar keabsahannya adalah karisma. Hubungan atasan-bawahan didasarkan pada kepercayaan dan kesetiaan. Pemimpin melaksanakan kekuasaan bukan atas dasar aturan yang berlaku tapi aturan yang ditetapkannya sendiri.
Dominasi tradisional: pemimpin melanjutkan tradisi yang telah ditegakkan oleh pemimpin karismatik sebelumnya. Keabsahan kepemimpinan didasarkan pada tradisi. Administrasi yang mendukungnya pun administrasi tradisional, di mana para pejabat sering mewarisi jabatan atau hak untuk menjadi pejabat dari orangtua. Pemimpin karismatik dapat digantikan puteranya, dan ini bisa menjadi tradisi. Tapi ada pula pemimpin karismatik yang penggantinya dipilih. Pada umat Katolik ada pemilihan paus. Di Tibet, untuk menggantikan Dalai Lama dicari bayi yang dianggap memiliki ciri luar biasa.
Dominasi legal-rasional: kekuasaan didasarkan pada aturan hukum yang disusun untuk maksud itu atas dasar pertimbangan rasional. Keabsahan pemimpin didasarkan pada hukum. Pemimpin ditunjuk atau dipilih atas dasar aturan hukum, dan wajib melaksanakan kekuasaan berdasarkan hukum pula. Administrasi pendukung diatur secara legal rasional pula. Pejabat harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang mencakup antara lain pengetahuan, sikap, maupun keterampilan tertentu.

5.5.2. Sosiologi Politik
Sosiologi politik mempelajari proses politik. Dasar politik ialah persaingan untuk berkuasa, sehingga dengan mudah mengarah ke konflik yang dapat mengancam keutuhan masyarakat. Itulah sebabnya ada sosiolog yang memperhatikan topik seperti faktor apa yang menyebabkan konflik dan konsensus (Lipset, 1963).
Marx Melihat kemungkinan kombinasi antar konflik dan konsensus. Yang ada adalah masyarakat konflik dan masyarakat konflik. Konflik hanya dapat diatasi bila masyarakat komunis telah tercipta karena telah dihapuskannya sumber konflik yakni ketidaksamaan.
Alexis de Tocqueville juga melihat kemungkinan konflik dan konsesus berjalan bersama-sama.  Dia mencemaskan dampak industrialisasi, birokratisasi dan nasionalisme terhadap sistem politik yang majemuk. Menurut dia kecenderungan itu akan menghancurkan pusat kekuasaan lokal dan memunculkan suatu negara kuat yang tidak mengenal konflik karena tidak ada lagi kelompok yang mampu menghadapinya.
Institusi yang dapat mengimbangi negara, katanya, adalah pemerintahan lokal yang mandiri, dan LSM. Konsensus di kalangan anggota LSM dan pemerintahan lokal, serta konflik antar-LSM dan pemerintahan lokal berlainan akan membatasi kekuasaan pusat, menciptakan pusat kekuasan untuk menyaingi pemerintah pusat.
Weber dan Michels melihat hubungan antar birokrasi dan demokrasi. Organisasi sosialis dan kapitalis, menurut mereka, cenderung untuk menjadi organisasi yang birokratis dan oligarkis. Menurut Weber, perkemnbangan birokrasi dapat menghambat demokrasi.Sosialisme akan mengarah semakin kepada penyebaran pengaruh birokrasi ke seluruh masyarakat, ke diktator para birokrat. Hal yang perlu dipecahkan ialah bagaimana kita dapat menghambat prose dehumanisasi ini.
Menurut Michels berkembangnya partai politik dan serikat buruh menjadi organisasi yang besar tidak memungkinkan para anggota mengendalikannya. Di serikat buruh maupun partai akan muncul oligarki (= kekuasaan oleh sejumlah kecil orang yang menghendaki jabatan secara terus-menerus, bukan untuk suatu masa jabatan terbatas”).

No comments:

Post a Comment

Silahkan baca dan share