Home About
JIKA ADA YANG DITANYAKAN ATAU DATA YANG KALIAN BUTUHKAN, SILAHKAN BERKOMENTAR PADA MATERI TERSEBUT...TERIMAKASIH

Wednesday, 9 October 2013

Konteks Komunikasi Politik



Setelah perang dunia I, Chaeles E. Merriam, yang sering dijuluki sebagai Bapak Ilmu Politik Modern, meninggalkan tugasnya sebagai profesor dan bekerja sebagai birokrat di Bagian Penerangan Amerika. Dari pengalamannya di lapangan, ia menarik perhatian ilmuan pada masalah pendapat umum, propaganda dan komunikasi. Salah seorang mahasiswa tertarik pada propaganda dan menyusun disertasinya tentang teknik-teknik propaganda pada Perang Dunia I. Dr. Lasswell, penulis disertasi ini, kemudian terkenal bukan saja hanya sebagai perintis peneliti propaganda, tetapi juga sebagai pelopor penelitian propaganda, tetapi juga sebagai pelopor penelitian komunikasi politik. Wilbur Schramm (1980) bahkan memasukkannya sebagai salah seorang di antara “fathers of our field” – Bapak Ilmu Komuniaksi. Dan Nomm (1981) menegaskan bahwa: “political communication as a field of inquiry is cross disciplinary.” Setiap disiplin ilmu menyumbangkan fokus telaah yang kemudian menjadi pokok bahasan dalam komunikasi politik. Antropologi dan sosiologi yang mempelajari sosiolinguistik  dan simbolisme memberikan dasar untuk studi bahasa politik: pskologi dan psikologi sosial memberikan landasan untuk studi efek pesan politik, konstruk politik, dan sosialisasi politik; retorika menyediakan metode hitoris, kritis dan kuantitatis untuk menganalisis retorika politik; sibernetika memberikan pendekatan sistem untuk memandang komunikasi politik secara holistik; dan filsafat eksistensialisme dan fenomenololgi melahirkan teori kritis dalam komu ikasi politik.
 
Fagen mendefinisikan komunikasi politik sebagai “communicatory activity considered political by virtue of its consequences, actula and potential, that is has for the functioning of political system” (Fagen, 1966:20). Definisi ini kemudian dikritik oleh Meadow karena “all encompassing”. Akan tetapi definisi Meadow juga masih meluas. Menurut Meadow, “political communication refers to any exchange of symbols or message that to a significant extent have been shaped by or have consequence for the polotical system” (1980:4). Sambil menunjukkan bahwa banyak aspek kehidupan politik dapat dianalisis secara komunikasi. Nimmo mendefinisikan komunikasi politik sebagai “communication (actifity) consideral political by virtue of its consequences (actual or potential) which regilated human conduct under the condition of conflict” (Nimmo, 1978:7 lihat halaman 23). Dalam buku ini Nimmo menyebutkan cakupan komuniksai politik yang terdiri dari komunikator politik, pesan politik, persuasi politik, media komunikasi politik, khalayak poltik dan akibat-akibat komunikasi politik.

Penelitian tentang komunikasi politik telah berkembang dari kira-kira sejumlah 1000 buah pada tahun 1972  menjadi hampir tidak terkatalogkan pada waktu ini. Berbagai teknik penelitian komunikasi telah dikembangkan dan digunakan dalam penelitian komunikasi politik. hasil-hasil penelitina ini secara teratur dilaporkan dalam Political Communication Review, Political Communication Propaganda, jurnal tiga bulanan, juga menerbitkan hasil penelitian, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. American Politic Science Association banyak menerbitkan artikel yang dimaksud untuk pengajaran komunikasi politik diperguruan tinggi. Dari segi aplikasinya, sudah lama komunikasi ditelaah untuk tujuan kampanye pilitik pemilu dan masalah lain yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan politik. Dan diskusi-diskusi komuniaksi politik tidak lagi terbatas di Amerika, tetapi mulai tersebar ke negara lainnya, terutama Eropa. Komuniaksi politik bukan saja cross-disciplinary tetapi juga cross-national.
 
Sebagai disiplin yang mandiri, komunikasi politik baru hadir pada tahun 1960-an. Peneliti-peneliti komunikasi secara tradisional memang tidak punya basis yang kuat. Di universitas, komuniaksi umum bergabung dengan studi-studi humaniora yang “gaya” penelitiannya sama sekali berbeda dari penelitian komuniksi yang lazim seperti di Amerika Serikat. Ilmu politik sendiri baru mencapai statusnya yang penuh sebagai disiplin ilmu pada tahun 1950-an di Jerman dan akhir 1950-an di Prancis dan Italia. Penelitian komunikasi politik yang pertama berkenan dengan kampanye politik dan pemilihan umum. Hasil-hasil kampanye diukur dengan meneliti opini publik lewat survai sikap. Karena latar belakang sejarah ini, komunikasi di Eropa sangat didominasi oleh penelitian opini public. Pada tahun 1957 Hernis menerbitkan Meningsforschung Unrepresentative Demokratie, disusul oleh hebermas yang menulis Strukturwandel der offentichkeit pada tahun 1962. Yang disebut terakhir kemudian terkenal sebagai tokoh teori kritis merupakan reaksi terhadap pendekatan empiris yang mengagungkan positivissme dan metode kuantitatif. Pada pendekatan teori kritis, pesan-pesan komunikasi tidak bisa dipisahkan dari komunitas komunikasi yang menjadi sumber legitimasi dan autentisitas.

Teori dan model dasar komunikasi politik
Dari paradigma komunikasi politik yang telah dijelaskan di muka, dapat diturunkan beberapa teori dasar dan beberapa model dasar yang telah dikenal lama. Teori-teori tersebut juga telah lama diaplikasikan dalam kegiatan komunikasi politik. Pada dasarnya teori-teori tersebut berbeda satu dengan lainnya karena memang bersumber dari erspektif atau paradigma komunikasi yang berbeda. berdasarkan ketiga paradigma komunikasi politik yang diuraikan di muka, dapat juga dikemukakan empat teori dasar yang dapat digunakan dalam aplikasi komuniksi politik, yaitu;  1. Teori jarum hipodermik 2. Teori khalayak kepala batu 3. Teori informasi dan teori non verbal

1.      Teori jarum hipodermik (Hypodermic needle Theory) Wilbur Schramm (1950), Everett M. Rogers dan Shoemaker
Komunikasi politik berlangsung dalam sebuah proses seperti “ban berjalan” secara mekanis dengan unsur-unsur yang jelas, yaitu: sumber (komunikator), pesan (komunike), slauran (media), penerima (khalayak) dan umpan balik (efek). Artinya sumber mengirim pesan ke penerima melalui saluran tertentu dan menimbulkan akibat atau efek. Berdasarkan “hukum peliput” dapat dibuat prediksi yang bersyarat, yaitu jika ada (pesan tertentu), maka akan ada efek tertentu (pada penerima). Itulah sebabnya dalam model mekanistis, studi komunikasi politik difokuskan pada efek. Berdasarkan paradigma mekanistis dan unsur-unsur yang terkandung dalam proses komunikasi tersebut, secara sederhana Lasswell merumuskan dalam sebuah formula, “siapa berkata apa, melalui saluran apa, kepada siapa dan bagaimana efeknya?” (who say what, in which cnannel, to whom with what effect?) Kemudian formula Lasswell tersebut oleh Nimmo (1992) dijadikan sebagai dasar menganalisis komunikasi politik.

Paradigma mekanistis tersebut menghasilkan dua asumsi dasar:
Pertama, penerima (komunikasn) atau khalayak pasif atau tidak berdaya ketika menerima pesan dari komuniktor. Artinya komunikator dengan mudah memengaruhi komunikan atau khalayak.
Kedua, media massa sangat perkasa dan bahkan kekuatannya mendekati gaib. Artinya semua pesan yang disalurkan oleh media massa dengan mudah memengaruhi khalayak. Bahkan, oleh McLuhan (1964) menyebut bahwa media itu sendiri adalah pesan (the medium is the message). Khalayak yang tak berdaya itu sering disebut khalayak pasif.
Konsep khalayak tak berdaya atau khalayak pasif dan asumsi media perkasa dari paradigma mekanistis itu, dengan mudah dikenal melalui berbagai literatur yang memuat teori dasar dengan nama yang berbeda seperti hypodermik needle theory (teori jarum hipodermik) dan bullet theory of communication (teori peluru).

Berdasarkan teori tersebut, komunikator politik (politics, profesional dan aktifis) selalu memandang bahwa pesan politik apapun yang disampaikan pada khalayak, apalagi melalui media massa, pasti menimbulkan efek yang positif berupa cara yang baik, penerimaan atau dukungan. Itulah sebabnya kegiatan komunikasi politik banyak dilakukan melaui pidato pada rapat umum atau media massa.
Ternyata asumsi tersebut tidak benar seluruhnya, karena efek sangat tergantung kepada situasi dan kondisi khalayak, disamping daya tarik isi, dan kredibilitas komuikator. Bahkan berbagai hasil penelitian membuktikan bahwa media massa memiliki pengaruh lebih dominan dalam tingkat kognitif (pengetahuan) saja, tetapi kurang mampu menembus pengaruh pada sikap dan prilaku. Wilbur Schramm sendiri setelah 20tahun mencetuskan teorinya di atas, akhirnya menyanggahnya sendiri karena berdsarkan penelitian para pakar psikologi dan sosiologi, ditemukan bahwa sesungguhnya khalayak itu tidak pasif dalam penerimaan pesan.

Tiap-tiap individu ternyata sangat aktif dalam menyaring menyeleksi, dan bahkan memiliki daya tangkal atau daya serap terhadap semua pengaruh yang berasal dari luar dirinya. Tiap-tiap individu itu tidak mengalami pengaruh secara pasif, melainkan secara aktif. Jiwa individu sendiri memiliki potensi dinamis dalam mewujudkan sikap dan kelakuannya. Dengan demikian asumsi bahwa khalayak pasif dan media perkasa, tidak terbukti secara empirik. Meskipun demikian, “teori jarum hipodermik” tidak runtuh sama sekali karena tetap dapat diaplikasikan atau digunakan untuk menciptakan efektifitas dalam komunikasi politik. Teori jarum hipodermik atau teori peluru dan teori transmisi selanjutnya oleh para pakar digambarkan pula dalam bentuk model, itulah sebabnya teori-teori tersebut dilukiskan sebagai model linier dalam komunikasi politik yang berkembang dalam masyarakat, terutama yang menganut sistem politik otoritarian. Model linear hanya berlangsung satu arah, yaitu dari sumber (komunikator) kepada penerima (khalayak) hal itu ditentukan dalam paradigma mekanistis.

2.      Teori khalayak kepala batu (The Obstinate Audience Theory) L. A Richard (1936), Raymond Bauer (1964), Schramm & Robert (1977)
Dengan gugurnya asumsi khalayak tidak berdaya atau khalayak pasif dan media perkasa seperti teori jarum hipodermik, berkembanglah sebuah asumsi baru, bahwa khalayak justru aktif dan sangat berdaya dan sama sekali tidak pasif dalam proses komunikasi politik. Bahkan, khalayak memiliki daya tangkal dan daya serap terhadap semua rangsangan yang menyentuhnya. Dalam hal itu para pakar termasuk Wilbur Schramm dan Roberts (1977:354) mengokersi teorinya dan mengakui adanya teori baru yang dikenal dengan nama “teori khalayak kepala batu” (the obstinate audience theori). Teori ini merupakan bentuk penjabaran dari perspektif atau paradigma psikologis dalam komunikasi yang telah dipaparkan di muka.

Teori khalayak kepala batu itu dikembagkan oleh pakar psikologi-Raymond Bauer (1964). Bahkan, telah diperkenalkan oleh I.A Richards  sejak 1936 dan telah diamalkan atau dipublikasikan oleh ahli retorika pada zaman Yunani dan Romawi 200 tahun yang lalu. Raymond Bauer mengkritik potret khalayak sebagai robot yang pasif. Khalayak hanya bersedia menguikuti pesan, bila pesan itu memberi keuntungan atau memenuhi kepentingan dan kebutuhan khalayak. Komunikasi tidak lagi bersifat linear tetapi merupakan transaksi. Media massa memang berpengaruh, tetapi pengaruh itu disaring, diseleksi, dan diterima atau ditolak oleh filter konseptual atau faktor-faktor personal yang mepengaruhi reaksi mereka.

Dengan teori khalayak kepala batu itu, fokus penelitian bergeser dari komunikator kepada komunikan atau khalayak. Para pakar, terutama pakar psikologi maupun sosiologi mencurahkan perhatian kepada faktor individu. Mereka mengkaji faktor-faktor yang membuat individu ini mau menerima pesan-pesan komunikasi. Salah satu di antaranya adalah lahinya teori “model guna dan kepuasan (uses and grafititations theory). Model ini dibangung dengan asumsi dasar bahwa manusia adalah makhluk yang sangat rasional dan sangat aktif, dinamis dan selektif terhadap semua pengaruh dari luar dirinya.

Pada dasarnya teori khalayak kepala batu dan teori use and grafititations serta teori lainnya dan model yang sejenis dapat dimasukkan ke dalam kelompok besar perspektif atau paradigma psikologis dari komunikasi politik. Meskipun individu menerima pesan karena kegunaan atau karena untuk memenuhi kepuasan dirinya berdasarkan perbedaan individu, kategori sosial atau hubungan sosial, namun yang terpenting dalam perspektif psikologis ini ialah semua pesan politik itu diolah secara internal pada diri individu. Dengan demikian komunikasi politik dalam perspektif ini berlangsung secara internal dalam diri individu, yang juga dikenal dengan nama komunikasi intrapersona. Teori kepala batu ini sangat penting menjadi kerangka acuan dalam melaksanakan komunikasi politik di negara demokrasi. Itulah sebabnya di negara-negara demorasi kegiatan public relations tumbuh dan berkembang. Teori ini mengasumsikan bahwa (1) setiap individu mempunyai kemampuan untuk menyeleksi, menyaring dalam menerima informasi; (2) khalayak justru sangat berdaya dan sama sekali tidak pasif dalam proses komunikasi politik. Khalayak memiliki daya tangkal dan daya serap terhadap semua terpaan pesan kepada mereka.

3.      Teori Informasi dan Nonverbal
Sejumlah pakar ilmu komunikasi telah mengembangkan teori informasi yang banyak digunakan dalam kegiatan komunikasi politik. Teori informasi (dan teori sistem sosial) telah digunakan oleh B. Aubrey Fisher (1990: 270-228) dalam menggagas dan menjelaskan paradigma pragmatis, yang intinya adalah bertindak sama dengan berkomunikasi, artinya semua tindakan politik dapat dipandang sebagai komunikasi politik yang bersifat non verbal. Sering juga dikatakn bahwa tidak ada komunikasi (verbal), tetapi ada komunikasi (nonverbal).
Dalam teori informasi menurut B. Abrey Fisher informasi diartikan sebagai pengelompokkan peristiwa-peristiwa dengan fungsi untuk menghilangkan ketidakpastian. Informasi dapat disebut sebagai konsep yang absolut dan relatif karen informasi diartikan bukan sebagai pesan, melainkan jumlah, benda dan energi. Jika dikaitkan dengan teori relativitas, bertindak pun merupakan sebuah informasi dalam arti sebuah kemungkinan alternatif yang dapat diprediksi berdasarkan pola (peristiwa dari waktu ke waktu).
Informasi dalam komunikasi politik dapat berarti sikap politik, dan pendapat politik, media politik, kostum partai politik, dan temu kader partai politik. Menurut teori informasi, komunikasi politik adalah semua hal harus dianalisis sebagai tindakan politik (bukan pesan) yang mengandung sebuah kemungkinan alternatif. Jadi, bertindak (melakukan tindakan politik) sama dengan berkomunikasi (melakukan komunikasi politik).
Sesungguhnya komunikasi nonverbal adalah merupakan tindakan dalam peristiwa komunikasi politik yang dapat ditafsirkan secara berbeda-beda oleh khalayak. Justru itu tindakan itu harus diamati dari waktu ke waktu sehingga dapat ditemukan polanya. Jika pesan nonverbal itu berlangsung berulang-ulang, terbentuklah pola tindakan. Pola itu kemudian menjadi pedoman untuk melakukan prediksi pada masa depan. Artinya prediksi dilakuakan berdasarkan pola. Jika suatu saat terjadi tindakan di luar pola, maka terjadilah kejutan.
Asumsi-asumsi teori:
Informasi diartikan sebagai pengelompokkan peristiwa-peristiwa dengan fungsi untuk menghilangkan ketidakpastian.

No comments:

Post a Comment

Silahkan baca dan share