Bab 5
INSTITUSI SOSIAL
5.1. Keluarga
5.1.1. Fungsi
Keluarga
5.1.1.1. Pengaturan dorongan seks
5.1.1.2. Reproduksi
5.1.1.3. Sosialisasi
5.1.1.4. Memberi afeksi
5.1.1.5. Menentukan status
5.1.1.6. Memberikan perlindungan
5.1.1.7. Menjalankan fungsi-fungsi
ekonomi
5.1.2.
Tipe-tipe keluarga
5.1.3.
Aturan tentang Perkawinan
5.1.3.1. Bentuk perkawinan
5.1.3.2. Incest taboo
5.1.3.3. Keturunan
5.1.3.4. Tempat tinggal
5.1.4.
Keluarga di zaman modern
5.1.5.
Akhir kehidupan keluarga
5.2. Institusi Pendidikan
5.2.1. Jenis-jenis
Institusi Pendidikan
5.2.2. Fungsi
pendidikan
5.2.3. Sosiologi
pendidikan
5.3. Institusi Agama
5.3.1. Arti
agama
5.3.2. Fungsi
agama
5.3.3. Agama
dan perubahan sosial
5.3.4. Agama
dan institusi sosial lain
5.4. Institusi Ekonomi
5.4.1. Sosiologi
ekonomi
5.4.2. Ideologi
ekonomi
5.4.2.1. Merkantilisme
5.4.2.2. Kapitalisme
5.4.2.3. Sosialisme
5.4.3. Perusahaan
multinasional
5.5. Institusi Politik
5.5.1. Kekuasaan
dan dominasi
5.5.2. Sosiologi
politik
Sebagaimana dikatakan Durkheim,
sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari institusi. Institusi utama yang
dibahas di sini ialah keluarga, institusi di bidang ekonomi, politik, pendidikan, dan agama. Studi tentang berbagai
institusi itu memunculkan cabang-cabang khusus sosiologi seperti sosiologi
keluarga, sosiologi ekonomi, sosiologi politik, sosiologi pendidikan, dan
sosiologi agama. Berturut-turut akan dibahas tentang keluarga, institusi
pendidikan, institusi agama, institusi ekonomi, dan institusi politik.
5.1. Keluarga
Berikut akan dibahas pokok-pokok
yakni fungsi keluarga, tipe-tipe keluarga, aturan tentang perkawinan, keluarga
di zaman modern, dan akhir kehidupan keluarga.
5.1.1. Fungsi
Keluarga
5.1.1.1. Pengaturan Dorongan
Seks
Pada masyarakat mana saja,
penyaluran dorongan seks hanya boleh dilakukan dalam keluarga (pernikahan).
Tidak ada masyarakat yang memperbolehkan hubungan seks sebebas-bebasnya.
5.1.1.2. Reproduksi
Pengembangan keturunan, pada
masyarakat manapun, selalu ditempatkan dalam konteks kehidupan keluarga
(perkawinan).
5.1.1.3. Sosialisasi
Keluarga adalah tempat
sosialisasi anggota baru masyarakat sehingga dapat memerankan apa yang
diharapkan dari dirinya. Peran keluarga dalam pembentukan diri seseorang sangat
besar.
5.1.1.4. Memberikan
Afeksi
Keluarga memberikan cinta kepada
seorang anak. Berbagai studi menunjukkan bahwa anak yang tidak menerima cinta
dapat berkembang menjadi seorang yang menyimpang, menderita gangguan kesehatan,
bahkan meninggal.
5.1.1.5. Menentukan
Status
Keluarga memberikan status kepada
seorang anak bukan saja terkait dengan jenis kelamin, urutan kelahiran dan
hubungan kekerabatan tapi juga status yang diperoleh orang tua yaitu kelas sosial
tertentu.
5.1.1.6. Memberikan
Perlindungan
Keluarga memberikan perlindungan
kepada anggotanya, baik perlindungan fisik maupun kejiwaan.
5.1.1.7. Fungsi
Ekonomi
Keluarga menjalankan berbagai
fungsi ekonomi seperti produksi, distribusi, dan konsumsi bagi anggotanya.
5.1.2. Tipe-Tipe
Keluarga
Ada beberapa tipe keluarga, yakni
keluarga konsanguinal dan konjugal, keluarga orientasi dan prokreasi, keluarga
batih dan luas.
Keluarga konsanguinal menekankan
pentingnya ikatan darah (misalnya hubungan dengan orangtua). Hubungan dengan
orangtua dianggap lebih penting dari ikatan dengan suami atau istri (pada
keluarga Jepang dan Tionghoa tradisional). Keluarga konjugal menekankan
pentingnya hubungan perkawinan (suami dan istri).
Keluarga orientasi (orientation family) adalah keluarga di
mana seorang dilahirkan. Keluarga prokreasi (procreation
family) adalah keluarga yang dibentuk dengan jalan menikah dan mempunyai
keturunan.
Keluarga batih (nuclear family) adalah keluarga
terkecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluarga tipe ini tidak
mengandung hubungan fungsional dengan kerabat dari keluarga orientasi salah
satu pihak. Bila suatu pasangan serta anak mempunyai hubungan kerabat dengan
kerabat dari kelaurga orientasi salah satu atau kedua belah pihak, keluarga
seperti ini dinamakan keluarga konjugal.
Keluarga luas (extended family) terdiri dari beberapa
keluarga batih. Ada
dua bentuk keluarga luas yang dikenal, yakni joint family dan keluarga virilokal. Salah satu bentuk keluarga
luas ialah joint family yang terdiri
dari beberapa laki-laki kakak beradik serta anak-anak mereka, dan saudara
kandung perempuan mereka yang belum menikah. Laki-laki tertua menjadi kepala
keluarga bila ayah mereka meninggal. Tipe ini dijumpai di India dan Pakistan (Clayton, 1979). Keluarga
virilokal terdiri dari keluarga batih ditambah keluarga batih para putra dalam
keluarga batih senior tersebut, seperti di Nias (Danandjaya, 1971).
5.1.3. Aturan Tentang
Perkawinan
5.1.3.1. Bentuk
Perkawinan
5.1.3.2. Incest Taboo
5.1.3.3. Keturunan
Terkait dengan penarikan garis
keturunan, kita mengenal aturan patrilineal, bilateral, matrilineal, dan
keturunan rangkap (double descent).
Pada patrilineal, garis keturunan ditarik melalui laki-laki. Pada sistem
bilateral, garis keturunan ditarik melalui
pihak laki-laki dan perempuan. Pada sistem matrilineal garis keturunan ditarik
melalui perempuan. Pada sistem rangkap garis keturunan ditarik melalui
laki-laki secara patrilineal dan melalui perempuan secara matrilineal.
5.1.3.4. Tempat
Tinggal
Di mana menetap setelah menikah? Ada berbagai pola, seperti
patrilokal, matrilokal, matripatrilokal, patrimatrilokal, bilokal, neolokal,
dan avunculokal (Clayton, 1979). Pada patrilokal pasangan tinggal bersama
keluarga pihak laki-laki. Pada pola matrilokal pasangan tinggal bersama pihak
perempuan. Pada pola matripatrilokal suami mula-mula tinggal bersama keluarga
perempuan, lalu kemudian pada pihak laki-laki. Pada pola patrimatrilokal
pasangan mula-mula tinggal bersama keluarga laki-laki, lalu kemudian menetap pada
keluarga perempuan. Pada pola bilokal pasangan memilih menetap di keluaga
laki-laki atau perempuan. Pada pola Avunculokal (bagian pola matrilineal)
laki-laki menetap di desa paman dari fihak ibu. Pada pola neolokal pasangan
bebas memilih untuk meneap di luar tempat keluarga laki-laki atau perempuan.
5.1.4. Keluarga Di
Zaman Modern
Pola keluarga lama di atas sudah
bergeser di zaman modern ini sesuai pola gaya
hidup yang menyimpang. Giddens mengidentifikasi tiga bentuk, yakni hidup
bersama di luar nikah (cohabitation;
kumpul kebo), keluarga orangtua homoseks (gay parent family), dan hidup membujang. Pola-pola ini pada
umumnya terdapat di masyarakat Barat, dan pengaruhnya mulai terasa di
masyarakat perkotaan di dunia ketiga. Menurut Giddens ada peningkatan kehidupan
bersama di luar nikah.
Banyak pasangan homoseks (laki
atau perempuan/lesbian) yang juga hidup bersama sebagai pasangan tetap. Di
antara pasangan lesbian yang hidup berpasangan itu ada yang mengasuh anak
kandung dari pasangannya. Kini ada pasangan homoseks yang mengasuh anak.
Pada masyarakat kita, pola
hubungan seperti ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena takut akan
reaksi masyarakat. Bahkan hidup tanpa menikah pun sudah menjadi gejala yang
berkembang. Salah satu faktor penyebabnya ialah penundaan perkawinan bahkan
keinginan untuk hidup membujang di kalangan orang muda agar tetap bebas. Pada
usia lebih lanjut hidup membujang biasanya disebabkan faktor lain seperti
perceraian atau meninggalnya pasangan.
5.1.5. Akhir
Kehidupan Keluarga
Perceraian mengakhiri kehidupan
keluarga. Suami, istri, dan anak-anak harus menyesuaikan diri dengan situasi
baru. Perceraian memunculkan gaya
hidup khas keluarga bercerai, seperti hidup sendiri menjanda atau menduda,
adanya anak yang harus hidup dengan ayah atau ibu saja, bahkan berpisah dengan
saudara kandung.
5.2. Institusi
Pendidikan
Berturut-turut akan dibahas
secara singkat tentang jenis-jenis institusi pendidikan, fungsi pendidikan, dan
sosiologi pendidikan.
5.2.1. Jenis-Jenis
Institusi Pendidikan
Institusi pendidikan biasanya
dibedakan atas institusi pendidikan formal, non-formal, dan informal. Institusi
pendidikan formal ialah sekolah dari berbagai tingkatan baik yang bersifat umum
maupun khusus (misalnya sekolah agama, sekolah luar biasa). Institusi
pendidikan non-formal misalnya kursus-kursus, sedangkan institusi pendidikan
informal misalnya yang terjadi di keluarga atau melalui media massa .
5.2.2. Fungsi
Pendidikan
Institusi pendidikan menjalankan
berbagai fungsi. Misalnya fungsi manifest dan laten (Horton dan Hunt, 1984).
Fungsi manifest tercermin dalam kurikulum. Fungsi manifest institusi pendidikan
antara lain mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah,
mengembangkan bakat individu, melestarikan kebudayaan, memberikan keterampilan
yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat.
Sedangkan fungsi laten institusi
pendidikan antara lain memupuk keremajaan, mengurangi pengendalian orangtua,
penyediaan sarana untuk pembangkangan, dan dipertahankannya sistem kelas sosial.
Fungsi laten ini terkait dengan apa yang dinamakan kurikulum terselubung (hidden curriculum) yakni kurikulum yang
tidak disadari tetapi yang berfungsi menanamkan pengetahuan, keterampilan atau
nilai tertentu.
Sekolah memperpanjang/mengulur
masa remaja dan menunda masa dewasa. Sekolah menyebabkan diperpanjangnya ketergantungan
ekonomi pada orangtua sehingga masuknya
anak ke dalam angkatan kerja diperlambat.
Sekolah juga memperlemah pengendalian
orangtua terhadap anak (ada nilai baru yang terkadang bertentangan dengan nilai
yang diajarkan di rumah). Dalam proses sosialisasi, sekolah mengajarkan aturan
baru seperti keunikan, otonomi, universalisme (yang tidak terlalu dipupuk di
rumah).
Sekolah juga berpotensi
menanamkan nilai bagi pembangkangan terhadap masyarakat. Tidak heran ada
perbedaan pandangan antara orangtua dan sekolah terhadap hal-hal tertentu
seperti pendidikan seks (atau teori evolusi).
Pendidikan formal juga melestarikan
sistem stratifikasi sosial dengan mengajarkan anak untuk menerima sistem
perbedaan prestise, privilese dan status yang ada. Sering diperdebatkan apakah
sekolah menjadi tempat untuk mengangkat status sosial murid ataukah
mempertahankan status seperti orangtuanya.
5.2.3. Sosiologi
Pendidikan
Perhatian sosiologi terhadap
institusi pendidikan memperoleh bentuknya dalam cabang sosiologi yang dinamakan
sosiologi pendidikan. Pembahasan utama sosiologi pendidikan ialah pendidikan
formal yakni sekolah mulai dari jenjang prasekolah hingga pendidikan tinggi
(umum dan khusus).
Sosiologi pendidikan meso dan
mikro mempelajari antara lain sekolah sebagai sistem sosial. Pada jenjang meso
dipelajari sekolah sebagai organisasi. Pada jenjang mikro dipelajari misalnya
hubungan dan interaksi antara para siswa sekolah (kelompok-kelompok siswa dan
status yang terbentuk). Bahkan dipelajari interaksi di ruangan kelas, interaksi
antara siswa dan siswa, atau siswa dan guru.
5.3. Institusi Agama
Berturut-turut akan dibahas
secara singkat tentang arti agama, fungsi agama, agama dan perubahan sosial,
agama dan institusi sosial lain.
5.3.1. Arti Agama
Agama didefinisikan Emile Durkheim
sebagai A unified system of beliefs and
practices relative to sacred things, that is to say, things set apart and
forbidden – beliefs and practices which unite into one single moral community
called a church, all those who adhere to them (Durkheim, 1966).
Jadi, agama adalah sistem terpadu
yang terdiri atas kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik yang berhubungan dengan
hal-hal suci. Kepercayaan dan praktik-praktik itu mempersatukan semua orang
beriman menjadi sebuah komunitas moral yang dinamakan umat. Dalam agama ada
pembagian tegas antara hal yang bersifat profan (profane) dan suci (sacred). Tetapi
dalam sosiologi, agama mempunyai arti lebih luas. Menurut Giddens, arti agama
lebih luas dari hanya monoteisme. Agama mencakup pula politeisme.
Robert N. Bellah menyebut tentang
civil religion yakni kepercayaan dan
ritual di luar agama yang dijumpai pada institusi politik seperti pemujaan
pemimpin, penghormatan kepada bendera negara dan lagu kebangsaan dan
upacara-upacara yang terkait.
Di negara-negara sosialis ada
tradisi pemujaan terhadap Karl Marx, Friedrich Engels, Kim Il Sung, Mao Zedong.
Menurut Kornblum (1988) yang termasuk juga dalam agama adalah upacara
dinyanyikannya lagu kebangsaan di awal pertandingan olahraga atau pengucapan
sumpah setia (pledge of allegiance)
di awal pelajaran di AS. Dalam kategori ini dapat dikatakan bahwa
didengungkannya lagu Indonesia Raya,
pengibaran bendera Merah Putih pada berbagai upacara nasional dapat disebut civil religion (termasuk pula pembacaan
teks Pancasila pada tanggal 17 Agustus).
Karena luasnya pengertian agama,
Light, Keller, dan Calhoun (1989) memusatkan perhatian pada beberapa unsur
dasar setiap kali mereka bicara tentang agama, yakni kepercayaan agama, simbol
agama, praktik agama, umatnya, dan pengalaman agama.
Setiap agama pasti memiliki
unsur-unsur pokok tersebut. Pada agama-agama monoteis ada kepercayaan kepada
Tuhan Yang Esa; pada agama Hindu ada kepercayaan akan reinkarnasi; pada agama
Shinto ada kepercayaan akan roh nenek moyang.
Setiap agama juga mengenal simbol.
Ada simbol
tertentu dalam agama Islam yang menunjukkan bahwa seorang telah menunaikan
Ibadah Haji (tutup kepala berwarna putih, ikat pinggang lebar berwarna hijau,
selendang bermotif kotak merah-putih). Dalam agama Katolik jubah putih/hitam membedakan
umat biasa dan rohaniwan/pastor (juga biarawan/biarawati Katolik mengenakan
jubah yang membedakan mereka dari umat biasa). Di India pakaian corak tertentu
menunjukkan orang dari kasta tertentu.
Tiap agama juga mengenal praktik
keagamaan tertentu seperti berdoa, berpuasa dan pantang dan sebagainya.
Ketaatan terhadap agama dilihat pula dari sejauh mana praktik keagamaan
dihayati.
Tiap agama juga mengenal berbagai
bentuk kelompok, misalnya kelompok pengajian atau persekutuan doa.Tiap agama
juga mempunyai pengalaman beragama tertentu. Misalnya dalam agama Katolik
seseorang merasa terpanggil untuk menjalani kehidupan sebagai rohaniwan atau
rohaniwati. Dalam Islam adanya pengalaman dimana seseorang dipanggil Allah SWT
untuk menunaikan Ibadah Haji.
5.3.2. Fungsi Agama
Horton dan Hunt (1984) menyebut
fungsi manifest dan laten dari agama. Fungsi manifest terkait dengan doktrin,
ritual, dan aturan perilaku dalam agama. Sedangkan fungsi laten agama, menurut
Durkheim, ialah integrasi masyarakat.
“The believer who has communicated with his god is not merely a man who
sees new truths of which the unbeliever is ignorant; he is a man who is
stronger” kata Durkheim (1966). Jadi agama bukan saja memberikan kebenaran
yang tidak dikenal mereka yang tidak beriman, tetapi juga memberikan kekuatan untuk
menjalani kehidupan.
Secara makro agama memenuhi
kebutuhan masyarakat untuk memupuk dan memperkuat perasaan dan ide kolektif
sehingga mempersatukan masyarakat. Ini nampak lebih jelas dalam upacara agama
yang dilakukan secara berjamaah.
Tapi para sosiolog juga mengakui
disfungsi agama yang membahayakan keutuhan masyarakat. Dengan kata lain, adanya
aliran-aliran dalam agama terkadang menjadi sumber konflik, misalnya konflik
antara orang Katolik dan Protestan di Irlandia Utara, antara orang Sikh dan
Hindu di Punjab (India), antara Hindu dan Muslim di Ayodhya (India), antara
kaum Shiah dan Sunni di Irak dan Pakistan.
5.3.3. Agama dan
Perubahan Sosial
Salah satu cabang sosiologi ialah
sosiologi agama. Sosiologi agama mengkaji hubungan antara agama dan perubahan
sosial. Ada
pandangan bahwa agama menghambat perubahan sosial (Karl Marx: agama adalah
candu bagi rakyat). Menurut Marx, agama membuat orang menerima begitu saja
nasib buruk dan tidak berinisiatif untuk memperbaiki keadaannya yang kurang
baik.
Giddens menyebutkan adanya
perubahan sosial yang sering diiringi gejala sekularisme. Sekularisme adalah
proses dimana agama kehilangan pengaruhnya dalam berbagai segi kehidupan
masyarakat. Light, Keller dan Calhoun (1989) mengatakan sekularisme adalah
proses di mana perhatian manusia dan institusinya semakin terpusat pada hal-hal
duniawi, dan perhatian terhadap hal rohaniah berkurang. Proses ini sering
memancing reaksi dari kalangan agama berupa penyesuaian diri bahkan perlawanan.
Revolusi di Iran di bawah pimpinan
Ayatollah Khomeini misalnya merupakan reaksi terhadap perubahan cepat dalam
masyarakat Iran
yang Islam. Jika kita perhatikan dengan saksama, dalam skala kecil hal seperti
itu terjadi juga di berbagai masyarakat, termasuk Indonesia .
Perubahan sosial dapat berdampak
pada perubahan agama. Menurut Bellah (1964) perubahan sosial bisa menyebabkan
terjadinya evolusi bertahap ke arah diferensiasi, kekomprehensifan, dan
rasionalitas yang lebih besar.
5.3.4. Agama dan
Institusi Sosial Lain
Institusi agama terkait erat
dengan institusi lain dalam masyarakat, dan itu menjadi kajian dari para ahli
sosiologi agama. Misalnya agama terkait erat dengan keluarga, politik, ekonomi,
dan pendidikan.
Di Flores, masuknya agama katolik
berpengaruh terhadap institusi keluarga. Agama katolik menghilangkan praktik
poligami yang sebelumnya tak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat. Pada
masyarakat yang keluarga-keluarganya cendrung mempunyai banyak anak, sering faktor
penyebabnya ialah agama yang tidak membenarkan pembatasan kelahiran.
Dalam politik negara kita,
sebelum diterimanya Pancasila sebagai asas tunggal, dikenal banyak partai
politik berbasis agama, seperti Masjumi, Nahdatul Ulama, PSII, Partai Kristen
Indonesia, Partai Katolik. Setelah dalam kurun waktu tertentu partai berbasis
agama seakan menghilang, baru di era reformasi muncul lagi partai berbasis
agama.
Agama juga berkaitan erat dengan
institusi ekonomi. Yang terkenal ialah kajian dari Max Weber tentang pengaruh
etika Protestan dan kapitalisme. Di Indonesia Clifford Geertz (1970) pernah
mengkaji keterkaitan antara agama dan kewiraswastaan oleh kaum santri di kota Pare dan kaum bangsawan Hindu di kota Tabanan.
Agama juga terkait dengan
institusi pendidikan. Dalam sistem pendidikan kita, mata pelajaran agama diberikan
mulai dari jenjang TK sampai pendidikan tinggi. Ada institusi-institusi pendidikan yang
dikelola oleh organisasi agama, seperti Universitas Muhammadiyah, Universitas
Atma Jaya, Universitas Kristen Indonesia. Ada
pula sekolah khusus dengan titik berat pengajaran agama seperti pesantren dan
seminari.
Agama bahkan terkait pula dengan
stratifikasi sosial. Misalnya, dari penelitian diketahui para anggota sekte,
gereja atau denominasi berbagai agama di AS tidak tersebar secara acak di
berbagai lapisan sosial melainkan cenderung mengelompok di kelas sosial
tertentu.
5.4. Institusi
Ekonomi
Muncul dan berkembangnya
sosiologi disebabkan antara lain oleh institusi ekonomi. Kita lihat bahwa
sosiologi muncul karena dipicu oleh perubahan-perubahan penting di abad 18
seperti hancurnya feodalisme, muncul dan berkembangnya kapitalisme, dan
industrialisasi.
Menurut Herbert Spencer,
masyarakat secara silih berganti mengalami proses integrasi dan diferensiasi
sehingga berkembang dari masyarakat homogen menjadi heterogen. Dalam perjalanan
seperti ini masyarakat berkembang dari tipe militer yang diintegrasikan secara
paksa menjadi masyarakat industri yang diintegrasikan oleh hubungan kerja sama
secara sukarela berdasarkan kontrak.
Sejalan dengan itu, Durkheim
mengatakan, muncul pembagian kerja dalam masyarakat yang menghasilkan tipe
masyarakat yang segmental yang homogen yang didasarkan pada solidaritas mekanik
menjadi masyarakat heterogen yang diintegrasikan oleh solidaritas organik.
Solidaritas organik didasarkan pasa ikatan kontrak dan kebiasaan.
Weber mengemukakan tesisnya yang
sangat terkenal tentang kaitan antara kapitalisme modern dan etika Protestan.
Dia juga mengemukakan bahwa birokrasi merupakan organisasi masyarakat yang
rasional yang menjamin kelangsungan hidup kapitalisme industri.
Perhatian para ahli sosiologi
pada ekonomi melahirkan beberapa spesialisasi dalam sosiologi yang menunjang
sosiologi ekonomi, seperti sosiologi industri dan sosiologi progesi.
5.4.1. Sosiologi
Ekonomi
Institusi ekonomi ialah “the social institusion that accomplishes
the production and distribution of goods and services within a society”
(Light, Keller, Calhoun, 1989). Jadi, sosiologi ekonomi mempelajari dan
mengkaji kegiatan produksi dan distribusi barang dan jasa dalam masyarakat.
Bidang-bidang utama yang menjadi
perhatian sosiologi ekonomi ialah pasar dan pembagian kerja, interaksi antara
pemerintah dan institusi ekonomi, dan perubahan pada pekerjaan.
5.4.2. Ideologi
Ekonomi
Dalam sejarah terdapat berbagai
ideologi ekonomi yang pada gilirannya menghasilkan berbagai sistem ekonomi yang
akhirnya mempengaruhi perkembangan masyarakat. Kornblum mengidentifikasi tiga
ideologi ekonomi terpenting yakni merkantilisme, kapitalisme, dan sosialisme.
5.4.2.1. Merkantilisme
Merkantilisme berlaku sebelum
sebelum revolusi industri (abad 18) dan dberlakukan untuk membangun kekuatan
militer. Intervensi negara merupakan bagian penting dari merkantilisme.
Pemerintah mendorong industri domestik, meregulasi produksi, mengontrol
perusahaan-perusahaan dagang, memberlakukan pembatasan seperti tarif dan kuota
impor barang dari negara lain, dan mencari bahan mentah dan pasar melalui
kolonialisme. Merkantilisme memusatkan perhatian pada ekspor sebagai kekuatan
negara, dan sukses ekonomi diukur dengan aliran emas, perak, dan barang
berharga lain dari luar negeri. Emas dan perak berperan besar dalam belanja
militer. Salah seorang tokohnya ialah Jean Baptiste Colbert yang mengendalikan
kebijakan ekonomi Prancis di bawah Louis XIV. Merkantilisme ditentang oleh Adam
Smith dan para ekonom klasik lain di abad 19 yang memperjuangkan perdagangan
bebas dan menyebarkan konsep laissez-faire.
5.4.2.2. Kapitalisme
Prinsip dasar masyarakat
kapitalis menurut Adam Smith adalah milik pribadi (private property), motif mencari laba (profit motive), dan persaingan bebas (free competition). Menurut Light, Keller, dan Calhoun, kapitalisme
modern menganut pula asumsi lain yakni penumpukan modal (capital accumulation), penciptaan kekayaan (creation of wealth), dan ekspansionisme.
Giddens membedakan tiga tipe
kapitalisme, yakni kapitalisme keluarga (family
capitalism), kapitalisme managerial (managerial
capitalism), dan kapitalisme institusional (institutional capitalism). Pada kapitalisme keluarga, perusahaan
dikelola oleh seorang atau beberapa pengusaha yang mempunyai hubungan keluarga,
seringkali secara turun-temurun. Lambat laun ini digeser oleh kapitalisme
managerial, di mana keluarga wiraswasta digantikan oleh manajer. Kepentingan
perusahaan ditempatkan di atas kepentingan keluarga. Sedangkan kapitalisme
institusional berkembang setelah makin berkembangnya perusahaan sehingga
jangkauannya meluas ke luar perusahaan dan ke arah penguasaan saham perusahaan lain dan adanya
perkembangan ke arah konglomerasi dan perusahaan transnasional/multinasional
dengan pola kepemimpinan yang mengarah kepada sistem jaringan.
5.4.2.3. Sosialisme
Penderitaan dan ketimpangan
ekonomi serta ketidakadilan sebagai akibat dari industrialisasi dan kapitalisme
melahirkan gerakan sosial di berbagai negara Eropa di abad 19 untuk merombak
masyarakat ke arah persamaan hak dan pembatasan terhadap milik pribadi. Inilah
awal gerakan sosialisme dengan segala variannya.
Di negara-negara sosialis, asas
sosialisme seperti penguasaan alat produksi dan pengaturan distribusi komoditas
oleh negara diterapkan. Pengaturan dilakukan secara terpusat. Tapi pasca
keruntuhan Uni Soviet (berawal dari gerakan pembaruan Perestroika dan Glasnost
yang dilancarkan Gorbachev), sosialisme mulai digeser oleh kapitalisme.
5.4.3. Perusahaan
Multinasional
Perusahaan multinasional adalah
produk dari sistem kapitalisme. Ini juga menjadi perhatian dari sosiologi
ekonomi. Seperti dikatakan Light, Keller, dan Calhoun dalam industri modern
dikenal adanya oligopoli, yakni industri yang didominasi oleh beberapa
perusahaan raksasa yang otomatis menguasai pasar. Kehadiran mereka mempersulit
perusahaan kecil untuk hidup dan berkembang. Dikenal pula apa yang dinamakan
konglomerasi yang terdiri dari perusahan-perusahaan besar. Di Indonesia konglomerasi
itu sudah ada. Perusahaan-perusahaan ini telah menjadi perusahaan global, yang
mempunyai cabang di berbagai negara.
Di pihak lain ada perusahaan
menengah dan kecil yang mengalami kendala modal. Tidak heran kritik dilontarkan
terhadap perusahaan-perusahaan multinasional yang terlalu mendominasi ekonomi
dan keuntungan.
5.5. Institusi
Politik
Sosiologi juga mempunyai kaitan
yang sangat erat dengan proses dan institusi politik. Salah satu cabang
sosiologi ialah sosiologi politik. Institusi politik adalah perangkat aturan
dan status yang mengkhususkan diri pada pelaksanaan kekuasaan dan wewenang
(Kornblum, 1989). Institusi politik terpenting yang kita kenal ialah eksekutif,
legislatif, judikatif, militer, keamanan nasional, dan partai politik. Landasan
bagi sosiologi politik telah diletakkan oleh Karl Marx, Tocqueville, Max Weber,
dan Michels. Pemikiran mereka menjadi pokok bahasan sosiologi politik modern.
5.5.1. Kekuasaan dan
Dominasi
Politik selalu berarti kekuasaan
dan dominasi. Menurut Kornblum (1989) politik menentukan siapa memperoleh apa,
kapan, dan bagaimana. Dasar politik ialah persaingan untuk memiliki kekuasaan.
Weber telah mewariskan kepada kita kajiannya tentang kekuasaan dan dominasi.
Kekuasaan, kata Weber, adalah
kemungkinan untuk memaksakan kehendak terhadap perilaku orang lain (the possibility of imposing one’s will upon
the bahaviour of others). Pemaksaan kehendak itu dilakukan dalam berbagai
bidang kehidupan.
Weber membedakan kekuasan dan
dominasi. Pada dominasi pihak berkuasa mempunyai wewenang sah untuk berkuasa
berdasarkan aturan yang berlaku sehingga pihak yang dikuasai wajib menaati
kehendak penguasa. Ini misalnya pada organisasi yang mengenal atasan-bawahan.
Dominasi memerlukan staf administrasi untuk melaksanakannya, dan administrasi
membutuhkan dominasi. Maka menurut Weber semua administrasi berarti dominasi.
Pada kekuasaan, orang dapat saja
memaksakan kehendaknya pada pihak lain tanpa memiliki wewenang. Pihak yang
dikuasai terpaksa menaati meskipun tidak ada kewajiban baginya untuk taat. Ini
misalnya pada kasus pemerasan dan penodongan.
Dominasi membutuhkan keabsahan
(legitimasi), yakni pengakuan atau pembenaran masyarakat terhadap dominasi agar
penguasa dapat melaksanakan kekuasaannya secara sah. Weber membedakan tiga
jenis dominasi, yakni dominasi karismatik, dominasi tradisional, dan dominasi
legal rasional. Ketiganya merupakan tipe ideal sehingga dalam kenyataan empiris
akan terjadi penggabungan tipe-tipe itu.
Dominasi karismatik: keabsahannya
didasarkan pada kepercayaan bahwa sang pemimpin mempunyai kemampuan luar biasa.
Pemimpin karismatik (Rasul, Nabi, pahlawan) melaksanakan kekuasannya atas dasar
kepercayaan para pengikut bahwa sang pemimpin telah menerima wahyu dari suatu
kekuatan adikodrati, memiliki kekuatan magis, atau sifat kepahlawanan luar
biasa. Jadi, dasar keabsahannya adalah karisma. Hubungan atasan-bawahan
didasarkan pada kepercayaan dan kesetiaan. Pemimpin melaksanakan kekuasaan
bukan atas dasar aturan yang berlaku tapi aturan yang ditetapkannya sendiri.
Dominasi tradisional: pemimpin
melanjutkan tradisi yang telah ditegakkan oleh pemimpin karismatik sebelumnya.
Keabsahan kepemimpinan didasarkan pada tradisi. Administrasi yang mendukungnya
pun administrasi tradisional, di mana para pejabat sering mewarisi jabatan atau
hak untuk menjadi pejabat dari orangtua. Pemimpin karismatik dapat digantikan
puteranya, dan ini bisa menjadi tradisi. Tapi ada pula pemimpin karismatik yang
penggantinya dipilih. Pada umat Katolik ada pemilihan paus. Di Tibet, untuk
menggantikan Dalai Lama dicari bayi yang dianggap memiliki ciri luar biasa.
Dominasi legal-rasional:
kekuasaan didasarkan pada aturan hukum yang disusun untuk maksud itu atas dasar
pertimbangan rasional. Keabsahan pemimpin didasarkan pada hukum. Pemimpin
ditunjuk atau dipilih atas dasar aturan hukum, dan wajib melaksanakan kekuasaan
berdasarkan hukum pula. Administrasi pendukung diatur secara legal rasional
pula. Pejabat harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang mencakup antara lain
pengetahuan, sikap, maupun keterampilan tertentu.
5.5.2. Sosiologi Politik
Sosiologi politik mempelajari
proses politik. Dasar politik ialah persaingan untuk berkuasa, sehingga dengan
mudah mengarah ke konflik yang dapat mengancam keutuhan masyarakat. Itulah
sebabnya ada sosiolog yang memperhatikan topik seperti faktor apa yang
menyebabkan konflik dan konsensus (Lipset, 1963).
Marx Melihat kemungkinan
kombinasi antar konflik dan konsensus. Yang ada adalah masyarakat konflik dan
masyarakat konflik. Konflik hanya dapat diatasi bila masyarakat komunis telah
tercipta karena telah dihapuskannya sumber konflik yakni ketidaksamaan.
Alexis de Tocqueville juga
melihat kemungkinan konflik dan konsesus berjalan bersama-sama. Dia mencemaskan dampak industrialisasi,
birokratisasi dan nasionalisme terhadap sistem politik yang majemuk. Menurut
dia kecenderungan itu akan menghancurkan pusat kekuasaan lokal dan memunculkan
suatu negara kuat yang tidak mengenal konflik karena tidak ada lagi kelompok
yang mampu menghadapinya.
Institusi yang dapat mengimbangi
negara, katanya, adalah pemerintahan lokal yang mandiri, dan LSM. Konsensus di
kalangan anggota LSM dan pemerintahan lokal, serta konflik antar-LSM dan
pemerintahan lokal berlainan akan membatasi kekuasaan pusat, menciptakan pusat
kekuasan untuk menyaingi pemerintah pusat.
Weber dan Michels melihat
hubungan antar birokrasi dan demokrasi. Organisasi sosialis dan kapitalis,
menurut mereka, cenderung untuk menjadi organisasi yang birokratis dan
oligarkis. Menurut Weber, perkemnbangan birokrasi dapat menghambat demokrasi.Sosialisme
akan mengarah semakin kepada penyebaran pengaruh birokrasi ke seluruh
masyarakat, ke diktator para birokrat. Hal yang perlu dipecahkan ialah
bagaimana kita dapat menghambat prose dehumanisasi ini.
Menurut Michels berkembangnya
partai politik dan serikat buruh menjadi organisasi yang besar tidak
memungkinkan para anggota mengendalikannya. Di serikat buruh maupun partai akan
muncul oligarki (= kekuasaan oleh sejumlah kecil orang yang menghendaki jabatan
secara terus-menerus, bukan untuk suatu masa jabatan terbatas”).
No comments:
Post a Comment
Silahkan baca dan share