SOSIO-RELIGIA, Vol. 4 No. 4, Agustus 2005
Sejarah dan Problematika Hukum Pidana Materiel di Indonesia
Oleh: Ahmad Bahiej*
Abstrak
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih diberlakukan di Indonesia saat ini merupakan salah satu dari sekian ratus peraturan hukum warisan kolonial Belanda. KUHP ini mulai diberlakukan secara resmi di Indonesia sejak tanggal 1 Januari 1918. Namun sebelum KUHP itu diberlakukan sebenarnya bangsa Indonesia telah mengenal aturan hukum pidana dalam kehidupan hukum adatnya. Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang pernah menduduki Indonesia pada tahun 1602-1799 dan masa kolonial sebelum 1918 pun pernah memberlakukan hukum pidananya. Perjalanan historis hukum pidana materiel di Indonesia tersebut membawa dinamika dan problematika tersendiri yang diharapkan dapat dijadiklan pijakan dalam pembaharuan hukum pidana materiel saat ini. Kata kunci: KUHP, sejarah KUHP, problematika hukum pidana A. Pendahuluan Sebagai hukum yang bersifat publik, hukum pidana menemukan arti pentingnya dalam wacana hukum di Indonesia. Bagaimana tidak, di dalam hukum pidana itu terkandung aturan-aturan yang menentukan perbuatanperbuatan yang tidak boleh dilakukan dengan disertai ancaman berupa pidana (nestapa) dan menentukan syarat-syarat pidana dapat dijatuhkan.1 Sifat publik yang dimiliki hukum pidana menjadikan konsekuensi bahwa hukum pidana itu bersifat nasional. Dengan demikian, maka hukum pidana Indonesia diberlakukan ke seluruh wilayah negara Indonesia. Di samping itu, mengingat materi hukum pidana yang sarat dengan nilai-nilai kemanusian mengakibatkan hukum pidana seringkali digambarkan sebagai pedang yang bermata dua. Satu sisi hukum pidana bertujuan menegakkan nilai kemanusiaan, namun di sisi yang lain penegakan hukum pidana justru memberikan sanksi kenestapaan bagi manusia yang melanggarnya. Oleh karena itulah kemudian pembahasan mengenai materi hukum pidana dilakukan dengan ekstra hati-hati, yaitu dengan memperhatikan konteks masyarakat di mana hukum pidana itu
*
Dosen Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga Yogyakarta dan mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Sekolah
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
1 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), p. 1.
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
2 diberlakukan dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. Persoalan kesesuaian antara hukum pidana dengan masyarakat di mana hukum pidana tersebut diberlakukan menjadi salah satu prasyarat baik atau tidaknya hukum pidana. Artinya, hukum pidana dianggap baik jika memenuhi dan berkesesuaian dengan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat. Sebaliknya, hukum pidana dianggap buruk jika telah usang dan tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat. Untuk menyongsong pembaharuan hukum pidana materiel Indonesia (RUU KUHP), artikel ini akan menyoroti sejarah perjalanan hukum pidana Indonesia (KUHP) dari masa ke masa. Dengan sorotan historis semacam ini, diharapkan beberapa problematika yang muncul selama berlakunya KUHP (baca: Wetboek van Strafrecht) dapat tercover dan menjadi bahan pijakan bagi pembaharuan hukum pidana materiel Indonesia. B. Sejarah Pemberlakuan Hukum Pidana di Indonesia 1. Masa Sebelum Penjajahan Belanda Sebelum kedatangan bangsa Belanda yang dimulai oleh Vasco da Gamma pada tahun 1596, orang Indonesia telah mengenal dan memberlakukan hukum pidana adat. Hukum pidana adat yang mayoritas tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti hanya diberlakukan di wilayah adat tertentu. Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam antara hukum pidana dengan hukum perdata (privaat).2 Pemisahan yang tegas antara hukum perdata yang bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat publik bersumber dari sistem Eropa yang kemudian berkembang di Indonesia.3 Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat ditentukan oleh aturan-aturan yang diwariskan secara turun-temurun dan bercampur menjadi satu. Di beberapa wilayah tertentu, hukum adat sangat kental dengan agama yang dijadikan agama resmi atau secara mayoritas dianut oleh masyarakatnya. Sebagai contoh, hukum pidana adat Aceh, Palembang, dan Ujung Pandang yang sangat kental dengan nilai-nilai hukum Islamnya.
2 Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
(Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), p. 43.
3 Pemisahan tegas antara hukum perdata dan hukum pidana ini dikenal juga dalam
hukum Islam, yaitu adanya muamalah dan jinayah.
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
3 Begitu juga hukum pidana adat Bali yang sangat terpengaruh oleh ajaranajaran Hindu.4 Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya hukum pidana adat tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana ini dijaga secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan, dan kadang-kadang pelaksanaan hukum pidana di wilayah yang bersangkutan. Namun, di beberapa wilayah adat di Nusantara, hukum adat yang terjaga ini telah diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dibaca oleh khalayak umum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang berisi hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana adat Sumatera Selatan,5 dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat Bali.6 2. Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda a. Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Tahun 1602- 1799 Masa pemberlakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa Belanda datang ke wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya beberapa peraturan pidana oleh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC sebenarnya adalah kongsi dagang Belanda yang diberikan “kekuasaaan wilayah” di Nusantara oleh pemerintah Belanda. Hak keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten General yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang. Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa VOC memperluas dareah jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam usahanya untuk memperbesar keuntungan, VOC memaksakan aturanaturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi. Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk plakaat, tetapi pengumuman itu tidak tidak disimpan dalam arsip. Sesudah
4 Dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Pembinaan Hukum
Nasional (LPHN), tentang "Pengaruh Agama terhadap Hukum Pidana", beberapa
hukum adat di wilayah Nusantara masih terkait dengan agama yang dianut mayoritas
masyarakat adatnya. Selanjutnya lihat LPHN, Pengaruh Agama terhadap Hukum Pidana,
Laporan Penelitian, (Jakarta: LPHN, 1973) dan BPHN, Simposium Pengaruh
Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana, (Bandung: Bina Cipta, 1973).
5 Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, (Bandung: Alumni, 1989).
6 I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, (Bandung: Eresco, 1993),
p. 14.
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
4 diumumkan, plakaat peraturan itu kemudian dilepas tanpa disimpan sehingga tidak dapat diketahui peraturan mana yang masih berlaku dan yang sudah tidak berlaku lagi. Keadaan demikian menimbulkan keinginan VOC untuk mengumpulkan kembali peraturan-peraturan itu. Kumpulan peraturan-peraturan itu disebut sebagai Statuten van Batavia (Statuta Betawi) yang dibuat pada tahun 1642.7 Pada tahun 1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan Statuta Batavia Baru. Statuta itu berlaku sebagai hukum positif baik bagi orang pribumi maupun bagi orang asing, dengan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan peraturan-peraturan lain. Walaupun statuta tersebut berisi kumpulan peraturan-peraturan, namun belum dapat disebut sebagai kodifikasi hukum karena belum tersusun secara sistematis. Dalam perkembangannya, salah seorang gubernur jenderal VOC, yaitu Pieter Both juga diberikan kewenangan untuk memutuskan perkara pidana yang terjadi di peradilan-peradilan adat.8 Alasan VOC mencampuri urusan peradilan pidana adat ini disebabkan beberapa hal, antara lain: i) sistem pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana adat tidak memadai untuk dapat memaksakan kepada penduduknya agar mentaati peraturanperaturan; ii) sistem peradilan pidana adat terkadang tidak mampu menyelesaikan perkara pidana yang terjadi karena permasalahan alat bukti; dan iii) adanya perbedaan pemahaman mengenai kejahatan dan pelanggaran antara hukum pidana adat dengan hukum pidana yang dibawa VOC. Sebagai contoh adalah suatu perbuatan yang menurut hukum pidana adat bukanlah dianggap sebagai kejahatan, namun menurut pendapat VOC perbuatan tersebut dianggap kejahatan, sehingga perlu dipidana yang setimpal.9 Bentuk campur tangan VOC dalam hukum pidana adat adalah terbentuknya Pepakem Cirebon yang digunakan para hakim dalam peradilan pidana adat. Pepakem Cirebon itu berisi antara lain mengenai sistem pemidanaan seperti pemukulan, cap bakar, dirantai, dan lain sebagainya. Pada tahun 1750 VOC juga menghimpun dan mengeluarkan Kitab Hukum Muchtaraer yang berisi himpunan hukum pidana Islam.10 Pada tanggal 31 Desember 1799, Vereenigde Oost Indische Compagnie dibubarkan oleh pemerintah Belanda dan pendudukan wilayah Nusantara digantikan oleh Inggris. Gubernur Jenderal Raflles yang dianggap sebagai gubernur jenderal terbesar dalam sejarah koloni Inggris di Nusantara tidak
7 Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana…, p. 43. Lihat juga J. B. Daliyo,
Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Prenhalindo, 2001), p. 14.
8 J. B. Daliyo, Pengantar ..., p. 13.
9 Kanter dan Sianturi, Asas-asas ..., p. 43
10 Ibid., p. 44.
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
5 mengadakan perubahan-perubahan terhadap hukum yang telah berlaku. Dia bahkan dianggap sangat menghormati hukum adat. b. Masa Besluiten Regering (Tahun 1814-1855) Setelah Inggris meninggalkan Nusantara pada tahun 1810, Belanda menduduki kembali wilayah Nusantara. Pada masa ini, peraturan terhadap koloni diserahkan kepada raja sepenuhnya sebagai penguasa mutlak, bukan kepada kongsi dagang sebagaimana terjadi pada masa VOC. Dengan dasar Besluiten Regering, yaitu berdasarkan Pasal 36 UUD Negeri Belanda, raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerahdaerah jajahan. Dengan demikian ngara Belanda pada masa itu menggunakan sistem pemerintahan monarkhi konstitusional. Raja berkuasa mutlak, namun kekuasaannya diatur dalam sebuah konstitusi. Untuk mengimplementasikannya, raja kemudian mengangkat komisaris jenderal yang ditugaskan untuk melaksanakan pemerintahan di Netherlands Indie (Hindia Belanda). Mereka adalah Elout, Buyskes, dan Van dr Capellen. Mereka tetap memberlakukan peraturan-peraturan yang yang berlaku pada masa Inggris dan tidak mengadakan perubahan peraturan karena menunggu terbentuknya kodifikasi hukum. Dalam usaha untuk mengisi kekosongan kas negara, maka Gubernur Jendral Du bus de Gisignes menerapkan politik agraria dengan cara napi yang sedang menjalani hukuman dipaksakan untuk kerja paksa (dwang arbeid).11 Dengan adanya keterangan ini maka praktis masa Besluiten Regering (BR) tidak memberlakukan hukum pidana baru. Namun demikian, beberapa peraturan perundang-undangan di luar hukum pidana ditetapkan pada masa ini, seperti Reglement op de Rechtilijke Organisatie (RO) atau Peraturan Organisasi Pengadilan (POP), Algemen Bepalingen van Wetgeving (AB) atau Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-undangan, Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Wetboek van Koopenhandel (WvK) atau Kitab Undang-undang Hukum Dagang, dan Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (RV) atau Peraturan tentang Acara Perdata. c. Masa Regering Reglement (1855-1926) Masa Regering Reglement dimulai karena adanya perubahan sistem pemerintahan di negara Belanda, dari monarkhi konstitusional menjadi monarkhi parlementer. Perubahan ini terjadi pada tahun 1848 dengan adanya perubahan dalam Grond Wet (UUD) Belanda. Perubahan ini
11 Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana…, p. 44. Lihat juga J. B. Daliyo,
Pengantar..., p. 15.
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
6 mengakibatkan terjadinya pengurangan kekuasaan raja, karena parlemen (Staten Generaal) mulai campur tangan dalam pemerintahan dan prundangundangan di wilayah jajahan negara Belanda. Perubahan penting ini adalah dicantumkannya Pasal 59 ayat (1), (2), dan (4) yang berisi bahwa “Raja
Sejarah dan Problematika Hukum Pidana Materiel di Indonesia
Oleh: Ahmad Bahiej*
Abstrak
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih diberlakukan di Indonesia saat ini merupakan salah satu dari sekian ratus peraturan hukum warisan kolonial Belanda. KUHP ini mulai diberlakukan secara resmi di Indonesia sejak tanggal 1 Januari 1918. Namun sebelum KUHP itu diberlakukan sebenarnya bangsa Indonesia telah mengenal aturan hukum pidana dalam kehidupan hukum adatnya. Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang pernah menduduki Indonesia pada tahun 1602-1799 dan masa kolonial sebelum 1918 pun pernah memberlakukan hukum pidananya. Perjalanan historis hukum pidana materiel di Indonesia tersebut membawa dinamika dan problematika tersendiri yang diharapkan dapat dijadiklan pijakan dalam pembaharuan hukum pidana materiel saat ini. Kata kunci: KUHP, sejarah KUHP, problematika hukum pidana A. Pendahuluan Sebagai hukum yang bersifat publik, hukum pidana menemukan arti pentingnya dalam wacana hukum di Indonesia. Bagaimana tidak, di dalam hukum pidana itu terkandung aturan-aturan yang menentukan perbuatanperbuatan yang tidak boleh dilakukan dengan disertai ancaman berupa pidana (nestapa) dan menentukan syarat-syarat pidana dapat dijatuhkan.1 Sifat publik yang dimiliki hukum pidana menjadikan konsekuensi bahwa hukum pidana itu bersifat nasional. Dengan demikian, maka hukum pidana Indonesia diberlakukan ke seluruh wilayah negara Indonesia. Di samping itu, mengingat materi hukum pidana yang sarat dengan nilai-nilai kemanusian mengakibatkan hukum pidana seringkali digambarkan sebagai pedang yang bermata dua. Satu sisi hukum pidana bertujuan menegakkan nilai kemanusiaan, namun di sisi yang lain penegakan hukum pidana justru memberikan sanksi kenestapaan bagi manusia yang melanggarnya. Oleh karena itulah kemudian pembahasan mengenai materi hukum pidana dilakukan dengan ekstra hati-hati, yaitu dengan memperhatikan konteks masyarakat di mana hukum pidana itu
*
Dosen Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga Yogyakarta dan mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Sekolah
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
1 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), p. 1.
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
2 diberlakukan dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. Persoalan kesesuaian antara hukum pidana dengan masyarakat di mana hukum pidana tersebut diberlakukan menjadi salah satu prasyarat baik atau tidaknya hukum pidana. Artinya, hukum pidana dianggap baik jika memenuhi dan berkesesuaian dengan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat. Sebaliknya, hukum pidana dianggap buruk jika telah usang dan tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat. Untuk menyongsong pembaharuan hukum pidana materiel Indonesia (RUU KUHP), artikel ini akan menyoroti sejarah perjalanan hukum pidana Indonesia (KUHP) dari masa ke masa. Dengan sorotan historis semacam ini, diharapkan beberapa problematika yang muncul selama berlakunya KUHP (baca: Wetboek van Strafrecht) dapat tercover dan menjadi bahan pijakan bagi pembaharuan hukum pidana materiel Indonesia. B. Sejarah Pemberlakuan Hukum Pidana di Indonesia 1. Masa Sebelum Penjajahan Belanda Sebelum kedatangan bangsa Belanda yang dimulai oleh Vasco da Gamma pada tahun 1596, orang Indonesia telah mengenal dan memberlakukan hukum pidana adat. Hukum pidana adat yang mayoritas tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti hanya diberlakukan di wilayah adat tertentu. Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam antara hukum pidana dengan hukum perdata (privaat).2 Pemisahan yang tegas antara hukum perdata yang bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat publik bersumber dari sistem Eropa yang kemudian berkembang di Indonesia.3 Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat ditentukan oleh aturan-aturan yang diwariskan secara turun-temurun dan bercampur menjadi satu. Di beberapa wilayah tertentu, hukum adat sangat kental dengan agama yang dijadikan agama resmi atau secara mayoritas dianut oleh masyarakatnya. Sebagai contoh, hukum pidana adat Aceh, Palembang, dan Ujung Pandang yang sangat kental dengan nilai-nilai hukum Islamnya.
2 Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
(Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), p. 43.
3 Pemisahan tegas antara hukum perdata dan hukum pidana ini dikenal juga dalam
hukum Islam, yaitu adanya muamalah dan jinayah.
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
3 Begitu juga hukum pidana adat Bali yang sangat terpengaruh oleh ajaranajaran Hindu.4 Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya hukum pidana adat tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana ini dijaga secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan, dan kadang-kadang pelaksanaan hukum pidana di wilayah yang bersangkutan. Namun, di beberapa wilayah adat di Nusantara, hukum adat yang terjaga ini telah diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dibaca oleh khalayak umum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang berisi hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana adat Sumatera Selatan,5 dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat Bali.6 2. Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda a. Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Tahun 1602- 1799 Masa pemberlakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa Belanda datang ke wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya beberapa peraturan pidana oleh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC sebenarnya adalah kongsi dagang Belanda yang diberikan “kekuasaaan wilayah” di Nusantara oleh pemerintah Belanda. Hak keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten General yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang. Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa VOC memperluas dareah jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam usahanya untuk memperbesar keuntungan, VOC memaksakan aturanaturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi. Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk plakaat, tetapi pengumuman itu tidak tidak disimpan dalam arsip. Sesudah
4 Dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Pembinaan Hukum
Nasional (LPHN), tentang "Pengaruh Agama terhadap Hukum Pidana", beberapa
hukum adat di wilayah Nusantara masih terkait dengan agama yang dianut mayoritas
masyarakat adatnya. Selanjutnya lihat LPHN, Pengaruh Agama terhadap Hukum Pidana,
Laporan Penelitian, (Jakarta: LPHN, 1973) dan BPHN, Simposium Pengaruh
Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana, (Bandung: Bina Cipta, 1973).
5 Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, (Bandung: Alumni, 1989).
6 I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, (Bandung: Eresco, 1993),
p. 14.
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
4 diumumkan, plakaat peraturan itu kemudian dilepas tanpa disimpan sehingga tidak dapat diketahui peraturan mana yang masih berlaku dan yang sudah tidak berlaku lagi. Keadaan demikian menimbulkan keinginan VOC untuk mengumpulkan kembali peraturan-peraturan itu. Kumpulan peraturan-peraturan itu disebut sebagai Statuten van Batavia (Statuta Betawi) yang dibuat pada tahun 1642.7 Pada tahun 1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan Statuta Batavia Baru. Statuta itu berlaku sebagai hukum positif baik bagi orang pribumi maupun bagi orang asing, dengan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan peraturan-peraturan lain. Walaupun statuta tersebut berisi kumpulan peraturan-peraturan, namun belum dapat disebut sebagai kodifikasi hukum karena belum tersusun secara sistematis. Dalam perkembangannya, salah seorang gubernur jenderal VOC, yaitu Pieter Both juga diberikan kewenangan untuk memutuskan perkara pidana yang terjadi di peradilan-peradilan adat.8 Alasan VOC mencampuri urusan peradilan pidana adat ini disebabkan beberapa hal, antara lain: i) sistem pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana adat tidak memadai untuk dapat memaksakan kepada penduduknya agar mentaati peraturanperaturan; ii) sistem peradilan pidana adat terkadang tidak mampu menyelesaikan perkara pidana yang terjadi karena permasalahan alat bukti; dan iii) adanya perbedaan pemahaman mengenai kejahatan dan pelanggaran antara hukum pidana adat dengan hukum pidana yang dibawa VOC. Sebagai contoh adalah suatu perbuatan yang menurut hukum pidana adat bukanlah dianggap sebagai kejahatan, namun menurut pendapat VOC perbuatan tersebut dianggap kejahatan, sehingga perlu dipidana yang setimpal.9 Bentuk campur tangan VOC dalam hukum pidana adat adalah terbentuknya Pepakem Cirebon yang digunakan para hakim dalam peradilan pidana adat. Pepakem Cirebon itu berisi antara lain mengenai sistem pemidanaan seperti pemukulan, cap bakar, dirantai, dan lain sebagainya. Pada tahun 1750 VOC juga menghimpun dan mengeluarkan Kitab Hukum Muchtaraer yang berisi himpunan hukum pidana Islam.10 Pada tanggal 31 Desember 1799, Vereenigde Oost Indische Compagnie dibubarkan oleh pemerintah Belanda dan pendudukan wilayah Nusantara digantikan oleh Inggris. Gubernur Jenderal Raflles yang dianggap sebagai gubernur jenderal terbesar dalam sejarah koloni Inggris di Nusantara tidak
7 Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana…, p. 43. Lihat juga J. B. Daliyo,
Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Prenhalindo, 2001), p. 14.
8 J. B. Daliyo, Pengantar ..., p. 13.
9 Kanter dan Sianturi, Asas-asas ..., p. 43
10 Ibid., p. 44.
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
5 mengadakan perubahan-perubahan terhadap hukum yang telah berlaku. Dia bahkan dianggap sangat menghormati hukum adat. b. Masa Besluiten Regering (Tahun 1814-1855) Setelah Inggris meninggalkan Nusantara pada tahun 1810, Belanda menduduki kembali wilayah Nusantara. Pada masa ini, peraturan terhadap koloni diserahkan kepada raja sepenuhnya sebagai penguasa mutlak, bukan kepada kongsi dagang sebagaimana terjadi pada masa VOC. Dengan dasar Besluiten Regering, yaitu berdasarkan Pasal 36 UUD Negeri Belanda, raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerahdaerah jajahan. Dengan demikian ngara Belanda pada masa itu menggunakan sistem pemerintahan monarkhi konstitusional. Raja berkuasa mutlak, namun kekuasaannya diatur dalam sebuah konstitusi. Untuk mengimplementasikannya, raja kemudian mengangkat komisaris jenderal yang ditugaskan untuk melaksanakan pemerintahan di Netherlands Indie (Hindia Belanda). Mereka adalah Elout, Buyskes, dan Van dr Capellen. Mereka tetap memberlakukan peraturan-peraturan yang yang berlaku pada masa Inggris dan tidak mengadakan perubahan peraturan karena menunggu terbentuknya kodifikasi hukum. Dalam usaha untuk mengisi kekosongan kas negara, maka Gubernur Jendral Du bus de Gisignes menerapkan politik agraria dengan cara napi yang sedang menjalani hukuman dipaksakan untuk kerja paksa (dwang arbeid).11 Dengan adanya keterangan ini maka praktis masa Besluiten Regering (BR) tidak memberlakukan hukum pidana baru. Namun demikian, beberapa peraturan perundang-undangan di luar hukum pidana ditetapkan pada masa ini, seperti Reglement op de Rechtilijke Organisatie (RO) atau Peraturan Organisasi Pengadilan (POP), Algemen Bepalingen van Wetgeving (AB) atau Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-undangan, Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Wetboek van Koopenhandel (WvK) atau Kitab Undang-undang Hukum Dagang, dan Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (RV) atau Peraturan tentang Acara Perdata. c. Masa Regering Reglement (1855-1926) Masa Regering Reglement dimulai karena adanya perubahan sistem pemerintahan di negara Belanda, dari monarkhi konstitusional menjadi monarkhi parlementer. Perubahan ini terjadi pada tahun 1848 dengan adanya perubahan dalam Grond Wet (UUD) Belanda. Perubahan ini
11 Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana…, p. 44. Lihat juga J. B. Daliyo,
Pengantar..., p. 15.
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
6 mengakibatkan terjadinya pengurangan kekuasaan raja, karena parlemen (Staten Generaal) mulai campur tangan dalam pemerintahan dan prundangundangan di wilayah jajahan negara Belanda. Perubahan penting ini adalah dicantumkannya Pasal 59 ayat (1), (2), dan (4) yang berisi bahwa “Raja