Setelah
perang dunia I, Chaeles E. Merriam, yang sering dijuluki sebagai Bapak Ilmu
Politik Modern, meninggalkan tugasnya sebagai profesor dan bekerja sebagai
birokrat di Bagian Penerangan Amerika. Dari pengalamannya di lapangan, ia
menarik perhatian ilmuan pada masalah pendapat umum, propaganda dan komunikasi.
Salah seorang mahasiswa tertarik pada propaganda dan menyusun disertasinya
tentang teknik-teknik propaganda pada Perang Dunia I. Dr. Lasswell, penulis
disertasi ini, kemudian terkenal bukan saja hanya sebagai perintis peneliti
propaganda, tetapi juga sebagai pelopor penelitian propaganda, tetapi juga
sebagai pelopor penelitian komunikasi politik. Wilbur Schramm (1980) bahkan
memasukkannya sebagai salah seorang di antara “fathers of our field” – Bapak Ilmu Komuniaksi. Dan Nomm (1981)
menegaskan bahwa: “political
communication as a field of inquiry is cross disciplinary.” Setiap disiplin
ilmu menyumbangkan fokus telaah yang kemudian menjadi pokok bahasan dalam
komunikasi politik. Antropologi dan sosiologi yang mempelajari
sosiolinguistik dan simbolisme
memberikan dasar untuk studi bahasa politik: pskologi dan psikologi sosial
memberikan landasan untuk studi efek pesan politik, konstruk politik, dan
sosialisasi politik; retorika menyediakan metode hitoris, kritis dan
kuantitatis untuk menganalisis retorika politik; sibernetika memberikan
pendekatan sistem untuk memandang komunikasi politik secara holistik; dan
filsafat eksistensialisme dan fenomenololgi melahirkan teori kritis dalam komu
ikasi politik.
Fagen
mendefinisikan komunikasi politik sebagai “communicatory
activity considered political by virtue of its consequences, actula and
potential, that is has for the functioning of political system” (Fagen,
1966:20). Definisi ini kemudian dikritik oleh Meadow karena “all encompassing”. Akan tetapi definisi
Meadow juga masih meluas. Menurut Meadow, “political
communication refers to any exchange of symbols or message that to a
significant extent have been shaped by or have consequence for the polotical
system” (1980:4). Sambil menunjukkan bahwa banyak aspek kehidupan politik
dapat dianalisis secara komunikasi. Nimmo mendefinisikan komunikasi politik
sebagai “communication (actifity)
consideral political by virtue of its consequences (actual or potential) which
regilated human conduct under the condition of conflict” (Nimmo, 1978:7 lihat
halaman 23). Dalam buku ini Nimmo menyebutkan cakupan komuniksai politik yang
terdiri dari komunikator politik, pesan politik, persuasi politik, media
komunikasi politik, khalayak poltik dan akibat-akibat komunikasi politik.
Penelitian
tentang komunikasi politik telah berkembang dari kira-kira sejumlah 1000 buah
pada tahun 1972 menjadi hampir tidak
terkatalogkan pada waktu ini. Berbagai teknik penelitian komunikasi telah
dikembangkan dan digunakan dalam penelitian komunikasi politik. hasil-hasil
penelitina ini secara teratur dilaporkan dalam Political Communication Review, Political
Communication Propaganda, jurnal tiga bulanan, juga menerbitkan hasil
penelitian, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. American Politic
Science Association banyak menerbitkan artikel yang dimaksud untuk pengajaran
komunikasi politik diperguruan tinggi. Dari segi aplikasinya, sudah lama
komunikasi ditelaah untuk tujuan kampanye pilitik pemilu dan masalah lain yang
berkaitan dengan proses pengambilan keputusan politik. Dan diskusi-diskusi
komuniaksi politik tidak lagi terbatas di Amerika, tetapi mulai tersebar ke
negara lainnya, terutama Eropa. Komuniaksi politik bukan saja cross-disciplinary tetapi juga cross-national.
Sebagai
disiplin yang mandiri, komunikasi politik baru hadir pada tahun 1960-an.
Peneliti-peneliti komunikasi secara tradisional memang tidak punya basis yang
kuat. Di universitas, komuniaksi umum bergabung dengan studi-studi humaniora
yang “gaya” penelitiannya sama sekali berbeda dari penelitian komuniksi yang
lazim seperti di Amerika Serikat. Ilmu politik sendiri baru mencapai statusnya
yang penuh sebagai disiplin ilmu pada tahun 1950-an di Jerman dan akhir 1950-an
di Prancis dan Italia. Penelitian komunikasi politik yang pertama berkenan
dengan kampanye politik dan pemilihan umum. Hasil-hasil kampanye diukur dengan
meneliti opini publik lewat survai sikap. Karena latar belakang sejarah
ini, komunikasi di Eropa sangat didominasi oleh
penelitian opini public. Pada tahun 1957 Hernis menerbitkan Meningsforschung Unrepresentative Demokratie, disusul oleh hebermas yang
menulis Strukturwandel der offentichkeit pada tahun 1962. Yang disebut terakhir
kemudian terkenal sebagai tokoh teori kritis merupakan reaksi terhadap
pendekatan empiris yang mengagungkan positivissme dan metode kuantitatif. Pada
pendekatan teori kritis, pesan-pesan komunikasi tidak bisa
dipisahkan dari komunitas komunikasi yang menjadi
sumber legitimasi dan autentisitas.
Teori dan model dasar
komunikasi politik
Dari
paradigma komunikasi politik yang telah dijelaskan di muka, dapat diturunkan
beberapa teori dasar dan beberapa model dasar yang telah dikenal lama. Teori-teori
tersebut juga telah lama diaplikasikan dalam kegiatan komunikasi politik. Pada
dasarnya teori-teori tersebut berbeda satu dengan lainnya karena memang
bersumber dari erspektif atau paradigma komunikasi yang berbeda. berdasarkan
ketiga paradigma komunikasi politik yang diuraikan di muka, dapat juga dikemukakan
empat teori dasar yang dapat digunakan dalam aplikasi komuniksi politik,
yaitu; 1. Teori jarum hipodermik 2.
Teori khalayak kepala batu 3. Teori informasi dan teori non verbal
1.
Teori
jarum hipodermik (Hypodermic needle Theory) Wilbur Schramm (1950), Everett M.
Rogers dan Shoemaker
Komunikasi
politik berlangsung dalam sebuah proses seperti “ban berjalan” secara mekanis
dengan unsur-unsur yang jelas, yaitu: sumber (komunikator), pesan (komunike),
slauran (media), penerima (khalayak) dan umpan balik (efek). Artinya sumber
mengirim pesan ke penerima melalui saluran tertentu dan menimbulkan akibat atau
efek. Berdasarkan “hukum peliput” dapat dibuat prediksi yang bersyarat, yaitu
jika ada (pesan tertentu), maka akan ada efek tertentu (pada penerima). Itulah
sebabnya dalam model mekanistis, studi komunikasi politik difokuskan pada efek.
Berdasarkan paradigma mekanistis dan unsur-unsur yang terkandung dalam proses
komunikasi tersebut, secara sederhana Lasswell merumuskan dalam sebuah formula,
“siapa berkata apa, melalui saluran apa, kepada siapa dan bagaimana efeknya?” (who say what, in which cnannel, to whom
with what effect?) Kemudian formula Lasswell tersebut oleh Nimmo (1992)
dijadikan sebagai dasar menganalisis komunikasi politik.
Paradigma
mekanistis tersebut menghasilkan dua asumsi dasar:
Pertama,
penerima (komunikasn) atau khalayak pasif atau tidak berdaya ketika menerima
pesan dari komuniktor. Artinya komunikator dengan mudah memengaruhi komunikan atau
khalayak.
Kedua,
media massa sangat perkasa dan bahkan kekuatannya mendekati gaib. Artinya semua
pesan yang disalurkan oleh media massa dengan mudah memengaruhi khalayak.
Bahkan, oleh McLuhan (1964) menyebut bahwa media itu sendiri adalah pesan (the medium is the message). Khalayak
yang tak berdaya itu sering disebut khalayak pasif.
Konsep
khalayak tak berdaya atau khalayak pasif dan asumsi media perkasa dari
paradigma mekanistis itu, dengan mudah dikenal melalui berbagai literatur yang
memuat teori dasar dengan nama yang berbeda seperti hypodermik needle theory (teori jarum hipodermik) dan bullet theory of communication (teori
peluru).
Berdasarkan
teori tersebut, komunikator politik (politics, profesional dan aktifis) selalu
memandang bahwa pesan politik apapun yang disampaikan pada khalayak, apalagi
melalui media massa, pasti menimbulkan efek yang positif berupa cara yang baik,
penerimaan atau dukungan. Itulah sebabnya kegiatan komunikasi politik banyak
dilakukan melaui pidato pada rapat umum atau media massa.
Ternyata
asumsi tersebut tidak benar seluruhnya, karena efek sangat tergantung kepada
situasi dan kondisi khalayak, disamping daya tarik isi, dan kredibilitas
komuikator. Bahkan berbagai hasil penelitian membuktikan bahwa media massa
memiliki pengaruh lebih dominan dalam tingkat kognitif (pengetahuan) saja,
tetapi kurang mampu menembus pengaruh pada sikap dan prilaku. Wilbur Schramm
sendiri setelah 20tahun mencetuskan teorinya di atas, akhirnya menyanggahnya
sendiri karena berdsarkan penelitian para pakar psikologi dan sosiologi,
ditemukan bahwa sesungguhnya khalayak itu tidak pasif dalam penerimaan pesan.
Tiap-tiap
individu ternyata sangat aktif dalam menyaring menyeleksi, dan bahkan memiliki
daya tangkal atau daya serap terhadap semua pengaruh yang berasal dari luar
dirinya. Tiap-tiap individu itu tidak mengalami pengaruh secara pasif,
melainkan secara aktif. Jiwa individu sendiri memiliki potensi dinamis dalam
mewujudkan sikap dan kelakuannya. Dengan demikian asumsi bahwa khalayak pasif
dan media perkasa, tidak terbukti secara empirik. Meskipun demikian, “teori
jarum hipodermik” tidak runtuh sama sekali karena tetap dapat diaplikasikan
atau digunakan untuk menciptakan efektifitas dalam komunikasi politik. Teori
jarum hipodermik atau teori peluru dan teori transmisi selanjutnya oleh para
pakar digambarkan pula dalam bentuk model, itulah sebabnya teori-teori tersebut
dilukiskan sebagai model linier dalam komunikasi politik yang berkembang dalam
masyarakat, terutama yang menganut sistem politik otoritarian. Model linear hanya
berlangsung satu arah, yaitu dari sumber (komunikator) kepada penerima
(khalayak) hal itu ditentukan dalam paradigma mekanistis.
2. Teori khalayak kepala
batu (The Obstinate Audience Theory) L.
A Richard (1936), Raymond Bauer (1964), Schramm & Robert (1977)
Dengan
gugurnya asumsi khalayak tidak berdaya atau khalayak pasif dan media perkasa
seperti teori jarum hipodermik, berkembanglah sebuah asumsi baru, bahwa
khalayak justru aktif dan sangat berdaya dan sama sekali tidak pasif dalam
proses komunikasi politik. Bahkan, khalayak memiliki daya tangkal dan daya
serap terhadap semua rangsangan yang menyentuhnya. Dalam hal itu para pakar
termasuk Wilbur Schramm dan Roberts (1977:354) mengokersi teorinya dan mengakui
adanya teori baru yang dikenal dengan nama “teori khalayak kepala batu” (the obstinate audience theori). Teori
ini merupakan bentuk penjabaran dari perspektif atau paradigma psikologis dalam
komunikasi yang telah dipaparkan di muka.
Teori
khalayak kepala batu itu dikembagkan oleh pakar psikologi-Raymond Bauer (1964).
Bahkan, telah diperkenalkan oleh I.A Richards
sejak 1936 dan telah diamalkan atau dipublikasikan oleh ahli retorika
pada zaman Yunani dan Romawi 200 tahun yang lalu. Raymond Bauer mengkritik
potret khalayak sebagai robot yang pasif. Khalayak hanya bersedia menguikuti
pesan, bila pesan itu memberi keuntungan atau memenuhi kepentingan dan
kebutuhan khalayak. Komunikasi tidak lagi bersifat linear tetapi merupakan
transaksi. Media massa memang berpengaruh, tetapi pengaruh itu disaring,
diseleksi, dan diterima atau ditolak oleh filter konseptual atau faktor-faktor
personal yang mepengaruhi reaksi mereka.
Dengan
teori khalayak kepala batu itu, fokus penelitian bergeser dari komunikator
kepada komunikan atau khalayak. Para pakar, terutama pakar psikologi maupun
sosiologi mencurahkan perhatian kepada faktor individu. Mereka mengkaji
faktor-faktor yang membuat individu ini mau menerima pesan-pesan komunikasi.
Salah satu di antaranya adalah lahinya teori “model guna dan kepuasan (uses and grafititations theory). Model
ini dibangung dengan asumsi dasar bahwa manusia adalah makhluk yang sangat rasional
dan sangat aktif, dinamis dan selektif terhadap semua pengaruh dari luar
dirinya.
Pada
dasarnya teori khalayak kepala batu dan teori use and grafititations serta teori lainnya dan model yang sejenis
dapat dimasukkan ke dalam kelompok besar perspektif atau paradigma psikologis
dari komunikasi politik. Meskipun individu menerima pesan karena kegunaan atau
karena untuk memenuhi kepuasan dirinya berdasarkan perbedaan individu, kategori
sosial atau hubungan sosial, namun yang terpenting dalam perspektif psikologis
ini ialah semua pesan politik itu diolah secara internal pada diri individu.
Dengan demikian komunikasi politik dalam perspektif ini berlangsung secara internal
dalam diri individu, yang juga dikenal dengan nama komunikasi intrapersona.
Teori kepala batu ini sangat penting menjadi kerangka acuan dalam melaksanakan
komunikasi politik di negara demokrasi. Itulah sebabnya di negara-negara
demorasi kegiatan public relations tumbuh
dan berkembang. Teori ini mengasumsikan bahwa (1) setiap individu mempunyai
kemampuan untuk menyeleksi, menyaring dalam menerima informasi; (2) khalayak
justru sangat berdaya dan sama sekali tidak pasif dalam proses komunikasi
politik. Khalayak memiliki daya tangkal dan daya serap terhadap semua terpaan
pesan kepada mereka.
3.
Teori Informasi dan Nonverbal
Sejumlah pakar ilmu komunikasi telah mengembangkan teori
informasi yang banyak digunakan dalam kegiatan komunikasi politik. Teori informasi
(dan teori sistem sosial) telah digunakan oleh B. Aubrey Fisher (1990: 270-228)
dalam menggagas dan menjelaskan paradigma pragmatis, yang intinya adalah
bertindak sama dengan berkomunikasi, artinya semua tindakan politik dapat
dipandang sebagai komunikasi politik yang bersifat non verbal. Sering juga
dikatakn bahwa tidak ada komunikasi (verbal), tetapi ada komunikasi (nonverbal).
Dalam teori informasi menurut B. Abrey Fisher informasi
diartikan sebagai pengelompokkan peristiwa-peristiwa dengan fungsi untuk
menghilangkan ketidakpastian. Informasi dapat disebut sebagai konsep yang
absolut dan relatif karen informasi diartikan bukan sebagai pesan, melainkan
jumlah, benda dan energi. Jika dikaitkan dengan teori relativitas, bertindak
pun merupakan sebuah informasi dalam arti sebuah kemungkinan alternatif yang
dapat diprediksi berdasarkan pola (peristiwa dari waktu ke waktu).
Informasi dalam komunikasi politik dapat berarti sikap
politik, dan pendapat politik, media politik, kostum partai politik, dan temu
kader partai politik. Menurut teori informasi, komunikasi politik adalah semua
hal harus dianalisis sebagai tindakan politik (bukan pesan) yang mengandung
sebuah kemungkinan alternatif. Jadi, bertindak (melakukan tindakan politik)
sama dengan berkomunikasi (melakukan komunikasi politik).
Sesungguhnya komunikasi nonverbal adalah merupakan
tindakan dalam peristiwa komunikasi politik yang dapat ditafsirkan secara
berbeda-beda oleh khalayak. Justru itu tindakan itu harus diamati dari waktu ke
waktu sehingga dapat ditemukan polanya. Jika pesan nonverbal itu
berlangsung berulang-ulang, terbentuklah pola tindakan. Pola itu kemudian
menjadi pedoman untuk melakukan prediksi pada masa depan. Artinya prediksi
dilakuakan berdasarkan pola. Jika suatu saat terjadi tindakan di luar pola,
maka terjadilah kejutan.
Asumsi-asumsi
teori:
Informasi
diartikan sebagai pengelompokkan peristiwa-peristiwa dengan fungsi untuk
menghilangkan ketidakpastian.
No comments:
Post a Comment
Silahkan baca dan share